Wartawan-wartawan di Surabaya wajib menyetor 3 berita setiap hari. Suka tidak suka, mau tidak mau. Bahkan bisa 4 atau 5 berita kalau temannya libur atau izin atau sakit.
Berbeda dengan wartawan harian, blogger tidak punya kewajiban menulis setiap hari. Suka-suka dia. Bisa menulis 4 artikel per hari. Bisa 1 atau 2 artikel. Bisa seminggu atau sebulan sekali. Bisa setahun sekali.
Ada blogger senior, mbahnya blogger, AH, dulu menulis tiap hari. Blognya sangat terkenal di tanah air. Sering ceramah dan isi seminar di mana-mana. Namun, seiring redupnya blog tulis, diganti blog video di YouTube, AS sangat jarang menulis. Mungkin setahun tidak sampai 10 naskah. Bukan lagi 200 atau 300 naskah.
Maka saya tertarik dengan resolusi Ivan Lanin, blogger, wikipediawan, pemerhati bahasa Indonesia (yang baik dan benar). Di awal tahun 2020 Ivan bikin resolusi: menulis tiap hari di blognya.
Ivan Lanin: "Sudah lebih dari dua pekan saya berhasil mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari. Caranya dengan membuat tulisan sambil membayangkan sedang bercerita kepada kerabat atau sahabat."
Wow, luar biasa!
Mudah-mudahan keinginan dan tekad Ivan bisa terwujud.
Blogger lain yang paling fenomenal adalah Dahlan Iskan. Mantan bos koran dan mantan menteri BUMN itu baru bikin blog disway.id dua tahun lalu. Sejak awal Dis, sapaan akrabnya saat masih di Jawa Pos, bertekad menulis setiap hari. Nonstop. Tak ada tanggal merah.
Bahkan Disway, begitu Dahlan Iskan biasa menyebut dirinya saat ini, sering menulis lebih dari satu artikel sehari. Khususnya tema-tema yang sangat menarik seperti Taiwan atau Tiongkok yang memang sangat dikuasainya.
Syukurlah, Disway terbukti bisa. Menulis tiap hari tanpa jeda. Dan selalu tayang pukul 05.00. Jamnya tentu bisa disetel dengan mudah di platform blog. Kita juga bisa menyetel tanggal dan jam tayang sesuai dengan keinginan kita. Karena itu, bisa saja Disway menulis 5 artikel sehari untuk diposkan selama 5 hari yang berbeda.
Walakin, apa pun kiatnya, menulis catatan pendek, sederhana, ringan di blog setiap hari tetap tidak mudah. Saya pun tak mampu melakukannya walaupun pernah bikin semacam resolusi ala Disway atau Ivan.
Ada-ada saja kendalanya. Bahan-bahan yang diobrolkan sih banyak. Tapi tiba-tiba ada tugas mendadak. Ada siaran sepak bola yang menarik. Diskusi sosial politik di televisi atau YouTube. Baterai ponsel tidak kuat alias lemot.
Salah satu kendala buat saya, mungkin terbesar, adalah masih sulit mengetik dengan jempol di ponsel android. Maklum, sudah sangat lama saya tidak pakai laptop atau komputer untuk blogging.
Ketika pakai komputer atau laptop, tulisan sangat cepat dan lancar. Saya mulai mengetik pakai jempol pada era Blackberry. Awalnya kagok tapi lama-lama lancar dan nyaris tanpa salah. Ini karena Blackberry waktu itu pakai keyboard biasa (timbul).
Saat beralih ke ponsel android, keyboard biasa diganti virtual. Kecepatan mengetik turun drastis meskipun ada teks prediktif segala. Saya sudah latihan selama beberapa tahun tapi hasilnya belum sebagus pakai Blackberry.
Kembali lagi ke disiplin menulis tadi. Disway mampu menjaga konsistensi karena Pak Dis memang sangat disiplin sejak dulu. Disiplin di bidang apa saja. Jam-jamnya harus jelas dan tegas. Disway sengaja memasang deadline layaknya koran beneran.
Nah, wartawan-wartawan bisa menulis 3 berita sehari (minimal) karena terikat deadline yang ketat. Juga takut dipecat. Kalau cuma setor 2 berita, apalagi satu berita, dianggap tidak produktif. Apalagi beritanya cuma kelas C (cukup) dan D (djelek). Berita-berita yang dibutuhkan itu kelas A (amat bagus) dan B (bagus).
Narablog tidak kenal deadline dan tidak punya atasan. Suka-suka si blogger mau menulis setiap hari, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Tidak ada yang pecat dia. Apalagi tulisan narablog juga tidak ada yang baca.
Berbeda dengan wartawan harian, blogger tidak punya kewajiban menulis setiap hari. Suka-suka dia. Bisa menulis 4 artikel per hari. Bisa 1 atau 2 artikel. Bisa seminggu atau sebulan sekali. Bisa setahun sekali.
Ada blogger senior, mbahnya blogger, AH, dulu menulis tiap hari. Blognya sangat terkenal di tanah air. Sering ceramah dan isi seminar di mana-mana. Namun, seiring redupnya blog tulis, diganti blog video di YouTube, AS sangat jarang menulis. Mungkin setahun tidak sampai 10 naskah. Bukan lagi 200 atau 300 naskah.
Maka saya tertarik dengan resolusi Ivan Lanin, blogger, wikipediawan, pemerhati bahasa Indonesia (yang baik dan benar). Di awal tahun 2020 Ivan bikin resolusi: menulis tiap hari di blognya.
Ivan Lanin: "Sudah lebih dari dua pekan saya berhasil mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari. Caranya dengan membuat tulisan sambil membayangkan sedang bercerita kepada kerabat atau sahabat."
Wow, luar biasa!
Mudah-mudahan keinginan dan tekad Ivan bisa terwujud.
Blogger lain yang paling fenomenal adalah Dahlan Iskan. Mantan bos koran dan mantan menteri BUMN itu baru bikin blog disway.id dua tahun lalu. Sejak awal Dis, sapaan akrabnya saat masih di Jawa Pos, bertekad menulis setiap hari. Nonstop. Tak ada tanggal merah.
Bahkan Disway, begitu Dahlan Iskan biasa menyebut dirinya saat ini, sering menulis lebih dari satu artikel sehari. Khususnya tema-tema yang sangat menarik seperti Taiwan atau Tiongkok yang memang sangat dikuasainya.
Syukurlah, Disway terbukti bisa. Menulis tiap hari tanpa jeda. Dan selalu tayang pukul 05.00. Jamnya tentu bisa disetel dengan mudah di platform blog. Kita juga bisa menyetel tanggal dan jam tayang sesuai dengan keinginan kita. Karena itu, bisa saja Disway menulis 5 artikel sehari untuk diposkan selama 5 hari yang berbeda.
Walakin, apa pun kiatnya, menulis catatan pendek, sederhana, ringan di blog setiap hari tetap tidak mudah. Saya pun tak mampu melakukannya walaupun pernah bikin semacam resolusi ala Disway atau Ivan.
Ada-ada saja kendalanya. Bahan-bahan yang diobrolkan sih banyak. Tapi tiba-tiba ada tugas mendadak. Ada siaran sepak bola yang menarik. Diskusi sosial politik di televisi atau YouTube. Baterai ponsel tidak kuat alias lemot.
Salah satu kendala buat saya, mungkin terbesar, adalah masih sulit mengetik dengan jempol di ponsel android. Maklum, sudah sangat lama saya tidak pakai laptop atau komputer untuk blogging.
Ketika pakai komputer atau laptop, tulisan sangat cepat dan lancar. Saya mulai mengetik pakai jempol pada era Blackberry. Awalnya kagok tapi lama-lama lancar dan nyaris tanpa salah. Ini karena Blackberry waktu itu pakai keyboard biasa (timbul).
Saat beralih ke ponsel android, keyboard biasa diganti virtual. Kecepatan mengetik turun drastis meskipun ada teks prediktif segala. Saya sudah latihan selama beberapa tahun tapi hasilnya belum sebagus pakai Blackberry.
Kembali lagi ke disiplin menulis tadi. Disway mampu menjaga konsistensi karena Pak Dis memang sangat disiplin sejak dulu. Disiplin di bidang apa saja. Jam-jamnya harus jelas dan tegas. Disway sengaja memasang deadline layaknya koran beneran.
Nah, wartawan-wartawan bisa menulis 3 berita sehari (minimal) karena terikat deadline yang ketat. Juga takut dipecat. Kalau cuma setor 2 berita, apalagi satu berita, dianggap tidak produktif. Apalagi beritanya cuma kelas C (cukup) dan D (djelek). Berita-berita yang dibutuhkan itu kelas A (amat bagus) dan B (bagus).
Narablog tidak kenal deadline dan tidak punya atasan. Suka-suka si blogger mau menulis setiap hari, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Tidak ada yang pecat dia. Apalagi tulisan narablog juga tidak ada yang baca.
Cak Andreas biyen galau, sebabe gegeran karo bojone sing nomer siji, dadi dekne perlu curhat. Saiki dekne wis ayem tentrem karo bojone sing kaping loro, sing wong Medure Kalimantan. Dadine dekne wis gak perlu nulis sing akeh maneh.
BalasHapusHehe iso ae cak. AS gak banyak bahas soal rumah tangga dan sebangsanya dulu. Tapi menarik.. orang keturunan Han zaman sekarang bisa dengan bebasnya menikah dengan yang bukan Han. Di masa lalu ada semacam tembok tebal. Rezim orde baru selama 32 tahun bangun tembak berlin yang namanya pribumi vs nonpribumi.
HapusSekarang cak AE sibuk ngurusin HAM amnesti internasional. Mungkin dia banyak menulis laporan2 tentang pelanggaran hak asasi orang.
Kliru sampeyan. Jaman Londo biyen akeh sing kawin karo wong lokal, mangkane ono peranakan Tionghoa. Mergone jaman biyen gak ono peraturan gak oleh kawin beda agama. Jaman orde baru jek tas metu peraturan iku, sebab wong Islam wedhi nek wedhoke akeh sing murtad, melu agamane bojone sing Cino atawa Kristen. Nek Cak Andreas iku lak sakenake. Bojo kaping siji Katolik, dekne ya melu. Kaping loro Islam yo melu.
HapusYo, mikir apike wae; dekne saiki akeh entuk kangtau nulis laporan riset kanggo Amnesti International
Cak Lambertus, kalau menulis dengan smartphone, coba gunakan fitur dikte (dictation). Kalau di iPhone, menggunakan Siri yang disetel bahasa Indonesia. Nanti tinggal diredaksi saja kesalahan-kesalahannya.
BalasHapusSuwun masukan yang ciamik. Bagaimanapun juga saya ini ikut menikmati era mesin ketik manual. Sejak SMP sudah main2 mesin ketik untuk mengetik apa saja. Tidak ada guru sistem ketik 10 jari. Lama2 terbiasa dengan gaya sendiri. Bisa ngetik cepat meskipun tidak 10 jari.
BalasHapusMasuk era komputer, keyword QWERTY kan sama persis dengan mesin ketik lawas Brother dan Aiwa yang pernah saya miliki. Dus, mengetik di komputer boleh dikata tidak banyak berbeda dengan ngetik lawas.
Bahkan saya perhatikan (hampir) 100% karyawan di Surabaya yang saya survei (amatiran) tidak bisa ngetik 10 jari. Pakai komputer tapi coba2 sendiri. Beda dengan orang2 zaman dulu yang memang ahli 10 jari.
Nah, ketika datang era ponsel pintar, ngetiknya pakai jempol. Perlu adaptasi lagi. Sebetulnya tidak terlalu sulit bagi semua orang. Tapi kebiasaan mengetik cepat di desktop atau laptop tidak bisa begitu saja dilakukan di smartphone.
Anak2 muda generasi baru yang lahir sudah main HP, ngetik pakai jempol, yang sangat menikmati sistem mengetik pakai jempol ala smartphone.
Bisa jadi ke depan gak perlu ngetik lagi. Cukup ngomong aja langsung muncul kata2 di layar.
Apik cak komentare sampean. AS arek Dempo pancen pinter koyok arek Sinlui. Alumni Dempo + Sinlui rata2 sangat analitis dan cerdas.
BalasHapus