Alam Indonesia
sangat kaya dengan aneka tumbuhan yang bisa dijadikan obat-obatan. Namun, belum
banyak peneliti yang fokus meneliti tanaman obat dan aneka ramuan tradisional.
Bahkan, guru besar yang menekuni ilmu yang satu ini pun masih sangat sedikit.
Nah, salah satu
di antara sedikit guru besar itu adalah Prof Dr Mangestuti Agil, guru besar
bidang Ilmu Botani Farmasi Farmakognosi, Fakultas Farmasi Universitas Arlangga.
Perempuan kelahiran Jakarta, 22 April 1950, itu menyampaikan pidato bertajuk
Pendekatan Etnomedisin Peran Wanita dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Indonesia.
Berikut petikan
wawancara LAMBERTUS HUREK dengan Prof MANGESTUTI AGIL di Laboratorium Fakultas
Farmasi Unair, Surabaya.
Mengapa Anda
secara khusus menyoroti peranan wanita dalam pembangunan kesehatan?
Begini. Kaum
wanita atau para ibu itu berperan sangat penting dalam menyiapkan generasi
mendatang. Karena itu, para wanita ini harus benar-benar sehat. Dan, kalau kita
teliti di berbagai daerah, sebagian besar ramuan tradisional entah itu dari
Madura, Solo, Jogja dibuat untuk wanita. Hampir 70 persen ramuan tradisional
itu dikonsumsi wanita.
Maksudnya?
Sejak zaman dulu
nenek moyang kita sudah paham akan pentingnya kesehatan wanita. Begitu seorang
wanita akil balig, dia sudah dibiasakan untuk mengonsumsi ramuan tradisional
untuk menjaga kesehatannya.
Saya ingatkan,
ramuan tradisional itu fungsinya lebih ke pencegahan penyakit, bukan
pengobatan!
Nah, dengan rajin
mengonsumsi ramuan tradisional, maka siklus masa suburnya baik, kandungannya
sehat, semua organ tubuh sehat, sehingga setelah menikah nanti anak yang
dilahirkan pun sehat.
Saat hamil pun
wanita mengonsumsi ramuan tradisional tertentu untuk menjaga kesehatan. Saya
melakukan penelitian di Madura, khususnya Sumenep, untuk mengetahui ramuan
tradisional warisan keraton di sana. Wah, luar biasa! Ternyata sejak dulu
masyarakat Madura sudah punya ramuan tradisional yang sangat lengkap. Makanya,
wanita-wanita dari Madura ini biasanya sangat sehat dan bisa bekerja keras
karena sudah terbiasa mengonsumsi ramuan atau obat tradisional.
Apakah ramuan
kuno itu masih relevan dengan masa sekarang?
Jangan salah! Itu
bukan kuno! Ramuan-ramuan tradisional di tanah air itu sudah terbukti
efektivitasnya dari generasi ke generasi untuk menjaga kesehatan masyarakat.
Saya melihat di daerah tertentu banyak orang punya kebiasaan minum air daun
sirih. Wah, itu khasiatnya luar biasa. Selain meningkatkan kekebalan tubuh, air
sirih sangat efektif menghilangkan bau badan. Contoh lain daun katuk (Saurus
androgynus).
Itu biasa dipakai
ibu-ibu untuk meningkatkan produksi air susu. Bagi saya, pemberian ASI ini
punya kaitan erat dengan karakter anak ketika tumbuh menjadi seorang remaja
hingga dewasa nanti.
Mengapa terjadi
tawuran pelajar atau mahasiswa? Hampir pasti karena waktu kecil dia kurang
kasih sayang. Mungkin tidak mendapat ASI dari ibunya. Atau, ibunya tidak
menyusui bayinya dengan penuh kasih sayang. Saya sempat menyinggung hal itu
dalam pengukuhan guru besar kemarin.
Ngomong-ngomong,
sejak kapan Anda rajin meneliti ramuan dan tanaman obat tradisional?
Sudah lama
sekali. Sejak tahun 1980, ketika mulai menjadi dosen, saya sudah menggeluti
bidang ini. Ternyata, justru bidang ini pula yang akhirnya mengantar saya
sebagai guru besar.
Lantas, mengapa
ramuan atau pengobatan tradisional kita sepertinya 'kalah' gaung dibandingkan
TCM (Traditional Chinese Medicine)?
Nah, China itu
punya konsep ilmu pengobatan yang berbeda dengan Barat. Hebatnya, mereka
berusaha keras untuk meyakinkan orang Barat agar konsep pengobatannya itu bisa
diterima dan diakui secara ilmiah. Beberapa waktu lalu saya ikut seminar di
Jepang. Saya melihat pihak China selalu berusaha meyakinkan pihak lain,
khususnya Barat, bahwa konsep pengobatannya efektif.
Pihak Jepang juga
sama. China bahkan seperti 'menantang' pihak Barat, silakan teliti di laboratorium
bahwa ramuan tradisional kami ternyata bisa menyembuhkan penyakit liver,
misalnya.
Apa hasilnya?
Sekarang ini
TCM-TCM sudah diterima di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Kedua
macam metode pengobatan itu tidak menafikan satu sama lain, tapi bekerja sama.
Keduanya saling melengkapi. Misalnya, seorang dokter dengan metode pengobatan
Barat (modern) tidak segan-segan mminta bantuan peramu obat tradisional untuk
menangani pasien tertentu.
Bagaimana dengan
kita di Indonesia?
Sekarang sudah
mulai berkembang ke sana meskipun belum seluas di China. Saya pernah diminta
pihak RSUD dr Soetomo untuk mengembangkan poli obat tradisional. Kita buka unit
aromaterapi. Jadi, saya optimistis dengan masa depan pengobatan tradisional di
tanah air.
Apalagi, kita
sudah punya ramuan-ramuan tradisional warisan keraton yang sudah terbukti
khasiatnya. Kita juga harus ingat bahwa ada saja penyakit yang tidak bisa
diatasi dengan metode pengobatan modern.
Tapi ditengarai
banyak pula obat tradisional atau jamu yang mengandung bahan kimia obat beredar
di pasaran?
Karena itu,
masyarakat sebaiknya mewaspadai produk-produk yang pabriknya kurang bonafide.
BPOM biasanya selalu merilis daftar obat-obat tradisional ilegal yang
berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Akan lebih bagus kalau masyarakat
mengonsumsi ramuan yang dibuat sendiri seperti yang dilakukan masyarakat di
Madura, Jogja, atau Solo. (*)
Isi Waktu
Senggang dengan Menyulam
MESKIPUN sudah empat
dasawarsa berkecimpun di dunia akademik, Prof Mangestuti Agil ternyata tetaplah
seorang perempuan rumahan. Tugas sebagai ibu rumah tangga benar-benar
dilakoninya hingga berhasil mengentas kedua anaknya.
"Anak-anak
saya sudah dewasa dan mandiri. Tapi nggak ada yang mengikuti jejak saya (sebagai
dosen atau peneliti). Yang satu lulusan Fakultas Hukum, satunya lagi Hubungan
Internasional," tutur Mangetuti lantas tertawa kecil.
Nah, ketika
berada di rumah, setelah sibuk bergelut dengan mikroskop dan berbagai peralatan
di laboratorium, Mangestuti menekuni hobi sederhana, layaknya wanita rumahan
tempo doeloe. Apa itu?
"Saya dari
dulu senang merajut, bikin taplak meja, dan sebagainya. Saya sangat menikmati
hobi itu selama bertahun-tahun," katanya.
Banyak orang,
khususnya teman-teman dekatnya sesama dosen, sering tak percaya seorang Prof Dr
Mangestuti lebih asyik merajut atau menyulam ketimbang melakukan hobi yang
lebih 'modern' seperti main golf, tenis, atau piano. "Anda ini doktor kok
sukanya nyulam?" kata Mangestuti mengutip pernyataan temannya suatu
ketika.
Istri H Agil H
Ali (almarhum), wartawan senior dan mantan pemimpin redaksi Memorandum, ini pun
cuek saja mendengar gurauan teman-temannya. Dia tetap saja menyulam berbagai
keperluan rumah tangganya. Menurut dia, hobi menyulam ini rupanya menurun dari
sang ibunda tercinta.
Mangestuti
coba-coba membuat sulaman, dan akhirnya jadi hobi sampai sekarang. Hanya saja,
dosen senior Fakultas Farmasi Universitas Airlangga ini mengaku tidak suka
membuat pola sendiri. Biasanya, dia menyulam mengikuti gambar pola yang sudah
ada.
"Kalau mau
sih sebetulnya saya bisa membuat rancangan sendiri. Tapi saya lebih suka
mengikuti pola yang dibuat orang lain," ujarnya.
Meski terkesan
sederhana, menurut dia, hobi menyulam ini membuat Mangestuti menjadi sangat
dekat dengan anak-anaknya di rumah. Dia pun menjadi lebih peduli dengan
berbagai aksesoris di rumah. Baginya, rumah ibarat istana pribadi yang selalu
terus diperindah dengan aneka sulaman hasil karyanya sendiri.
Hanya saja,
seiring karier akademiknya yang terus melejit, ditambah kesibukan mengikuti
seminar baik di dalam maupun luar negeri, hobi menyulam ini tak lagi seintensif
dulu. "Tapi saya tetap senang menyulam kalau ada waktu luang,"
katanya. (rek)
Tentang Mangestuti
Nama : Prof Dr
Mangestuti Agil Apt MS
Lahir : Jakarta,
22 April 1950
Suami : H Agil H
Ali (almarhum)
Anak : 2 orang
Hobi : Pekerjaan
rumah tangga, khususnya menyulam
Jabatan
Fungsional: Guru Besar Fakultas
Farmasi,
Universitas Airlangga
Departemen :
Farmakognosi dan Fitokimia
Alamat : Jl
Dharmawangsa Dalam, Surabaya
Pendidikan :
S1-S3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
" mereka berusaha keras untuk meyakinkan orang Barat agar konsep pengobatannya itu bisa diterima dan diakui secara ilmiah".
BalasHapusNah, mengapa ilmuwan farmasi tradisional Tiongkok berusaha keras, tetapi yang di Indonesia tidak? Misalnya, paper yang disajikan Bu Agil itu lebih merupakan laporan tentang penggunaan obat tradisional yang digerakkan oleh perempuan, bukan tentang farmakologinya sendiri.
Untuk bisa diterima secara ilmiah, harus ada uji klinis yang terkontrol, dengan kontrol pembanding, lalu hasilnya diukur, melalui rentang waktu yang memenuhi syarat. Dengan begitu baru bisa diterima secara ilmiah. Kalau tidak, ya ...