Sabtu, 09 April 2022

Pater Wayan Eka Suyasa SVD Nostalgia Lembata dan Lomblen

Selepas menikmati nasi krawu, teh panas, dan kacang kapri cap Hosana, meluncurlah saya ke Gereja Katolik Gresik. Ingin katemu Pater Wayan Eka Suyasa SVD. Pater asal Bali ini ternyata sudah lama bertugas di Gresik. Sebelum pandemi corona.

Dulu saya biasa ngobrol dengan Pater Wayan di Paroki Yohanes Pemandi, Wonokromo, Surabaya. Cerita-cerita nostalgia tentang Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pulau Flores, NTT. Pakai bahasa Indonesia campur Lamaholot, bahasa daerah di Adonara dan Lembata sana.

Meski berasal dari Bali, Pater Wayan cukup lancar bahasa Lamaholot versi Adonara Timur. Ia memang pernah bertugas di Adonara di awal jadi imam kongregasi SVD. Bahasa Lamaholotnya tidak hilang di Surabaya karena pastor paroki di Wonokromo asli dari Adonara: Pater Kris Kia Anen SVD. 

Sekarang Pater Kris pindah ke Sumatera Utara. Pater Wayan geser ke Gresik. Ini bersejarah karena sejak zaman Belanda belum pernah ada rama-rama SVD yang tugas di Gresik. Dari dulu imam kongregasi misi atawa CM. Dari dulu Paroki Santa Perawan Maria, Gresik, identik dengan Rama Suwadji CM.

Apa kabar Rama Suwadji? Beliau ternyata masih melayani domba-domba di Gresik. Namun, karena sudah terlalu tua, Rama Wadji ditemani Rama Wayan Eka SVD dan rama rekan. Sebab jemaat di Gresik tergolong banyak dan wilayahnya sangat luas.

Rupanya Pater Wayan Eka baru selesai memimpin jalan salib bersama ibu-ibu Legio Mariae. Maka saya temui dengan prokes khas pandemi covid. Pakai masker dsb. 'Saya sudah booster. Pater sudah booster juga?' kata saya membuka percakapan.

'Sudah lah. Lansia dapat prioritas,' jawab pater yang ramah ini.

Lalu mulai nostalgia pakai bahasa campuran Indonesia dan Lamaholot. Cerita tentang kebiasaan minum tuak di kampung. Ada tuak dari siwalan, kelapa, enau. 'Orang Adonara paling suka yang dari kelapa,' katanya.

'Orang Lembata suka tuak koli (siwalan). Sebab tidak ada yang dari kelapa.'

'Ama dari Lembata atau Lomblen?' (Ama itu sapaan untuk laki-laki di bumi Lamaholot. Ina untuk perempuan.)

Lembata dan Lomblen itu sama saja. Dulu disebut Pulau Lomblen. Sekarang Pulau Lembata. Bahkan sekarang jadi Kabupaten Lembata. Tidak lagi ikut Kabupaten Flores Timur.

Pater Wayan tentu sangat paham. Rupanya di kalangan pater-pater SVD ada perbedaan Lembata dan Lomblen. Lembata, menurut versi Pater Wayan, adalah kawasan yang bisa dijangkau dengan sepeda motor atau mobil. 

'Kalau motor dan mobil tidak bisa masuk namanya Lembata,' kata pastor lulusan seminari tinggi di Ledalero, Flores, itu.

Hehehe.. Saya baru dengar ada guyonan soal ini. 'Saya dari Lembata, bukan Lomblen. Memang dari kampung tapi tidak jauh dari Lewoleba, ibu kota kabupaten.'

'Pater parokinya dulu siapa?'

'Asli Belanda. Pater Petrus M. Geurtz SVD.'

'Oh ya.. Pater Geurtz. Saya ingat dulu kami pernah main bola voli di sana. Habis olahraga bukannya dikasih minum air putih tapi tuak,' cerita Pater Wayan bikin aku ketawa.

Rombongan Pater Wayan kemudian disuguhi makan enak khas orang kampung di Lomblen alias Lembata. Ikan laut segar, kerang, sayur kelor, dsb. Tentu saja wata kenaen alias jagung titi tidak ketinggalan.

Gak nyangka Pater Wayan Eka ternyata pernah blusukan hingga ke pelosok Lembata. Bahkan ke Lomblen yang belum punya infrastruktur jalan raya untuk motor dan mobil. Terpaksa naik kuda atau jalan kaki.

'Kudanya pater-pater di Lembata dulu biasanya jalan sendiri bawa barang dan berhenti di depan pastoran,' kata saya.

'Betul. Itu juga yang saya alami saat tugas di pelosok Kabupaten Ende. Kuda yang bawa barang saat kita tourne,' ujar sang pater.

Itu semua tinggal kenangan masa lalu. Pater Wayan sudah lama bertugas di paroki-paroki di Jawa yang fasilitasnya modern dan terjamin. Gereja bagus, pastoran bagus, makanan bergizi, apa saja ada. Umatnya juga makmur dan berpendidikan tinggi.

Kelihatannya lebih enak tugas di Gresik dan Surabaya ketimbang di Flores atau Adonara atau Lomblen?

'Tugas di mana pun sama saja. Sebagai imam, saya harus melayani umat Allah di mana pun saya ditempatkan,' ucap Pater Wayan.

Kelihatannya makin banyak umat Katolik yang datang meski bukan hari Minggu. Semangat menggereja orang Katolik di Gresik memang luar biasa. Mereka ingin bertemu Pater Wayan.

Maka, saya pun minta diri.
Terima kasih, Ama Tuan!
Terima kasih, Pater Wayan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar