Selasa, 05 November 2019

Rasis pun Ada di Eropa

Sami mawon. Sama saja.

Di Eropa dan Asia, khususnya Indonesia, yang namanya rasisme itu masih ada. Menganggap orang atau komunitas lain lebih rendah. Disamakan dengan binatang.

Begitulah kesan saya saat membaca judul berita di koran pagi ini: Son Diejek Sipit, Balo dengan Suara Monyet. Son pemain Spurs asal Korsel diejek suporter Everton di Inggris. Balotelli diejek kayak monyet di Verona, Italia.

Dua negara ini, Inggris dan Italia, punya peradaban tinggi. Sopan santun ala priyayi. Punya unggah ungguh bahasa. Tapi di lapangan bola suporter yang British itu mengejek pemain asal Korea. Hanya karena matanya sipit.

Balotelli sudah berkali-kali diejek gara-gara kulitnya yang hitam. Maklum, gennya dari Afrika meskipun warga negara Italia. Sudah puluhan kali Balo membela tim nasional Italia. Bahkan pernah jadi striker andalan negara yang ada negara kecil bernama Vatikan itu.

Tapi... namanya juga rasis, pemain-pemain yang berbeda ras macam Korea atau Afrika dianggap lebih rendah. Disamakan dengan kera. Kadang suporter melempar pisang ke lapangan untuk memberi makan pemain ireng yang dianggap monyet itu.

Bisa jadi rasisme ini punya akar panjang sejak era kolonial dulu. Supremasi orang putih. Orang putih merasa lebih beradab. Lebih segalanya. Orang hitam dijadikan budak belian.

Kalau tidak salah, diskriminasi orang hitam ini pun terjadi di USA. Dan baru dibereskan berkat perjuangan Martin Luther King tahun 1960an. Belum lama. Karena itu, bibit-bibit rasis sejatinya masih ada di benak orang putih di Amerika.

Membaca berita kecil tentang pelecehan Son dan Balo pagi ini membuat saya teringat kasus Papua. Unjuk rasa di asrama mahasiswa Papua di Pacarkeling, Surabaya, pada 16-17 Agustus 2019 lalu. Ada kata-kata yang menyebut nama-nama binatang, khususnya monyet.

Gara-gara ejekan itu, masyarakat Papua marah. Terjadi gejolak besar-besaran di sana. Sampai sekarang pun belum sepenuhnya reda. Orang Papua yang selama ini diam, pasrah, ngalah memilih bangkit untuk membela kehormatannya sebagai manusia.

Saya jadi ingat wejangan pater-pater lama di Flores tentang lidah. Hati-hati dengan lidahmu. Lidah itu seperti pedang. Bisa membunuh orang lain dan bisa membunuh dirimu sendiri.

Hari ini lidah itu bisa juga jempol atau jari-jarimu. Bisa membuatmu masuk penjara macam musisi kesukaan saya dulu, Ahmad Dhani.

Selasa, 29 Oktober 2019

Bahasa Daerah di NTT Terancam Punah



Oktober bulan bahasa. Sejumlah media meramaikan bulan bahasa dengan liputan menarik tentang bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Akhirnya saya jadi tahu jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 718 biji. Biasanya saya jawab ratusan kalau ditanya turis dari luar negeri. Kira-kira mendekati seribu bahasa daerah. Paling banyak di Papua.

Kalau bahasa daerah terbanyak di Papua memang benar. Badan Bahasa mencatat 428 bahasa daerah di Papua dan Papua Barat. Total 428 bahasa daerah. Artinya, lebih dari 50% bahasa daerah ada di Papua. Disusul Maluku 79 bahasa.

NTT juga menarik. Provinsi asal saya itu punya 72 bahasa. Paling banyak di Kabupaten Alor. Tetangga daerah saya di Lembata yang dibatasi selat kecil. Dulu saya pikir Flores dan Lembata yang paling banyak bahasanya.

Sayang, bahasa-bahasa kecil di tanah air terancam punah. Sebab anak-anak muda tidak lagi menggunakannya. Malu berbicara dalam bahasa ibu karena dianggap orang kampung yang terbelakang.

 "Pakai bahasa Indonesia saja. Jangan pakai bahasa daerah," kata salah satu guru di Larantuka ketika saya menjawab pertanyaan pakai bahasa Lamaholot karena belum fasih berbahasa Indonesia.

Rupanya ajaran guru-guru di NTT untuk memuliakan bahasa Indonesia 30an tahun lalu itu berhasil. Kompas pagi ini membeberkan data yang menarik. Dari 36 murid di SMAN 1 Kupang, hanya 2 orang yang bisa berbahasa daerah. Yang lainnya pakai bahasa Melayu Kupang (komunikasi sehari-hari) dan bahasa Indonesia (formal).

Dua anak yang bisa bahasa daerah itu: Dominikus Atasage Adonara yang bisa bahasa Lamaholot karena orang tuanya asli Adonara. Satunya lagi Febriani yang fasih berbahasa Jawa.

Yang menarik, ayah Febriani orang Rote dan mamanya asal Ambon. Karena lahir dan besar di Surabaya, maka Febriani lancar berbahasa Jawa ngoko Suroboyoan khas anak-anak muda Surabaya.

Liputan Kompas edisi Selasa 29 Oktober 2019 ini makin mengonfirmasi tulisan-tulisan saya sekitar 10 tahun lalu. Saat bertemu orang Lembata atau Flores Timur di Surabaya biasanya saya pancing dengan bahasa Lamaholot. Tapi dijawab pakai bahasa Indonesia. Bahkan seorang nona asal Ile Ape, satu kecamatan dengan saya di Lembata, nerocos pakai Melayu Larantuka (Nagi) saat kami mengikuti pemakaman seorang pater SVD si Kembang Kuning, Surabaya.

"Anak-anak muda di NTT malu berbahasa daerah karena tekanan sosial. Dicap sebagai orang kampung," kata Dr Ali Humaidi, peneliti LIPI.

Saya mungkin termasuk orang NTT yang lolos dari tekanan sosial itu. Alias minderwaarsigheids complex itu.  Sebagai penutur asli Lamaholot Timur, saya ditekan untuk bisa berbahasa Lamaholot Tengah ala Adonara Timur. Kemudian ditekan untuk bisa berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka. Kemudian bahasa Indonesia yang baik dan benar ala buku teks sekolahan.

Kemudian belajar lagi bahasa Jawa. Mulai dari tingkat ngoko, madya hingga krama inggil. Agat bisa nonton wayang kulit atau ketoprak. Kemudian belajar lagi bahasa Madura karena para tetangga di Tegalboto, Jember, tidak fasih berbahasa Indonesia.

Tekanan-tekanan sosial itu ibarat blessing in disguise. Saya bisa menguasai 5 atau 7 bahasa daerah meskipun tidak sefasih penutur asli. 

Tekanan sosial untuk berbahasa Inggris tidak ada. Makanya saya tidak fasih berpikir dan berbicara dalam bahasa Inggris meskipun belajar English secara formal di sekolah selama 8 tahun. Cuma hafal grammar rules dan kisi-kisi ujian. Makanya nilai bahasa Inggris saya sejak SMP selalu sangat tinggi, 90-100. Hehehe...

Anehnya, meskipun saya hidup jauh lebih lama di luar NTT, hampir tidak pernah bicara bahasa Lamaholot, orang-orang kampung (dewasa) selalu menelepon atau bicara dengan saya pakai bahasa Lamaholot. Bukan bahasa Indonesia atau bahasa Nagi.

Bahasa ibu memang luar biasa. Meskipun tidak pernah dipakai bertahun-tahun, ia akan muncul dan hidup kalau diaktivasi. "Ada semacam kode-kode bahasa di kepala kita," kata mendiang Pater Glinka SVD, antropolog Unair, yang menguasai sekitar 10 bahasa.

Kamis, 24 Oktober 2019

Orang Flores Doyan Sayur Kelor (Merungge)



Ada pohon kelor di pinggir jalan raya kawasan Rungkut, Surabaya. Sangat hijau dan rimbun. Padahal tanaman yang nama Latinnya Moringa oleifera ini tidak pernah disiram. Kelor bahkan dianggap tanaman liar di Jawa.

Ada orang yang mengaitkan kelor dengan orang mati. Daun kelor dimasukkan ke dalam wadah berisi air. Lalu airnya dipakai untuk memandikan jenazah. "Untuk menghilangkan ilmu-ilmu atau susuk yang sekiranya dipakai jenazah itu," kata teman dari Sidoarjo.

Karena itu, daun kelor tidak pernah dijadikan sayur di Jawa. Aneh rasanya makan sayur yang dikaitkan dengan kematian. "Saya sih makan aja karena gak punya ilmu hitam," kata Mbah Thelo, almarhum, pelukis senior di Sidoarjo.

Lain padang lain belalang. Di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, kelor justru merupakan sayur yang paling populer. Di mana-mana orang makan nasi atau jagung atau singkong dengan sayur merungge alias kelor itu. Mirip sayur bening.

Orang Flores Timur memang menyebut kelor dengan merungge. Di Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada kata MERUNGGAI yang sinonimnya kelor (Moringa oleifera). Jadi, sangat wajar kalau orang Flores menyebut kelor dengan merungge. Bahasa Lamaholot: MOTONG. Orang-orang kampung biasa bilang MOTONG LOLON. 

Motong: kelor, merunggai. 
Lolon: daun.
Motong lolon: daun merunggai.

Merunggai alias merungge alias kelor ini tanaman yang sangat bandel. Tahan hidup di lahan kering. Saat kemarau panjang pun tetap hidup dari tetesan embun dini hari. Karena itulah, NTT yang kering sangat familiar dengan kelor.

Memasaknya pun sangat cepat. Tidak ruwet. Masukkan daun kelor ke dalam air mendidih. Lalu dicampur sedikit bumbu macam bawang, garam, dan sebagainya. Jangan lama-lama agar tidak hancur di dalam air panas.

Yang menarik, meskipun merungge alias kelor ini dimakan (hampir) setiap hari, tidak ada orang yang menanam sayur ini secara khusus. Beda dengan sawi atau kol, kelor tumbuh liar di mana-mana.

 Ada yang berusia hingga puluhan tahun. Batang dan cabangnya besar. Tapi yang umum sebaiknya kelor jangan dibiarkan terlalu tua. Memetik daunnya yang sulit.

Saya perhatikan 10 atau 15 tahun terakhir kelor mulai lumayan populer di Jawa Timur. Ini setelah muncul buku-buku dan tulisan-tulisan di internet tentang manfaat kelor. 

Ada yang bilang kelor punya 10 manfaat. Artikel lain bilang 15 manfaat. Yang lain lagi 18. Ada lagi yang menulis 25 manfaat kelor. Suka-sukalah orang menulis apa saja. Toh tinggal jiplak alias copy and paste saja.

Yang menarik, para penulis buku atau artikel tentang kelor itu sebetulnya bukan pemakan sayur kelor alias merungge. Tak ada satu pun dari NTT atau Flores.

 Orang Lembata seperti saya malah tidak tahu manfaat kelor. "Manfaat makan sayur merungge supaya tidak lapar," kata Reynold, bocah SD di Lewotolok, Lembata.

Rabu, 23 Oktober 2019

Kabinet tanpa Orang Papua


Tidak mudah bikin kabinet di Indonesia. Terlalu banyak kepentingan dan pertimbangan. Padahal kursi menteri kalau tidak salah cuma 34 biji.

Partai-partai pasti minta jatah. Tim sukses. Representasi Indonesia Barat, Tengah, Timur. Ada juga perwakilan agama. Jangan sampai 100 persen menteri beragama Islam. Jangan sampai yang nonmuslim terlalu banyak.

Yang Islam pun harus dilihat dari ormas Muhammadiyah, NU, dsb. Ormas-ormas Islam sangat banyak dan punya visi misi sendiri.

Bagaimana dengan representasi Tionghoa?

Ini juga sangat perlu. Dan sejak dulu dilakukan Presiden Soekarno. Rezim Orde Baru yang sangat anti-Tionghoa memang tidak kasih tempat untuk menteri yang dari Tionghoa.

Bagi saya, kabinet di Indonesia harus ada menteri asal Bali dan Papua. Wakil Bali juga representasi umat Hindu. Papua wakil kawasan Indonesia Timur. Bisa juga Maluku. Tapi Papua tetap lebih afdal. Jangan lupa, meskipun penduduknya sedikit, wilayah Papua sangat sangat luas.

Makanya, pagi ini saya agak kaget tidak ada orang Papua yang jadi menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada menteri dari kawasan timur macam Johny Plate (NTT) dan Yasin Limpo (Sulsel). Tapi sulit dikatakan kedua menteri ini bisa mewakili orang Papua dan Papua Barat.

Syukurlah, Jokowi masih kasih tempat untuk orang Bali. Ibu Gusti Ayu Bintang jadi menteri PPA. Paling tidak masih ada orang Hindu di kabinet.

Orang Flores Jadi Menteri - Johny Plate


Orang Flores kembali masuk kabinet. Johny Plate dari Manggarai, Flores Barat, NTT, dipercaya Presiden Jokowi jadi salah satu menterinya. Johny politisi kawakan dari Nasdem. Tangan kanan Surya Paloh ini menjabat sekjen Partai Nasdem.

Tentu saja Johny dipilih bukan karena latar belakang daerah Flores atau agama Katolik. Tapi bagaimanapun juga orang Flores atau NTT patut bersyukur. Orang kita setidaknya dianggap layak jadi menteri.

Dulu orang Lembata juga jadi menterinya Presiden Megawati. Dr Sonny Keraf, dosen Unika Atmaja, jadi menteri lingkungan hidup. Orang Rote, NTT, Saleh Husen juga jadi menterinya Presiden SBY.

Orang Flores jadi menteri bukan cerita baru. Meskipun sebagian besar rakyat Flores masih buta huruf pada 1960an dan 1970an, ada orang Flores yang dianggap hebat sehingga pantas jadi menteri pada masa lalu.

Dialah Frans Seda. Tokoh besar dari Maumere, Sikka, ini dipercaya sejak zaman Presiden Soekarno. Di awal Orde Baru, Presiden Soeharto juga mengangkat Frans Seda sebagai salah satu menteri kepercayaannya.

Yang menarik, orang Flores dan Lembata yang jadi menteri biasanya berlatar belakang seminari. Eksem: eks seminari alias protolan seminar. Waktu kecil ingin jadi pastor tapi gagal di tengah jalanan. Bukan panggilan, begitu alasan khas para eksem itu.

Sonny Keraf dulunya sekolah di Seminari Hokeng, dekat Larantuka, Flores Timur. Johny Plate eks Seminari Kisol, Manggarai.

 "Di mana pun kita berada, kita harus melayani negara dan gereja," kata Johny Plate yang dulu aktivis PMKRI saat mahasiswa di Atmajaya Jakarta.

Pro ecclesia et patria!
Untuk gereja dan negara!

Begitulah semboyan orang muda Katolik di Indonesia. Moto ini dilanjutkan dengan "100% Katolik + 100% Indonesia%".

Ada lagi semboyan anak-anak muda gereja:

Ora et Labora.
Mangan Ora Mangan....

Selamat bertugas Bung Johny!
Bae sonde bae
Flobamora lebe bae!

Senin, 21 Oktober 2019

Naik KA Ekonomi Serasa Pesawat

Cukup lama saya tidak naik kereta api. Khususnya kelas ekonomi. Karena itu, saya takjub bukan main dengan perubahan manajemen layanan di perusahaan plat merah itu. Benar-benar revolusioner.

Karcis KA Maharani dari Pasar Turi ke Semarang cuma Rp 49 ribu. Inilah kereta kelas terbawah yang dulu disebut Gaya Baru alias kelas kambing itu. Tapi pelayanannya di tahun 2019 ini boleh dikata gak kalah dengan kelas atas.

Gerbongnya pakai AC. Tidak ada lagi penumpang duduk atau tidur di sela-sela kaki seperti yang sering saya alami dulu. Tidak ada pedagang asongan yang wira-wiri seenaknya di dalam gerbong. Semuanya bersih dan tertata. Ada juga nona-nona manis pramugari resmi yang jualan kopi dan makanan.

Jadwal keberangkatan pun tepat waktu. On time schedule. Tiba di Stasiun Tawang Semarang juga persis jadwal. Bahkan lebih cepat dua menit. Bandingkan dengan pesawat-pesawat terbang yang masih sering delay atau cancel.

Ada lagi yang bikin saya kagum. Tiket KA itu langsung boarding. Beda dengan naik pesawat yang harus check in, antre panjang, untuk mendapatkan nomor tempat duduk.

Di KA Maharani yang kelas super ekonomis ini semuanya serba otomatis. SSW: set wet wet.

Luar biasa perubahan yang dilakukan manajemen PT KAI. Diawali gebrakan Ignasius Jonan saat menjabat dirut PT KAI. Revolusi layanan pelanggan itu dipertahankan sampai sekarang.

Kalau kereta yang 49 ribu saja layanannya sangat modern, bagaimana dengan KA kelas premium yang tiketnya Rp 1,2 juta? Saya belum coba.

Mungkin dua atau tiga kali lebih cepat daripada kelas ekonomi. KA Maharani harus singgah di 8 stasiun kecil, sedang, dan besar. Kereta eksekutif premium bisa jadi cuma singgah di 2 atau 3 stasiun saja.

Selamat untuk PT KAI!

Minggu, 20 Oktober 2019

Perlu Belajar ke Tiongkok


Masih banyak orang Indonesia yang memandang remeh Tiongkok. Itu memang hasil indoktrinasi sejak orde baru akhir 60an. Tiongkok disebut negara tirai bambu, komunis, tertutup, sangat miskin.

"Lihatlah pakaian orang Tiongkok itu. Seragam semua. Ke mana-mana naik sepeda pancal atau jalan kaki. Kurang makan dan kurang gizi," begitu antara lain pelajaran bapak guru di Indonesia tahun 80an.

Indonesia sendiri saat itu juga belum maju. Tapi dianggap sudah jauh lebih maju ketimbang Tiongkok yang komunis itu. Pesan moralnya:

"Kalau mau maju jangan jadi negara komunis. Hancurkan paham komunisme sampai ke akar-akarnya. Ikut santiaji atau penataran P4. Indonesia akan lepas landas, jadi adil dan makmur."

Begitu kira-kira sedikit materi pelajaran PMP, PSPB, dan P4 yang masih saya ingat. Betapa bahayanya Tiongkok itu. Filsafat dan ideologi komunisnya bikin negara mundur.

Tidak sampai tiga dasawarsa Tiongkok bikin kaget dunia. Kemajuannya luar biasa pesat. Dibandingkan dengan suasana di foto hitam putih itu. Negara yang masih komunis, satu partai, tapi kok bisa melesat jauh melebihi Indonesia? Kapan Indonesia adil dan makmur?

Pagi ini saya baca catatan Dahlan Iskan. Mantan menteri BUMN, wartawan senior, yang bolak-balik pigi ke Zhongguo untuk urusan kesehatan, bisnis, rekreasi, studi banding dsb. Dahlan Iskan juga pernah menulis buku Pelajaran dari Tiongkok. Saat itu Mr Yu (sapaan Dahlan Iskan di Tiongkok, Yu Shigan) masih jadi laoban di Grup Jawa Pos.

Pagi ini Mr Yu menulis tentang pentingnya membereskan sistem administrasi kependudukan di Indonesia. Tiongkok yang penduduknya miliaran bisa jadi rujukan. Mengapa Tiongkok bisa, Indonesia tidak (belum) bisa?

Mister Yu menulis:

"Saya tidak kagum pada administrasi kependudukan di Singapura. Negara itu begitu kecil. Pendudukan hanya 3 juta. Pendidikannya tinggi.

Tiongkok-lah yang benar-benar membuat saya kagum: bagaimana bisa mengadministrasikan 1,3 miliar penduduk dengan modern. Yang wilayahnya juga rumit. Yang dulunya juga sangat miskin.

Saya sudah ke desa-desa di pojok tenggara, pojok barat daya, barat lautnya. Administrasi kependudukannya sangat modern."

Hemmm.... Mungkin banyak orang Indonesia yang belum pernah membaca tulisan-tulisan Bos Dahlan tentang Tiongkok. Bisa juga tidak tahu perkembangan ekonomi Tiongkok dalam 10 atau 20 tahun terakhir.

Karena itu, komentar-komentar sebagian besar orang Indonesia di media sosial tentang Tiongkok atau Tionghoa masih melulu soal Aseng, Aseng, dan Aseng. Mereka lupa tanpa mendiang Aseng dunia tinju profesional di Indonesia sedang sekarat.

Aseng Sugiarto yang satu ini promotor tinju Arek Suroboyo. Bukan temannya Mr Li, Mr Deng, atau Mr Xi dari Tiongkok.