Sabtu, 23 April 2022

Mahasiswa kedokteran harus baca ribuan buku tebal


Kalau mau jadi dokter harus kuat baca buku. Tebal-tebal semua. Lebih banyak yang berbahasa Inggris.

Mahasiswa-mahasiswa fakultas lain juga perlu banyak baca buku. Tapi tidak sebanyak kedokteran. Tak sampai 30 persen.

Karena itu, arek FK harus cerdas betul. Harus fokus betul. Tidak boleh piknik atau ikut ormas, unjuk rasa, paduan suara dsb. Bisa-bisa kuliah tidak selesai. Jadi mahasiswa abadi.

Itu saya simpulkan setelah menata buku-buku almarhum Prof Dr dr Trijono, SpR di kawasan Rungkut, Surabaya. Beliau guru besar Fakultas Kedokteraan Universitas Airlangga. Meninggal dunia gara-gara covid pada 18 Agustus 2021 lalu.

Beliau saya anggap orang tua sendiri. Lama banget saya tinggal di rumah Prof Tri. Tidak banyak bicara, banyak baca, sesekali menyanyi dan main musik.

Buku-buku peninggalan almarhum banyak sekali. Terlalu banyaaak. Tapi berat-berat semua. Saya coba membaca sejenak tapi tidak nyambung. Ilmu kedokteran dan kesehatan terlalu berat untuk kita orang. Mumet.

12 komentar:

  1. Istriku lulusan FK Universitas Pojokan Kedung Sroko. Waktu kuliah masih sempat ikut paduan suara lho. Sebenarnya IQ saya tidak kalah.

    Tapi dia jauh lebih rajin puol. Lebih pandai mengatur waktu. Waktu ikut saya ambil S2 di sini, dia belajar ujian persamaan Amerika, dan lulus dgn nilai bagus. Padahal orang Amerika sekolah kedokteran harus bayar $200,000 selama empat tahun, belum lagi S1 yg $100 ribu-200 ribu. Memang staminanya lebih kuat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lulusan Kedungsroko jelas pinter banget dan super ulet. Buku² ajarnya aja seperti itu. Belum praktikum dsb. Kalau masih sempat ikut paduan suara, pencinta alam dsb berarti hebat banget manajemen waktunya. Apalagi masih bisa umbah² sendiri.

      Stamina harus kuat betul itu. Compassion juga kuat betul karena tiap hari mereka bakal hadapi orang sakit parah dan hampir mati. Hormat untuk para dokter dan calon dokter.

      Hapus
    2. Pasien2 di Indonesia lebih seru, Lambertus. Belum lulus FK pun, istriku sudah menyelamatkan jiwa orang yang hampir mati. Pd waktu hampir menikah (dia belum lulus, sedang menunggu ijazah dan wisuda), saya dan dia mengurus surat pengatar ke rumah ketua kring kami di paroki Kristus Raja. Sampai di sana, diberitahu istrinya, oh, Oom ... baru jatuh dari atap, sekarang sedang ke sinshe (ahli pijat). Tak lama kemudian ketua kring datang. Lho, ini mukanya kok pucat sekali ... oleh istri saya langsung diberitahu, ini sepertinya ada pendarahan dalam, harus cepat dibawa ke rumah sakit. Alih2 ngurus surat pengantar, malah kami mengantarkan orang ke RKZ. Ternyata betul ada pendarahan dalam di bagian ginjalnya. OMG. Langsung dioperasi, besoknya waras. Seandainya saya dan istri tidak datang mengurus surat pengantar, oom ketua kring sudah lewat dah malam itu. Mana anak2nya masih kecil.

      Pernah saya nge-date pas dia sudah dokter muda. Pas di jalan (kebetulan tidak jauh dari RSUD), kami menyaksikan ada pengendara sepeda motor tabrakan dan sang penumpang di goncengan terlempar dari kendaraan. Kepala penumpangnya menghantam aspal. Untung pakai helm. Kami terpaksa berhenti karena pas di belakang mereka. Pacar saya memeriksa, orangnya gegar otak. Akhirnya kami putuskan utk bawa ke RSUD, dan kebetulan yang jaga teman2nya dan suster2 yang dia kenal.

      Pernah juga di Nganjuk pas dia tugas (bukan KKN) di pelosok. Ada anak kecil yang usia 10 tahun, tetapi rupanya seperti 5 tahun karena kekurangan nutrisi. Banyak sekali komplikasinya. Oleh dia diantar naik mobil ke RS rujukan di Kediri sampai pulih.

      Saya juga pernah menemani misi kedokteran yang dia ikuti dgn dokter2 Amerika di Siem Reap, Kamboja. Sebenarnya saya sangat skeptis. Mana bisa, di klinik darurat, hanya 5 hari, bisa membuat impact yang langgeng. Ternyata pas dia di sana ada anak bayi yang kondisinya kritis. Saya lupa diagnosisnya apa. Maklum saya bukan orang medis. Pokoknya perlu dibawa ke kota dari pedesaan yang di tengah danau Ton Le Sap. Bayi itu kami bawa dengan rombongan kami naik boat, lalu diantarkan pemandu kami ke RS rujukan di Siem Reap, hingga terselamatkan jiwanya.

      Sedangkan di Ameria, dia praktek di masyarakat yang makmur. Di pusat teknologi dunia. Ga ada kasus2 aneh bin ajaib yang seperti saya ceritakan di atas. Yang paling banyak sekarang ini ialah kasus remaja yang stres, karena tekanan dari sekolah untuk mendapat nilai bagus dan masuk universitas ternama. Tekanan dari orangtua. Tekanan dari mereka sendiri. Kurangnya sosialisasi di masa pandemi yang tak kunjung berakhir.

      Hapus
  2. Wow.. sangat menarik sekali itu ibu dokter yang berhasil tolong orang sekarat jadi hidup lagi. Ilmu² dan hasil praktikum mereka selama di FK sudah lebih dari cukup. Memori kepala mereka sudah penuh dengan informasi di buku² tebal itu. Memori otot juga sudah berfungsi untuk tangani pasien².

    Itu di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Kalau di NTT, Papua, Maluku lebih banyak lagi kasus aneh bin ajaib. Apalagi satu kabupaten dokternya tidak sampai 5 orang. Itu pun biasanya kurang kerasan di "tempat pembuangan Babylon".

    BalasHapus
  3. Ya pasti. Kalau di pulau2 luar Jawa, terutama di Indonesia Tenggara, so pasti banyak kasus aneh bin ajaib. Teman sekelas istri saya di FK ada yang setengah Jawa, dr papa orang Papua. Setelah lulus, dokter cewe ini pulang bertugas ke Raja Ampat. Saya sering lihat postingan2 Facebook dokter Papua (pas masih aktif hingga 3-4 tahun lalu). Bagaimana dia harus menerabas hutan, naik perahu bermotor ke pelosok2. Kadang naik pesawat kecil. Bonusnya, semuanya indah. Makanan lautnya luar biasa. Hanya nyamuknya gede2.

    Saya sekarang sudah 20 tahun lebih di Silicon Valley, bekerja di pusat teknologi dunia. Seakan berada di Florence abad ke-15 pd waktu renaissance sedang berjalan. Pdhal asal saya dari kampung muslim dekat Kalimas di Surabaya. Saya terheran-heran sendiri, nasib apa yang membawa saya ke sini. Akhirnya saya menyimpulkan setiap orang punya garis jalan sendiri, entah percaya Tuhan atau tidak. Seperti kata Ahmad Albar, menuturkan kembali kalimat Shakespeare. All the world's a stage. Setiap orang punya peran yang harus dimainkan. Tugas kita ialah memainkan peran tsb dengan sebaik2nya.

    BalasHapus
  4. Kamsia banget, Cak Amrik, atas komentar bermutu. Indonesia Tenggara istilah sangat bagus yang tidak pernah dipakai di sini. Ke depan akan saya pakai terus.

    Selama ini kita pakai Indonesia Timur untuk menyebut NTT, Maluku, Papua dsb. Padahal lebih tepat memang Indonesia Tenggara. Kayak Asia Tenggara untuk South East Asia.

    Begitulah.. dunia ini panggung sandiwara! Lagu Duo Kribo, vokalis Achmad Albar dan Ucok Aka Harahap, yang enak dan terkenal.

    Arek Kalimas Gipo memang hebat. Jadi pelakon di panggung sandiwara USA.

    Putin dan Trump juga lagi memainkan rolnya di panggung sandiwara dunia. Kita orang nonton sambil marah, maki2, kadang tertawa sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trump sementara ini jeda. Peran Presiden Kerajaan Roma Barat sedang dimainkan Biden. Sedang Putin sedang mainkan peran Kaisar seumur hidup kerajaan Roma Timur.

      Hapus
  5. Masih soal istilah Indonesia Tenggara yang unik itu. Indonesia Utara dan Indonesia Selatan pun belum pernah saya dengar. Padahal ada garis khatulistiwa yang jelas membagi lintang utara dan lintang selatan.

    BalasHapus
  6. Lambertus yg budiman, menarik pertanyaanmu ini. Coba kota analisa mengapa sebutan Indonesia Utara atau Indonesia Selatan itu tidak kena. Sebutan geografis harus ada “pelekat”nya, baik budaya, politik, atau ekonomi. India Utara dan India Selatan, misalnya. India Utara berbahasa Hindi, pernah dikuasai muslim Mughal, dan kuat secara politik. India Selatan berbahasa macam2, lebih relijius Hindu, dan makanannya lebih vegetarian.

    Cina Utara berbahasa Mandarin. Makannya roti dan mi dan masakannya lebih banyak daging2an. Pusat politik. Cina Selatan berbahasa macam2, dari Kanton sampai Hokkian sampai Sichuan sampai Shanghai. Pusat ekonomi. Makanan aslinya nasi dan masakannya banyak seafood.

    Italia Utara pusat industri dan ekonomi. Bahasanya standar Itali. Orangnya putih2 dan tinggi2. Italia Selatan lebih miskin. Ada pulau2 seperti Sicilia dll yg masih terpengaruh budaya Yunani. Bahasanya rada lain dialeknya. Pusatnya Mafia2 ya di selatan. Orang2nya lebih relijius scr ritual.

    Indonesia Utara tidak ada persamaan spt itu mas. Indonesia Selatan juga.

    Kalau Indonesia Barat, ya. Sumatera-Jawa-Bali ialah pusat kerajaan2 kuna yg powerful. Sriwijaya, Singasari/Majapahit/Mataram dan Hindia Belanda. Bahkan Kalimantan pun masih terhubung lewat kerajaan2 Melayu yg turunan dari Melaka yg didirikan Parameswara. Ekonominya powerful. Pusat perputaran uang. Sodara2 mama dr Pulau Sumbawa kalau kulakan ya selalu ke Surabaya toh, tidak mungkin ke mana lagi.

    Indonesia Timur dibikin utk mengkontraskan dengan Sumatera / Jawa / Bali. Pdhal tidak tepat. Karena Sulawesi itu lain banget dengan Nusatenggara, Papua, yg orangnya dari stok Melanesia, berbahasa macam2 yg bukan bahasa Austronesia (kecuali Melayu Larantuka yg merupakan bahasa serapan).

    Secara ekonomi, Sulawesi yg subur dengan kota2 besar seperti Makassar dan Manado, jauh lebih kuat. Kepulauan Maluku seakan menjadi daerah transisi karena penduduk mereka merupakan percampuran antara Austronesia dan Melanesia.

    Krn itu saya bikin istilah Indonesia Tenggara untuk menyebut Papua dan Nusatenggara. Tetapi entah tepat atau tidak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang betul Siansen punya analisis. Indonesia Barat pun beda2 adat budaya dan karakter. Jawa dengan Sumatera berbeda meski sama2 di kawasan barat. Bahkan Jawa dan Sunda ada nuansa perbedaan juga.

      Yang menarik, Surabaya dari dulu selalu dianggap sebagai Indonesia Timur meski di WIB.

      Kompetisi sepak bola pun sejak dulu Surabaya ikut wilayah timur bersama Papua, Makassar dsb.

      Papua NTT Maluku ada kesamaan fisik, budaya, hingga lingua franca Melayu Pasar mirip Melayu Tionghoa.

      Hapus
    2. Lambertus yang budiman, menurutmu, mengapakah Melayu Pasar ada kemiripan dengan Melayu Tionghoa? Ada kemiripan di tata bahasanya yang nyleneh dibandingkan bahasa Indonesia baku. Sodara2 mama dr NTB menggunakan “kita orang” untuk menyebut “kami”, yang di Ambon bahkan disingkat menjadi torang. “Kamu orang” untuk menyebut “kalian”. Dalam bahasa Tionghoa memang strukturnya spt itu: “wo men”, “ni men”.

      Lalu untuk kata kepunyaaan. “Selera pria” menjadi “pria punya selera”. “Mama kami” menjadi “Kita orang punya mama”. Bgt pula dalam bhs Tionghoa, struktur posesif memang spt itu: “nan ren de yuwang”, “wo men de mama”.

      Apakah krn pedagang2 Tionghoa yg berkelana di jaman Hindia Belanda dulu, menyebarkan bahasa Melayu hingga ke Indonesia Timur/Tenggara?

      Hapus
  7. Cak Amrik, kebetulan saya agak aktif baca Alkitab bahasa Melajoe tempo doeloe, baca koran2 sebelum kemerdekaan, koran Melajoe Tionghoa matjam Sin Tit Po, Pewarta Soerabaia, Swara Publiek dsb. Asyik sekali gaya bahasa melayu pasaran atawa (dulu belum pakai atau) melayu rendah mereka.

    Tulisan2 atawa reportase koran2 sebelum 1950 itu lancar mengalir macam orang ngobrol di pasar atawa warkop. Bahasa Melayu Pasar yang dipakai di koran2 Tionghoa atau Belanda sebetulnya sangat mirip. Hanya saja Melayu Tionghoa ada sejumlah istilah Hokkian yang lazim saat itu.

    Bahasa pasaran atau cakapan, old spoken language, ini mirip sekali dengan bahasa Melayu pasar yang dipakai di kawasan tenggara dan timur.

    Melayu Larantuka: Engko so pigi misa ka belum?

    Bahasa Indonesia: Anda sudah pergi ke gereja untuk misa atau belum?

    Melayu Kupang: Beta sonde pigi misa.. beta pu badan sonde enak. (Saya tidak misa. Badan saya sakit).

    Bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah ini banyak sekali ragamnya di berbagai daerah. Tapi pola dan kata-katanya ada kemiripan.

    Bahasa Melayu yang dipakai di Malaysia justru lebih dekat dengan Melayu Pasar tempo doeloe ketimbang Bahasa Indonesia standar akademis hari ini.

    BalasHapus