Pagi tadi ngobrol sama anak muda 20an tahun di warkop kawasan Rungkut Surabaya. Gak nyangka kalau dia pernah bekerja hampir setahun di UEA. Tepatnya Kota Dubai.
"Aku kerja di hotel bintang lima," ujar pemuda asal Nganjuk itu dalam bahasa Jawa halus.
Jangan bayangkan Dubai seperti kota-kota di Arab yang konservatif. Bahasa sehari-hari yang dipakai Mas ini bahasa Inggris. Bukan bahasa Arab. Suasananya sangat internasional.
"Orang bilang Dubai itu New York-nya Arab. Orang dari mana saja ada di sana," kata sang pemuda lulusan sekolah perhotelan di Jogja itu.
Sambil menyimak ceritanya, antara lain tentang mobil-mobil mewah macam Lamborghini yang di Dubai ibarat Ananza di Surabaya, saya masuk YouTube. Menonton suasana Kota Dubai. Orang-orang jalan kaki, mondar-mandir di kawasan JBR.
"Oh ya... aku dan teman-teman sering jalan-jalan di JBR. Tempatnya sangat modern kayak di Amerika," ujarnya tersenyum.
Lantas, mengapa Anda tidak melanjutkan kontrak kerja di Dubai?
"Aku gak kuat. Kerja di sana tidak seindah yang dibayangkan orang," katanya.
Penghasilan sebagai karyawan hotel urusan makanan minuman memang menggiurkan. Sebulan di atas Rp 10 juta. Makan minum tidur dan sebagainya gratis. Uang 10 juta itu boleh dikata utuh.
"Makan daging dan makanan kelas bintang lima setiap hari. Makan sampai kenyang dan bosan," tuturnya.
Walakin, pemuda ini tetaplah orang Jawa yang senang tempe penyet, tahu, telur dan makanan rumahan ala wong deso. Maka sesekali dia keluar mencari makanan nonhotel ala Jawa.
"Tempe penyet aja di sana Rp 120 ribuan," katanya membuat saya dan beberapa teman penggowes sepeda keheranan. Daging kualitas hotel bintang lima jauh lebih murah.
Selain soal makanan dan kangen kampung halaman, dia mengaku sangat berat bekerja di Dubai karena jam kerja yang terlalu panjang. Kerja 12 jam sehari. Tanpa libur sama sekali.
"Liburnya ya saat vacation," katanya.
Vacation itu saat masa kontrak selama 9 bulan berakhir. Kembali ke Indonesia sekitar satu atau dua bulan. Lalu teken kontrak baru. Kerja lagi 12 jam sehari. Tanpa off, tanpa libur akhir pekan dsb.
Mas ini memutuskan kembali ke Jawa Timur. Nganggur sejenak lalu kerja di apartemen. Tentu tidak semewah hotel bintang lima atau bintang tujuh nun di Dubai saja.
Penghasilannya pun tak sampai separonya. Malah di bawah UMK yang 3 jutaan itu. Duit segitu harus dipakai untuk makan minum dsb. Beda dengan di Dubai yang utuh plus tip-tip dolar dari tamu-tamu Barat yang dikenal murah hati itu.
"Uang itu bukan segalanya," begitu kesimpulan pemuda itu.
Rupanya dia kapok bekerja di Dubai atau kota-kota besar lain di Timur Tengah.
"Aku kerja di hotel bintang lima," ujar pemuda asal Nganjuk itu dalam bahasa Jawa halus.
Jangan bayangkan Dubai seperti kota-kota di Arab yang konservatif. Bahasa sehari-hari yang dipakai Mas ini bahasa Inggris. Bukan bahasa Arab. Suasananya sangat internasional.
"Orang bilang Dubai itu New York-nya Arab. Orang dari mana saja ada di sana," kata sang pemuda lulusan sekolah perhotelan di Jogja itu.
Sambil menyimak ceritanya, antara lain tentang mobil-mobil mewah macam Lamborghini yang di Dubai ibarat Ananza di Surabaya, saya masuk YouTube. Menonton suasana Kota Dubai. Orang-orang jalan kaki, mondar-mandir di kawasan JBR.
"Oh ya... aku dan teman-teman sering jalan-jalan di JBR. Tempatnya sangat modern kayak di Amerika," ujarnya tersenyum.
Lantas, mengapa Anda tidak melanjutkan kontrak kerja di Dubai?
"Aku gak kuat. Kerja di sana tidak seindah yang dibayangkan orang," katanya.
Penghasilan sebagai karyawan hotel urusan makanan minuman memang menggiurkan. Sebulan di atas Rp 10 juta. Makan minum tidur dan sebagainya gratis. Uang 10 juta itu boleh dikata utuh.
"Makan daging dan makanan kelas bintang lima setiap hari. Makan sampai kenyang dan bosan," tuturnya.
Walakin, pemuda ini tetaplah orang Jawa yang senang tempe penyet, tahu, telur dan makanan rumahan ala wong deso. Maka sesekali dia keluar mencari makanan nonhotel ala Jawa.
"Tempe penyet aja di sana Rp 120 ribuan," katanya membuat saya dan beberapa teman penggowes sepeda keheranan. Daging kualitas hotel bintang lima jauh lebih murah.
Selain soal makanan dan kangen kampung halaman, dia mengaku sangat berat bekerja di Dubai karena jam kerja yang terlalu panjang. Kerja 12 jam sehari. Tanpa libur sama sekali.
"Liburnya ya saat vacation," katanya.
Vacation itu saat masa kontrak selama 9 bulan berakhir. Kembali ke Indonesia sekitar satu atau dua bulan. Lalu teken kontrak baru. Kerja lagi 12 jam sehari. Tanpa off, tanpa libur akhir pekan dsb.
Mas ini memutuskan kembali ke Jawa Timur. Nganggur sejenak lalu kerja di apartemen. Tentu tidak semewah hotel bintang lima atau bintang tujuh nun di Dubai saja.
Penghasilannya pun tak sampai separonya. Malah di bawah UMK yang 3 jutaan itu. Duit segitu harus dipakai untuk makan minum dsb. Beda dengan di Dubai yang utuh plus tip-tip dolar dari tamu-tamu Barat yang dikenal murah hati itu.
"Uang itu bukan segalanya," begitu kesimpulan pemuda itu.
Rupanya dia kapok bekerja di Dubai atau kota-kota besar lain di Timur Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar