Minggu, 10 April 2022

Gadis Peru menikmati asmara lampu ublik

Semalam Kevin tiba-tiba muncul di warung dekat pohon beringin berselimut kain. Di kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk. Tumben, Kevin bawa cewek cakep sekali. Rupanya baba Tionghoa dari Surabaya ini sudah dapat pacar.

'Anaknya gak iso bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Jawa,' kata Kevin kepada Mbok Nur yang punya warung. 

Ibu gemuk ini penghayat kejawen yang pinter ritual. Kevin pun biasa ritual bakar hio atau dupa di tempat petilasan yang dikeramatkan itu. Mbok Nur bingung karena gadis langsing itu sama sekali tidak bereaksi ketika ditanya dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

'Dia asli dari Peru. Bisanya cuma bahasa Spanyol dan bahasa Inggris,' kata Kevin kepada saya.

Ketemu di mana kok dapat gadis Peru? Di media sosial, jawab Kevin sambil tersenyum bahagia. Khas orang yang lagi mabuk asmara.

Baba ini sudah berusaha cari gadis lokal. Sesama wong tenglang. Tapi sulit. Yang bukan tenglang juga angel atawa sulit. Karena itu, ia minta bantuan media sosial plus sembahyang bakar dupa dsb. 

Rupanya media sosial sangat efektif di era globalisasi. Jarak jauh di Amerika Latin, beda negara, lain bangsa.. bukan lagi penghalang. Gadis Latin nan jelita itu pun terbang ke Surabaya. Nekat demi kekasihnya meski pandemi corona belum usai.

Sudah pernah dengar Indonesia sebelum ketemu pacarmu?

'Tidak pernah. Tahunya dari dia aja,' katanya.

Gak kesulitan dengan masakan Indonesia?

'Gak masalah. Enak kok,' katanya dalam bahasa Inggris khas non native speaker.

Malam itu listrik di warung Mbok Nur padam. Ada masalah dengan makelar listri di desa rupanya. Sehingga jaringannya diputus. Apa boleh buat, mbok pakai pelita atawa lampu minyak tanah. Ublik kata orang Jawa.

Cahaya pelita remang-remang kekuningan. Persis suasana di pelosok Lomblen NTT saat aku kecil dulu. Waduh, tamu jauh dari Peru kok disambut cahaya lampu ublik!

Maaf, ada masalah dengan jaringan listrik. Terpaksa pakai lampu minyak yang sangat sederhana.

'Oh, gak masalah. Aku suka kok suasana seperti ini,' kata si Nona Latin.

Mbok Nur lalu mengajak si Nona dan Kevin ke dalam. Makan-makan atawa dengar wejangan spiritual. Nona Latin terlihat senang meski berada di kampung yang listriknya mati.

Apa yang disampaikan kepada sejoli itu?

'Kalau memang sudah garis jodohnya ya dinikahi aja. Kita doakan yang terbaik,' kata Mbok Nur menjawab pertanyaan saya.

Malam kian larut. Mata kian berat meski sudah melahap kopi hitam dua gelas. Saya pamit pulang. Kevin dan Nona Latin pun rupanya kembali ke Surabaya.

Kalau cinta sudah melekat, lampu ublik di gubuk pun serasa di hotel berbintang.

1 komentar:

  1. tahun 1955 sampai 1958, selama 3 tahun saya hidup tanpa listrik di desa Kebaman. Setiap sore orang2 desa selalu menservis lampu templek atau oplik mereka. Tabung minyaknya ditambah minyak tanah, ujung sumbunya dibersihkan dari teer gosong dan bagian dalam semprongnya dipesut, karena sering hitam kena asap.
    Kasihan teman2 saya harus ngengkol sepeda jualan minyak tanah asongan sampai ke dusun2 dan pelosok2 pinggir hutan. Pagi hari ngider lengo, sore hari baru pulang rumah. Seminggu 7 hari, setahun 365 dino, hanya Idul Fitri dan Idul Adha, mereka libur. Kadang gembreng minyaknya bocor, rugi total lah nasibnya.
    Ibu rumah tangga di dusun daya belinya juga terbatas, pakai botol bir atau botol kecap, sebotol minyak gas untuk jatah 2 hari.
    Berapa sih untung-nya pengasong yang maximal mampu membawa 60 liter minyak.
    Botol bir atau kecap biasanya berwarna coklat atau hijau, sehingga pembeli tidak bisa melihat, kadang kala warna minyak tanahnya berwarna kebiruan, karena dicampur atau dioplos dengan minyak solar. Minyak solar (diesel) harganya lebih murah daripada minyak tanah.
    Ada juga pelanggan membeli pakai botol bekas sirup yang tak berwarna, kaca tembus. Lalu bertanya heran: Mas lengone kok warnane biru ?
    Iyo mbak, iki lengo model baru, lengo Ganefo, lebih awet daripada yang putih !. Wong ndeso memang lugu, wis dikotoki tambah berterima kasih.
    Besok harinya justru minta lengo ganefo, sebab memang lebih irit, karena sumbu lampunya ngintip teer, lalu cahayanya kian redup dan lampunya mati, jadi minyaknya irit.
    Tahun 1965-1966 rakyat kecil macam merekalah yang dibantai, hanya karena pemuda2 pengasong minyak tanah itu, menghilangkan penat mereka dengan gandhrungan dan genjer-genjeran, melipur lara.
    Piye le, isik penakan jamanku tho ? Asu !

    BalasHapus