Kamis, 30 Januari 2020

Terkenang Suhu Bingo dan Baba Lee



Suasana Sincia atau tahun baru Tionghoa tahun ini tidak secerah tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya bagi saya pribadi. Betapa tidak. Cukup banyak tokoh Tionghoa yang jadi narasumber saya, kemudian jadi akrab layaknya keluarga sendiri sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Suhu Bingo Tanuwijaya meninggal pertengahan tahun 2019. Suhu atau paranormal ini paling rajin menerbitkan buku-buku tentang astrologi Tionghoa. Salah satunya buku tentang peruntungan 12 shio selama tahun tertentu.

Misalnya, selama Tahun Tikus Logam, shio mana saja yang hoki dan mana yang ciong. Penjelasannya sangat rinci. Buku fengshui itu biasanya sudah muncul di toko buku dua bulan sebelum Sincia.

"Anda baca saja buku saya lalu disimpulkan sendiri," begitu pernyataan khas Suhu Bingo yang beragama Kristen Protestan itu.

Nama Suhu Bingo sempat melejit gara-gara ramalannya tentang krisis ekonomi plus gejolak politik pada 1997 dan 1998 ternyata cocok. Ia kemudian jadi rujukan wartawan-wartawan yang ingin bertanya soal ramalan shio-shio jelang Imlek.

Narasumber lain yang berpulang tahun lalu adalah Lee Tjin Sam. Tionghoa campuran Bali yang tinggal di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Dekat kantor Kecamatan Taman. Di masa tuanya Om Lee duduk santai menjaga toko pracangan dan main musik harmonika.

Saya diajari beberapa lagu Mandarin yang dipopulerkan Teresa Teng. Baba Lee sering cerita pengalaman masa kecilnya yang sangat susah pada zaman Jepang. Mengungsi ke kawasan Prigen dan sebagainya. "Jepang itu brengsek," katanya.

Di usia produktifnya, Lee Tjin Sam bekerja sebagai fotografer kepolisian. Tugasnya memotret pelaku, korban, barang bukti untuk keperluan proses verbaal.

Zaman dulu belum banyak orang yang punya kamera. Apalagi ke mana-mana bawa kamera. Setiap hari. Beda dengan sekarang. Semua orang punya ponsel yang bisa dipakai memotret atau membuat video.

Maka, Lee Tjin Sam ini punya dokumentasi foto-foto Sidoarjo masa lalu yang paling lengkap. Khususnya di kawasan utara yang bertetangga dengan Surabaya. Termasuk sekolah Tionghoa, kelenteng yang sudah dibongkar, toko-toko di pecinan lawas.

Baba Lee sering saya jadikan narasumber kalau ingin membahas Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. "Dulu di Sepanjang ini ada perumahan khusus untuk tunawisma," tuturnya.

Sayang, proyek yang dibuat pada masa Gubernur Soenandar itu ambyar di tengah jalan. Rumah-rumah itu dijual dan para gelandangan kembali minta-minta di jalan raya. "Pancen angel ngurusin wong mbambung," kata baba yang pernah jadi komunitas motor Vespa Sidoarjo itu.

Dua minggu sebelum Sincia saya mampir ke rumah Lee Tjin Sam di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Suasananya tidak lazim. Rumah tua itu tertutup rapat. Di sebelahnya ada pedagang kaki lima yang jualan es. Ada juga tukang jahit permak pakaian.

Ke mana Baba Lee?

"Maaf, beliau sudah enggak ada," kata pemilik depot di sebelah rumah baba Tionghoa itu.

Oh, Tuhan...

Saya hanya bisa terdiam. Mengenang percakapan hangat sambil ngeteh (Baba Lee tidak minum kopi) dan menikmati melodi lagu-lagu Mandarin. Salah satunya Tian Mimi.

Kamsia untuk Suhu Bingo dan Baba Lee!

Rabu, 29 Januari 2020

Wanita Indonesia kayaknya lebih cerdas

Mahasiswi Indonesia yang mendapat beasiswa kedokteran di Tiongkok akhir tahun 2019.



Virus corona lagi heboh di Tiongkok. Tiap saat media-media di Indonesia memberitakannya. Surabaya apalagi. Soalnya ada 10 mahasiswi Unesa yang kuliah di Wuhan.

Universitas Negeri Surabaya memang sudah lama kerja sama dengan Tiongkok. Confusius Institute di Surabaya pun gandeng Unesa. Anak-anak Unesa pun paling antusias belajar bahasa Mandarin yang disebut-sebut paling sulit di dunia itu.

Terlalu banyak bahas corona bikin bosan. Sebab corona bukan makanan enak. Corona hanya bikin orang sakit. Dan obatnya belum ada.

Saya sejak lama justru tertarik dengan jender para mahasiswa penerima beasiswa. Dari dulu paling banyak perempuan. Laki-laki sangat sedikit. Mahasiswa Unesa di Wuhan ini pun 100 persen wanita.

Sudah lama saya memantau pengiriman mahasiswa ke Tiongkok dan Taiwan. (Taiwan masih negara sendiri ya?) Sebagian besar wanita. "Kebetulan peminatnya banyak yang cewek," kata Andrean Su yang sejak dulu menangani pengiriman mahasiswa ke Tiongkok.

Putrinya Bu Mandagi di Sidoarjo dulu kuliah di Heilongjiang. Dia generasi awal mahasiswa yang pigi cari ilmu di Tiongkok. Wilayah paling utara dan dingin. Ada festival patung dari es setiap tahun.

Mengapa wanita sangat dominan?

Belum ada riset. Tapi sudah pasti mereka lebih cerdas dan tekun. Mana ada mahasiswa bego dapat beasiswa di luar negeri?

Lulusan terbaik S1 di hampir semua kampus di Jawa Timur pun mayoritas wanita. Kalau tidak percaya silakan riset sendiri. Cukup cari data lima tahun terakhir.

Melihat tren ini naga-naganya para perempuan Indonesia bakal dominan dalam 20 tahun ke depan. Potensi akademik, intelektual, dan integritasnya lebih baik. Wanita juga dianggap lebih jujur dan tidak suka korupsi.

Malam Sincia malah Ketiduran

Kue keranjang asli buatan Tante Tok Swie Giok di Sidoarjo. 


Biasanya saya saya hadir setiap Sincia. Malam tahun baru Imlek. Biasanya diundang Bu Juliani ketua Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya.

Kadang hadir di Sanggar Agung, kelenteng dan tempat hiburan di Pantai Ria Kenjeran. Sebab dulu Sanggar Agung yang paling meriah. Bos Soetiadji biasa mendatangkan artis dari luar negeri macam Malaysia, Taiwan, Tiongkok, atau Hongkong.

Tapi suasananya sudah beda. Bu Juliani sudah meninggal dunia. Sanggar Agung tidak lagi bikin perayaan besar dan panggung gembira. Cuma sembahyangan biasa, kata seorang pekerja.

Sebetulnya putri Bu Juliani sudah mengingatkan saya dua pekan sebelum Sincia. Jangan lupa datang pada malam tahun baru. Makan-makan seperti biasa. "Siap," jawabku singkat.

Sayang, Jumat malam itu saya kelelahan. Tidur sebelum jam 21. Niatnya sih bisa bangun jam 23 lalu meluncur ke Kelenteng Cokro.

Acara inti di sana selalu dimulai persis pukul 00.00. Sembahyang bersama disusul hiburan, makan-makan menu nusantara dan sedikit Tionghoa. Pengurus kelenteng biasa menyembunyikan makanan tak halal di ruangan khusus. Maklum, banyak tamu yang bukan Tionghoa dan bukan muslim.

Sayang... malam itu saya kebablasan. Hujan gerimis membuat hawa sejuk enak. Bangun sudah pukul 04.00. Tidak bisa lagi ikut imlekan di TITD Cokro.

Gong xi fa cai!

Agak siang saya pun meluncur ke Sidoarjo. Kawasan pecinan. Di rumah Tante Tok Swie Giok pembuat kue keranjang tradisional itu. Meskipun sudah berusia 80 tahun, Tante Tok selalu bikin nian gao.

Banyak banget kue keranjang yang dibuatnya. Sebab banyak order selama satu bulan lebih. Panen rezeki tahunan. "Saya sudah siapkan kue keranjang untuk sampean," kata Tante Tok.

Cukup ramai rumah tante keturunan Hokkian itu. Ada rombongan dari Gereja Santa Maria Annuntiata Sidoarjo. Maklum, putra-putri tante banyak yang Katolik. Tante Tok sendiri Buddhis yang dekat dengan perkelentengan.

Maka obrolan jadi asyik. Temanya bukan lagi imlekan atau budaya Tionghoa tapi tentang liturgi katolik, gosip-gosip, hingga ngerasani romo. Hehehe... "Romo X itu sudah bukan romo lagi. Sudah jadi orang awam," kata mas yang aktivitas gereja.

Tanpa terasa sudah satu jam anjangsana di rumah Tante Tok. Makan siangnya menu khusus Tionghoa campur Jawa. Ada mi panjang umur, teh khusus dari Tiongkok yang sepet.

Ngomong-ngomong apa resep Tante Tok masih segar dan bekerja keras di usia 80 tahun?

"Gak ada resep-resepan," katanya.

"Minum air putih yang banyak. Kurangi makanan berminyak. Jangan stres! Ingat sama Tuhan," Tante Tok menambahkan dia punya rahasia umur panjang.

Kamsia yang banyak!

Selamat tahun baru Imlek!

Minggu, 19 Januari 2020

Bahasa Ibu Yang Terancam Punah

Masih soal bahasa ibu. Minggu pagi ini ada artikel bagus di Jawa Pos. Judulnya "Menjaga Bahasa Ibu".

Fariz Alnizar dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menyodorkan fakta mutakhir:

11 bahasa daerah telah punah.
22 terancam punah.
4 sakaratul maut.
16 stabil tapi terancam punah.

Sudah lama saya peduli bahasa ibu. Dari mana saja. Biasanya saya bertanya sederhana: apa bahasa daerah Anda untuk 'saya mau minum kopi'. Atau 'saya lelah setelah berjalan jauh'.

Sayang, 80 persen 'responden' tidak tahu. "Kami di rumah tidak pernah pakai bahasa daerah," kata seorang mahasiswi asal NTT di Surabaya.

Akhir pekan lalu, banyak orang NTT berkumpul untuk mengikuti promosi calon doktor asal Belu di Universitas Airlangga. Ada beberapa orang yang mengaku berasal dari Solor, Kabupaten Flores Timur.

Wow, menarik!

Di Surabaya ada orang Solor yang cukup terkenal di kalangan umat Katolik. Pater Gregorius Kaha SVD, Pastor Kepala Paroki Gembala Yang Baik di Jalan Jemur Andayani. Gereja GYB ini dikunjungi Gubernur Khofifah, Kapolda, dan Pangdam jelang misa Malam Natal 2019.

Saya biasa berbicara dalam bahasa Lamaholot dengan Pater Goris Kaha. Romo ini poliglot. Menguasai banyak bahasa khas imam-imam SVD. Maklum, "Dunia adalah paroki kami," begitu moto SVD yang saya baca di kalender saat masih anak-anak di Pulau Lembata.

Kembali ke ruang ujian doktor. Saya pun mencoba berbasa-basi dalam bahasa Lamaholot. Langsung dijawab, "Pakai bahasa Indonesia saja. Saya tidak bisa bahasa daerah."

Yo wis...

Maka aku pun mulai ngobrol pakai bahasa Indonesia ala Kupang saja! Orang keturunan Lamaholot yang tinggal di NTT malah tidak bisa berbahasa Lamaholot. Kalah jauh sama Ama Paul, guru SMA Petra Surabaya yang sejak remaja sudah merantau di Jawa.

Ama Paul ini bahkan setiap minggu menulis puisi khusus dalam bahasa Lamaholot. Bahkan sudah menerbitkan buku dalam bahasa daerah Lamaholot. "Tite ake lupang Lamaholot," kata pak guru yang tinggal di Sidoarjo itu.

Ada lagi Pater Wayan SVD di Wonokromo, Surabaya. Asli Bali tapi pernah tugas di Adonara. Meskipun sudah puluhan tahun bertugas di Surabaya, Pater Wayan tidak lupa bahasa Lamaholot. Beliau bahkan senang bercakap dalam bahasa Lamaholot ketika berjumpa dengan orang Lamaholot macam saya.

Bahasa ibunya bahasa Bali tentu selalu digunakan. Pater Wayan pun fasih bahasa Jawa ngoko sampai kromo. Maklum, bahasa Jawa dan Bali punya kedekatan. Beda dengan bahasa Lamaholot atau bahasa-bahasa di NTT yang berbeda struktur dsb.

Bahasa Lamaholot jelas bukan bahasa yang terancam punah. Sebab penuturnya tersebar di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan di luar NTT yang ada orang Lamaholotnya. Tapi kalau orang Lamaholot di luar bumi Lamaholot, khususnya NTT, malu berbahasa Lamaholot ya... wassalam!

Sabtu, 18 Januari 2020

Prof. Dr. Mangestuti Agil Telaten Kembangkan Ramuan Tradisional




Alam Indonesia sangat kaya dengan aneka tumbuhan yang bisa dijadikan obat-obatan. Namun, belum banyak peneliti yang fokus meneliti tanaman obat dan aneka ramuan tradisional. Bahkan, guru besar yang menekuni ilmu yang satu ini pun masih sangat sedikit.

Nah, salah satu di antara sedikit guru besar itu adalah Prof Dr Mangestuti Agil, guru besar bidang Ilmu Botani Farmasi Farmakognosi, Fakultas Farmasi Universitas Arlangga. Perempuan kelahiran Jakarta, 22 April 1950, itu menyampaikan pidato bertajuk Pendekatan Etnomedisin Peran Wanita dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia.

Berikut petikan wawancara LAMBERTUS HUREK dengan Prof MANGESTUTI AGIL di Laboratorium Fakultas Farmasi Unair, Surabaya.

Mengapa Anda secara khusus menyoroti peranan wanita dalam pembangunan kesehatan?

Begini. Kaum wanita atau para ibu itu berperan sangat penting dalam menyiapkan generasi mendatang. Karena itu, para wanita ini harus benar-benar sehat. Dan, kalau kita teliti di berbagai daerah, sebagian besar ramuan tradisional entah itu dari Madura, Solo, Jogja dibuat untuk wanita. Hampir 70 persen ramuan tradisional itu dikonsumsi wanita.

Maksudnya?

Sejak zaman dulu nenek moyang kita sudah paham akan pentingnya kesehatan wanita. Begitu seorang wanita akil balig, dia sudah dibiasakan untuk mengonsumsi ramuan tradisional untuk menjaga kesehatannya.
Saya ingatkan, ramuan tradisional itu fungsinya lebih ke pencegahan penyakit, bukan pengobatan!

Nah, dengan rajin mengonsumsi ramuan tradisional, maka siklus masa suburnya baik, kandungannya sehat, semua organ tubuh sehat, sehingga setelah menikah nanti anak yang dilahirkan pun sehat.

Saat hamil pun wanita mengonsumsi ramuan tradisional tertentu untuk menjaga kesehatan. Saya melakukan penelitian di Madura, khususnya Sumenep, untuk mengetahui ramuan tradisional warisan keraton di sana. Wah, luar biasa! Ternyata sejak dulu masyarakat Madura sudah punya ramuan tradisional yang sangat lengkap. Makanya, wanita-wanita dari Madura ini biasanya sangat sehat dan bisa bekerja keras karena sudah terbiasa mengonsumsi ramuan atau obat tradisional.

Apakah ramuan kuno itu masih relevan dengan masa sekarang?

Jangan salah! Itu bukan kuno! Ramuan-ramuan tradisional di tanah air itu sudah terbukti efektivitasnya dari generasi ke generasi untuk menjaga kesehatan masyarakat. Saya melihat di daerah tertentu banyak orang punya kebiasaan minum air daun sirih. Wah, itu khasiatnya luar biasa. Selain meningkatkan kekebalan tubuh, air sirih sangat efektif menghilangkan bau badan. Contoh lain daun katuk (Saurus androgynus).

Itu biasa dipakai ibu-ibu untuk meningkatkan produksi air susu. Bagi saya, pemberian ASI ini punya kaitan erat dengan karakter anak ketika tumbuh menjadi seorang remaja hingga dewasa nanti.

Mengapa terjadi tawuran pelajar atau mahasiswa? Hampir pasti karena waktu kecil dia kurang kasih sayang. Mungkin tidak mendapat ASI dari ibunya. Atau, ibunya tidak menyusui bayinya dengan penuh kasih sayang. Saya sempat menyinggung hal itu dalam pengukuhan guru besar kemarin.

Ngomong-ngomong, sejak kapan Anda rajin meneliti ramuan dan tanaman obat tradisional?

Sudah lama sekali. Sejak tahun 1980, ketika mulai menjadi dosen, saya sudah menggeluti bidang ini. Ternyata, justru bidang ini pula yang akhirnya mengantar saya sebagai guru besar.

Lantas, mengapa ramuan atau pengobatan tradisional kita sepertinya 'kalah' gaung dibandingkan TCM (Traditional Chinese Medicine)?

Nah, China itu punya konsep ilmu pengobatan yang berbeda dengan Barat. Hebatnya, mereka berusaha keras untuk meyakinkan orang Barat agar konsep pengobatannya itu bisa diterima dan diakui secara ilmiah. Beberapa waktu lalu saya ikut seminar di Jepang. Saya melihat pihak China selalu berusaha meyakinkan pihak lain, khususnya Barat, bahwa konsep pengobatannya efektif.

Pihak Jepang juga sama. China bahkan seperti 'menantang' pihak Barat, silakan teliti di laboratorium bahwa ramuan tradisional kami ternyata bisa menyembuhkan penyakit liver, misalnya.

Apa hasilnya?

Sekarang ini TCM-TCM sudah diterima di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Kedua macam metode pengobatan itu tidak menafikan satu sama lain, tapi bekerja sama. Keduanya saling melengkapi. Misalnya, seorang dokter dengan metode pengobatan Barat (modern) tidak segan-segan mminta bantuan peramu obat tradisional untuk menangani pasien tertentu.

Bagaimana dengan kita di Indonesia?

Sekarang sudah mulai berkembang ke sana meskipun belum seluas di China. Saya pernah diminta pihak RSUD dr Soetomo untuk mengembangkan poli obat tradisional. Kita buka unit aromaterapi. Jadi, saya optimistis dengan masa depan pengobatan tradisional di tanah air.

Apalagi, kita sudah punya ramuan-ramuan tradisional warisan keraton yang sudah terbukti khasiatnya. Kita juga harus ingat bahwa ada saja penyakit yang tidak bisa diatasi dengan metode pengobatan modern.

Tapi ditengarai banyak pula obat tradisional atau jamu yang mengandung bahan kimia obat beredar di pasaran?

Karena itu, masyarakat sebaiknya mewaspadai produk-produk yang pabriknya kurang bonafide. BPOM biasanya selalu merilis daftar obat-obat tradisional ilegal yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Akan lebih bagus kalau masyarakat mengonsumsi ramuan yang dibuat sendiri seperti yang dilakukan masyarakat di Madura, Jogja, atau Solo. (*)




Isi Waktu Senggang dengan Menyulam


MESKIPUN sudah empat dasawarsa berkecimpun di dunia akademik, Prof Mangestuti Agil ternyata tetaplah seorang perempuan rumahan. Tugas sebagai ibu rumah tangga benar-benar dilakoninya hingga berhasil mengentas kedua anaknya.

"Anak-anak saya sudah dewasa dan mandiri. Tapi nggak ada yang mengikuti jejak saya (sebagai dosen atau peneliti). Yang satu lulusan Fakultas Hukum, satunya lagi Hubungan Internasional," tutur Mangetuti lantas tertawa kecil.

Nah, ketika berada di rumah, setelah sibuk bergelut dengan mikroskop dan berbagai peralatan di laboratorium, Mangestuti menekuni hobi sederhana, layaknya wanita rumahan tempo doeloe. Apa itu?

"Saya dari dulu senang merajut, bikin taplak meja, dan sebagainya. Saya sangat menikmati hobi itu selama bertahun-tahun," katanya.

Banyak orang, khususnya teman-teman dekatnya sesama dosen, sering tak percaya seorang Prof Dr Mangestuti lebih asyik merajut atau menyulam ketimbang melakukan hobi yang lebih 'modern' seperti main golf, tenis, atau piano. "Anda ini doktor kok sukanya nyulam?" kata Mangestuti mengutip pernyataan temannya suatu ketika.

Istri H Agil H Ali (almarhum), wartawan senior dan mantan pemimpin redaksi Memorandum, ini pun cuek saja mendengar gurauan teman-temannya. Dia tetap saja menyulam berbagai keperluan rumah tangganya. Menurut dia, hobi menyulam ini rupanya menurun dari sang ibunda tercinta.

Mangestuti coba-coba membuat sulaman, dan akhirnya jadi hobi sampai sekarang. Hanya saja, dosen senior Fakultas Farmasi Universitas Airlangga ini mengaku tidak suka membuat pola sendiri. Biasanya, dia menyulam mengikuti gambar pola yang sudah ada.

"Kalau mau sih sebetulnya saya bisa membuat rancangan sendiri. Tapi saya lebih suka mengikuti pola yang dibuat orang lain," ujarnya.

Meski terkesan sederhana, menurut dia, hobi menyulam ini membuat Mangestuti menjadi sangat dekat dengan anak-anaknya di rumah. Dia pun menjadi lebih peduli dengan berbagai aksesoris di rumah. Baginya, rumah ibarat istana pribadi yang selalu terus diperindah dengan aneka sulaman hasil karyanya sendiri.

Hanya saja, seiring karier akademiknya yang terus melejit, ditambah kesibukan mengikuti seminar baik di dalam maupun luar negeri, hobi menyulam ini tak lagi seintensif dulu. "Tapi saya tetap senang menyulam kalau ada waktu luang," katanya. (rek)


Tentang Mangestuti

Nama : Prof Dr Mangestuti Agil Apt MS
Lahir : Jakarta, 22 April 1950
Suami : H Agil H Ali (almarhum)
Anak : 2 orang
Hobi : Pekerjaan rumah tangga, khususnya menyulam
Jabatan Fungsional: Guru Besar Fakultas
Farmasi, Universitas Airlangga
Departemen : Farmakognosi dan Fitokimia
Alamat : Jl Dharmawangsa Dalam, Surabaya
Pendidikan : S1-S3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Mengapa Aku Suka Courier New



Aku termasuk generasi awal yang menggunakan komputer. Mulai komputer yang pakai tiga disket, MS awal, hingga laptop dan sekarang ponsel. HP sekarang sejatinya sama dengan komputer.

Sebelum kenal komputer aku sudah biasa mengetik pakai mesin ketik manual. Pasang kertas, pita, siapkan tipex untuk menghapus kata-kata yang salah ketik. Lama-lama aku bisa menulis artikel, berita, atau apa saja tanpa salah.

Mengetik langsung jadi. Tanpa koreksi. Orang-orang lama memang dipaksa untuk mengetik kata-kata dan kalimat tanpa salah. Beda dengan mengetik di komputer meja, laptop, atau HP yang bisa dikoreksi dengan sangat mudah.

Nah, gara-gara terbiasa dengan mesin ketik dan komputer lawas, saya pun jadi terbiasa dengan font atau jenis huruf ala mesin ketik. Typewriter fonts.

Sejak dulu aku selalu gunakan Courier atau Courier New. Font ini sangat mirip dengan mesin ketik manual. Beda banget dengan Times New Roman, Arial, Verdana dsb.

Ada kutipan di internet:

"Font Courier dibuat untuk mengimitasi bentuk tulisan mesin ketik. Courier kurang cocok digunakan untuk CV karena bisa membuat CV terlihat jadul dan kurang nyaman dibaca, apalagi untuk menulis satu halaman penuh."

Saya tidak setuju pendapat itu. Bagi saya, Courier dan Courier New justru sangat nyaman dibaca. Tanda-tanda baca macam titik, koma, tanda seru dsb paling jelas terlihat.

Sebagai editor atau redaktur, saya sangat mudah menemukan kata-kata yang salah ketik kalau tulisan diketik pakai Courier atau Courier New. Kalau ditulis pakai Times Roman atau Verdana atau Arial dsb sering kelewatan. Hasil editing jadi buruk.

Lain editor lain selera. Temanku sangat fanatik Tahoma. Ukurannya besar dan sangat hitam di layar komputer. Beda dengan Courier yang agak cerah.

Sebagian besar editor di Surabaya tidak peduli font. Apa pun font-nya tetap dimakan. Mereka bisa mengedit naskah apa pun font-nya.

Saya perhatikan para mahasiswa, wartawan, karyawan dsb sejak tahun 2005 tidak punya font favorit. Mereka mau memakai font standar (template) dari laptop atau komputer. Paling banyak pakai Calibri.

Karena itu, mau tidak mau, saya mengubah lebih dulu font mereka menjadi Courier New point 12. Itulah font kesayanganku sejak mengenal komputer.

Rupanya, dari 100-an karyawan, hanya 2 orang yang pakai Courier New. Saya dan satu orang dari Sidoarjo.

Bisa Ketularan Virus Koplo

Dangdut koplo benar-benar meraja di Jawa Timur. Mampirlah ke warkop-warkop di Surabaya, Sidoarjo, Gresik. Apalagi Pulau Madura. Dijamin gendang telinga Anda ditabuh musik koplo dengan kendangnya yang rancak itu.

Via Vallen, Nella Kharisma, OM Sera, OM Pallapa, OM New Pallapa... Cak Sodiq muncul setiap saat. Bisa dikata koplo 24 jam.

Bukan saja di warkop, acara-acara besar di alun-alun pun pasti ada koplonya. Pemkab Sidoarjo bikin jalan sehat undang orkes koplo. Pemkot Surabaya bikin lomba penghijauan dan kebersihan ada koplo.

Kalau bukan orkes, ya organ tunggal mengiringi biduan biduanita koplo. Dangdut klasik ala Hamdan atau Meggy Z tak ada lagi. Rhoma Irama masih muncul di televisi. Tapi kalah sama koplo di alun-alun.

Rhoma Irama dulu bahkan antikoplo. Raja Dangdut itu bilang koplo bukan dangdut. Koplo dikritik macam-macam. Tapi toh pasar musik koplo justru terus melambung.

Malam tahun baru 2020 kemarin OM Rollista menghibur ribuan warga di Alun-Alun Sidoarjo. Luar biasa meriah. Masyarakat berjoget gembira. Mulai anak kecil hingga lansia. Koplo memang punya daya pukau kayaknya hipnotis di Jawa Timur.

Musik koplo kembali ditampilkan di Alun-Alun Sidoarjo setelah vakum selama empat tahun. Biasanya kami tanggap band pop atau kelompok akustik berkualitas dari Surabaya. Pernah juga musik yang berbau digital elektronik.

Sayang, respons warga Sidoarjo di alun-alun sangat rendah. Musisi seperti bermain sendiri. Penonton duduk santai menunggu pesta kembang api pada pukul 00.00. "Gak iso band atau akustik. Kudu orkes," kata Cak Takim pimpinan OM Rollista.

Mustakim salah satu pentolan orkes dangdut di Sidoarjo. Sejak 80an dia sudah ngurusin dangdut di Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, dan kota-kota lain di Jatim. Cukup banyak artisnya yang kondang di kancah nasional. Salah satunya Inul Daratista.

"Inul itu awalnya di OM Mayora. Aku dulu kan ikut Mayora," katanya.

Dangdut bertransformasi ke koplo sejak krismon 1997/98. Inul Daratista paling fenomenal dengan goyangan ngebornya yang erotis. Menirukan gerakan wanita saat bersenggama di atas panggung. Itulah yang bikin Rhoma Irama murka.

Setelah Inul Daratista menua dan surut, muncul Via Vallen dan kawan-kawan. Gadis asal Tanggulangin Sidoarjo itu tampil sopan dan anggun layaknya bintang K-Pop. Lagu-lagunya pop terkenal yang diaransemen ulang dalam gaya koplo.

Maka, Via Vallen dikenal sebagai ratu koplo sedunia. Ratu Cover lagu. Apa pun julukannya, yang pasti, Via Vallen akhirnya jadi penyanyi paling populer di Indonesia. Dipercaya jadi penyanyi theme song Asian Games 2018 di Jakarta.

Lalu, ke mana band-band pop yang dulu sangat berkuasa di televisi? Ben-ben rock macam Andromedha, Power Metal, Padi, Slank dan sejenisnya?

Masih ada. Mereka sesekali nongol di televisi tapi bukan lagi di stadion atau lapangan besar. Log Zhelebour sudah lama vakum dari rock. Tak ada lagi festival rock yang heboh di Tambaksari.

"Kami masih main di berbagai kota tapi skala kecil. Minggu lalu di Pandaan," kata temanku yang sekarang jadi anggota Andromedha Band.

Oh, saya ingat Mas Henry Limahelu. Basis dan pimpinan Boomerang Band itu sekarang masih menginap di Rutan Medaeng gara-gara makai ganja. Katanya sih untuk pengobatan. Tapi polisi tidak mau tahu karena ganjaisme melanggar undang-undang.

Boomerang pun tentu saja vakum. Apalagi Ivan dan Roy sudah lama cabut. Ahmad Dhani baru saja keluar penjara. Tapi dia bilang tidak lagi menekuni profesi musisi. "Sekarang saya politisi. Musik cuma sampingan," katanya.

Ya... lengkap sudah keterpurukan musik pop dan rock digilas koplo yang makin perkasa.

Syukurlah, masih ada YouTube. Kita yang tidak suka Via Vallen, Nella Kharisma, atau Shodiq bisa menikmati jutaan pilihan musik. Jangan terlalu sering ngopi di warkop... bisa ketularan virus koplo!

Jumat, 17 Januari 2020

Dr Maximus Markus Taek Teliti Pengobatan ala NTT



Kamis 16 Januari 2020.

Saya diajak Ama Urbanus Ola Hurek, pamanku, untuk mengikuti sidang promosi doktor di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Kebetulan sang calon doktor itu teman akrabnya. Sama-sama dosen Universitas Widya Mandira, Kupang.

"Tolong usahakan hadir karena sangat menarik," kata Ama Urbanus yang sedang menyelesaikan S3 di Universitas Padjdjaran, Bandung.

Ama Urbanus secara khusus datang ke Surabaya untuk menyaksikan sidang promosi doktoral itu. Begitu juga beberapa dosen Unwira yang sedang kuliah S3 di Malang dan Surabaya. Karena itu, aula Farmasi Unair didominasi orang NTT. Mulai Timor, Flores, Lembata, bahkan ada yang Timor Leste.

Sang calon doktor itu Maximus Markus Taek MSi. Dosen Unwira Kupang asal Belu itu meneliti tanaman-tanaman obat tradisional di daerah asalnya. Salah satunya berkhasiat untuk mengatasi penyakit malaria.

Asal tahu saja, sejak dulu NTT dikenal sebagai sarang malaria. Bisa dipastikan 99% persen orang NTT pernah terserang malaria. Demam gak karuan. Menggigil. Kadang efeknya seperti orang setengah gila.

Karena itu, kamar tidur orang NTT biasanya dilengkapi kelambu. Obat nyamuk bakar atau lotion tidak mempan. Maka sejak dulu di kampung-kampung ada dukun atau pengobat tradisional yang bikin ramuan untuk warga yang sakit malaria.

Nah, Maximus Markus menggali tanaman-tanaman obat tradisional yang biasa digunakan di Kabupaten Malaka, Kabupaten Belu, dan kawasan lain yang berbahasa Tetun. Termasuk Timor Leste yang memang bahasa daerahnya Tetun.

Analisis kimia, farmakologi dsb saya tidak paham. Sebab saya terlambat masuk ke ruang sidang. Sudah sesi tanya jawab. Para penguji dari Unair, Unwira, dan doktor-doktor lain memberondong Maximus dengan berbagai pertanyaan. Kayaknya majelis hakim menghadapi terdakwa.

Saya perhatikan Maximus agak kelabakan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan tak terduga. Tapi secara umum pakar asli NTT itu menguasai persoalan dengan baik. "Saya banyak menggali informasi dari 96 pengobat tradisional di Tetun," katanya.

Meskipun penelitian ini tentang farmasi, obat tradisional, Maximus masuk ke ranah antropologi dan sosiologi. Maka Dr Pingky Saptandari dari Unair, yang sering masuk koran, itu mencecar calon doktor dengan pertanyaan-pertanyaan sosiologis.

Lalu, giliran Pater Dr Gregorius Neonbasu SVD menggali lebih dalam sisi antropologis. Maklum, pastor asli Timor itu dikenal sebagai doktor antropologi budaya lulusan Australian National University (ANU). Banyak sekali kutipan pater yang tidak saya ingat lagi. Pater ini kutu buku dan memorinya sangat kuat. Belum terpapar virus gadget di era digital hehe...

Pater Gregor Neonbasu SVD kemudian bertanya dalam bahasa Tetun. "Anda harus jawab dalam bahasa Tetun," ujar pater yang juga pimpinan Yayasan Unwira.

Hahaha.... Hadirin tertawa mendengar ucapan Dr Gregor SVD. "Apakah boleh saya jawab pakai bahasa Tetun?" tanya Maximus.

"Boleh. Nanti diterjemahkan," kata Prof Dr Sukardiman, ketua penguji dari Fakultas Farmasi Unair.

Maximus pun menjawab dengan lancar. Pater Gregor pun memuji anak buahnya yang dinilai berjasa mengangkat pengobatan tradisional NTT ke ranah ilmiah.

"Disertasi Anda ini harus dibaca siapa saja yang ingin tahu seluk beluk NTT dengan keanekaragamannya. Bahkan saya dorong supaya diterbitkan jadi buku," katanya.

Sekitar pukul 12.25 sidang diskors. Para penguji bersidang di ruang khusus untuk menentukan yudisium sang calon doktor.

Prof Sukardiman kemudian mengumumkan bahwa Maximus Markus Taek dinyatakan lulus dengan IP 3,87. Sangat memuaskan!

Hadirin bertepuk tangan riuh. Mulai saat itu Maximus berhak menyandang gelar doktor. Dr. Maximus Markus Taek, M.Si.

"Saya yang pertama kali memanggil Anda dengan Doktor Maximus," kata Prof Sukardiman.

Dr Maximus tercatat sebagai doktor ke-23 yang dihasilkan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Sekaligus doktor pertama di FMIPA Universitas Widya Mandira Kupang.

Acara selanjutnya foto-foto di panggung di luar aula. Lalu makan-makan. "Pater silakan pimpin doa dan pemberkatan untuk makanan ini," kata saya kepada Pater Gregorius Neonbasu SVD.

Pater yang duduk di samping saya bilang tidak usah. "Silakan berdoa sendiri-sendiri," katanya.

Selamat untuk Dr Maximus!
NTT Yes! Malaria No!

Petilasan Nyai Rondo Kuning di Pulungan Sedati

Cukup banyak petilasan atau cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo. Ada Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candipari, Porong, yang paling dikenal masyarakat. Ada juga Candi Tawangalun di Desa Buncitan, Sedati.

Nah, tidak jauh dari Buncitan, tepatnya di Desa Pulungan, ada pula situs lawas. Makam Nyai Ratu Rondo Kuning alias Nyai Ratu Sekarsari. Sesuai catatan di dinding, Mbah Rondo Kuning ini selir Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.

"Kalau tidak salah kira-kira tahun 1535 M," kata Iriyanto, pengurus situs, kepada Lambertus Hurek, Jumat 17 Januari 2020.

Batu-batu merah yang dipakai untuk membuat situs ini konon asli peninggalan Majapahit. Awalnya cuma lahan kosong, dekat Bandara Juanda. Kemudian Dulsahid yang punya kemampuan spiritual mendapat semacam petunjuk untuk membuat situs ini.

Ada foto peletakan batu pertama pada 1973 dipasang di pendapa nan asri. Di bawah naungan pohon asam jawa terdapat sendang berusia ratusan tahun. Sayang, sendang atau kolam tua di depan sudah diuruk untuk lahan parkir.

Tinggal sendang kecil di samping musala. "Sendang ini asli. Sejak dulu sudah ada," kata Iriyanto yang asli Kepanjen, Malang.

Saya kemudian minta sang juru kunci ini membuka pintu makam Nyai Rondo Kuning. Wow... ada sumur di sampingnya. Airnya ya dari sendang tua sejak zaman Majapahit. Sering diambil pengunjung untuk berbagai keperluan. Konon bisa menyembuhkan penyakit dsb.

Seperti umumnya petilasan-petilasan lain di Jawa Timur, makam Nyai Ratu Rondo Kuning ini dibuat layaknya makam muslim. ''Apakah bangsawan Majapahit itu beragama Islam? Jangan-jangan jenazahnya dikremasi layaknya umat Hindu?" tanya saya dalam hati.

Pak Yanto, mengutip cerita yang beredar dari mulut ke mulut, menyebutkan bahwa dulu Presiden Sukarno pernah mampir ke sini. Tentu saja situsnya belum sebagus sekarang. "Tahun 60an kan Presiden Sukarno meresmikan Bandara Juanda. Mungkin beliau sempat mampir," kata Yanto.

Belakangan ada penambahan dua makam baru. Yakni makam Nyi Anggraeni dan Eyan Aria Dwipa. Siapa gerangan keduanya? "Mbah Said yang paham. Beliau tinggal di dekat Lapangan Albatros Juanda," ujar Yanto.

Meskipun belum tercatat Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Trowulan, Mojokerto, menurut saya, situs di Pulungan ini jauh lebih terawat ketimbang situs-situs lain di Sidoarjo. Pengunjungnya tidak sebanyak di Candi Pari atau Candi Tawangalun. "Tapi ada saja yang mampir," kata Yanto.

Biasanya paling ramai pada malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Para penghayat kepercayaan atau aliran kebatinan biasanya datang untuk bersemadi. Mungkin juga untuk ngalap berkah.

"Ayem rasanya tinggal di sini. Ada saja rezeki dari Yang Mahakuasa," kata Iriyanto.

Rahayu!
Rahayu!
Rahayu!

Kamis, 16 Januari 2020

Jalan Tergenang atau Jalan Terendam?

Kemarin hujan deras di Surabaya. Tanpa angin kencang yang menyebabkan puluhan pohon tumbang seperti pada 5-6 Januari 2020.

Di Surabaya Utara, khususnya Jembatan Merah, Kembang Jepun, Kalimas dan sekitarnya hujan tidak begitu lebat. Bagus untuk menghalau debu-debu yang beterbangan di kawasan kota lama.

Kamis pagi, 16 Januari 2020, muncul berita di koran. Tentang banjir semalam. Nadanya positif. TERENDAM AIR PUKUL 17.20, SURUT 19.30".

Luar biasa. Cuma dua jam 10 menit saja beres. Air berlimpah itu mengalir lancar lewat salurannya hingga ke muara di kawasan Pelabuhan Kalimas yang terkenal itu.

Mengapa air hujan dibuang ke laut? Tidak diserap masuk ke dalam bumi? Kalau itu sih Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang paling paham.

Saya cuma tertarik judul salah satu berita di koran. BEBERAPA JALAN PROTOKOL TERGENANG.

Hem... kata TERGENANG itu pernah saya tanyakan ke editor bahasa. Salah satunya Uu Suhardi dari majalah Tempo. Saat itu Jakarta sedang kebanjiran di awal tahun 2020.

Mana yang benar: jalan tergenang atau jalan terendam? Atau kedua-kedua-duanya benar?

Uu Suhardi kemudian menulis di Twitter:

< Ini keliru: "Sejumlah jalan tergenang." Kata yang tepat setelah "jalan" adalah "terendam". Airlah yang tergenang. >

Oh, mantap!

Saya mendapat afirmasi dan konfirmasi dari Mas Uu, salah satu editor bahasa Indonesia terbaik. Sebab selama ini saya pun punya pemahaman seperti itu. Bahwa yang terendam itu jalan. Airlah yang tergenang di jalan raya. Maka ada istilah genangan air.

Kita juga biasa merendam pakaian kotor dengan air (bukan bensin atau arak). Benda-benda padat direndam di dalam air atau zat cair lainnya.

Karena itu, saya agak geli membaca salah satu judul berita pagi ini. JALAN PROTOKOL TERGENANG.

Jalan kok bisa tergenang? Mestinya JALAN PROTOKOL TERENDAM.

Rabu, 15 Januari 2020

Kerja di Dubai Tak Selalu Indah

Pagi tadi ngobrol sama anak muda 20an tahun di warkop kawasan Rungkut Surabaya. Gak nyangka kalau dia pernah bekerja hampir setahun di UEA. Tepatnya Kota Dubai.

"Aku kerja di hotel bintang lima," ujar pemuda asal Nganjuk itu dalam bahasa Jawa halus.

Jangan bayangkan Dubai seperti kota-kota di Arab yang konservatif. Bahasa sehari-hari yang dipakai Mas ini bahasa Inggris. Bukan bahasa Arab. Suasananya sangat internasional.

"Orang bilang Dubai itu New York-nya Arab. Orang dari mana saja ada di sana," kata sang pemuda lulusan sekolah perhotelan di Jogja itu.

Sambil menyimak ceritanya, antara lain tentang mobil-mobil mewah macam Lamborghini yang di Dubai ibarat Ananza di Surabaya, saya masuk YouTube. Menonton suasana Kota Dubai. Orang-orang jalan kaki, mondar-mandir di kawasan JBR.

"Oh ya... aku dan teman-teman sering jalan-jalan di JBR. Tempatnya sangat modern kayak di Amerika," ujarnya tersenyum.

Lantas, mengapa Anda tidak melanjutkan kontrak kerja di Dubai?

"Aku gak kuat. Kerja di sana tidak seindah yang dibayangkan orang," katanya.

Penghasilan sebagai karyawan hotel urusan makanan minuman memang menggiurkan. Sebulan di atas Rp 10 juta. Makan minum tidur dan sebagainya gratis. Uang 10 juta itu boleh dikata utuh.

"Makan daging dan makanan kelas bintang lima setiap hari. Makan sampai kenyang dan bosan," tuturnya.

Walakin, pemuda ini tetaplah orang Jawa yang senang tempe penyet, tahu, telur dan makanan rumahan ala wong deso. Maka sesekali dia keluar mencari makanan nonhotel ala Jawa.

"Tempe penyet aja di sana Rp 120 ribuan," katanya membuat saya dan beberapa teman penggowes sepeda keheranan. Daging kualitas hotel bintang lima jauh lebih murah.

Selain soal makanan dan kangen kampung halaman, dia mengaku sangat berat bekerja di Dubai karena jam kerja yang terlalu panjang. Kerja 12 jam sehari. Tanpa libur sama sekali.

"Liburnya ya saat vacation," katanya.

Vacation itu saat masa kontrak selama 9 bulan berakhir. Kembali ke Indonesia sekitar satu atau dua bulan. Lalu teken kontrak baru. Kerja lagi 12 jam sehari. Tanpa off, tanpa libur akhir pekan dsb.

Mas ini memutuskan kembali ke Jawa Timur. Nganggur sejenak lalu kerja di apartemen. Tentu tidak semewah hotel bintang lima atau bintang tujuh nun di Dubai saja.

Penghasilannya pun tak sampai separonya. Malah di bawah UMK yang 3 jutaan itu. Duit segitu harus dipakai untuk makan minum dsb. Beda dengan di Dubai yang utuh plus tip-tip dolar dari tamu-tamu Barat yang dikenal murah hati itu.

"Uang itu bukan segalanya," begitu kesimpulan pemuda itu.

Rupanya dia kapok bekerja di Dubai atau kota-kota besar lain di Timur Tengah.

Senin, 13 Januari 2020

Sulit menjaga disiplin menulis di blog

Wartawan-wartawan di Surabaya wajib menyetor 3 berita setiap hari. Suka tidak suka, mau tidak mau. Bahkan bisa 4 atau 5 berita kalau temannya libur atau izin atau sakit.

Berbeda dengan wartawan harian, blogger tidak punya kewajiban menulis setiap hari. Suka-suka dia. Bisa menulis 4 artikel per hari. Bisa 1 atau 2 artikel. Bisa seminggu atau sebulan sekali. Bisa setahun sekali.

Ada blogger senior, mbahnya blogger, AH, dulu menulis tiap hari. Blognya sangat terkenal di tanah air. Sering ceramah dan isi seminar di mana-mana. Namun, seiring redupnya blog tulis, diganti blog video di YouTube, AS sangat jarang menulis. Mungkin setahun tidak sampai 10 naskah. Bukan lagi 200 atau 300 naskah.

Maka saya tertarik dengan resolusi Ivan Lanin, blogger, wikipediawan, pemerhati bahasa Indonesia (yang baik dan benar). Di awal tahun 2020 Ivan bikin resolusi: menulis tiap hari di blognya.

Ivan Lanin: "Sudah lebih dari dua pekan saya berhasil mendisiplinkan diri untuk menulis tiap hari. Caranya dengan membuat tulisan sambil membayangkan sedang bercerita kepada kerabat atau sahabat."

Wow, luar biasa!
Mudah-mudahan keinginan dan tekad Ivan bisa terwujud.

Blogger lain yang paling fenomenal adalah Dahlan Iskan. Mantan bos koran dan mantan menteri BUMN itu baru bikin blog disway.id dua tahun lalu. Sejak awal Dis, sapaan akrabnya saat masih di Jawa Pos, bertekad menulis setiap hari. Nonstop. Tak ada tanggal merah.

Bahkan Disway, begitu Dahlan Iskan biasa menyebut dirinya saat ini, sering menulis lebih dari satu artikel sehari. Khususnya tema-tema yang sangat menarik seperti Taiwan atau Tiongkok yang memang sangat dikuasainya.

Syukurlah, Disway terbukti bisa. Menulis tiap hari tanpa jeda. Dan selalu tayang pukul 05.00. Jamnya tentu bisa disetel dengan mudah di platform blog. Kita juga bisa menyetel tanggal dan jam tayang sesuai dengan keinginan kita. Karena itu, bisa saja Disway menulis 5 artikel sehari untuk diposkan selama 5 hari yang berbeda.

Walakin, apa pun kiatnya, menulis catatan pendek, sederhana, ringan di blog setiap hari tetap tidak mudah. Saya pun tak mampu melakukannya walaupun pernah bikin semacam resolusi ala Disway atau Ivan.

Ada-ada saja kendalanya. Bahan-bahan yang diobrolkan sih banyak. Tapi tiba-tiba ada tugas mendadak. Ada siaran sepak bola yang menarik. Diskusi sosial politik di televisi atau YouTube. Baterai ponsel tidak kuat alias lemot.

Salah satu kendala buat saya, mungkin terbesar, adalah masih sulit mengetik dengan jempol di ponsel android. Maklum, sudah sangat lama saya tidak pakai laptop atau komputer untuk blogging.

Ketika pakai komputer atau laptop, tulisan sangat cepat dan lancar. Saya mulai mengetik pakai jempol pada era Blackberry. Awalnya kagok tapi lama-lama lancar dan nyaris tanpa salah. Ini karena Blackberry waktu itu pakai keyboard biasa (timbul).

Saat beralih ke ponsel android, keyboard biasa diganti virtual. Kecepatan mengetik turun drastis meskipun ada teks prediktif segala. Saya sudah latihan selama beberapa tahun tapi hasilnya belum sebagus pakai Blackberry.

Kembali lagi ke disiplin menulis tadi. Disway mampu menjaga konsistensi karena Pak Dis memang sangat disiplin sejak dulu. Disiplin di bidang apa saja. Jam-jamnya harus jelas dan tegas. Disway sengaja memasang deadline layaknya koran beneran.

Nah, wartawan-wartawan bisa menulis 3 berita sehari (minimal) karena terikat deadline yang ketat. Juga takut dipecat. Kalau cuma setor 2 berita, apalagi satu berita, dianggap tidak produktif. Apalagi beritanya cuma kelas C (cukup) dan D (djelek). Berita-berita yang dibutuhkan itu kelas A (amat bagus) dan B (bagus).

Narablog tidak kenal deadline dan tidak punya atasan. Suka-suka si blogger mau menulis setiap hari, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Tidak ada yang pecat dia. Apalagi tulisan narablog juga tidak ada yang baca.

Sabtu, 11 Januari 2020

Tabebuya ternyata tidak aman

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sangat doyan taman. Sudah ratusan taman dibuatnya sejak jadi wali kota pada 2010. Taman taman taman...

Bu Risma memang cinta taman dan keindahan kota. Itu mulai terlihat sejak ia menjadi kepala dinas pertamanan. Keberhasilan membuat taman dan menjaga kebersihan kota itulah yang kemudian membuat Risma sangat terkenal. Lalu dijadikan calon wali kota. Dan menang... dua periode.

Di tangan Wali Kota Risma, pohon-pohon penaung di Surabaya pun berubah. Bukan lagi sekadar angsana (sono) atau trembesi. Tapi tabebuya dan beberapa pohon dari luar. Tabebuya bahkan jadi ikon baru Surabaya. Ada festival tabebuya yang heboh.

Saya sendiri tidak suka tabebuya dan pohon-pohon hias. Selera saya pohon-pohon besar yang daunnya lebat. Saya bisa duduk berlama-lama di bawah beringin atau trembesi atau pohon-pohon yang rindang.

Saya tidak butuh kembang-kembang yang indah. Tidak butuh tabebuya warna-warni. Tidak pernah selfi-selfian. Saya hanya butuh oksigen dan kesejukan. Bu Risma rupanya lebih suka yang indah-indah. Maklum perempuan.

Nah, bagaimana kekuatan tabebuya? Apakah cukup kuat diterjang angin kencang? Akarnya dalam?

Musim hujan kali ini jadi ujian terbaik untuk tabebuya. Ternyata sejumlah pokok tabebuya tumbang di awal tahun. Beritanya pun tersebar luas di media massa dan media sosial.

Pohon-pohon tabebuya di Surabaya relatif masih sangat muda. Belum 10 tahun. Akarnya belum kuat meskipun sudah tinggi. Bisa dibayangkan kalau dihantam angin kencang seperti dua minggu lalu.

''Tabebuya dengan diameter batang 60 cm dan tinggi 6 m roboh menimpa mobil.
Salah satu tanda penting pohon tabebuya sudah miring ke jalan,'' tulis Dr Amien Widodo, dosen ITS yang getol memantau kondisi pohon-pohon di Surabaya.

Saya jadi ingat asam jawa. Tanaman asam ini dijadikan pohon penaung utama di pinggir jalan oleh pemerintah Hindia Belanda. Yang ditanam bijinya. Butuh waktu puluhan tahun hingga jadi tanaman yang besar. Tapi akar-akarnya mencengkeram kuat jauh ke dalam tanah.

Orang Belanda, sang penjajah brengsek itu, ternyata sangat paham kondisi Nusantara yang tropis panas. Perlu pohon-pohon besar, kuat, sebagai penaung. Nusantara tidak butuh tanaman hias seperti tulip atau sakura atau tabebuya.

Karena itu, tidak heran tanaman asam jawa ini mampu bertahan hingga 80an tahun, bahkan 100 tahun. Sampai sekarang masih bisa kita nikmati di luar Jawa. Buah asam juga bisa dibuat bumbu masak dsb.

''Asam jawa pun bisa tumbang kalau tidak ada perawatan,'' kata Amien Widodo. Tak lupa dosen geologi itu menunjukkan foto asam jawa yang tumbang di Solo.

Ouw... perawatan perawatan! Minggu lalu sepasang suami istri tewas gara-gara ditimpa pohon tumbang di dekat kantor gubernur. Tak jauh dari Tugu Pahlawan.

Takdir, kata orang Nusantara. Ciong, kata Tionghoa.

Mau ciong atau takdir, tragedi ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Untuk mengecek dan merawat pohon-pohon besar dan tinggi di pinggir jalan. Warga juga perlu mengontrol pohon-pohon di samping rumahnya.

''Pohon-pohon di Surabaya tidak kuat karena akarnya tidak dalam,'' kata seorang insinyur.

Minggu, 05 Januari 2020

Misa di GYB bersama Pater Goris Kaha SVD

Tiap Minggu pagi Jalan Jemursari selalu ditutup untuk Car Free Day (CFD). Warga Surabaya bagian selatan diajak bakar lemak bareng-bareng. Jalan utama itu ditutup sampai pukul 09.00.

Saya lupa kalau Jalan Jemursari ditutup. Begitu juga dua atau lima orang lain. Apa boleh buat, harus nuntun motor ke Jemur Andayani. Tepatnya Gereja Katolik Gembala Yang Baik (GYB). 

Misa tinggal 25 menit lagi. Jalan kaki lebih cepat ketimbang memutar jauh. Pasti terlambat misa. Asyik juga jalan kaki ke gereja yang diasuh imam-imam SVD asal Flores NTT itu.

Minggu pagi itu cuaca mendung. Hawa sejuk. Dus, tidak banyak keringat saat sampai di belokan Jemur Andayani. Gereja GYB sudah dekat.

Deo gratias! Belum terlalu terlambat. Pater Gregorius Kaha SVD bersama putra-putri altar baru bergerak masuk ke dalam gereja. Kor yang diperkuat banyak anak muda asal Flores sedang menyanyikan lagu pembukaan: Dari Timur Jauh Benar.

Pesta Tiga Raja. Begitu istilah lama untuk menyebut ekaristi pada hari Minggu yang dekat 6 Januari. Temanya tentang tiga orang majus datang ke Bethlehem setelah melihat bintang di sebelah timur.

"Tiga majus itu mampu membaca tanda-tanda alam. Sementara kita di zaman modern ini sering tidak peka. Bahkan ramalan BMKG pun sering diabaikan," kata Pater Goris Kaha SVD. Sepertinya menyentil banjir besar di Jakarta.

Sudah sangat lama saya tidak bertemu Pater Goris yang asli Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur. Terakhir saya menemui beliau di Paroki Roh Kudus, Gununganyar, Surabaya, untuk mengambil jagung titi. Oleh-oleh khas Flores Timur dan Lembata.

Pater Goris kemudian belajar lagi di Eropa. Balik ke Surabaya ditempatkan di Paroki GYB, salah satu dari 6 paroki yang digembalakan imam-imam SVD di Surabaya dan Sidoarjo.

Meskipun sering bertemu beliau, baru kali ini saya ikut misa yang dipimpin Pater Goris Kaha SVD. Saat homili logat Lamaholot atau Flores Timur kurang terasa. Beda dengan pater-pater SVD lainnya yang sulit menghilangkan aksen bahasa ibunya saat berbahasa Indonesia.

Tidak banyak yang saya ingat dari khotbah Pater Goris. Cuma cerita dari Tanah Batak (katanya) tentang suami istri yang terlalu asyik main ponsel atau media sosial. Anak balitanya dibiarkan main sendiri.

Anak kecil itu akhirnya tenggelam di dalam ember di kamar mandi. Suami dan istri saling menyalahkan. "Tapi anaknya sudah mati. Tidak bisa hidup lagi," kata sang pastor.

Pater Goris kemudian menyoroti manusia-manusia modern yang makin fokus pada diri sendiri. Fokus gadget, swafoto, abai pada sesama.

Beda dengan tiga majus yang pandai membaca pertanda alam kemudian mengikuti petunjuk bintang dan akhirnya sampai di kandang Bethlehem itu.

Jumat, 03 Januari 2020

Tahun terberat dalam hidupku

Tahun 2019 baru saja berlalu. Suka duka, pahit getir sudah kita lewati. Saatnya kita menatap tahun 2020 dengan optimisme sambil memohon berkat dan perlindungan Tuhan.

Bagi saya, 2019 adalah tahun spesial yang tak akan saya lupakan seumur hidup. Tahun terberat. Ayahandaku Nikolaus Nuho Hurek dipanggil ke pangkuan-Nya pada 22 Juli 2019.

Inilah momen ketika saya resmi jadi yatim piatu. Ibundaku Maria Yuliana sudah lebih dulu dipanggil ke rumah-Nya tahun 1998. Saat itu sedang ramai-ramainya gerakan reformasi menurunkan rezim Soeharto.

Kepergian Bapa Niko Hurek bulan Juli 2019 membuat saya jadi banyak merenung. Tidak bisa lagi banyak tertawa atau bercanda seperti biasanya. Sekaligus mengubah rencana yang sudah saya konsep di kepala.

Tahun 2020 baru berumur tiga hari. Suasana awal tahun ini ditandai dengan bencana alam banjir di Jakarta dan beberapa kota lain. Berat memang tantangan hidup ke depan.

Tahun-tahun ke depan tentu makin sulit ketika aku tak punya lagi ayah dan ibu kandung. Tapi masih ada 2 paman dan 2 bibi yang tak lain adik kandung mendiang ayahku.

Masih ada pula 3 adik kandungku di NTT (Yus, Erni, Is). Juga masih ada keluarga besar marga Hurek Making di Pulau Lembata, NTT.

Selamat Tahun Baru 2020! 

Rabu, 01 Januari 2020

Tahun Baru di Atas Karpet

Tak ada acara khusus menyambut tahun baru di Surabaya. Wali Kota Risma seminggu sebelumnya melarang warga ramai-ramai di jalan raya. Tidak boleh konvoi. Tidak perlu pesta kembang api. Tidak usah trompet-trompetan dsb.

Maka malam tahun baru di Surabaya terasa biasa. Sama saja dengan malam-malam biasa. Cuma ada pengajian bersama di Jalan Kembang Jepun. Baguslah... tahun baru diisi doa bersama.

Saat melintas di Taman Bungkul suasana sangat ramai. Puluhan polisi, tentara, satpol PP, apel siaga. Meskipun mendukung, warga Surabaya tetap menikmati malam pergantian tahun di tengah kota. Tanpa pertunjukan musik atau atraksi kesenian lainnya.

Beda banget dengan beberapa tahun lalu. Old and New diisi dengan pesta rakyat. Ada car free night di Tunjungan hingga Taman Bungkul. Rupanya Pemkot Surabaya, khususnya Bu Risma, kapok dengan efek negatif macam kemacetan, ugal-ugalan dsb.

"Saya imbau warga Surabaya tahun baruan di bersama keluarga di rumah," kata Bu Risma.

Syukurlah, Sidoarjo masih punya tradisi pesta kembang api di alun-alun. Ada hiburan musik, bazar produk UKM, hingga pesta rakyat. Kuliner khas Sidoarjo bisa dinikmati di kawasan alun-alun.

Saya selalu terkesan dengan suasana tahun baru di Sidoarjo. Ingin meluncur ke kawasan selatan Surabaya itu untuk melihat gebyar kembang api dan kemeriahan di Alun-Alun Sidoarjo itu.

Sayang, semalam badanku tak kuat. Ngantuk poll. Saya pun memutar musik jazz ringan sambil tiduran di atas karpet. Enak banget karena kawasan Surabaya Selatan semalam tidak sumuk.

Eh, kebablasan hingga pukul 04.00 pagi. Sudah tahun baru. 1 Januari 2020.

Selamat Tahun Baru!