Orang Flores yang mayoritas Katolik biasa bilang AMEN di akhir doa-doa. Entah di gereja, gabungan (lingkungan atau kring kalau di Jawa), sekolah, dan di mana saja.
Amen amen amen... alleluia!
Orang Kristen Protestan lebih suka pakai HALELUYAH atau Hallelujah (bahasa Inggris).
Padahal, di buku-buku liturgi macam Yubilate, Syukur Kepada Bapa, Madah Bakti, atau Puji Syukur tertulis AMIN. Buku-buku nyanyian atau liturgi di Indonesia yang terbit di atas tahun 1980 memang pakai AMIN, bukan AMEN.
Mengapa orang Flores atau NTT umumnya masih pakai amen meskipun kata bahasa Indonesia yang baku menurut kamus adalah amin?
Kebiasaan lama. Selama bertahun-tahun umat Katolik mengikuti misa dalam bahasa Latin. Dan kata AMEN memang dari bahasa Latin. "In nomine patris et filii et spiritus sancti. AMEN."
Saya perhatikan umat Katolik di Jawa lebih banyak yang pakai AMIN ketimbang AMEN. Tapi kata AMEN masih sering saya dengar di Surabaya dan Sidoarjo. Beda dengan Flores yang lebih dari 90 persen pakai AMEN AMEN AMEN.
Yang menarik itu di media sosial. Orang Indonesia yang muslim kelihatannya lebih suka transliterasi bahasa Arab ketimbang Amin yang merupakan kata serapan. Sebagian besar pengguna media sosial tidak sreg dengan kata AMIN versi resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Mengapa demikian?
"Karena AMIN artinya aman," kata seorang guru di Sidoarjo. Lengkap dengan aksara Arab.
Selain AMIN yang aman itu, menurut dia, ada 3 lagi arti amin. Tulisannya beda meskipun bunyinya (hampir sama).
AMIN = Aman
AAMIN = Minta pertolongan
AMIIN = Jujur, amanah
AAMIIN = Kabulkan doa kami
Nah, kata AMIN yang dipakai di Indonesia merujuk pada seruan di akhir doa atau sembahyang. Memohon agar Tuhan mengabulkan doa saya/kita/kami.
"Maka, yang benar adalah AAMIIN," kata orang Sidoarjo itu.
Di internet pun banyak tulisan seperti itu. Sudah jutaan orang yang berbagi di media sosial. Karena itu, kata AAMIIN dengan dua A dan I makin popular di media sosial. Bahkan sejumlah media arus utama pun ikut-ikutan memakai transliterasi Arab.
Kembali ke AMEN dan AMIN di Gereja Katolik. Pada 1992 para uskup se-Indonesia menerbitkan buku Puji Syukur sebagai pengganti Madah Bakti. Ada penjelasan khusus tentang kata AMIN ini. Petikannya:
"AMIN berarti setuju atau demikianlah. AMIN merupakan aklamasi atau tanggapan atas doa yang diucapkan orang lain atau pemimpin.
"Maka, kalau seluruh doa diucapkan bersama-sama atau seorang diri, AMIN pada akhir doa tidak harus diucapkan," tulis Komisi Liturgi KWI dalam pengantar buku Puji Syukur.
Maka, sejak 1990-an itulah saya perhatikan sudah sangat jarang umat Katolik di Jawa mengucapkan kata AMIN saat berdoa bersama Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, dan sebagainya. Awalnya kagok tapi lama-lama terbiasa.
Biasanya ada saja orang yang keceplosan bilang AMEN di akhir doa. Biasanya orang Flores yang baru datang ke Pulau Jawa.
Amen amen amen... alleluia!
Orang Kristen Protestan lebih suka pakai HALELUYAH atau Hallelujah (bahasa Inggris).
Padahal, di buku-buku liturgi macam Yubilate, Syukur Kepada Bapa, Madah Bakti, atau Puji Syukur tertulis AMIN. Buku-buku nyanyian atau liturgi di Indonesia yang terbit di atas tahun 1980 memang pakai AMIN, bukan AMEN.
Mengapa orang Flores atau NTT umumnya masih pakai amen meskipun kata bahasa Indonesia yang baku menurut kamus adalah amin?
Kebiasaan lama. Selama bertahun-tahun umat Katolik mengikuti misa dalam bahasa Latin. Dan kata AMEN memang dari bahasa Latin. "In nomine patris et filii et spiritus sancti. AMEN."
Saya perhatikan umat Katolik di Jawa lebih banyak yang pakai AMIN ketimbang AMEN. Tapi kata AMEN masih sering saya dengar di Surabaya dan Sidoarjo. Beda dengan Flores yang lebih dari 90 persen pakai AMEN AMEN AMEN.
Yang menarik itu di media sosial. Orang Indonesia yang muslim kelihatannya lebih suka transliterasi bahasa Arab ketimbang Amin yang merupakan kata serapan. Sebagian besar pengguna media sosial tidak sreg dengan kata AMIN versi resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Mengapa demikian?
"Karena AMIN artinya aman," kata seorang guru di Sidoarjo. Lengkap dengan aksara Arab.
Selain AMIN yang aman itu, menurut dia, ada 3 lagi arti amin. Tulisannya beda meskipun bunyinya (hampir sama).
AMIN = Aman
AAMIN = Minta pertolongan
AMIIN = Jujur, amanah
AAMIIN = Kabulkan doa kami
Nah, kata AMIN yang dipakai di Indonesia merujuk pada seruan di akhir doa atau sembahyang. Memohon agar Tuhan mengabulkan doa saya/kita/kami.
"Maka, yang benar adalah AAMIIN," kata orang Sidoarjo itu.
Di internet pun banyak tulisan seperti itu. Sudah jutaan orang yang berbagi di media sosial. Karena itu, kata AAMIIN dengan dua A dan I makin popular di media sosial. Bahkan sejumlah media arus utama pun ikut-ikutan memakai transliterasi Arab.
Kembali ke AMEN dan AMIN di Gereja Katolik. Pada 1992 para uskup se-Indonesia menerbitkan buku Puji Syukur sebagai pengganti Madah Bakti. Ada penjelasan khusus tentang kata AMIN ini. Petikannya:
"AMIN berarti setuju atau demikianlah. AMIN merupakan aklamasi atau tanggapan atas doa yang diucapkan orang lain atau pemimpin.
"Maka, kalau seluruh doa diucapkan bersama-sama atau seorang diri, AMIN pada akhir doa tidak harus diucapkan," tulis Komisi Liturgi KWI dalam pengantar buku Puji Syukur.
Maka, sejak 1990-an itulah saya perhatikan sudah sangat jarang umat Katolik di Jawa mengucapkan kata AMIN saat berdoa bersama Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, dan sebagainya. Awalnya kagok tapi lama-lama terbiasa.
Biasanya ada saja orang yang keceplosan bilang AMEN di akhir doa. Biasanya orang Flores yang baru datang ke Pulau Jawa.
Orang Flores bilang AMEN di achir doa-doa. Itulah yang 100% BENAR !
BalasHapusArti kata Amen = Pokoke yo ngono kuwi, ora iso, ora oleh dibantah !
Seandainya orang Indonesia tetap mempertahankan huruf e', maka kita tidak perlu berdebat lagi.
Bangsa Jerman hanya berjumlah 105 juta jiwa, tetapi mereka percaya diri memproduksi tastatur mesin-ketik dan computer dengan huruf-huruf
yang memakai umlaut: Ä Ö Ü .
Bangsa Indonesia jumlahnya 267 juta, kapan kita berani memproduksi tastatur yang ada huruf E', sehingga kita tidak bingung mengeja sebuah kata, misalnya kata KEJU atau AMEN.
Vokal e memang jadi masalah di Indonesia. Dulu dibedakan é dan e atau ê. Tapi kemudian dipakai satu macam e saja.
BalasHapusSoal ucapannya bagaimana ya terserah masing2 orang. Makanya tidak ada pembakuan ucapan atau pronunciation dalam bahasa Indonesia.
Hebatnya, meskipun orang mengucapkan e atau é atau ê tapi artinya tidak berubah. Kita tetap mengerti omongan orang Kupang yang selalu bilang é untuk e.
Beda dengan bahasa Inggris atau Tionghoa yang punya sistem pronunciation yang rumit.
Seandainya saya seorang sopir taxi di Surabaya, maka saya bisa mengantar penumpang orang Kupang ke Kenjeran, tetapi kalau penumpang-nya orang Bali, maka saya agak bingung.
HapusSeandainya saya pelayan di toko Gwan, Jalan Ondomohen, maka saya tahu, jika orang Kupang mau minta keju. Tetapi jika yang datang orang Bali, maka saya suruh dia ke tukang pijat.