Senin, 10 Februari 2020

Koran Mencari Jalan Relevansi


Oleh Dahlan Iskan

Media sosial kian perkasa. Tak terbendung lagi. Padahal belum lagi 5G beroperasi.

Ketika radio berita lahir, banyak memperkirakan koran akan mati. Kecepatan radio dalam memberitakan peristiwa membuat koran terancam. Nyatanya koran tetap hidup.

Ketika media televisi lahir diramalkan koran dan radio akan mati. TV adalah media yang bisa menyajikan peristiwa secara lengkap: tulisan, gambar, dan suara. Bahkan gambarnya bergerak. Berwarna pula.

Habislah sudah semua keunggulan radio dan koran. Dibabat habis oleh televisi. Tapi radio ternyata masih tetap hidup. Koran juga tetap hidup.

Sampai munculnya media online. Lewat kehebatan internet. Tapi radio tetap hidup. Koran tetap hidup. Televisi tetap hidup.

Lalu merajalelalah media sosial. Dengan segala kelebihan dan kejahatannya. Kelebihannya begitu banyak. Kejahatannya juga begitu besar. Lewat hoax, fitnah, rekayasa foto dan video. Tapi tidak juga membunuh media yang sudah ada sebelumnya.

Sampai kapan?

Tidak ada yang tahu. Yang jelas sampai Hari Pers Nasional tanggal 8 Februari 2020 masih seperti itu.

Tentu terjadi pergeseran-pergeseran. Terjadi reposisi. Maka yang akan terjadi adalah apa pun jenis medianya, sepanjang ia relevan dengan perkembangan masyarakat, ia akan tetap diperlukan.

Maka, pengelola media apa pun akan terus mencari posisi baru. Agar terus relevan dengan kemajuan umum. Atau memilih mati bunuh diri. Rasanya tidak akan ada yang seperti itu.

Selamat mencari jalan relevansi!

3 komentar:

  1. Koran-koran di Austria, Belanda dan Prancis sampai detik ini tidak bakal bangkrut, walaupun sekarang membaca koran tidak lagi merupakan kebiasaan umum setiap harinya, seperti halnya zaman sebelum ada internet, sebab koran mendapat tunjangan finansial dari pemerintah.
    Walaupun demikian, bukan berarti koran-koran harus tunduk kepada pemerintah, kebebasan pers tetap dijamin oleh undang-undang.
    Setiap jurnalis bebas menulis pendapatnya yang KONTROVERSIAL.
    Pendapat kontroversial tidak selalu salah, melainkan patut dijadikan bahan diskusi oleh rakyat yang berlogika, bernalar.
    Di Indonesia umumnya pemikiran-kontroversial selalu di-cap salah, melawan Sunnatullah !
    Beberapa tahun lalu saya pernah menulis di Hurek Blog sbb.: Jika saya melihat anak2-saya berdebat-berdiskusi-berargumentasi ( istilah melayu-nya : cekcok, tukaran ), saya merasa malu pada diri sendiri, karena kebiasaan-kita orang Indonesia, langsung menghina, mengejek, membuka aib lawan dan selanjutnya berkelahi. Kita tidak memiliki budaya diskusi, adu argumen. Kita biasanya hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Inggih atau Jancuk.
    Kontroversial pada zaman-nya, ternyata sekarang terbukti benar, contohnya : Nikolaus Kopernikus, Galileo Galilei, Johannes Kepler.

    Contoh pendapat-kontroversial saat ini: Musuh terbesar Pancasila adalah Agama,(Yudian Wahyudi). Saya pribadi setuju dengan pandangan dia.

    BalasHapus
  2. Betul.. budaya diskusi, adu argumen memang belum ada di Indonesia. Dan itu tidak lepas dari model pendidikan dan pengajaran mulai SD sampai perguruan tinggi.

    Media sosial sebenarnya memberi ruang yg luas untuk diskusi, adu argumen. Tapi nyatanya tidak jalan. Malah makin lama ujaran kebencian dapat tempat luas di media sosial.

    Diskusi itu harus ditunjang data dan fakta. Itu yg saya lihat sangat lemah di grup2 medsos di Jatim. Isinya lebih ke konservatisme, puritanisme, fundamentalisme, radikalisme.. dst.

    BalasHapus
  3. Menarik. Koran2 di Belanda, Austria, dan Prancis disubsidi pemerintah. Di Indonesia dulu pada zaman Orde Baru ada semacam subsidi halus dengan halaman khusus KMD: koran masuk desa. Pemerintah sudah menebas sekian ribu eks di depan. Lalu koran2 pesanan itu tinggal disalurkan ke kecamatan2 untuk kebutuhan kelompencapir.

    Tentu saja perusahaan koran sangat dimanjakan karena pelanggannya sudah jelas. Cara2 orba itu sulit dilakukan saat ini.

    BalasHapus