Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sangat doyan taman. Sudah ratusan taman dibuatnya sejak jadi wali kota pada 2010. Taman taman taman...
Bu Risma memang cinta taman dan keindahan kota. Itu mulai terlihat sejak ia menjadi kepala dinas pertamanan. Keberhasilan membuat taman dan menjaga kebersihan kota itulah yang kemudian membuat Risma sangat terkenal. Lalu dijadikan calon wali kota. Dan menang... dua periode.
Di tangan Wali Kota Risma, pohon-pohon penaung di Surabaya pun berubah. Bukan lagi sekadar angsana (sono) atau trembesi. Tapi tabebuya dan beberapa pohon dari luar. Tabebuya bahkan jadi ikon baru Surabaya. Ada festival tabebuya yang heboh.
Saya sendiri tidak suka tabebuya dan pohon-pohon hias. Selera saya pohon-pohon besar yang daunnya lebat. Saya bisa duduk berlama-lama di bawah beringin atau trembesi atau pohon-pohon yang rindang.
Saya tidak butuh kembang-kembang yang indah. Tidak butuh tabebuya warna-warni. Tidak pernah selfi-selfian. Saya hanya butuh oksigen dan kesejukan. Bu Risma rupanya lebih suka yang indah-indah. Maklum perempuan.
Nah, bagaimana kekuatan tabebuya? Apakah cukup kuat diterjang angin kencang? Akarnya dalam?
Musim hujan kali ini jadi ujian terbaik untuk tabebuya. Ternyata sejumlah pokok tabebuya tumbang di awal tahun. Beritanya pun tersebar luas di media massa dan media sosial.
Pohon-pohon tabebuya di Surabaya relatif masih sangat muda. Belum 10 tahun. Akarnya belum kuat meskipun sudah tinggi. Bisa dibayangkan kalau dihantam angin kencang seperti dua minggu lalu.
''Tabebuya dengan diameter batang 60 cm dan tinggi 6 m roboh menimpa mobil.
Salah satu tanda penting pohon tabebuya sudah miring ke jalan,'' tulis Dr Amien Widodo, dosen ITS yang getol memantau kondisi pohon-pohon di Surabaya.
Saya jadi ingat asam jawa. Tanaman asam ini dijadikan pohon penaung utama di pinggir jalan oleh pemerintah Hindia Belanda. Yang ditanam bijinya. Butuh waktu puluhan tahun hingga jadi tanaman yang besar. Tapi akar-akarnya mencengkeram kuat jauh ke dalam tanah.
Orang Belanda, sang penjajah brengsek itu, ternyata sangat paham kondisi Nusantara yang tropis panas. Perlu pohon-pohon besar, kuat, sebagai penaung. Nusantara tidak butuh tanaman hias seperti tulip atau sakura atau tabebuya.
Karena itu, tidak heran tanaman asam jawa ini mampu bertahan hingga 80an tahun, bahkan 100 tahun. Sampai sekarang masih bisa kita nikmati di luar Jawa. Buah asam juga bisa dibuat bumbu masak dsb.
''Asam jawa pun bisa tumbang kalau tidak ada perawatan,'' kata Amien Widodo. Tak lupa dosen geologi itu menunjukkan foto asam jawa yang tumbang di Solo.
Ouw... perawatan perawatan! Minggu lalu sepasang suami istri tewas gara-gara ditimpa pohon tumbang di dekat kantor gubernur. Tak jauh dari Tugu Pahlawan.
Takdir, kata orang Nusantara. Ciong, kata Tionghoa.
Mau ciong atau takdir, tragedi ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Untuk mengecek dan merawat pohon-pohon besar dan tinggi di pinggir jalan. Warga juga perlu mengontrol pohon-pohon di samping rumahnya.
''Pohon-pohon di Surabaya tidak kuat karena akarnya tidak dalam,'' kata seorang insinyur.
Bu Risma memang cinta taman dan keindahan kota. Itu mulai terlihat sejak ia menjadi kepala dinas pertamanan. Keberhasilan membuat taman dan menjaga kebersihan kota itulah yang kemudian membuat Risma sangat terkenal. Lalu dijadikan calon wali kota. Dan menang... dua periode.
Di tangan Wali Kota Risma, pohon-pohon penaung di Surabaya pun berubah. Bukan lagi sekadar angsana (sono) atau trembesi. Tapi tabebuya dan beberapa pohon dari luar. Tabebuya bahkan jadi ikon baru Surabaya. Ada festival tabebuya yang heboh.
Saya sendiri tidak suka tabebuya dan pohon-pohon hias. Selera saya pohon-pohon besar yang daunnya lebat. Saya bisa duduk berlama-lama di bawah beringin atau trembesi atau pohon-pohon yang rindang.
Saya tidak butuh kembang-kembang yang indah. Tidak butuh tabebuya warna-warni. Tidak pernah selfi-selfian. Saya hanya butuh oksigen dan kesejukan. Bu Risma rupanya lebih suka yang indah-indah. Maklum perempuan.
Nah, bagaimana kekuatan tabebuya? Apakah cukup kuat diterjang angin kencang? Akarnya dalam?
Musim hujan kali ini jadi ujian terbaik untuk tabebuya. Ternyata sejumlah pokok tabebuya tumbang di awal tahun. Beritanya pun tersebar luas di media massa dan media sosial.
Pohon-pohon tabebuya di Surabaya relatif masih sangat muda. Belum 10 tahun. Akarnya belum kuat meskipun sudah tinggi. Bisa dibayangkan kalau dihantam angin kencang seperti dua minggu lalu.
''Tabebuya dengan diameter batang 60 cm dan tinggi 6 m roboh menimpa mobil.
Salah satu tanda penting pohon tabebuya sudah miring ke jalan,'' tulis Dr Amien Widodo, dosen ITS yang getol memantau kondisi pohon-pohon di Surabaya.
Saya jadi ingat asam jawa. Tanaman asam ini dijadikan pohon penaung utama di pinggir jalan oleh pemerintah Hindia Belanda. Yang ditanam bijinya. Butuh waktu puluhan tahun hingga jadi tanaman yang besar. Tapi akar-akarnya mencengkeram kuat jauh ke dalam tanah.
Orang Belanda, sang penjajah brengsek itu, ternyata sangat paham kondisi Nusantara yang tropis panas. Perlu pohon-pohon besar, kuat, sebagai penaung. Nusantara tidak butuh tanaman hias seperti tulip atau sakura atau tabebuya.
Karena itu, tidak heran tanaman asam jawa ini mampu bertahan hingga 80an tahun, bahkan 100 tahun. Sampai sekarang masih bisa kita nikmati di luar Jawa. Buah asam juga bisa dibuat bumbu masak dsb.
''Asam jawa pun bisa tumbang kalau tidak ada perawatan,'' kata Amien Widodo. Tak lupa dosen geologi itu menunjukkan foto asam jawa yang tumbang di Solo.
Ouw... perawatan perawatan! Minggu lalu sepasang suami istri tewas gara-gara ditimpa pohon tumbang di dekat kantor gubernur. Tak jauh dari Tugu Pahlawan.
Takdir, kata orang Nusantara. Ciong, kata Tionghoa.
Mau ciong atau takdir, tragedi ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Untuk mengecek dan merawat pohon-pohon besar dan tinggi di pinggir jalan. Warga juga perlu mengontrol pohon-pohon di samping rumahnya.
''Pohon-pohon di Surabaya tidak kuat karena akarnya tidak dalam,'' kata seorang insinyur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar