Kue keranjang asli buatan Tante Tok Swie Giok di Sidoarjo. |
Biasanya saya saya hadir setiap Sincia. Malam tahun baru Imlek. Biasanya diundang Bu Juliani ketua Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya.
Kadang hadir di Sanggar Agung, kelenteng dan tempat hiburan di Pantai Ria Kenjeran. Sebab dulu Sanggar Agung yang paling meriah. Bos Soetiadji biasa mendatangkan artis dari luar negeri macam Malaysia, Taiwan, Tiongkok, atau Hongkong.
Tapi suasananya sudah beda. Bu Juliani sudah meninggal dunia. Sanggar Agung tidak lagi bikin perayaan besar dan panggung gembira. Cuma sembahyangan biasa, kata seorang pekerja.
Sebetulnya putri Bu Juliani sudah mengingatkan saya dua pekan sebelum Sincia. Jangan lupa datang pada malam tahun baru. Makan-makan seperti biasa. "Siap," jawabku singkat.
Sayang, Jumat malam itu saya kelelahan. Tidur sebelum jam 21. Niatnya sih bisa bangun jam 23 lalu meluncur ke Kelenteng Cokro.
Acara inti di sana selalu dimulai persis pukul 00.00. Sembahyang bersama disusul hiburan, makan-makan menu nusantara dan sedikit Tionghoa. Pengurus kelenteng biasa menyembunyikan makanan tak halal di ruangan khusus. Maklum, banyak tamu yang bukan Tionghoa dan bukan muslim.
Sayang... malam itu saya kebablasan. Hujan gerimis membuat hawa sejuk enak. Bangun sudah pukul 04.00. Tidak bisa lagi ikut imlekan di TITD Cokro.
Gong xi fa cai!
Agak siang saya pun meluncur ke Sidoarjo. Kawasan pecinan. Di rumah Tante Tok Swie Giok pembuat kue keranjang tradisional itu. Meskipun sudah berusia 80 tahun, Tante Tok selalu bikin nian gao.
Banyak banget kue keranjang yang dibuatnya. Sebab banyak order selama satu bulan lebih. Panen rezeki tahunan. "Saya sudah siapkan kue keranjang untuk sampean," kata Tante Tok.
Cukup ramai rumah tante keturunan Hokkian itu. Ada rombongan dari Gereja Santa Maria Annuntiata Sidoarjo. Maklum, putra-putri tante banyak yang Katolik. Tante Tok sendiri Buddhis yang dekat dengan perkelentengan.
Maka obrolan jadi asyik. Temanya bukan lagi imlekan atau budaya Tionghoa tapi tentang liturgi katolik, gosip-gosip, hingga ngerasani romo. Hehehe... "Romo X itu sudah bukan romo lagi. Sudah jadi orang awam," kata mas yang aktivitas gereja.
Tanpa terasa sudah satu jam anjangsana di rumah Tante Tok. Makan siangnya menu khusus Tionghoa campur Jawa. Ada mi panjang umur, teh khusus dari Tiongkok yang sepet.
Ngomong-ngomong apa resep Tante Tok masih segar dan bekerja keras di usia 80 tahun?
"Gak ada resep-resepan," katanya.
"Minum air putih yang banyak. Kurangi makanan berminyak. Jangan stres! Ingat sama Tuhan," Tante Tok menambahkan dia punya rahasia umur panjang.
Kamsia yang banyak!
Selamat tahun baru Imlek!
Terima kasih untuk Lambertus yang sudah setia mengangkat budaya Tionghoa dalam tulisan2nya baik di Jawa Pos maupun di blog pribadinya. Selamat Tahun Baru Imlek. Im = bulan, lawannya Yang = matahari. Lek (li dalam bhs Mandarin) artinya Kalender. Jadi ucapan anda sangat benar dalam kaedah bahasa Indonesia yang baik.
BalasHapusDalam Bahasa Mandarin, saya ucapkan:
Gongxi fac'ai (semoga makmur)
Wanshi ruyi (semoga semua keinginanmu terkabul)
Shent'i jiank'ang (semoga sehat selalu)
dan untuk mereka2 yang sudah mulai berumur:
Longma Jingshen (tetap bersemangat bagaikan naga dan kuda)
Kamsia kamsia...
BalasHapusSelamat tahun baru imlek!
Kalau sudah biasa ikut hadiri imlekan itu terasa kurang kalau sampai absen. Sebab kita orang sudah punya ikatan rasa dan batin yg kuat dengan orang2 tionghoa di NKRI.
Imlekan itu kata Bhs Indonesia yg baru! Bahasa Mandarinnya “guo nian” atau mandarin lidah jawa = “kwok nien”
BalasHapusBukan bahasa Indonesia tapi bahasa Jawa.
BalasHapusImlekan, Natalan, Suroan, Syawalan, sunatan, hajatan, Paskahan (wong katolik jowo), dsb.
Yang dimaksud imlekan itu ya perayaan tahun baru imlek alias Simcia itu.
Arti asli yg benar imlek: kalender bulan atau lunar calendar malah gak begitu paham.
Kadung kebiasaan sejak dulu kala. Yang penting semua orang paham. Begitu kira2 prinsip komunikasi di Indonesia khususnya Jawa.