Sabtu, 18 Januari 2020

Prof. Dr. Mangestuti Agil Telaten Kembangkan Ramuan Tradisional




Alam Indonesia sangat kaya dengan aneka tumbuhan yang bisa dijadikan obat-obatan. Namun, belum banyak peneliti yang fokus meneliti tanaman obat dan aneka ramuan tradisional. Bahkan, guru besar yang menekuni ilmu yang satu ini pun masih sangat sedikit.

Nah, salah satu di antara sedikit guru besar itu adalah Prof Dr Mangestuti Agil, guru besar bidang Ilmu Botani Farmasi Farmakognosi, Fakultas Farmasi Universitas Arlangga. Perempuan kelahiran Jakarta, 22 April 1950, itu menyampaikan pidato bertajuk Pendekatan Etnomedisin Peran Wanita dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia.

Berikut petikan wawancara LAMBERTUS HUREK dengan Prof MANGESTUTI AGIL di Laboratorium Fakultas Farmasi Unair, Surabaya.

Mengapa Anda secara khusus menyoroti peranan wanita dalam pembangunan kesehatan?

Begini. Kaum wanita atau para ibu itu berperan sangat penting dalam menyiapkan generasi mendatang. Karena itu, para wanita ini harus benar-benar sehat. Dan, kalau kita teliti di berbagai daerah, sebagian besar ramuan tradisional entah itu dari Madura, Solo, Jogja dibuat untuk wanita. Hampir 70 persen ramuan tradisional itu dikonsumsi wanita.

Maksudnya?

Sejak zaman dulu nenek moyang kita sudah paham akan pentingnya kesehatan wanita. Begitu seorang wanita akil balig, dia sudah dibiasakan untuk mengonsumsi ramuan tradisional untuk menjaga kesehatannya.
Saya ingatkan, ramuan tradisional itu fungsinya lebih ke pencegahan penyakit, bukan pengobatan!

Nah, dengan rajin mengonsumsi ramuan tradisional, maka siklus masa suburnya baik, kandungannya sehat, semua organ tubuh sehat, sehingga setelah menikah nanti anak yang dilahirkan pun sehat.

Saat hamil pun wanita mengonsumsi ramuan tradisional tertentu untuk menjaga kesehatan. Saya melakukan penelitian di Madura, khususnya Sumenep, untuk mengetahui ramuan tradisional warisan keraton di sana. Wah, luar biasa! Ternyata sejak dulu masyarakat Madura sudah punya ramuan tradisional yang sangat lengkap. Makanya, wanita-wanita dari Madura ini biasanya sangat sehat dan bisa bekerja keras karena sudah terbiasa mengonsumsi ramuan atau obat tradisional.

Apakah ramuan kuno itu masih relevan dengan masa sekarang?

Jangan salah! Itu bukan kuno! Ramuan-ramuan tradisional di tanah air itu sudah terbukti efektivitasnya dari generasi ke generasi untuk menjaga kesehatan masyarakat. Saya melihat di daerah tertentu banyak orang punya kebiasaan minum air daun sirih. Wah, itu khasiatnya luar biasa. Selain meningkatkan kekebalan tubuh, air sirih sangat efektif menghilangkan bau badan. Contoh lain daun katuk (Saurus androgynus).

Itu biasa dipakai ibu-ibu untuk meningkatkan produksi air susu. Bagi saya, pemberian ASI ini punya kaitan erat dengan karakter anak ketika tumbuh menjadi seorang remaja hingga dewasa nanti.

Mengapa terjadi tawuran pelajar atau mahasiswa? Hampir pasti karena waktu kecil dia kurang kasih sayang. Mungkin tidak mendapat ASI dari ibunya. Atau, ibunya tidak menyusui bayinya dengan penuh kasih sayang. Saya sempat menyinggung hal itu dalam pengukuhan guru besar kemarin.

Ngomong-ngomong, sejak kapan Anda rajin meneliti ramuan dan tanaman obat tradisional?

Sudah lama sekali. Sejak tahun 1980, ketika mulai menjadi dosen, saya sudah menggeluti bidang ini. Ternyata, justru bidang ini pula yang akhirnya mengantar saya sebagai guru besar.

Lantas, mengapa ramuan atau pengobatan tradisional kita sepertinya 'kalah' gaung dibandingkan TCM (Traditional Chinese Medicine)?

Nah, China itu punya konsep ilmu pengobatan yang berbeda dengan Barat. Hebatnya, mereka berusaha keras untuk meyakinkan orang Barat agar konsep pengobatannya itu bisa diterima dan diakui secara ilmiah. Beberapa waktu lalu saya ikut seminar di Jepang. Saya melihat pihak China selalu berusaha meyakinkan pihak lain, khususnya Barat, bahwa konsep pengobatannya efektif.

Pihak Jepang juga sama. China bahkan seperti 'menantang' pihak Barat, silakan teliti di laboratorium bahwa ramuan tradisional kami ternyata bisa menyembuhkan penyakit liver, misalnya.

Apa hasilnya?

Sekarang ini TCM-TCM sudah diterima di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Kedua macam metode pengobatan itu tidak menafikan satu sama lain, tapi bekerja sama. Keduanya saling melengkapi. Misalnya, seorang dokter dengan metode pengobatan Barat (modern) tidak segan-segan mminta bantuan peramu obat tradisional untuk menangani pasien tertentu.

Bagaimana dengan kita di Indonesia?

Sekarang sudah mulai berkembang ke sana meskipun belum seluas di China. Saya pernah diminta pihak RSUD dr Soetomo untuk mengembangkan poli obat tradisional. Kita buka unit aromaterapi. Jadi, saya optimistis dengan masa depan pengobatan tradisional di tanah air.

Apalagi, kita sudah punya ramuan-ramuan tradisional warisan keraton yang sudah terbukti khasiatnya. Kita juga harus ingat bahwa ada saja penyakit yang tidak bisa diatasi dengan metode pengobatan modern.

Tapi ditengarai banyak pula obat tradisional atau jamu yang mengandung bahan kimia obat beredar di pasaran?

Karena itu, masyarakat sebaiknya mewaspadai produk-produk yang pabriknya kurang bonafide. BPOM biasanya selalu merilis daftar obat-obat tradisional ilegal yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Akan lebih bagus kalau masyarakat mengonsumsi ramuan yang dibuat sendiri seperti yang dilakukan masyarakat di Madura, Jogja, atau Solo. (*)




Isi Waktu Senggang dengan Menyulam


MESKIPUN sudah empat dasawarsa berkecimpun di dunia akademik, Prof Mangestuti Agil ternyata tetaplah seorang perempuan rumahan. Tugas sebagai ibu rumah tangga benar-benar dilakoninya hingga berhasil mengentas kedua anaknya.

"Anak-anak saya sudah dewasa dan mandiri. Tapi nggak ada yang mengikuti jejak saya (sebagai dosen atau peneliti). Yang satu lulusan Fakultas Hukum, satunya lagi Hubungan Internasional," tutur Mangetuti lantas tertawa kecil.

Nah, ketika berada di rumah, setelah sibuk bergelut dengan mikroskop dan berbagai peralatan di laboratorium, Mangestuti menekuni hobi sederhana, layaknya wanita rumahan tempo doeloe. Apa itu?

"Saya dari dulu senang merajut, bikin taplak meja, dan sebagainya. Saya sangat menikmati hobi itu selama bertahun-tahun," katanya.

Banyak orang, khususnya teman-teman dekatnya sesama dosen, sering tak percaya seorang Prof Dr Mangestuti lebih asyik merajut atau menyulam ketimbang melakukan hobi yang lebih 'modern' seperti main golf, tenis, atau piano. "Anda ini doktor kok sukanya nyulam?" kata Mangestuti mengutip pernyataan temannya suatu ketika.

Istri H Agil H Ali (almarhum), wartawan senior dan mantan pemimpin redaksi Memorandum, ini pun cuek saja mendengar gurauan teman-temannya. Dia tetap saja menyulam berbagai keperluan rumah tangganya. Menurut dia, hobi menyulam ini rupanya menurun dari sang ibunda tercinta.

Mangestuti coba-coba membuat sulaman, dan akhirnya jadi hobi sampai sekarang. Hanya saja, dosen senior Fakultas Farmasi Universitas Airlangga ini mengaku tidak suka membuat pola sendiri. Biasanya, dia menyulam mengikuti gambar pola yang sudah ada.

"Kalau mau sih sebetulnya saya bisa membuat rancangan sendiri. Tapi saya lebih suka mengikuti pola yang dibuat orang lain," ujarnya.

Meski terkesan sederhana, menurut dia, hobi menyulam ini membuat Mangestuti menjadi sangat dekat dengan anak-anaknya di rumah. Dia pun menjadi lebih peduli dengan berbagai aksesoris di rumah. Baginya, rumah ibarat istana pribadi yang selalu terus diperindah dengan aneka sulaman hasil karyanya sendiri.

Hanya saja, seiring karier akademiknya yang terus melejit, ditambah kesibukan mengikuti seminar baik di dalam maupun luar negeri, hobi menyulam ini tak lagi seintensif dulu. "Tapi saya tetap senang menyulam kalau ada waktu luang," katanya. (rek)


Tentang Mangestuti

Nama : Prof Dr Mangestuti Agil Apt MS
Lahir : Jakarta, 22 April 1950
Suami : H Agil H Ali (almarhum)
Anak : 2 orang
Hobi : Pekerjaan rumah tangga, khususnya menyulam
Jabatan Fungsional: Guru Besar Fakultas
Farmasi, Universitas Airlangga
Departemen : Farmakognosi dan Fitokimia
Alamat : Jl Dharmawangsa Dalam, Surabaya
Pendidikan : S1-S3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1 komentar:

  1. " mereka berusaha keras untuk meyakinkan orang Barat agar konsep pengobatannya itu bisa diterima dan diakui secara ilmiah".

    Nah, mengapa ilmuwan farmasi tradisional Tiongkok berusaha keras, tetapi yang di Indonesia tidak? Misalnya, paper yang disajikan Bu Agil itu lebih merupakan laporan tentang penggunaan obat tradisional yang digerakkan oleh perempuan, bukan tentang farmakologinya sendiri.

    Untuk bisa diterima secara ilmiah, harus ada uji klinis yang terkontrol, dengan kontrol pembanding, lalu hasilnya diukur, melalui rentang waktu yang memenuhi syarat. Dengan begitu baru bisa diterima secara ilmiah. Kalau tidak, ya ...

    BalasHapus