Angin sudah bertahun-tahun jadi tukang becak. Mangkal di pojok barat Kembang Jepun. Selain Angin, ada beberapa lagi abang becak yang mangkal di kawasan kota lama Surabaya itu.
Angin tidak peduli angin malam yang dingin dan, kata orang, membawa penyakit. Juga tidak peduli hujan deras, banjir dsb. Apalagi cuma gerimis tipis. Angin tetap bisa tidur pulas di atas becaknya.
"Kalau ngantuk ya tidur. Kadang mimpi," kata Angin yang selalu berbahasa Jawa halus kulonan.
Pernah dapat nomer?
Pernah, katanya. Tapi lebih sering tidak kena. Cuma sekali-sekali saja Angin nombok nomor togel, judi toto gelap kesukaan tukang becak atau wong cilik lainnya. Kalangan kuli tinta biasanya senang tebak skor di situs-situs mancanegara.
Bulan puasa ini Angin juga puasa. Meski tetap harus genjot becaknya dengan kaki. Angin belum pakai mesin motor seperti becak-becak di Surabaya saat ini.
"Alhamdulillah, masih puasa. Kalau ndak kuat ya ndak puasa," katanya.
Tidak takut covid?
"Alhamdulillah, mboten. Kalau waktunya mati ya mati. Ada ndak ada covid ya tetep mati kalau memang wis wayahe," katanya enteng.
Tak jauh dari situ, masih di Kembang Jepun, ada Petir. Tukang pijat rangkap pemulung sampah-sampah plastik. Petir pun sudah belasan tahun meninggalkan rumahnya di Gresik. Ia memilih jadi gelandangan.
Petir tidur di emperan gedung tua peninggalan Belanda yang telantar. Kantor penting tempo doeloe itu selalu tertutup. Tidak jelas siapa pemiliknya sekarang.
Kalau Angin tidur di atas becak, Petir tidur di atas papan. Biasanya kemulan sarung rangkap dua. Kelihatan asyik banget orang ini tidur. Biasanya ngorok agak keras.
"Alhamdulillah, masih dikasih rezeki," katanya setiap kali ditraktir kopi, rokok, atau nasi bungkus.
Pak Petir ini kecanduan berat rokok. Uang hasil pijat dan pulung sampah biasa dipakai beli rokok. Beras atau nasi atau mi nomor sekian. Karena itu, Petir sering kelihatan seperti orang kelaparan dan loyo.
"Mana nasi bungkusnya?" kata Petir setiap bertemu orang yang sudah dikenalnya.
Selama pandemi covid dua tahun ini Angin, Petir, Guntur, Kilat, dan kawan-kawan jarang pakai masker. Tidak paham protokol kesehatan 3M atau 5M meski sering baca surat kabar pemberian wartawan.
Polisi dan satpol PP sering bagi masker gratis di kawasan itu. Cuma dipakai sebentar lalu dicopot. Manusia-manusia bebas, T4, tunawisma, gelandangan macam ini kelihatannya kebal virus corona. Padahal Angin dan kawan-kawan belum divaksinasi.
Terima kasih sudah menulis tentang manusia2 yang sering kita lupakan eksistensinya.
BalasHapusOrang2 kecil yang selalu beredar di antara gedung2 megah dan perusahaan2 besar di kota besar. Mereka sering diobrak, dirazia tapi tidak pernah hilang. Ibarat suket teki.
HapusSampeyan ingat pemulung dan tukang becak di Kembang Jepun, sebaliknya owe selalu teringat kepada dua tokoh orang madura di Kapas Krampung.
BalasHapusSetiap melihat gambar bangkai-bangkai Tank, helikopter, prahoto dan sedan, yang berserakan di tengah jalan Ukraina, owe teringat kepada Haji Shukri dan Haji Kartolo, pedagang besi tua di Kapas Krampung.
Haji Shukri orangnya kurus, susah ditawar barang nya. Haji Kartolo orangnya gemuk, murah senyum, bisa diajak tawar menawar.
Keduanya adalah pengusaha yang kaya raya, hanya saja kalau dilihat dari perhiasan emas yang dipakai istri mereka, rasanya Haji Shukri lebih kaya. Masya Allah kiloan emas yang dipamerkan di badan mereka.
Sangat menarik itu pemulung kelas kakap di Kapas Krampung. Yang paling terkenal dulu Abah Haji Syukri. Lebih kondang ketimbang wali kota.
Hapus