Sudah lama banget saya tidak menikmati paduan suara. Khususnya saat pandemi corona selama 3 tahun. Liturgi disederhanakan. Lagu-lagu dikurangi. Bahkan dihilangkan.
Saya jadi terbiasa ikut misa online versi USA. Sangat pendek. Paling lama 25 menit. Hemat data. Beda dengan misa daring versi kita di Indonesia yang masih panjang meski lagu-lagu sudah dikurangi.
Lagu pembukaan dan penutup yang selalu ada dalam misa bersama Father Jack Sheaffer dari West Springfield, USA, yang sering saya ikuti, adalah Come, Thou Almighty King. Khas himne gereja biasa. Tapi tidak pernah saya dengar di Gereja Katolik di Indonesia.
Romo Jack ini imam yang merangkap jadi lektor, misdinar, dsb. Bacaan pertama, bacaan kedua, bacaan Injil, homili, doa umat... semua diborong pastor ini. Maka tidak heran misa jadi sangat padat dan singkat. Romo Jack pun tidak pernah nyanyi sama sekali.
Sejumlah buku nyanyian Katolik saya periksa. Madah Bakti jelas tidak ada. Puji Syukur tidak. Jubilate lama tak ada. Yubilate (versi baru Yubilate) terbitan Ende Flores tidak ada. Syukur Kepada Bapa terbitan Flores juga tidak ada. Kidung Adi terbitan PML Jogja yang berbahasa Jawa sudah pasti tidak ada.
"Aneh, lagu liturgi yang sangat populer di kalangan Katolik Amerika Serikat kok tidak ada di Indonesia?" pikir saya.
Sekian lama kemudian saya buka Kidung Jemaat. Buku nyanyian Kristen Protestan terbitan Yamuger. Saya perhatikan notasi lagu-lagu kebaktian Protestan secara sambil lalu.
Eureka, ketemu notasi yang sama dengan lagu misa di Amerika itu. Judul di Kidung Jemaat Nomor 16: Ya, Khalik Semesta. Ada keterangan di bawah partitur empat suara itu. Lagu ciptaan Felice de Giardini 1769. Syair: Charles Wesley 1757. Yayasan Musik Gereja (Yamuger) menerjemahkan menjadi Ya, Khalik Semesta.
Lega rasanya. Rasa penasaranku akhirnya terjawab. Lagu ini sederhana tapi cukup megah khas himne-himne gereja tempo doeloe.
Ya, Khalik Semesta, umat-Mu tolonglah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar