Jumat, 17 Januari 2020

Dr Maximus Markus Taek Teliti Pengobatan ala NTT



Kamis 16 Januari 2020.

Saya diajak Ama Urbanus Ola Hurek, pamanku, untuk mengikuti sidang promosi doktor di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Kebetulan sang calon doktor itu teman akrabnya. Sama-sama dosen Universitas Widya Mandira, Kupang.

"Tolong usahakan hadir karena sangat menarik," kata Ama Urbanus yang sedang menyelesaikan S3 di Universitas Padjdjaran, Bandung.

Ama Urbanus secara khusus datang ke Surabaya untuk menyaksikan sidang promosi doktoral itu. Begitu juga beberapa dosen Unwira yang sedang kuliah S3 di Malang dan Surabaya. Karena itu, aula Farmasi Unair didominasi orang NTT. Mulai Timor, Flores, Lembata, bahkan ada yang Timor Leste.

Sang calon doktor itu Maximus Markus Taek MSi. Dosen Unwira Kupang asal Belu itu meneliti tanaman-tanaman obat tradisional di daerah asalnya. Salah satunya berkhasiat untuk mengatasi penyakit malaria.

Asal tahu saja, sejak dulu NTT dikenal sebagai sarang malaria. Bisa dipastikan 99% persen orang NTT pernah terserang malaria. Demam gak karuan. Menggigil. Kadang efeknya seperti orang setengah gila.

Karena itu, kamar tidur orang NTT biasanya dilengkapi kelambu. Obat nyamuk bakar atau lotion tidak mempan. Maka sejak dulu di kampung-kampung ada dukun atau pengobat tradisional yang bikin ramuan untuk warga yang sakit malaria.

Nah, Maximus Markus menggali tanaman-tanaman obat tradisional yang biasa digunakan di Kabupaten Malaka, Kabupaten Belu, dan kawasan lain yang berbahasa Tetun. Termasuk Timor Leste yang memang bahasa daerahnya Tetun.

Analisis kimia, farmakologi dsb saya tidak paham. Sebab saya terlambat masuk ke ruang sidang. Sudah sesi tanya jawab. Para penguji dari Unair, Unwira, dan doktor-doktor lain memberondong Maximus dengan berbagai pertanyaan. Kayaknya majelis hakim menghadapi terdakwa.

Saya perhatikan Maximus agak kelabakan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan tak terduga. Tapi secara umum pakar asli NTT itu menguasai persoalan dengan baik. "Saya banyak menggali informasi dari 96 pengobat tradisional di Tetun," katanya.

Meskipun penelitian ini tentang farmasi, obat tradisional, Maximus masuk ke ranah antropologi dan sosiologi. Maka Dr Pingky Saptandari dari Unair, yang sering masuk koran, itu mencecar calon doktor dengan pertanyaan-pertanyaan sosiologis.

Lalu, giliran Pater Dr Gregorius Neonbasu SVD menggali lebih dalam sisi antropologis. Maklum, pastor asli Timor itu dikenal sebagai doktor antropologi budaya lulusan Australian National University (ANU). Banyak sekali kutipan pater yang tidak saya ingat lagi. Pater ini kutu buku dan memorinya sangat kuat. Belum terpapar virus gadget di era digital hehe...

Pater Gregor Neonbasu SVD kemudian bertanya dalam bahasa Tetun. "Anda harus jawab dalam bahasa Tetun," ujar pater yang juga pimpinan Yayasan Unwira.

Hahaha.... Hadirin tertawa mendengar ucapan Dr Gregor SVD. "Apakah boleh saya jawab pakai bahasa Tetun?" tanya Maximus.

"Boleh. Nanti diterjemahkan," kata Prof Dr Sukardiman, ketua penguji dari Fakultas Farmasi Unair.

Maximus pun menjawab dengan lancar. Pater Gregor pun memuji anak buahnya yang dinilai berjasa mengangkat pengobatan tradisional NTT ke ranah ilmiah.

"Disertasi Anda ini harus dibaca siapa saja yang ingin tahu seluk beluk NTT dengan keanekaragamannya. Bahkan saya dorong supaya diterbitkan jadi buku," katanya.

Sekitar pukul 12.25 sidang diskors. Para penguji bersidang di ruang khusus untuk menentukan yudisium sang calon doktor.

Prof Sukardiman kemudian mengumumkan bahwa Maximus Markus Taek dinyatakan lulus dengan IP 3,87. Sangat memuaskan!

Hadirin bertepuk tangan riuh. Mulai saat itu Maximus berhak menyandang gelar doktor. Dr. Maximus Markus Taek, M.Si.

"Saya yang pertama kali memanggil Anda dengan Doktor Maximus," kata Prof Sukardiman.

Dr Maximus tercatat sebagai doktor ke-23 yang dihasilkan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Sekaligus doktor pertama di FMIPA Universitas Widya Mandira Kupang.

Acara selanjutnya foto-foto di panggung di luar aula. Lalu makan-makan. "Pater silakan pimpin doa dan pemberkatan untuk makanan ini," kata saya kepada Pater Gregorius Neonbasu SVD.

Pater yang duduk di samping saya bilang tidak usah. "Silakan berdoa sendiri-sendiri," katanya.

Selamat untuk Dr Maximus!
NTT Yes! Malaria No!

2 komentar:

  1. Dengan nama marga yang berarti kotoran hewan atau manusia, apakah tidak sering dibully di Tanah Jawa?

    BalasHapus
  2. Saya juga khawatir begitu. Kata taek dalam bahasa Lamaholot pun artinya sama persis dengan bahasa Jawa.

    Tapi karena Pak Maxi ini mahasiswa S3 maka saya yakin tidak ada buli-bulian. Mungkin awalnya orang2 Jawa heran tapi lama2 menyadari lain lubuk lain ikannya.

    BalasHapus