Sabtu, 16 April 2022

Nostalgia Broken English di Bumi Advent Sumberwekas


 Selalu ada nostalgia di  Sumberwekas, Kecamatan Prigen, Pasuruan. Ada gereja tua: Masehi Advent Hari Ketujuh. Gereja di atas bukit ini tercatat sebagai salah satu gereja advent tertua di Jawa dan Indonesia.

Di atasnya lagi ada bumi perkemahan Mahanaim. Luasnya dua hektare lebih. Pernah jadi tempat kampore muda-muda advent se-Asia Pasifik. Pesertanya sekitar 5.000 orang. Ramai sekali.

Saya saat itu ditugaskan untuk meliput perkemahan yang dibuka Menpora RI. Sejak itulah saya mulai kenal agak dalam seluk beluk adventis. Aliran asal Amerika Serikat yang sangat memuliakan hari ketujuh alias Sabat atau Sabtu.

 Tidak ada kebaktian hari Minggu untuk kaum adventis. Kita orang yang pigi misa atawa kebaktian pada hari Minggu dianggap keliru oleh para adventis ini. Sudah sering saya dengar khotbah soal ini dari pendeta-pendeta GMAHK. Saya juga dikasih buku-buku khas Advent untuk dibaca. Isinya ya kurang lebih seperti itu.

Saat meliput kampore itu (Advent tidak pakai istilah jambore), saya sadar betapa lemahnya english speaking saya. Apalagi menghadapi orang India, Korea, Vietnam, Thailand, Singapura, dsb. Logat bahasa Inggris mereka sangat berbeda satu dengan lainnya. 

Kita orang jadi bingung sendiri karena tidak paham. Itulah kali pertama saya terpaksa (dipaksa keadaan) untuk mewawancarai orang pakai bahasa Inggris. Berat nian. Lidah serasa kelu di depan tuan besar kompeni.

Bahasa Inggrisnya pendeta-pendeta asal USA yang memberikan ceramah saat kebaktian dan seminar malah lebih jelas dan mudah dimengerti. Tokoh-tokoh Advent Indonesia macam Pendeta Andreas Suranto dari Surabaya sangat fasih cas-cis-cus berbahasa Inggris. 

Karena itu, Pak Suranto jadi salah satu penerjemah di konferensi internasional itu. Beliau juga saya mintai tolong untuk jadi penerjemah atau interpreter saat wawancara dengan beberapa narasumber bule. Saya kemudian sering nyambangi beliau di pusat Gereja Advent, Jalan Tanjung Anom, Surabaya.

Gereja Advent Hari Ketujuh, mulai hadir di Sumberwekas, Prigen, Jawa Timur, sekitar tahun 1912. Bangunan gerejanya sendiri yang permanen mulai 1926 - kalau tidak salah ingat.

Sayang, pada 1980-an bangunan gereja itu keropos. Tidak bisa digunakan lagi. Karena itu, bangunan lama peninggalan zaman Belanda itu dibongkar. Dibangun gedung baru tahun 1985. Itulah yang terlihat di pinggir jalan raya Sumberwekas ke arah Trawas.

Saya sempat cari informasi lain seputar Gereja Advent Sumberwekas di internet. Mbah Google mengantar ke sebuah laman yang ada foto bagus Gereja Advent di Sumberwekas. Cukup menarik.

Eh, setelah saya baca dua alinea kok mirip banget naskah yang sangat saya kenal. Tulisan saya sendiri di blog lama yang almarhum. Cuma ditambah informasi baru di dua alinea terakhir. Kredit untuk sumber kutipan tidak ditulis.

Yah, membaca tulisan sendiri belasan tahun lalu seperti nostalgia. Membayangkan keramaian di bumi perkemahan Mahanaim itu. Membayangkan wawancara dengan anak-anak muda dari berbagai negara dalam bahasa Inggris yang berantakan, broken English.

9 komentar:

  1. Saya punya eks kolega di perusahaan Amerika di Jakarta. Dia lulusan ITB, krn tadinya dia dan pacarnya merupakan lulusan top dr SMA Katolik terkenal di Malang. Seangkatan dgn wartawan senior top yg dulu rajin tulis blog dan kini menjadi penggiat HAM.

    Eks kolegaku ini seorang Advent. Krn peristiwa 1998, sbg seorang perempuan keturunan Tionghoa dia merasa tidak aman dan berimigrasi ke Canada. Sesampainya di Canada ia sulit mendapatkan pekerjaan yg sesuai dgn pengalaman internasionalnya, walaupun di perusahaan Amerika dulu itu ia sempat menjadi manajer yg level tinggi. Akhirnya dia memilih menjadi tukang pos. Walaupun derajat sosialnya turun, ketika berbincang bincang lewat WA voice, ia terdengar puas dan bahagia.

    BalasHapus
  2. Orang Advent sejati biasanya menjalani gaya hidup sederhana. Vegetarian, bersahabat dengan alam, tidak ambisius, tidak neko-neko. Juga sepertinya menjauhi urusan politik. Makanya tidak stres meskipun status sosialnya jadi turun.

    Terima kasih sudah diingatkan mas wartawan senior yang kritis banget soal HAM itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sy tahu krn melihat mereka nyanyi2 bersama ketika si wartawan senior yang suka gunakan topi Panama itu berkunjung ke Toronto, dan saya lihat dia di feed Facebook eks kolega saya tsb. Ttp sejak 4 thn lalu sy sudah muak dgn, dan off dari Facebook.

      Hapus
    2. Beliau dulu sangat idealis. Jadi mentor untuk para reporter di Indonesia. Khususnya jurnalisme sastra. Rujukan utama New Yorker. Kalimat pendek2. Macam ini.

      Sebagai penggiat hak asasi manusia, saya tidak ikuti kiprahnya.

      Hapus
    3. Mengapa juga diterjemahkan jurnalisme sastra. Padahal, aslinya ialah narrative journalism. Jurnalisme bercerita. Sy dulu langganan The New Yorker. Tulisannya panjang2. Krn setiap topik, ada background setiap karakternya. Ada character developmentnya. Spt cerita novel. Suwe2 kesel awak2. Majalah menumpuk gak terbaca. Pdhal saya suka cerpen2nya apalagi kalau terjemahan yg jarang kita lihat spt Mo Yan atau Murakami.

      Akhirnya saya setop. Ganti langganan the Atlantic, yg artikelnya lebih pendek2. To the point.

      Sambil tetap membaca blog Hurek, wkwkwkwk. Yg terakhir ini dari dulu gratisan.

      Hapus
  3. Di kawasan Prigen ini ada dua Gereja Advent. Mungkin karena hawanya yang sejuk sehingga disukai para meneer en mevrouw tempo doeloe.

    BalasHapus
  4. Beliau hobi banget baca New Yorker. Liputan panjang yang dikemas dalam gaya prosa seperti cerpen. Lalu bikin pelatihan2 dan terbitkan majalah untuk memuat liputan2 panjang itu. Tapi majalah itu lekas mati karena tidak laku.

    Di Kembang Jepun sebetulnya sudah ada Mr Yu yang lebih dulu pakai gaya sastra itu. Sampai sekarang.

    Di Surabaya pembeli2 koran harian malah tidak suka berita yang panjang2. Mereka mau stright news maling motor dihajar massa di kampung apa gang piro. Macam itu lah. Tulisan panjaaang ala New Yorker bikin bingung katanya. Maklum orang2 kampung tidak bisa pigi amrik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan DI masih jauh kalah panjang kalau dibandingkan artikel2 The New Yorker yg makan 20-30 halaman kertas A4, ukuran font 8. Ttp memang lebih seperti orang bercerita. Kelemahan DI ialah suka mengangkat topik yg dia sendiri tidak terlalu menguasai. Shg selalu ada kesalahan data atau interpretasi. Terutama di blog DIsway, yg krn kejar tayang tidak melalui proses fact check atau redaktur tata bahasa dan ejaan. Tapi blog gratisan, ya maklum saja.

      Hapus
    2. Iya. Kalah jauhlah soal panjang naskah NY dengan catatan Disway. NW itu sudah seperti buku tebal. Disway cuma 500 sampai 700 kata saja. Sekali² bisa sampai 1000 kata. Gaya NY yang diadopsi kawan kita dari Dempo itu. Bikin majalah sejenis NW. Sayang, mati muda.

      Hapus