Kamis, 31 Desember 2020

Malam Natal bersama Uskup Malang




Natal 2020 ini sedikit lebih baik ketimbang pekan suci Paskah lalu. Paling tidak masih ada segelintir umat yang diperbolehkan hadir dalam misa kudus secara langsung di dalam gereja. Sekitar 20 persen dari kapasitas gereja.

Beda dengan pekan suci yang benar-benar 100% ekaristi live streaming. Namun, pandemi korona yang sudah berlangsung selama sembilan bulan membuat kita makin terbiasa dengan streaming, online, daring, virtual, work from home (WFH), dsb.

Malam Natal kemarin saya berada di Malang. Kota yang tak asing bagi saya. Ikut misa atau ekaristi live streaming dari Gereja Katedral, Jalan Ijen, yang lumayan terkenal itu. Uskup Malang Mgr Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm yang pimpin misa didampingi dua reverendus dominus (RD) alias rama diosesan.

Bapa Uskup Pidyarto ini juga tak asing lagi. Dulu para mahasiswa dan umat Katolik di Jember sangat sering mengundang Rama Pidyarto sebagai pembicara seminar. Beliau pakar kitab suci yang sangat produktif menulis buku.

 Mulai buku-buku teks yang berat untuk para seminaris dan pastor hingga buku-buku populer yang mirip katekismus. Buku Mempertanggungjawabkan Iman Katolik karya Rama Pydiarto (sekarang Monsinyur Pydiarto) sangat sangat populer. Khususnya yang sampulnya merah.

Ketika sudah jadi bapa uskup pun gaya Monsinyur Pidyarto tidak banyak berubah. Homilinya seperti saat Misa Malam Natal kemarin seperti pengajaran seorang guru besar di kampus. Monsinyur ini memang menyandang gelar profesor jauh sebelum ditahbiskan sebagai Uskup Malang di Stadion Gajayana.

Sudah sangat lama saya tidak pernah dengar khotbah atau ceramah Rama/Monsinyur Pydiarto. Mungkin sekitar 20 tahun. Karena itu, saya langsung terkenang masa lalu ketika sering mengikuti seminar atau pendalaman iman bersama Rama Pydiarto. 

Saat khotbah di Katedral Malang pun beliau mengutip kata-kata asli Alkitab kemudian menjelaskannya secara padat dan sederhana. Kemampuan seperti itu yang membuat beliau sering diundang ke mana-mana.

Meskipun suasana pandemi, misa malam Natal di Malang berlangsung relatif normal. Sekitar 1 jam 40 menit. Kita tidak kehilangan nuansa malam kudus meskipun tidak bisa lagi ke gereja sejak akhir Maret 2020 lalu.

Semoga pandemi Covid-19 bisa diatasi tahun 2021. Sudah terlalu lama kita menderita.

Jumat, 25 Desember 2020

Muhammad Hasan Hurek kepala desa saat krisis

Muhammad Hasan Hurek belum lama terpilih menjadi Kepala Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT. Sempat ada pesta rakyat layaknya syukuran kepala desa baru. 

Tapi kegembiraan tak berlangsung lama. Beberapa pekan kemudian puluhan rumah adat milik masyarakat Desa Mawa dan Bungamuda ludes terbakar. Tak jelas asal usul si jago merah.

Dibantu Pemkab Lembata, warga gotong royong untuk membangun kembali rumah-rumah adat khas nenek moyang itu. Semacam pondok sederhana beratap alang-alang, daun kelapa, atau daun siwalan.

Ritual adat Lamaholot pun sudah disiapkan untuk rekonsiliasi. Berdamai dengan tanah ekan atau alam sekitar. Sebab, bagi sebagian besar orang di kampung, kebakaran puluhan rumah adat itu bukan kebakaran biasa. Ada sesuatu dengan leluhur.

Eh, tiba-tiba Ile Ape atau Gunung Lewotolok meletus. Mengeluarkan semburan hingga 5.000 meter. Hujan abu dan material vulkanik pun menyebar ke 26 desa di sekeliling Gunung Lewotolok. Sebagian besar bangunan rusak.

Ribuan warga terpaksa diungsikan ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Erupsi besar memang tidak ada lagi. Namun semburan kecil hingga 800 meter masih terjadi. Gempa bumi vulkanik pun terjadi setiap hari.

Masis Hurek, sapaan akrab Kepala Desa Muhammad Hasan Hurek, pun harus kerja keras mengurus rakyatnya yang mengungsi. Khususnya mengatur logistik, konsumsi, agar ribuan warga tidak kelaparan.

Masis Hurek ini beragama Islam. Ayahnya Bapa Hasan Hada Hurek (alm), nakhoda dan pelaut ulung asli Mawa Napasabok. Ibunya Mama Sawia (alm) asal Bonerate, Sulawesi. Keluarga muslim yang taat di kampung yang 95 persen beragama Katolik.

Orang-orang kampung di daerah asalku di Pulau Lembata memang sejak dulu tidak pernah membeda-bedakan agama. Kiwanan Watanen hama hena. Artinya, Katolik atau Islam saja saja. Hama-hama laran tang tai teti kowa lolon: Sama-sama jalan menuju ke atas awan (nirwana).

Karena itu, saudara sepupuku Masis Hurek ini dipercaya jadi kepala desa. Dulu juga pernah ada kades beragama Islam. Ama Hasan Kotak Wahon. Yang menarik, saat dipimpin kades muslim inilah berdiri SD Katolik Yonas di Desa Mawa Napasabok.

Kamis 24 Desember 2020, Kades Masis Hurek mengirim ucapan selamat Natal kepada keluarga besar warga desanya. Baik yang ada di lewotanah (kampung halaman) hingga rantau yang jauh di Malaysia, Batam, atau Jawa.

Tanah tahun ini benar-benar berbeda bagi orang Ile Ape. Bukan saja karena pandemi korona, tapi erupsi gunung api yang tak kunjung berakhir. Warga masih berada di pengungsian. Tak punya apa-apa. Makan minum menunggu bantuan pemerintah, gereja, dermawan, relawan dsb.

Acara gerian witi wawe (sembelih babi dan kambing) untuk perayaan Natal di desa sudah pasti tidak ada. Acara soka seleng atau dolo-dolo atau tarian rakyat tak ada lagi.

Semoga penderitaan bertubi-tubi ini segera berakhir. Dan semoga Pak Kades Masis diberi kekuatan oleh Tuhan agar mampu memimpin rakyatnya melewati krisis ini. Amin!

Kamis, 24 Desember 2020

Damai Natal di tengah pandemi

Kamis pagi, 24 Desember 2020.

Suasana di halaman Gereja Santa Teresa, Pandaan, tampak lengang. Tak terasa ada kemeriahan jelang Misa Malam Natal seperti tahun-tahun sebelumnya.

Hanya ada beberapa orang yang duduk santai di dekat pos satpam. Suasana pandemi membuat pertemuan jemaat sangat dibatasi. Ekaristi Natal yang biasanya sangat meriah pun harus mengalah. Demi mematuhi aturan pemerintah tentang protokol kesehatan, 3M, dan sebagainya.

"Kuota umat sudah habis. Misa Malam Natal sangat dibatasi. Tidak menerima umat dari luar," kata petugas keamanan dengan ramah.

Oh, rupanya ada Pater Stanislaus Beda CM duduk-duduk dekat pohon natal depan gereja. Ada dua anak muda yang menemani. Penampilan pastor asal Pulau Lembata, NTT, itu sangat kasual. Pakai celana pendek, kaos oblong, seperti baru selesai olahraga ringan.

Apa kabar, Pater? 

"Baik-baik saja," kata Pater Stanis seraya tersenyum.

Pria yang sudah 33 tahun jadi imam itu pun mengakui bahwa perayaan Natal tahun ini harus mengikuti prosedur kesehatan yang ketat. Satu bangku hanya diisi dua orang. Padahal biasanya sampai 10 orang atau lebih.

Toh, umat Katolik di Paroki Pandaan bisa ikut misa Malam Natal dari rumah lewat live streaming. Komsos paroki yang menyediakan layanan online mass. Komsos Keuskupan Malang juga menyediakan channel misa Malam Natal untuk umat di Keuskupan Malang. Paroki Pandaan memang masuk Keuskupan Malang.

"Kita harus hati-hati dengan pandemi ini. Khususnya dengan warga dari kawasan zona merah seperti Sidoarjo," kata Pater Stanis.

Tapi, setiap malam Natal malaikat bilang ke gembala-gembala, "Jangan takut!"

"Tapi saya kan manusia (bukan malaikat)," kata Pater Stanis yang terkenal dengan joke-jole segar saat berkhotbah itu.

Salam damai Natal untuk semua!
Damai di bumi, damai di surga!

Minggu, 20 Desember 2020

Anakku nomer loro wetenge loro

 Bahasa lisan dan bahasa tulisan sering berbeda. Spoken language dan written language tidak selalu sama. Apalagi bahasa tertulis yang baku. Khususnya bahasa-bahasa daerah yang punya aksara sendiri seperti bahasa Jawa.

Karena itu, orang Jawa sendiri pun sering tidak sadar bahwa sunarto harus ditulis sunarta, susilo susila, romo rama, projo praja, jenggolo jenggala, mojopahit majapahit....

Minggu pagi ini, 20 Desember 2020, saya ngobrol dengan Widodo Basuki, redaktur senior majalah Jaya Baya (bukan Joyo Boyo), sekaligus sastrawan Jawa yang sangat produktif.

Saya: Selamat pagi, Mas Widodo! Saya mau tanya mana ejaan standar bahasa Jawa? Tata krama atau toto kromo? Rama praja atau romo projo? Jenggala atau Jenggolo? Majapahit atau Mojopahit?

Widodo Basuki: Kalau ejaan dalam bahasa Jawa baku, yang benar: tata krama, rama, praja, jenggala, majapahit.

Saya: Berarti nama orang Jawa mestinya ditulis Mulyana, Suharta, Utama, Widada, Sulaksana, Hadimulyana...?

Widodo Basuki: Jika berhadapan dengan bahasa Indonesia seharusnya tetap ditulis "tata krama, praja" tapi dicetak miring. Bukan toto kromo, projo.

Harian Kompas penulisannya pakai kaidah seperti itu. Dan paling benar menurut saya.

Mengapa terjadi kesalahkaprahan di masyarakat?

Widodo Basuki: Memang kebanyakan kesalahan penulisan bahasa Jawa, kecenderungan menulis berdasarkan "bahasa lisan" bukan "bahasa tulis", seperti teks-teks pada lagu video campursari. Sehingga  dalam menulis "loro" (dua) disamakan dengan "loro" yang maknanya sakit. Padahal sakit seharusnya "lara". Coba bayangkan jika menulis "Anakku nomer loro wetenge loro".

Oh, kelihatannya ada masalah transliterasi dari aksara hanacaraka ke Latin.

 Widodo Basuki: Bisa jadi begitu, atau karena pengaruh bahasa subdialek yang banyak mengabaikan bahasa tulis? Entahlah. Tapi memang menjadi kasus umum untuk generasi milenial sekarang di semua wilayah.

 Pas saya juri lomba puisi Jawa (geguritan) di Universitas   Negeri Semarang tahun lalu, rata-rata peserta (Jatim, Jateng, DIY) lidahnya tidak bisa membedakan pengucapan  "wedhi" (pasir) dengan "wedi" ( takut).

Kalau artikel-artikel di majalah Jaya Baya dibaca ala bahasa Indonesia maka bahasa Jawanya jadi ragam Banyumasan atau ngapak?

Widodo Basuki: Bisa seperti itu, sesuai sub dialek/dialek masing daerah yang banyak ragamnya. Tetapi sebenarnya, patokan bakunya tetap pada penulisan bahasa Jawa standar, ya minimal seperti yang dipakai Jaya Baya dan PS. Soal nanti diucapkan oleh orang ngapak banyumasan, dan lain-lain,  tidak masalah.

Matur nuwun, Mas Widodo, eh, Mas Widada!

Jumat, 18 Desember 2020

Koran Tempo Tidak Dicetak Lagi

Sambil menunggu tambal ban, saya mampir ke warkop dekat Pasar Pahing, Rungkut, Surabaya. Nyeruput kopi setengah pahit sambil baca-baca informasi di ponsel. Soal covid, paslon MA-Mudjiaman yang gugat hasil Pilkada Surabaya ke Mahkamah Konstitusi, jalan-jalan rusak di Sidoarjo, dsb.

Tiba-tiba muncul informasi dari Tempo Media di beranda. Begini bunyinya:

"Koran Tempo akan sepenuhnya bertransformasi ke digital mulai Januari 2021. Dapatkan penawaran khusus dari Kami untuk Anda, yaitu berlangganan Koran Tempo digital hanya Rp 399.000 untuk 24 bulan."

Lagi-lagi kabar buruk untuk industri media cetak. Satu lagi surat kabar penting di Indonesia tidak dicetak lagi. Tidak akan ada lagi di kios-kios atau lapak koran di terminal, stasiun kereta api, pinggir jalan, dsb.

Masih lumayan Koran Tempo tidak mati total. Masih terbit tapi hanya versi digital alias e-paper. Justru bisa diakses dengan mudah di ponsel. Tidak perlu menunggu kiriman loper yang sering terlambat itu.

Selama pandemi Covid-19 berbagai macam bisnis memang jadi lesu darah. Omzet turun drastis. Kecuali bisnis seluler, data internet, media sosial, dan segala macam bisnis yang berbau online.

Tak terkecuali industri media massa konvensional. Media sosial makin merajalela. Siapa saja bisa bikin channel televisi sendiri. Tidak perlu menunggu diundang ke stasiun televisi resmi.

Digitalisasi Koran Tempo sejatinya bukan hal baru. Di Eropa dan Amerika media-media konvensional berusia ratusan tahun sudah lama migrasi ke digital. Ada yang sukses, lebih banyak yang tertatih-tatih.

 Di Indonesia pun sama. Sudah banyak media offline yang dulu jaya luar biasa malah hancur di online karena macam-macam sebab. Mudah-mudahan Koran Tempo mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru di jagat media massa Nusantara.

Beberapa komentar warganet:

Agus Rudianto: 
"Saya mah akan lihat dulu, apakah masih profesional atau sarat kepentingan."

Lazuardhi Abdul Hayy Dwipa:
"Kasian para penjaja koran dan majalah..😭😭😭...saya kenal baik dengan orang orang ini..banyaknya sudah sepuh. Mereka mengeluh pendapatan mereka sangat jauh menurun dll. Apalagi kalau mau menjual majalah harus beli dulu tidak bisa bayar belakangan. Kasian...mereka orang orang lemah yang tergerus roda zaman."

Nuralim Karsono:
"Saya yakin klo TEMPO kembali ke jatidirinya spti zaman orde baru sbg penyampai amanat hati nurani rakyat akan sukses bertransformasi."

Syamsu Salewangang:
"Bila Tempo ttp professional maka pembaca akan ikut kemanapun Tempo berkiprah."

Kamis, 17 Desember 2020

Rama Praja atau Romo Projo?

(Foto: RD Laurens Yatim Muda menyalurkan bantuan kepada pengungsi letusan Gunung Lewotolok di Pulau Lembata, NTT. Beliau rama praja Keuskupan Larantuka.)



Mana yang baku menurut bahasa Indonesia?

rama atau romo? 
rama praja atau romo projo?
tata krama atau toto kromo?
Surabaya atau Suroboyo?
Majapahit atau Mojopahit?
Jenggala atau Jenggolo?

Di Sidoarjo ada Lapangan Jenggala di Kecamatan Gedangan dan Lapangan Jenggolo di Kecamatan Kota.

Di Sidoarjo ada Jalan Mojopahit di kawasan RSUD, sementara di Jalan Majapahit di Surabaya terletak di belakang Pastoran HKY Katedral, dekat kampus Unika Widya Mandala, Jalan Dinoyo. Sama-sama nama jalan yang mengacu pada kerajaan lama dengan Raja Hayam Wuruk itu.

Kata ROMO/RAMA yang artinya ayah atau bapak atau bapa sangat populer di kalangan masyarakat Katolik di Indonesia. Sebab, imam atau pastornya selalu disapa romo/rama.

 Ada juga sapaan pater untuk pastor-pastor yang punya ordo atau kongregasi seperti SVD, SJ, Karmelit, dsb. Romo atau pater artinya sama: bapak. Father bahasa Inggrisnya.

 Berbeda dengan di NTT yang membedakan romo (praja/projo) dengan pater (ordo), di Jawa semua pastor sama-sama dipanggil romo. Sangat jarang ada umat Katolik di Jawa yang menyapa pastornya dengan pater, kecuali di paroki-paroki yang digembalakan imam-imam SVD.

Berdasar pedoman transliterasi bahasa Jawa, kata romo harus ditulis rama. Dan harus dibaca romo, bukan rama ala bahasa Indonesia. Karena itu, baik ditulis rama atau romo, ucapannya sama: romo.

Bagaimana dengan bahasa Indonesia? 

Saya sering iseng menulis komentar di grup-grup Katolik di Jawa dengan kata rama. Pagi ini, misalnya, diskusi tentang oknum-oknum pastor yang kurang ramah. Selalu tidak punya waktu bila hendak ditemui umat. Ada pastor yang lebih suka orang kaya ketimbang orang miskin. Singkatnya, perilaku yang tidak sesuai dengan kaul imamatnya.

Nah, rupanya ada orang yang mengoreksi ejaan saya. "Yang benar romo, bukan rama," kata aktivis gereja dari Jakarta kalau tidak salah.

Maka, saya kutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hasilnya ini:

-------------
bentuk tidak baku: romo

n ayah
n Kat padri; pastor
n Kat panggilan untuk pastor
-----------

Menurut KBBI, kamus paling resmi terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 40-an tahun lalu, kata 'romo' itu tidak baku. Yang baku adalah 'rama'.

Apakah tim penyusun KBBI itu keliru mengingat mayoritas beragama Islam? Tidak juga. Jangan salah! Penyelia utama KBBI itu mendiang Prof Dr Anton M. Moeliono yang beragama Katolik.

Bukan sekadar Katolik, Prof Anton punya latar belakang pendidikan dan keluarga yang sangat kental dengan kekatolikan. Ada juga Prof Harimurti Kridalaksana dari UI yang juga berlatar belakang Katolik yang kuat.

 Karena itu, kata-kata yang bernuansa Katolik sudah pasti telah dikaji secara mendalam. Pasti ada argumentasi akademis mengapa kata baku yang dipakai rama, bukan romo. Dan itu ada kaitan dengan pedoman transliterasi bahasa Jawa hanacaraka ke alfabet Latin itu.

Nah, daripada pusing berdebat soal rama vs romo, RP Hidin Situmorang, O.Carm. yang asli Batak pernah bilang, "Jangan panggil saya Romo Hidin! Sebaiknya panggil saya Pastor Hidin!"

Hehehe.....

Rabu, 16 Desember 2020

Sulitnya menemui pastor di gereja


Menjelang Natal 2020 ini saya mampir ke gereja. Ingin cari informasi tentang persiapan liturgi Natal hingga renungan. Kalau ada renungan rama yang saya anggap menarik, dan universal, biasanya saya minta untuk dimuat di surat kabar.

Sebetulnya renungan atau refleksi rama-rama atau pendeta di Jawa cukup bagus. Tapi banyak yang penuh dengan kutipan ayat suci. Mirip pelajaran eksegese atau pendalaman Alkitab. Karena itu, tidak cocok dimuat di koran atau majalah yang pembacanya 95 persen beragama Islam.

Sebaliknya ada rama atau pater yang renungannya sangat bagus untuk media massa umum. Contohnya renungan-renungan RD Antonius Benny Susetyo. Ini karena sejak ditahbiskan pada 1996 lalu Rama Benny senang menulis artikel untuk media umum hampir tiap hari. Karena itu, renungan-renungan Rama Benny sangat khas artikel opini di koran-koran.
Saking universalnya, pastor asal Malang itu sering lupa mengutip ayat-ayat Alkitab. Terlalu banyak ayat suci juga tidak menarik. "Yang penting itu pesannya sampai," katanya.

Nah, Rabu pagi ini, saya mampir ke Gereja Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Paroki di dekat perbatasan Surabaya-Sidoarjo yang tiga pastornya berasal dari Flores. Semuanya SVD. Siapa tahu Pater Frans, Pater Gabriel, atau Pater Yosef punya renungan jelang Natal.

Eh, saya lupa sekarang masih pandemi Covid-19. Protokol kesehatan di lingkungan gereja ternyata sangat ketat. Jauh lebih ketat ketimbang di bandara, hotel, pusat belanja, atau kantor-kantor di Surabaya.

Pagar gereja di Wisma Tropodo itu ditutup rapat. Satpam sudah siap menembak tubuh kita dengan senjata khusus pengukur suhu tubuh. Ia juga terkesan mencurigai siapa saja yang hendak masuk ke halaman gereja.

"Apa keperluan Anda datang ke sini?" tanya satpam berbadan gemuk.

Waduh... mau jawab apa? Saya tidak punya keperluan penting sebetulnya. Cuma lihat pengumuman jadwal misa Natal dan sebagainya.

"Lihat pengumuman misa aja," kata saya sambil tersenyum kecut di balik masker.

"Sekarang tidak ada misa!" katanya agak keras kayak tentara.

"Saya tahu tidak ada misa sekarang. Mau lihat pengumuman di sebelah itu."

Kelihatannya satpam itu berusaha menolak saya masuk ke halaman Gereja Salib Suci. Tapi akhirnya membiarkan saya masuk sejenak untuk melihat papan pengumuman di dekat pos pengamanan.

Ternyata belum ada wara-wara seputar liturgi Natal. Cuma ada pengumuman loker-loker yang sudah kedaluwarsa. Rupanya sejak MDR, misa dari rumah, Maret 2020 tidak ada update pengumuman di gereja. Cuma pengumuman singkat via daring.

Bagaimana kalau saya ketemu salah satu pater? pikir saya. Sekalian wawancara tentang Natal untuk dijadikan renungan. Jadi, pater tidak perlu capek-capek menulis artikel sendiri.

"Mas, apakah saya bisa bertemu Pater Yosef," tanya saya kepada satpam.

"Apa sampean sudah janjian?"

"Belum."

"Harus janjian dulu karena rama sangat sibuk. Banyak umat lain yang juga ingin ketemu!"

"Oh... gitu ya! Harus janjian dulu!"

"Nanti kalau sudah janjian akan disampaikan ke sekretariat untuk dijadwalkan kapan bisanya. Bisa minggu depan atau kapan waktunya," ujar satpam gereja yang saya lupa namanya.

Wow... ternyata tidak mudah bertemu pastor di era pandemi ini. Bahkan sebelum pandemi pun kelihatannya satpam-satpam gereja sudah punya prosedur macam ini.

Saya pun langsung pulang dengan wajah lesu. Gak nyangka ternyata birokrasi di paroki lebih rumit ketimbang di pemerintahan. Lebih mudah menemui Bupati Sidoarjo atau Wali Kota Surabaya ketimbang rama-rama di gereja.

Maka, saya pun kehilangan selera untuk meminta renungan Natal dari pastor lain. Cukup nelepon atau pesan pendek ke RD Benny Susetyo. Dijamin langsung dikasih refleksi Natal yang panjang (1000 kata), sedang (600 kata), atau pendek (300 kata) sesuai pesanan. Tanpa dijejali banyak kutipan ayat-ayat Alkitab di tubuh artikel.

Minggu, 13 Desember 2020

Cristina Duque, Seniman Ekuador Cinta Budaya Nusantara

Cukup banyak seniman asing yang jatuh cinta pada seni budaya Nusantara. Salah satunya Cristina Duque. Perempuan asal Ekuador itu belum lama ini tampil dalam Festival Panji Nusantara 2020 di Malang. Cristina berkolaborasi dengan  Sri Mulyani, koreografer dan penari senior asal Surabaya, serta para seniman yang tergabung dalam Pusat Olah Seni Budaya Mulyo Joyo, menampilkan karya berjudul Alap-Alap Anggraeni.

Sri Mulyani mengaku terkesan dengan ketekunan Cristina Duque mempelajari seni tari khas Jawa. Juga tembang-tembang tradisional Jawa yang mirip mantra itu. "Cristina mampu menyerap dan menguasai secara cepat," kata Sri Mulyani kepada saya di kawasan Rungkut Surabaya.

Sayang, saya tak sempat menemui Cristina karena sudah keburu pulang ke Jogjakarta. Dia memang tengah menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI). Namun, Cristina yang sudah bisa berbahasa Indonesia dan Jawa itu mau diwawancarai secara tertulis.

Pertanyaan berbahasa Indonesia dijawab dalam bahasa Inggris oleh seniman asal Kota Quito yang sehari-hari berbahasa Spanyol itu.

Sudah berapa lama belajar di Indonesia? Sudah tampil berapa kali di festival kesenian?

"Since a year ago, I already have 17 performances in many places in Indonesia including festivals, exhibitions and video shootings."

Bagaimana ceritanya Anda mengenal Sri Mulyani dari Surabaya kemudian berkolaborasi di Festival Panji Nusantara?

"Mbak Sri and I, we met at the Bedog 2019 Yogyakarta Art Festival, so last year in December I was in Surabaya and I started collaborating with her and we talked about the history of Panji. We had rehearsals, but then we couldn't continue our process, because of covid, so this November 2020 mba Sri invited me to do our collaboration since he had this invitation to participate in the Panji festival, and finally we are doing it in Malang."

Bagaimana pendapat Anda tentang seni budaya Indonesia?

"Well, for me, Indonesia is incredible because its culture, it is a very rich country, and I am here to dance and perform and also play my Buddha. But the main thing is that I am here to study traditional Indonesian dances.

I really love this culture even sometimes it is very difficult for me to learn these traditional dances, and budaya, because I am from the other side of the world, but these difficulties make me find new semangat every time, I love your country, I love your budaya."

Bagaimana kesan Anda tampil di Festival Panji Nusantara di Malang?

"For me, it is really memorable to do this collaboration because we are working with a dalam that makes this mixture of the traditional with the contemporary, magical.

On the other hand we talk about Panji but it is very interesting for me to see these traditional stories, until now they exist, that is, their topics in depth, they are alive.

We worked a week full time, we had a rehearsal, then because of the crown we have to follow protocol and take care of our lives, but I think we have to start living together in this condition.

Humans have a really easy way of adapting our lives to conditions."

Terima kasih, Cristina! 

Gracias!

Senin, 07 Desember 2020

Majalah Jaya Baya genap 75 tahun

Majalah Jaya Baya baru merayakan AMBALWARSA ke-75, Sabtu 5 Desember 2020. Usia yang terbilang panjang untuk ukuran media cetak di Indonesia.

Begitu banyak majalah dan koran yang terbit sejak era kemerdekaan, 1945, sampai era reformasi. Tapi tidak banyak yang bertahan. Bukan karena dibredel pemerintah seperti saat orde baru, tapi dibredel pasar. Media-media konvensional kehilangan banyak pembaca sehingga terpaksa tutup.

Era digiral yang menghadirkan media sosial dan online semakin membuat media cetak goyang. Informasi kini bisa diperoleh dengan mudah kapan saja. Tidak perlu menunggu besok atau minggu depan.

Karena itu, saya mengucapkan selamat hari jadi kepada Jaya Baya. Majalah berbahasa Jawa yang masih bertahan di era milenial. Selain Jaya Baya, di Surabaya ada satu lagi majalah bahasa Jawa, yakni Panjebar Semangat. Usianya lebih tua ketimbang Jaya Baya.

"Kami bisa bertahan karena didukung pembaca setia yang sepuh-sepuh," kata Widodo Basuki, redaktur senior yang mengelola Jaya Baya.

Di masa jayanya, menurut Widodo, oplah Jaya Baya pernah mencapai 95 ribu eksemplar. Luar biasa untuk majalah yang sangat segmented Jawa. Oplah setinggi itu boleh dikata mustahil terulang di era internet. Jangankan media berbahasa Jawa, majalah atau koran berbahasa Indonesia pun sangat sulit.

Karena itu, banyak budayawan, seniman, pengamat, berbagai komunitas ramai-ramai mangayubagya. Ikut berbahagia dan senang. Majalah berbahasa Jawa ternyata masih bisa eksis di tanah air.

Widodo Basuki.:
"Matur nuwun untuk semua sahabat, sesepuh pinisepuh yang telah memberi dukungan penuh doa pada ulang tahun Majalah Jaya Baya. Semoga ini menjadi berkah kekuatan untuk nguri - uri budaya melalui bahasa Jawa. Rahayu rahayu untuk kita semua. Jaya jaya wijayanti nir ing sambekala."

Minggu, 06 Desember 2020

Erupsi Berlanjut, Romo Ajak Pulang

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata sudah berlangsung selama tujuh hari. Puncak erupsi sepertinya sudah terjadi pekan lalu. Saat itu semburan material vulkanik menjulang hingga 5.000-an meter.

Saya pantau terus kondisi Ile Ape. Maklum, kampung halaman tempat saya dilahirkan. Ribuan warga dari 26 desa juga masih berada di tenda-tenda pengungsian.

Minggu pagi ini, 6 Desember 2020, pukul 07:36 Wita dilaporkan erupsi masih terjadi di Gunung Lewotolok. Tinggi kolom abu teramati ± 900 m di atas puncak (± 2323 meter di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna putih hingga kelabu dengan intensitas tebal ke arah timur.

Bagaimana dengan kondisi pengungsi? Media-media online tidak lagi melaporkannya. Mungkin dianggap sudah aman. Tidak segawat pekan lalu yang benar-benar mengerikan.

Tapi rupanya ada masalah dalam tanggap darurat. Pemkab Lembata sepertinya kewalahan menangani pengungsi dari dua kecamatan itu: Ile Ape dan Ile Ape Timur. Bisa dimaklumi karena pemkab tidak punya pengalaman menangani ribuan pengungsi.

Kelihatannya Romo Laurensius Yatim Muda berang. Melihat penanganan para pengungsi yang tak lain umat parokinya sengsara di lokasi pengungsian.

Romo Laurens Yatim Muda menulis:

"SAYA... RM LORENS YATIM MUDA PR. PASTOR PAROKI TOKOJAENG MEMINTA UMAT SEPAROKI TOKOJAENG UNTUK KEMBALI KE TEMPAT ASAL KITA MASING2. BIAR KITA MATI TERTIMPA GUNUNG DALAM WAKTU SEKEJAP DARI PADA KITA HARUS MATI PERLAHAN-LAHAN ATAS CARA SEPERTI INI."

Kaget juga membaca kata-kata yang sangat keras ini. Kelihatannya Romo Laurens memandam amarah selama sepekan ini. "Semoga ada solusi yang baik," kata saya menanggapi pernyataan Romo Laurens.

Tidak hanya di Lembata. Di mana-mana selalu begitu. Pemerintah pasti kewalahan menyediakan dapur umum, makanan minuman, dan sebagainya. Di lokasi bencana alam di Jawa pun sama saja.

Dulu pengungsi semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo juga unjuk rasa hampir tiap hari. Ada saja keluhannya. Karena itu, semua pihak perlu membantu Pemkab Lembata dan instansi terkait.

Mengecam keras pemerintah yang dinilai tidak becus menangani ribuan pengungsi tak akan menyelesaikan masalah. Apalagi nekat pulang kampung di saat erupsi masih terjadi.

Sabar... sabar... sabar... dan tunggulah petunjuk pihak vulkanologi kapan waktu yang tepat. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Salus populi suprema lex!

Sabtu, 05 Desember 2020

Bapa Niko, Maradona, Radio Conion

Seandainya masih hidup, hari ini ayahku genap berusia 80 tahun. Bapa Niko lahir di Desa Bungamuda, salah satu kampung yang sekarang terdampak erupsi Gunung Lewotolok, Pulau Lembata, 6 Desember 1940.

Tanggal dan bulan lahirnya sebetulnya tidak akurat. Seorang pater asal Belanda yang memilihkan tanggal 6 Desember. Pesta nama Santo Nikolaus atau Nikolas. Orang-orang kampung di Lembata saat itu buta huruf sehingga tidak punya catatan tanggal lahir yang akurat.

Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia tahun lalu di Lewoleba. Tepatnya 22 Juli 2019.

Meskipun sudah 1,5 tahun berpulang, saya masih merasa seakan-akan beliau masih ada. Beberapa kali Bapa Niko datang dalam mimpi dengan wajah yang selalu tersenyum. Wajah saat masih muda dan kuat. Bukan Bapa Niko yang lansia dan rapuh.

Ada kenangan tak terlupakan di kampung Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, saat aku masih kecil. Ada kaitan dengan Diego Maradona, megabintang asal Argentina yang baru saja meninggal dunia. Yakni partai final Piala Dunia 1986 di Meksiko.

Argentina yang dikapteni Maradona melawan Jerman Barat yang diperkuat pemain-pemain top seperti Matthaeus, Rummenigge, Voeller. Inilah partai final paling berkesan dalam hidup saya meskipun saya tidak melihat dengan mata, tapi telinga.

Saat itu Pulau Lembata belum ada listrik. Lewoleba sebagai ibu kota (calon) kabupaten saja belum ada jaringan PLN. Apalagi desa-desa pelosok seperti di Ile Ape. Bahkan, Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur pun listrik PLN hanya tiga jam. Pukul 18.00 sampai 21.00.

Karena itu, Bapa Niko dan beberapa orang kampung sangat doyan mendengarkan siaran pandangan mata lewat RRI Kupang dan RRI Ujungpandang. Kualitas suara RRI Ujungpandang di gelombang pendek (SW) sangat bagus.

RRI Kupang hanya bagus pada malam hari. RRI Stasiun Nasional Jakarta selalu kemeresek suaranya. Biasanya pertandingan-pertandingan yang bagus seperti tim nasional direlai oleh RRI stasiun regional di seluruh Indonesia.

Nah, Bapa Niko Hurek punya radio kecil merek Conion khusus gelombang pendek SW1 dan SW2. Aslinya pakai dua baterai, tapi dimodifikasi jadi empat baterai. Baterai-baterai lama yang sudah suak dijemur lalu digandeng. Agar bisa hemat katanya.

Luar biasa kecintaan Bapa Niko pada radio. Khususnya warta berita, sandiwara Butir-Butir Pasir di Laut, siaran pendidikan, Forum Negara Pancasila, hingga berita dukacita. Beliau yang selalu mengabarkan berita kematian sanak famili yang tinggal di Kupang setelah nguping RRI Kupang malam hari.

Kembali ke Piala Dunia 1986.

Siaran langsung Argentina vs Jerman Barat berlangsung dini hari. Saat "manuk gokok moan telo", ayam berkokok tiga kali. Bapa Niko sudah siapkan radio di atas meja. Biasanya radio kecil itu ditaruh di atas lemari.

Saya pun bangun untuk menemani ayah mengikuti siaran pandangan mata di radio. Meski tidak melihat gambarnya seperti di TV, suasana yang dilaporkan penyiar RRI saat itu sangat hidup. Match reporting, suasana di stadion, keriuhan... benar-benar hidup.

Rupanya Bapa Niko penggemar Maradona dan Argentina meskipun--itu tadi--tidak pernah lihat orangnya karena memang belum ada televisi. Wajahnya berseri-seri mendengar Maradona mampu mengecoh dua tiga pemain lawan. Kemudian kirim umpan yang berbuah gol dicetak Jose Brown. Turun minum, kami pun minum teh sembari mendengar komentar penyiar RRI. Bapa Niko makin kagum dengan Diego Maradona.

Saudara-saudara... bola dikuasai Maradona, utak-atik dia melewati dua tiga empat pemain.. sayang... Maradona terjatuh. blablabla. Bapa Niko makin senang Argentina unggul 2-0 lewat sepakan Valdano.

Saya yang awalnya biasa-biasa saja jadi pendukung Jerman Barat. Ini setelah Karl-Heinz Rummenigge mencetak gol pada menit 74. Enam menit kemudian Rudi Voeller cetak gol.

Saya girang luar biasa. Mama Yuliana akhirnya terbangun. Mendiang Mama ini kelihatannya heran melihat saya dan Bapa Niko khusyuk menghadap radio transistor kecil itu.

Skor 2-2 membuat pertandingan makin seru. Penyiar RRI pun makin semangat melaporkan jalannya pertandingan. Kedua kesebelasan berusaha kill the game.

Akhirnya... Jorge Burruchaga mencetak gol pada menit ke-83. Skor 3-2 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan wasit. Argentina juara. Nama Diego Maradona sejak itu makin berkibar di jagat sepak bola dunia.

Karena itu, ketika Maradona meninggal dunia dua pekan lalu air mataku jatuh. Mengenang momen bahagia bersama Bapa Niko mendengarkan siaran langsung sepak bola di kampung asalku 34 tahun lalu.

Selamat ulang tahun Bapa Niko!
Semoga damai bersama Bapa di surga!

Donasi untuk Korban Erupsi Ile Lewotolok

Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, meletus pada Minggu 29 November 2020. Semburan material vulkanik setinggi 5.000-an meter itu membuat belasan ribu warga dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba.

Banyak pihak langsung merespons dengan mengadakan aksi penggalanan dana. Mahasiswa Lembata dan Adonara di Surabaya juga membuka posko donasi. Begitu juga keluarga besar NTT di Jawa Timur.

Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, juga sudah membuka posko. "Kami menerima bantuan baik berupa makanan, sembako, juga uang tunai," ujar Romo Kristo Soge, koordinator Posko Dekenat Lembata.

 Dompet bencana alam untuk korban erupsi Gunung Lewotolok dibuka hingga 14 Desember 2020. 

Jumat, 04 Desember 2020

Romo Laurens Yatim Muda bersama ribuan pengungsi

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, menjadi konsen keluarga besar Flobamora di Jawa Timur. Khusus para perantau asal Kabupaten Lembata. Lebih khusus lagi yang berasal dari Ile Ape.

Saya jadi makin sering mengecek laporan pemantauan Ile Ape di laman Kementerian ESDM. Erupsi masih ada tapi tidak sedahsyat hari pertama, Minggu 29 November 2020, yang mencapai ketinggian 5.000-an meter itu.

Pagi tadi, Jumat, 4 Deswmber 2020, ketinggian sekitar 500 meter. Satu dua hari lalu 800-an meter. Artinya, erupsi gunung di kampung halamanku itu berangsur menurun. Atau akan ada letusan susulan yang besar? Pakar vulkanologi sekaliber Prof Surono pun tak bisa memastikan.

Yang pasti, ribuan penduduk dari 26 desa dan 2 kecamatan dan 2 paroki masih berada di tenda-tenda pengungsian di Lewoleba. Banyak pula yang menumpang di rumah-rumah famili. Termasuk Kristofora Tuto, adik kandungku, dari Desa Lewotolok.

"Kame ia sot-sot," kata Kristofora. "Kami di sini sangat takut ada erupsi susulan. Informasinya simpang siur," katanya.

Tenang saja. Banyak berdoa dan sabar. Tunggulah sampai situasi aman baru pulang. Ikuti petunjuk pemerintah. Begitu antara lain nasihatku kepada si bungsu yang mudah nelangsa itu.

Saya pun memantau situasi pengungsi letusan Ile Ape lewat Romo Laurentius Yatim Muda. Pastor Paroki Tokojaeng itu cukup aktif membagikan imformasi tentang situasi Gunung Lewotolok. Lengkap dengan foto-foto terkini.

Sebagai seorang pastor, gembala umat, Romo Laurens pun ikut mengungsi. Bersama ribuan domba-dombanya di tenda-tenda. Romo Laurens selalu menguatkan umat agar berserah diri kepada Tuhan.

Romo Laurens menulis (huruf besar semua, ciri khasnya):

"SEBAGAI SALAH SATU PENGUNGSI DARI BELASAN RIBU PENGUNGSI, SAYA MENGUCAPKAN SYUKUR KEPADA TUHAN KARENA TELAH MENJAGA DAN MELINDUNGI KAMI HINGGA SAAT INI. 

SAYA JUGA BERTERIMA KASIH KEPADA SAUDARA/I SEKALIAN KARENA SUDAH... SEDANG DAN AKAN MEMBERI PERHATIAN KEPADA KAMI BAIK SECARA MORIL MAUPUN MATERIL SEHINGGA KAMI TETAP KUAT DAN SEMANGAT SAMPAI SAAT INI.

SEMOGA TUHAN MEMBERKATI ANDA KALIAN DENGAN SEGALA BERKAT SURGAWI DAN DUNIAWI OLEH ALLAH YANG MAHA KUASA."

Saya juga melihat foto-foto patung Bunda Maria di lokasi pengungsian. Ada seorang mama tua memeluk Bunda Maria erat-erat sambil menangis. Minta perlindungan sang Mater Dei agar para pengungsi yang jumlahnya ribuan itu sehat dan selamat.

Kalau ada bencana alam gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi dsb, pertanyaan pertama saya kepada wartawan di lapangan adalah: "Berapa korban yang meninggal? Berapa korban luka? Berapa orang yang hilang?"

Maka, saya pun mengecek di laman internet dan kontak langsung beberapa kenalan. Ada lima anak yang hilang. Foto-fotonya sempat viral di media sosial.

Roma Laurens Yatim Muda akhirnya membagi informasi yang menyenangkan. Kelima anak itu sudah kembali.

"TUHAN, DENGARKANLAH DOA SEMUA ORANG YANG MEMOHON BELAS KASIH DAN PENGAMPUNANMU," tulis Romo Laurens.

Rabu, 02 Desember 2020

Puisi di Tengah Erupsi Ile Ape

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, Minggu pagi 29 November 2020 memang sangat dahsyat. Tinggi semburan bisa mencapai 5.000 meter.

Ribuan penduduk dari 26 desa panik. Buru-buru mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Tak bawa bekal apa pun. Asal selamat nyawa. ''Tidak sempat bawa baju. Baju di badan saja,'' kata seorang wanita asal Desa Lewotolok.

Erupsi Ile Ape ini juga menjadi inspirasi bagi sejumlah seniman Lamaholot untuk menulis syair, puisi, lagu-lagu, hingga oreng (lagu ratapan tradisional).

Ama Paulus Latera di Sidoarjo, yang asli Adonara Barat, membagi puisinya yang berjudul Duka Lembata, Dukanya Lewotanah. ''Ini bentuk simpati saya untuk saudara-saudari di Lembata,'' katanya.

Yang sangat menyentuh hatiku adalah puisi berbahasa Lamaholot karya Kristiani Claris. Wanita asal Honihama, Adonara, itu memotret kepulan awan yang membubung tinggi di atas puncak Ile Ape. Menyemburkan abu vulkanik ke Adonara, Solor, hingga Larantuka. Kawasan yang jauh dari Lembata pun kebagian abu hangat. Biar sama-sama dapat pupuk alam gratis dari langit.

Bagi kami yang berbahasa Lamaholot, puisi itu sangat mengharukan. Apalagi para korban bencana alam itu keluarga sendiri. Hujan abu, material panas, dsb menimpa kampung halaman kita.

''Go louk loranga,'' komentar seorang teman dari Ile Ape. Artinya, air mataku jatuh (membaca puisi itu).


DUKA LEMBATA - DUKANYA LEWOTANAH

Ketika dentuman gelegar di puncak ile ape
Asap membumbung tinggi
Panas lahar membara
Bikin heboh tanah Lembata
Orang berlari tak tentu arah
Yang penting selamat dulu
Kali ini Ile Lewotolok
Bikin cerita
Untuk ribu ratu
Lembata berduka
Torang po iko menangis

Tuan Deo
Dengarkan jerit tangis anak2mu di sana
Ke mana lagi air matanya ditampung
Tuhan
Jeritan ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Kami berdoa
Kami berharap
PadaMu Ema Lera Wulan
Biar Lembata kembali damai
Sama damainya hati kami 
di masa Natal ini
Oh nuba pulo dan nara lema
Jaga lapak lewo tana kami
Kami cinta lewo tana
Air mata ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Duka Lembata, dukanya lewotana 
Dukanya anak Lamaholot

----------- 
Puisi Kristiani Claris

Doan pia lewo honihama
Doan go belelen lile....
Belelen kaan onek te kerudun
Lile kaan yonhek te menange.
Lela pia suku lein laka matan
Lela go peroin marin....
Turun aku tou nuanen.
puken aku tou musinen...
Na tula luga, soron sera, nuru nonin,naan nuluyen te beleku naan manonen te geridin...
sape naan tube dop,
ribhun rathun ina wae ama lake kesin belen pelae gerame , todok walet ,goka lengat.
Naku..
Koda ake taan odun
kirin ake taan pute..
Pai tite hama-hama..
tobo golen pae gole..
pupu uku, tutu tapan, marin holo koda usu, kirin asa...
hobe boke puin holo koda di belaga laga, kirin dimeneso peso..
Ti koda ake nai data doan..
kirin ake nai hoan lela....
Doan hulen te perohon...
Lela lile te menange...

Selasa, 01 Desember 2020

Ile Ape Meletus: Adat Lamaholot vs Agama


Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok di Pulau Lembata, NTT, meletus dahsyat pada Minggu pagi 29 November 2020. Ribuan penduduk dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba. Inilah erupsi terdahsyat dalam sejarah gunung api di kampung halamanku itu.

Selama puluhan, bahkan ratusan tahun, Ile Ape aman-aman saja. Cuma batuk kecil. Baru kali ini erupsi mengeluarkan material hingga ketinggian 5.000-an meter. Jadi pemandangan yang langka di Flores Timur dan Lembata, bahkan NTT.

Karena itu, semua orang Ile Ape terkejut, panik, dan gelagapan. Tidak sempat membaca tanda-tanda alam beberapa bulan sebelum terjadi letusan ini.

Ada apa dengan Ile Ape? Ada pesan apa di balik letusan gunung setinggi 1.400-an meter itu?

Diskusi informal pun terjadi di Jawa Timur. Di antara sesama orang Ile Ape, Lembata, atau Flores Timur. Yang sama-sama etnis Lamaholot.

Ama Paul Manuk yang asli Adonara Barat punya perhatian khusus terhadap Ile Ape. Guru senior di SMAK Petra Surabaya itu punya suku yang satu nenek moyang dengan suku Manuk di Ile Ape. Ia punya konsen dengan adat leluhur Lamaholot.

Ama Paul: "Ini jadi pelajaran juga buat orang tua rae lewo. Tutu koda untuk gena ana. Berjagalah terus. Dan jangan lupa koda adat ama."

(Ini pelajaran untuk kita di kampung supaya tidak lupa adat istiadat. Mungkin ada adat yang diabaikan selama ini.)

Ama Paul meneruskan:

"Itu termasuk isyarat teti lodo. Sudahkah ribu peten oneka. Terus bagaimana dengan cerita ILE TELO? Tentu ada riwayat sambungannya. Tobo hama2 tutu lagi dan lagi. . ..ama. Pe ada jasmerahnya."

(Kejadian Ile Ape meletus itu isyarat dari langit. Sudahkan kita semua duduk bersama, bicarakan adat istiadat, harus duduk lagi. Semua itu ada jasmerahnya. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.)

Beberapa menit lalu Ama Cornelis Hurek di Kota Lama, Jalan Pecinan Malang, telepon. Pasti bertanya tentang Ile Ape meletus. Berikut pendapat dan analisisnya.

"Bernie, perkembangan rae lewo nega?" (bagaimana perkembangan erupsi di kampung.)

Saya bilang baru membaca laporan terakhir di situs Magma ESDM. Erupsi masih terjadi tapi tinggi semburan tinggal 800 meter. Tidak lagi 4.000 meter seperti hari pertama.

Data resmi PMBGV ini menunjukkan bahwa erupsi Ile Ape makin lama makin reda. Mudah-mudahan bisa cepat selesai. Agar ribuan warga segera pulang ke kampung masing-masing. Musim hujan saatnya mula wata hokot ekan (menanam jagung dan menyiangi rumput di ladang).

Saya sudah menduga Ama Cornelis di Malang ini lebih banyak bicara soal kristianitas dan alkitabiah. Kontras dengan Ama Paulus yang konsen ke adat istiadat orang Lamaholot.

"Itu peringatan untuk kita semua. Pasti ada hikmah di balik bencana ini," kata Ama Cornelis yang pernah merantau lama di Malaysia Timur.

Hikmah apa?

"Masyarakat kita di kampung itu sudah ratusan tahun terlalu sibuk dengan urusan adat. Bahkan, ada yang sampai lupa dengan Tuhan. Adat, adat, adat.. koda kiring tula gudung," katanya.

"Bukan berarti saya anti sama adat di kampung. Tapi mestinya jangan berlebihan. Gunung meletus ini jadi peringatan agar kita semua kembali pada Tuhan," ujar Ama Cornelis mirip khotbah evangelis yang lahir baru.

Hemmm... repot juga memang. Satu peristiwa alam disikapi dengan sudut pandang yang berbeda meski sama-sama orang Lamaholot. Sama-sama peduli Lewotanah.

Ama yang satu menganggap masyarakat di kampung sudah mengabaikan adat istiadat nenek moyang. Terlalu ikut arus modernisasi. Koda kiring, tula gudung.. sudah tidak seintens pada masa lalu.

Sebaliknya, Ama yang satunya lagi menganggap kami orang-orang Ile Ape terlalu larut dalam adat istadat. Agama di KTP Katolik tapi tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Alkitab, 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, katekismus dsb.

Saya sih manut Mbah Rono aja. Sang profesor pakar gunung berapi itu punya pendapat yang sangat menarik tentang erupsi dan perilaku volcano. Gunung api itu sahabat manusia, bukan musuh.

Gunung api pasti meletus atau erupsi. Itulah mekanisme alam untuk mengeluarkan material yang sudah dimasak di dapurnya selama sekian tahun. Material-material itu pun bermanfaat untuk manusia. Kawasan Ile Ape dan Lembata umumnya akan lebih subur.

Gunung Ile Ape di Kampungku Meletus

Ada panggilan berkali-kali dari Pulau Lembata, NTT, lewotanah alias kampung halaman. Tidak segera saya angkat karena masih OTW alias di jalan raya. Saya agak trauma telepon-teleponan di jalan karena pernah kesenggol. Terkilir sedikit.

Saya sudah bisa menduga isinya. Berita kurang enak dari kampung. Deg-degan karena hampir tidak ada telepon atau SMS atau pesan WA yang isinya berita bahagia.

 "Gunung Ile Ape meletus. Semua warga panik dan sedang mengungsi ke Lewoleba," kata Kristofora di Desa Lewotolok. Adik bungsu ini tani gareng atau menangis sejadi-jadinya karena memang emosinya paling peka. Mudah sedih dan menangis.

Oh Tuhan!

Minggu pertama Masa Adven! Pagi-pagi Ile Ape alias Ile Lewotolok erupsi. Meletus hebat. Benar-benar gawat karena wedhus gembelnya sangat tinggi. Hujan abunya menyebar sangat jauh.

Meski namanya Ile Ape (ile: gunung, ape: api), gunung di kampung kami itu sudah lama tidak erupsi. Bahkan sering dianggap sangat aman karena sudah mati. Meskipun setiap hari melelehkan cairan belereng dan kepulan asap.

Saya cek internet dan media sosial. Foto-foto Ile Ape meletus sudah mulai viral. Tinggi sekali semburannya. Orang-orang di Pulau Adonara yang sebenarnya agak jauh dari Lembata pun ngeri melihat letusan Ile Ape.

 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut erupsi pertama 500 meter, disusul erupsi kedua mencapai 4.000 meter. Tinggi Ile Ape sendiri sekitar 1.400-an meter dari permukaan laut.

Ketinggian erupsi yang mencapai 4 km, ada yang bilang 5 km, itu yang viral di berbagai media. Ile Ape atau Ile Lewotolok sekaligus Pulau Lembata tiba-tiba jadi terkenal. Padahal selama ini tidak banyak orang di luar NTT yang tahu tentang Lembata. 

Saya sendiri pun selalu mengaku berasal dari Pulau Flores kalau ditanya orang Jawa Timur. Tidak pernah saya bilang Lembata atau Lomblen. Sebab pasti muncul pertanyaan lanjutan, ''Lembata itu di mana?"

Sebagai orang yang lahir di kampung tua, kawasan gunung itu, saya sangat paham risiko dan dampak bencana geologi letusan Ile Ape. Sebanyak 26 desa seluruhnya berlokasi di sekeliling gunung. Semua desa berada di pinggir pantai tapi juga tidak terlalu jauh dari gunung sakti itu.

Kampung-kampung yang jauh cuma di kawasan tanjung seperti Tuak Wutun, Dulitukan, Tagawiti, Palilolon. Sementara kampungku di kawasan Bungamuda, Napasabok, Lamagute, Lamawara, Lewotolok, Waowala... sudah pasti terkena siraman abu gunung api.

"Bungamuda dan Lamawara parah. Banyak atap rumah yang rusak," ujar Kristofora dengan suara masih panik. Padahal sudah mengungsi di Lewoleba.

Saya berusaha menenangkan dan membesarkan hati si bungsu ini. Bahwa erupsi itu tidak akan lama. Sebagai gunung api, Ile Ape memang harus mengeluarkan semua isi perutnya. Percayalah, letusan akan semakin kecil dan lama-lama akan mereda.

"Ramalan di sini letusan nanti sore akan lebih besar lagi," katanya.

"Tenang, sabar, banyak sembahyang kontas (rosario)... semoga erupsi ini segera berakhir," kata saya.

Omonganku kayak penasihat spiritual yang paham rahasia gunung berapi. Padahal, saya pun ngeri melihat foto-foto dan video erupsi Ile Ape di grup medsos Flobamora Jawa Timur:  "Pray for Lembata! Ile Lewotolok Meletus! Ribuan Warga Ngungsi!"

Gara-gara Ile Ape meletus, saya jadi rajin membaca laman Magma milik Kementerian ESDM yang rutin melaporkan aktivitas semua gunung berapi di Indonesia. Saya perhatikan ketinggian erupsi cenderung makin turun. 

Satu jam lalu ketinggian erupsi sekitar 800 meter. Jauh di bawah 4.000-an meter pada Minggu 29 November 2020 lalu. Berita di media online pun tidak lagi seru. 

Mudah-mudahan letusan Ile Ape segera berakhir. Apalagi saat ini masih pandemi virus korona. Pulau Lembata memang berstatus zona hijau. Tapi kalau pengungsi berjejalan di tenda, relawan-relawan dari luar berdatangan... bisa tambah runyam.