Sabtu, 18 Januari 2020

Mengapa Aku Suka Courier New



Aku termasuk generasi awal yang menggunakan komputer. Mulai komputer yang pakai tiga disket, MS awal, hingga laptop dan sekarang ponsel. HP sekarang sejatinya sama dengan komputer.

Sebelum kenal komputer aku sudah biasa mengetik pakai mesin ketik manual. Pasang kertas, pita, siapkan tipex untuk menghapus kata-kata yang salah ketik. Lama-lama aku bisa menulis artikel, berita, atau apa saja tanpa salah.

Mengetik langsung jadi. Tanpa koreksi. Orang-orang lama memang dipaksa untuk mengetik kata-kata dan kalimat tanpa salah. Beda dengan mengetik di komputer meja, laptop, atau HP yang bisa dikoreksi dengan sangat mudah.

Nah, gara-gara terbiasa dengan mesin ketik dan komputer lawas, saya pun jadi terbiasa dengan font atau jenis huruf ala mesin ketik. Typewriter fonts.

Sejak dulu aku selalu gunakan Courier atau Courier New. Font ini sangat mirip dengan mesin ketik manual. Beda banget dengan Times New Roman, Arial, Verdana dsb.

Ada kutipan di internet:

"Font Courier dibuat untuk mengimitasi bentuk tulisan mesin ketik. Courier kurang cocok digunakan untuk CV karena bisa membuat CV terlihat jadul dan kurang nyaman dibaca, apalagi untuk menulis satu halaman penuh."

Saya tidak setuju pendapat itu. Bagi saya, Courier dan Courier New justru sangat nyaman dibaca. Tanda-tanda baca macam titik, koma, tanda seru dsb paling jelas terlihat.

Sebagai editor atau redaktur, saya sangat mudah menemukan kata-kata yang salah ketik kalau tulisan diketik pakai Courier atau Courier New. Kalau ditulis pakai Times Roman atau Verdana atau Arial dsb sering kelewatan. Hasil editing jadi buruk.

Lain editor lain selera. Temanku sangat fanatik Tahoma. Ukurannya besar dan sangat hitam di layar komputer. Beda dengan Courier yang agak cerah.

Sebagian besar editor di Surabaya tidak peduli font. Apa pun font-nya tetap dimakan. Mereka bisa mengedit naskah apa pun font-nya.

Saya perhatikan para mahasiswa, wartawan, karyawan dsb sejak tahun 2005 tidak punya font favorit. Mereka mau memakai font standar (template) dari laptop atau komputer. Paling banyak pakai Calibri.

Karena itu, mau tidak mau, saya mengubah lebih dulu font mereka menjadi Courier New point 12. Itulah font kesayanganku sejak mengenal komputer.

Rupanya, dari 100-an karyawan, hanya 2 orang yang pakai Courier New. Saya dan satu orang dari Sidoarjo.

2 komentar:

  1. Anda mengerti pentingnya desain aksara (font design). Steve Jobs, mendiang pendiri Apple, meninggalkan bangku kuliahnya di Reed College, krn dia merasa buang2 uang orangtuanya. Lalu dia meng-audit kelas font design, tidak bayar, sekedar menjadi pendengar saja. Di situ dia belajar pentingnya desain aksara, yang ketika timnya membuat program untuk Apple Word Processor, aplikasi tersebut menjadi program pertama yang mempunyai menu berbagai macam aksara, bukan melulu dot matrix seperti komputer2 IBM di jaman itu.

    BalasHapus
  2. Ngerti banget sih tidak. Cuma dulu saya sering coba2 di komputer generasi awal. Hampir semua teman pakai Times New Roman untuk ngetik di komputer. Font Time memang bagus kalau dicetak. Tapi saya kurang sreg kalau di screen karena terlalu rapat dan padat.

    Nah, setelah coba Courier New kok cocok. Nyaman banget untuk mengetik dan editing. Akhirnya saya pakai sampai sekarang.

    Saya perhatikan koran2 dan majalah2 Indonesia sejak zaman Belanda kurang memperhatikan font aksara. Maklum belum ada komputer. Setelah ada komputer pun masih asal-asalan memilih font. Bahkan fonnya bisa beda2 di halaman yg sama. Suka2 kayak majalah pelajar SMA atau mahasiswa era 90an.

    Setelah konsultan media dari USA datang macam John Mohn dari Kansas untuk Jawa Pos barulah font surat kabar mulai ditertibkan. Termasuk tata letak alias desain. Mulai redesigning, info grafik yg bagus dsb.

    Koran2 Amerika dan Eropa sejak dulu sudah sadar desain. Mereka pakai font khusus yang bukan pasaran.

    BalasHapus