Dr Dede Oetomo menulis ucapan Sembahyang Bakcang (η«―εθ) pagi tadi. Dosen senior Universitas Airlangga dan Universitas Katolik Widya Mandala saban hari memuat hari raya, pesta, perayaan apa saja di laman media sosialnya.
Aha, beta jadi ingat itu bacang alias bakcang di Jalan Peneleh 92 Surabaya.
Dulu beta biasa mampir minta informasi tentang jajanan khas Tionghoa untuk hari Pecun. Resepnya, bahan-bahan, cara memasak, isinya dsb.
Apakah dalemannya harus babi? Ini pertanyaan penting di Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab banyak orang Indonesia, apa pun agamanya, ingin mencicipi semua kuliner Tionghoa sejak Gus Dur jadi presiden. Tapi banyak yang ragu-ragu. Khawatir makanan Tionghoa ada unsur babi dan alkohol alias tidak halal.
Oei Kong Giok, sekarang 72 tahun, bilang bacang tidak mesti diisi babi di dalamnya. Bisa juga ayam. Ada pula bacang khusus untuk vegetarian. Karena itu, di pasar dan di rumah Oei selalu ada tulisan dan tanda yang jelas mana bacang yang pakai babi, mana yang ayam, mana yang vegetarian.
Bacang di Peneleh ini sudah termasuk legendaris. Oei Kong Giok mulai merintis tahun 1978. Awalnya coba-coba dagang jajanan untuk membantu suaminya bekerja di selepan padi di Mojokerto. Ketimbang tidak bikin apa-apa di rumah.
Usaha rintisan Tante Oei lama-lama disukai sehingga usaha ini makin besar dan stabil. Di masa Orde Baru pun makanan bacang tetap laris meskipun rezim Soeharto melarang adat istiadat dan budaya Tionghoa. Kuliner Tionghoa rupanya tidak dilarang.
Tante Oei saat muda menjual bacang bikinan sendiri untuk dijual di kawasan Kembang Jepun, Undaan, Tambak Bayan, dan Pasar Atom. Itu kawasan pecinan yang masyarakatnya masih kuat adat Tionghoanya. Kalau mau Pecun bacang-bacang Peneleh laku keras.
Tuhan Allah kasih berkat, kata Tante Oei yang masih tahes di usia senja itu.
Selamat pesta bacang!
Semoga semua orang bahagia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar