Dulu televisi barang langka. Tak ada televisi di kampung. Jumlah televisi di Pulau Lembata, NTT, pun mungkin tak sampai 5 biji. Punya baba-baba Tionghoa di Lewoleba.
Itu pun harus pakai parabola. Sebab pemancar atawa BTS di Kabupaten Flores Timur dulu hanya satu biji. Di Botung, bukit di ujung Adonara Barat. Persis di depan Larantuka, ibu kota kabupaten. Karena itu, siaran televisi yang hanya satu kanal, TVRI, hanya bisa ditangkap di Larantuka dan sekitarnya, Adonara Barat, dan sedikit di Pulau Solor.
Pulau Lembata yang ikut Kabupaten Flores Timur terlalu jauh dari BTS di Botung. Karena itu, biarpun orang kampung bisa urunan beli televisi ya percuma saja. Tak akan ada gambar.
Itulah sebabnya, Piala Dunia 1986 dulu hanya bisa dinikmati di radio. Siaran pandangan mata RRI saat itu memang luar biasa. Sangat hidup. Pendengar radio bisa membayangkan kehebatan Maradona, Valdano, Rummenige, dan bintang-bintang bola masa lalu.
Setelah hijrah ke kota pun aku lihat televisi masih sedikit. Masih langka. Tak banyak rumah yang ada televisinya. Termasuk di Malang, kota yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Karena itu, nonton bareng Safari, Selecta Pop, hingga sepak bola ke rumah tetangga yang punya televisi jadi kebiasaan.
Aku masih ingat pertama kali nonton Piala Eropa ya di kawasan Klojen, Malang. Nonton bareng televisi di rumah Hadi, kawan yang sekolah di SMAN 3. Ramai sekali. Saat itu Belanda juara dengan bintang Gullit, Van Basten, Rijkaard.
Waktu kuliah pun televisi masih langka. Kos-kosan yang punya 15 kamar hanya ada satu televisi. Maka nonton bareng jadi kebutuhan.
Lama-lama televisi jadi banyaaaak. Setiap rumah (di Jawa) punya televisi. Acara nobar ke tetangga tak ada lagi. Bahkan tiap kamar punya televisi. Lama-lama orang bosan dengan TV karena tak ada lagi acara yang menarik. Kecuali siaran langsung sepak bola EPL, La Liga, Euro, Piala Dunia. Timnas Indonesia juga aku suka.
Lama-lama aku tidak lagi nonton televisi. Setelah ada YouTube yang punya jutaan pilihan konten. Mungkin sudah 6 tahun aku tidak nonton televisi analog yang teresterial. Cuma tengok rekaman wawancara atau liputan di YouTube.
Aku baru nonton televisi lagi saat Piala Dunia 2022 di Qatar. Hingga final yang epik Argentina vs Prancis. Messi dkk juara. Inilah partai final paling mendebarkan hingga menit terakhir. Disusul adu penalti.
Sehari setelah final Piala Dunia, pemerintah resmi mematikan siaran televisi analog. Tamat sudah era televisi analog yang dimulai di Indonesia sejak 1962 (kalau tak salah ingat) hingga 2022. Selama 60 tahun televisi analog jadi bagian hidup kita sebelum datangnya era digital, media sosial, YouTube, dsb.
Apakah aku harus membeli televisi digital? Atau cukup beli kotak digital alias STB untuk dicolok di televisi analog lama itu?
Aku masih ragu. Kurang antusias dengan televisi digital. Sebab tak ada lagi acara menarik di televisi nasional. Kecuali siaran langsung sepak bola Liga Inggris dan Liga Spanyol. Kalau cuma sepak bola kita bisa beli paket Vidio untuk nonton di laptop atau ponsel.
Buat apa punya televisi digital kalau tidak pernah dipirsa? Buat apa punya televisi kalau acaranya cuma gosip artis Nikita Mirzani, Dewi Perssik, dan sejenisnya?
Apalagi 90 persen musik di televisi Indonesia adalah dangdut & koplo. Tak akan ada jazz, rock progresif, pop fussion ala Krakatau zaman dulu, apalagi musik klasik. Belum lagi para presenter TV yang hobi menyela dan memotong omongan narasumber. Pertanyaan baru dijawab satu kalimat pendek, eh.. langsung dicecar pertanyaan baru.