Senin, 12 Juni 2023

David Foster bakal konser lagi di Indonesia minus Peter Cetera

Hebat betul David Foster. Sudah tua tapi belum pensiun. Komposer, musisi, produser 73 tahun ini bakal kembali lagi ke Indonesia. Bukan untuk pesiar cari angin, berenang, hiking tapi bikin konser komersial. 

Barangkali Foster ini artis top US-Kanada yang paling banyak manggung di Indonesia. Sejak era 80-an hingga 2023 ini. Ayas sebagai penggemar David Foster tentu ikut senang. Lelaki yang nikah 5 kali itu mau datang ke Indonesia berkali-kali.

Senin pagi, 12 Juni 2023, Ayas lihat iklan konser Hitman David Foster satu halaman di koran terbitan Surabaya. Wow, luar biasa. David Foster masih sehat dan produktif. Masih pinter cari cuan!

David Foster selepas covid ini bakal membawa Katharine McPhee, Michael Bolton, Loren Allred, dan Peabo Bryson. Mengapa tak ada Peter Cetera? Mungkin sedang sibuk vokalis romantis melankolis itu.

Ayas memang lebih suka lagu-lagu David Foster yang dibawakan Peter Cetera. Glory of Love, Hard to Say I'm Sorry, You're The Inspiration, etc. Foster dan Cetera kombinasi yang sempurna. Enak banget. "Rasanya kita ikut melayang ke awan," kata Diaz di kawasan Klojen, Malang, tempo doeloe.

Orang Alor itu dulu sangat sering putar kaset lagu-lagu Cetera-Foster. Ayas pun jadi ketularan melodi, aransemen, olah vokal khas yang sangat enak itu. Beda dengan lagu-lagu Amerika lain berbasis blues dan jazz yang tidak merdu macam BB King, Armstrong, Salena Jones dan sejenisnya.

Ayas masih sering tengok konser-konser Hitman & Friends di YouTube. Masih sangat meriah di mana-mana kota di dunia. Tapi tidak seenak saat Foster masih muda pada era 80-an dan 90-an. Salah satu konser David Foster yang enak saat kolaborasi di Jakarta dengan Twilite Orchestra dan saksofonis Embong Rahardjo.

Faktor U memang sulit dilawan David Foster, Bolton, Bryson, Jagger, Bon Jovi, etc. Karena itu, Ayas kurang suka menonton konser artis-artis veteran sekaliber The Hitman, Jagger, Bon Jovi, Maddona, Britney dan artis-artis lawas lainnya.

"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda," kata Soe Hok Gie.

Sabtu, 10 Juni 2023

Sketsmasa majalah terbesar dari Surabaya era 1960-an manajemen gotong royong

Ayas sudah lama tidak bahas majalah dan surat kabar tempo doeloe di Surabaya. Kebetulan kemarin dapat kirim 3 eks majalah Sketsmasa tempo doeloe dari Bung Ali di Jogjakarta. Tuan keturunan Arab ini memang punya banyak koleksi buku-buku, majalah, koran lawas.

Sketsmasa ini majalah tua yang sudah lama almarhum. Terbit mulai 1 Oktober 1958, Sketsmasa yang beralamat di Jalan Kawung Nomor 2 Surabaya ini pernah jadi salah satu majalah laris di Indonesia. "Oplahnya 70 ribu eksemplar," tulis Soeripto Poetra Djaja pada Sketsmasa edisi 1 Februari 1962.

Pemimpin redaksi Sketsmasa itu bilang permintaan langganan dan eceran masih banyak di seluruh Indonesia. Namun persediaan kertas terbatas sehingga sulit mencetak di atas 70 ribu. 

Ayas baru tahu kalau dulu ada pembatasan kertas untuk koran dan majalah. Sketsmasa dijatah 62.500 eks. Tambahan kertas harus dicari sendiri. "Maka harap jang belum bisa diterima sebagai langganan atau agen memaafkan adanja," tulis Soeripto wartawan kawakan Surabaya tempo doeloe.

Suasana politik revolusi belum selesai ala Bung Karno sangat kental dalam tulisan-tulisan di Sketsmasa serta berbagai penerbitan pada masa Orde Lama itu. Ada jargon di sampul majalah: ADIL MAKMUR LEWAT MANIPOL/USDEK.

"Sketsmasa dan penerbitnya serta segenap pengasuhnya adalah berjiwa Nasakom. Artinya tidak terikat, tidak tergabung, tidak berafiliasi, tidak menyuarakan, sesuatu partai, tapi semua golongan. Sebab sejak terbit pada 1 Oktober 1958, Sketsmasa adalah berjiwa dan berhaluan Pancasila. Dan sejak lahirnya Manifesto politik pada tanggal 17 Agustus 1959, Sketsmasa juga berjiwa dan berhaluan Manipol-Usdek disamping Pancasila. 

Selanjutnya setelah Pemimpin Besar Revolusi mengomandokan supaya setiap orang ber-Panca Azimat Revolusi, Sketsmasa dengan iklas dan taat mengikuti dan melaksanakannya.
Dalam Komando Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang lainnya yang menekankan keharusan kita untuk berjiwa Nasakom, Sketsmasa mentaatinya dengan sepenuhnya," tulis redaksi Sketsmasa tentang haluan politik serta loyalitasnya pada Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi.

Dalam tajuknya ada edisi 10 Januari 1962, Pemred Soeripto Poetra Djaja menceritakan visi dan misi perusahaan. Perusahaan yang menerbitkan Sketsmasa di Jalan Kawung 2 Surabaya adalah Firma GRIP. "GRIP adalah singkatan dari kata² Gotong Rojong Inti Pantjasila," tulisnya.

Majalah Sketsmasa pada era 1960-an rupanya maju pesat. Oplahnya yang mencapai 70 ribu eks itu luar biasa. Koran-koran atau majalah di masa kejayaan 1990-an dan awal 2000-an sebelum "negara api" internet dan media sosial menyerang pun jarang yang bisa mencetak sebanyak itu. 

Soeripto mengaku menggunakan hasil usaha penerbitannya sesuai dengan asas gotong royong dan kekeluargaan. Fa GRIP menyediakan mes untuk pegawai bujangan. "Mereka jang sudah kawin diusahakan dapat tempat tinggal sendiri². Beaja perumahan segala-galanja atas tanggungan perusahaan," katanya.

Luar biasa!

Masih kata Soeripto, setiap tahun perusahaan mengadakan piknik karyawan sedikitnya tiga kali. "Dan pesta makan bersama sedikitnja tiga kali pula. Masih ditambah pula dengan melihat bioskop gratis sebulan sekali."

"Tiap tahun menerima hadiah berupa uang dan pakaian tiga kali. Jaitu pada hari tahun baru, hari Lebaran, dan perajaan 17 Agustus. Hadiah uang sedikitnja sebesar gadji dan hadiah pakaian satu setel. Djuga pakaian untuk anak dan istri pada hari Lebaran," tulis Soeripto.

Luar biasa!

Sulit dipercaya ada perusahaan pers di masa Orde Lama yang makmur dan bagi-bagi rezeki untuk semua karyawan seperti Sketsmasa di Surabaya. Manajemen gotong royong sebagai inti Pancasila!

Roda terus berputar. Sang PBR Presiden Soekarno tumbang. Selepas Gerakan 30 September 1965, semua yang berbau ajaran, pendapat, pidato, jargon Bung Karno dihapus. Manipol Usdek diharamkan. Majalah Sketsmasa yang menyajikan "batjaan jang progresif dan berani" ikut goyang. 

Sketsmasa kemudian ikut arus politik baru. Berusaha menjadi pendukung setia rezim Orde Baru. Foto-foto Jenderal Soeharto dimuat banyaaaak dan besar-besar. Majalah yang dulu getol propaganda Manipol Usdek kini berubah jadi corong Orde Baru. 

Namun secara bisnis oplahnya terus menurun. Akhirnya gulung tikar. Tak banyak orang Surabaya yang ingat majalah Sketsmasa. Kecuali wartawan-wartawan sepuh macam Oei Hiem Hwie, mantan wartawan koran Trompet Masjarakat, yang pernah dibuang ke Pulau Buru.

"Sketsmasa dulu memang majalah terkenal di Indonesia," kata Om Oei yang punya Perpustakaan Medayu Agung.

Bung Johnny Plate Sekjen DPP Partai Nasdem, mantan PMKRI, mantan seminaris jatuh dalam pencobaan

Nusa Tenggara Timur paling banyak menghasilkan pastor Katolik di Indonesia, bahkan dunia. Tapi NTT dari dulu tercatat sebagai provinsi termiskin karena tidak punya entrepreneur. Kalau Indonesia ingin maju dan kaya, syaratnya harus punya banyak entrepreneur, kata konglomerat terkenal.


Yah.. NTT secara umum memang miskin entrepreneur atau pengusaha yang mampu menciptakaan lapangan kerja. Tapi bukan berarti tidak ada. Salah satu pengusaha asal NTT yang dianggap sukses adalah Johnny Gerard Plate. 

Orang Manggarai ini bukan sekadar pengusaha sukses. Johnny menjabat sekjen Partai Nasdem. Orang kedua atau tangan kanan Surya Paloh, konglomerat pemilik Partai Nasdem.

Johnny Plate awalnya ingin jadi pastor. Karena itu, dia masuk Seminari Kisol di Manggarai, Flores. Tapi rupanya Tuhan berkendak lain. Dia tidak lagi ikut pendidikan khusus untuk jadi imam Katolik. Dia pilih sekolah biasa hingga lulus Unika Atma Jaya, Jakarta. Lalu menekuni bisnis. 

Meski gagal di seminari, Sensus Catolicus Johnny Plate tetap tinggi. Dia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Organisasi ini sejak didirikan tahun 1947 selalu menggembleng anggotanya untuk melaksanakan Ansos (analisis sosial) dan mendalami ASG (Ajaran Sosial Gereja). 

Ansos berarti selalu turun ke bawah. Membaca dan menganalisis situasi sosial kemasyarakatan. ASG yang berisi dokumen-dokumen dan ensiklik juga menguraikan panjang lebar situasi kemasyarakatan, perburuhan, hubungan majikan buruh, pemerintahan, bonum comune dan sebagainya. 

Maka, para aktivis PMKRI sedikit banyak punya naluri politik yang tinggi. Bukan PMKRI kalau tidak resah dan tanggap akan tanda-tanda zaman. Tidak boleh apatis. Harus punya kontribusi untuk gereja dan negara. Pro ecclesia et patria!

Bung Johnny yang lama jadi pengusaha pun rupanya terpanggil untuk melayani masyarakat lewat politik. Hingga akhirnya jadi sekjen DPP Partai Nasdem. Karir politik yang tidak main-main. Kemudian jadi menteri komunikasi dan informasi Kabinet Jokowi.

Dulu banyak orang NTT bangga karena ada orangnya yang sukses jadi pejabat tinggi di pusat. Apalagi Bung Johnny sering muncul di televisi menjadi penerjemah atau intrepreter bahasa Inggris. Kalau ada pejabat asing berbicara dalam bahasa Inggris, Bung Johnny jadi penerjemahnya.

Saking semangatnya, Bung Johnny juga menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan peserta konferensi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris untuk mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Seakan-akan Tun Mahathir tidak mengerti bahasa Indonesia yang nota bene 11/12 dengan bahasa Melayu Malaysia. 

Anak-anak seminari Katolik di mana-mana memang digembleng untuk berbahasa Inggris, Latin, Belanda, Prancis dsb. Jadi, tidak heran Bung Johnny sangat piawai berbahasa Inggris meski logat Flores Barat sulit lenyap. 

"Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26 : 41)

Ayat Injil itu sering dikutip pater-pater dan pendeta. Mantan seminaris macam Bung Johnny pasti hafal wejangan Gusti Yesus tersebut. Bung Johnny rupanya jatuh ke dalam pencobaan.

Wikipedia menulis:
 
"Pada tanggal 17 Mei 2023, Johnny G. Plate ditahan karena terlibat dalam kasus korupsi proyek penyediaan infrastruktur Base transceiver station 4G infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo tahun 2020–2022. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 8 triliun."

Delapan triliun! 
Banyak bangeeeet! 

Semoga Bung Johnny bisa membuktikan di pengadilan bahwa dirinya tidak bersalah. Tapi, kalau memang bersalah, ya selamat introspeksi di dalam penjara. Banyak sembahyang! Banyak baca kitab, Bung! Banyak gerak badan!

Menengok rumah tua di pinggir jalan raya Lawang

 


Ayas dulu senang jalan-jalan di kawasan Lawang, Kabupaten Malang. Awalnya penasaran dengan rumah sakit jiwa (RSJ) di Sumber Porong. Kebetulan ada kerabat jauh punya anak yang stres berat pernah dirawat di situ sampai waras. Lalu kumat lagi di Jakarta. Waras lagi dst.

Ada seorang paman asal Pulau Lembata, NTT, punya istri orang Sumber Porong. Dekat RSJ terkenal itu. Klop sudah.

Ayas juga beberapa kali menginap di Hotel Niagara. Bangunan kolonial paling antik yang jadi tetenger Lawang City. Konon ada makhluk halus, noni-noni Belanda dan Tionghoa masih kerasan di situ meski Indonesia sudah lama merdeka. 

Rupanya cerita-cerita klenik macam itu sulit dibuktikan. Ayas tidak dapat gangguan sedikit pun. Tak ada penampakan sama sekali. Malah Ayas yang pernah menderita insomnia bisa tidur nyenyak sekali di Niagara Hotel. Haleluyaaaa!

Belum lama ini Ayas mampir lagi di Lawang. Blusukan di Sumber Waras lihat bekas rumahnya Ucok AKA Harahap rocker eksentrik pentolan AKA Group Surabaya. Almarhum Ucok meski Arek Suroboyo berdarah Batak-Prancis, lebih banyak tinggal di rumah ayahnya Ismail Harahap di Lawang. Ini setelah Apotek Kali Asin (AKA) di Surabaya dijual kemudian dihancurkan.. dibangun patung karapan sapi itu.

Harta pengusaha apotek terkenal di Surabaya itu ludes. Rumahnya di Lawang sudah dijual. Tinggal tersisa foto-foto kenangan rocker gaek Ucok Aka berpose di depan rumah mewah dan besar itu. Dijualnya tidak sekaligus tapi dicuil sedikit-sedikit.

 "Sempat jadi sengketa ahli waris," kata Ita Nasyah. Kawan lama, mantan wartawan Jawa Pos, itu yang menulis buku biografi Ucok Aka Harahap. Ayas sempat diminta Ita jadi editor buku tersebut.

Masih di Lawang, Ayas mampir di rumah tua di pinggir jalan raya. Kondisinya makin memprihatinkan. Om Sutopo, 86 tahun, tampak setia menunggui rumah lawas itu. Dia tinggal di sebelah rumah mangkrak itu. Sekaligus jaga warkop atawa kafe nuansa tempo doeloe.

"Aslinya itu rumah punya wong Totok (Tionghoa). Anak-anaknya pigi kerja ndek Jakarta dsb. Mangkane omahe ndak terurus. Aku dhewe ya isone cuman bersih-bersih rumput," kata Sutopo.

 Ayas terus memandangi bangunan art deco berumur satu abad lebih itu. Kemudian memotret untuk dokumentasi. Lalu balik ngobrol dengan siansen yang ramah itu.

Siansen Sutopo lahir di Pekalongan. Pindah ke Lawang tahun 1952. Wis karatan ndek Lawang. Karena itu, Ayas pun nanya-nanya tentang Ucok AKA Harahap (alm) dan sepak terjangnya di Lawang dulu. Termasuk istri-istrinya. Ucok dikabarkan menikah 9 kali. Istri terakhir seorang notaris di Pagesangan, Surabaya. Di akhir hidupnya Ucok AKA tinggal bersama Jeng Sri di situ.

"Ucok AKA itu saya punya teman baik. Dulu saya sering main ke rumahnya dan dia sering main ke sini. Omahe warisan bapaknya sudah dibeli orang. Ndak ada sisanya," kata Om Sutopo.

Om kan sudah puluhan tahun tinggal di sini. Omah tua itu apa ada..?

"Oh, ada penunggunya (makhluk halus). Makanya kita orang kudu hati-hati. Banyak sembahyang," pesan Om Sutopo.

Aha... pesan yang bagus. Kita orang kudu banyak sembahyang!

Mas Budi asli Lawang memberi informasi tambahan tentang rumah tua itu:

"Awal 80-an rumah itu masih dihuni sebuah keluarga. Sepertinya orang kaya lama. Kalau tidak salah mereka punya 1 - 2 mobil tua yang masih terawat.

Saat itu ada 1 remaja putri yang tinggal di situ, yg bersekolah di SMA St Yusuf, Malang. Dia langganan mobil antar-jemput milik teman saya (saya sering ikutan jadi kenek mobil tersebut).

Sejak tahun 2000-an, rumah tersebut mulai tampak kosong tak berpenghuni."

Selasa, 06 Juni 2023

NTT banyak mencetak pastor tapi belum mampu cetak entrepreneur

Tuaian banyak tapi pekerjanya sedikit! Karena itu, perlu banyak pekerja. Lowongan kerja yang banyak itu di kebun anggur Tuhan. Kalau lowongan kerja di perusahaan atawa kebun anggur manusia di Indonesia makin sedikit.

Minggu lalu ada kabar gembira dari NTT: Nusa Tenggara Timur, bukan Nasib Tidak Tentu. Sebanyak 43 diakon ditahbiskan di Kupang dan Ledalero, Flores, dalam waktu kurang dari seminggu. Selisih cuma tiga hari saja.

Luar biasa! 

Ada 43 diakon baru hanya dalam sepekan. Tidak lama lagi para diakon itu ditahbiskan jadi pastor praja (RD) dan pastor kongregasi (RP). Hampir pasti sebagian besar pater-pater itu akan berkarya di luar NTT. Khususnya pater-pater ordo SVD.

Sabtu, 3 Juni 2023, Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat menahbiskan 19 diakon baru di Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero, Kabupaten Sikka, Flores.

Rabu, 31 Mei 2023, Uskup Agung Kupang Mgr. Petrus Turang menahbiskan 24 diakon baru di Kapel Seminari Tinggi St. Mikhael. 

Di balik tanahnya yang gersang, dengan angka kemiskinan tinggi, NTT sejak dulu jadi ladang subur untuk benih-benih panggilan. Boleh jadi NTT, khususnya Flores dan sekitarnya, jadi penghasil pastor-pastor Katolik sedunia.

"Dulu pater-pater dari Eropa yang datang bermisi di NTT. Mereka ajar kita kitab suci, sembahyang misa, jadi orang Serani. Sekarang gantian imam-imam dari NTT yang pigi ke Eropa. Sebab, panggilan imamat di Eropa makin sedikit," kata Gabriel kawan lama dari Tanjung Bunga, Flores Timur.

"Kita ikut bangga, Ama. Pater-pater dari Flores sudah lama bermisi di Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin dsb," kata teman yang rajin ikut paduan suara salah satu gereja di Surabaya itu.

Yah... kita harus bangga. Tapi juga perlu refleksi agak kritis. Apakah banyaknya pastor yang ditahbiskan di NTT itu bisa membuat provinsi ini makmur sejahtera? Tidak lagi "pigi melarat" (pergi merantau) ke Malaysia?

Nanti dulu. Ayas jadi ingat Ir Ciputra embahnya developer di Indonesia. Almarhum Pak Ci selalu bilang Indonesia baru bisa maju jika punya entrepreneur paling kurang 2 persen. Entrepreneur lho, bukan cuma pedagang kecil atau UKM.

Pak Ci bilang Indonesia (saat itu 2016) hanya punya 400 ribu entrepreneur atau 0,18 persen. Masih jauh dari angka 2 persen. "Minimum negara maju 2 persen. Kejar dulu yang 2 persen  ini," katanya.

Ciputra membandingkan Indonesia dengan Singapura. Negara Singa yang tak ada singanya itu punya 7 persen entrepreneur. "Makanya pendapatan dia 15 kali lebih besar. Gaji dia 15 kali dari Anda," kata Pak Ci dalam sebuah seminar.

Dalam kacamata bisnis dan kemajuan negara versi Ciputra, kelihatannya pengusaha, saudagar, pedagang, jauh lebih penting ketimbang akademisi, politisi, karyawan, profesional, rohaniwan, wartawan, pastor, pendeta dan sejenisnya.

Kalau mau maju, makmur, tidak "pigi melarat" terus ke Malaysia atau Batam atau Sorong ya NTT harus mencetak banyak pengusaha. Jangan hanya mencetak pastor atau pendeta sebanyak-banyaknya. Sebab pastor-pastor tidak bisa membangun pabrik-pabrik atau perusahaan besar yang menyerap lapangan kerja.

Imam-imam biasa mengutip ayat suci:

"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga."

Rabu, 31 Mei 2023

Mengenang Sekolah Tionghoa Lian Huo High School (LHHS) alias Lien Chung di Undaan Wetan 2-6 Surabaya

Di mana lokasi eks sekolah Tionghoa Lian Huo High School (LHHS)?

 Yang bertanya ini AB. Nota bene generasi tua. Peranakan Tionghoa juga. Dia baru dapat buku wisuda LHHS (LHHS) tahun 1949-1950.

Aneh tapi biasa. Orang Tionghoa Surabaya sekalipun sudah lama kehilangan jejak sekolah-sekolah Tionghoa. Apalagi generasi kelahiran Orde Baru, tahun 1966 ke atas. Semua yang berbau Tionghoa rupanya sudah terhapus dari jejak ingatan.

SMA Lian Huo alias Lianhe alias Lien He Chung Huseh alias Lien-Chung ini memang sekolah tua yang kurang dikenal masyarakat umum. Termasuk awak media alias wartawan. Beda dengan Shin Chung alias Shin Hua High School (SHHS) di Jalan Ngaglik 27-29 dan Chung Chung alias Chung Hua High School (CHHS) di Baliwerti 115-121.

Bisa dipahami karena LHHS alias Lien Chung sudah ditutup sejak 1958. Ada persoalan politik di Tiongkok yang ikut merembet ke sini. Presiden Soekarno memutuskan untuk menutup sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan KMT. 

Sedangkan SHHS dan CHHS dapat giliran ditutup pada 1966. Di awal Orde Baru. Bersamaan dengan penghapusan semua yang berbau Tionghoa di Indonesia. Semua sekolah Tionghoa dihabiskan. Gedungnya dipakai sekolah-sekolah negeri. 

Gedung SHHS di Ngaglik dijadikan SMAN 7.  Gedung CHHS di Baliweri awalnya dipakai Ureca dan ITS. Kemudian Ureca yang berubah jadi Ubaya pindah. Kemudian bekas bangunan CHHS dipakai sekolah negeri juga. LHHS di Undaan Wetan Nomor 2-6 jadi ruko yang kurang cemerlang.

Sejumlah pengamat masalah Tionghoa menyebut dulu, sebelum 1960, di Surabaya ada tiga high school atawa SMA terkenal. Ketiganya punya kiblat atau kecenderungan politik yang berbeda. Paling tidak pengurus yayasan atau prinsipalnya.

Pertama, Lien Chung alias Lian Chong alias Lian Huo High School (LHHS) cenderung ke Kuomintang (KMT) atauTaiwan. Seragamnya putih-biru.

Kedua, Chung Chung alias Chung Hua High School (CHHS) pakai uniform putih-putih. Kecenderungan politiknya agak netral. 

Ketiga, Shin Chung alias Shin Hua High School (SHHS) memakai seragam putih-kopi susu. Menggambarkan pakaian kaum buruh atau proletar di Tiongkok. Alirannya Tiongkok Baru yang progresif revolusioner.

SHHS ini yang paling populer, kata pengamat tempo doeloe itu. Lien Chung alias LHHS agak kurang dikenal karena sudah lama tutup sejak 1958. Otomatis saat itu pilihan utama orang Tionghoa ya Shin Chung atau Chung Chung. Meski ada juga sekolah Tionghoa lain macam Ming Kuang atau Ming Kwang di Jalan Argopuro 11-15.

Beberapa tahun lalu ada reuni besar alumni Lian Huo alias LHHS di Surabaya. Cukup banyak pengusaha sukses, akademisi, dokter, hingga profesor hadir. Temu kangen setelah 45 tahun tidak bertatap muka. Ada juga yang datang dari Taiwan, USA, Hongkong, Tiongkok, dan negara lain.

Mereka juga membentuk Perhimpunan Alumni Sekolah Lianhe. Total alumni sekitar 2.000 orang meski usia Lieng Chung ini tidak panjang. "Kualitas Lieng Chung diakui perguruan tinggi papan atas seperti IPB," kata pengurus alumni saat reuni akbar pada pertengahan Februari 2003.

Ayas tadi malam melintas di depan bekas lokasi SMA Lian Huo alias LHHS di Jalan Undaan Wetan 2-6. Suasana gelap. Hanya penerangan seadanya. Dari dulu memang ruko di pojokan Ambengan dan Undaan Wetan memang kurang bersinar. Mungkin kualat telah membongkar salah satu sekolah Tionghoa penting di masa lalu itu.

Ayas dapat informasi juga bahwa eks gedung LHHS sempat dijadikan markas Korem Bhaskara Jaya. Universitas Surabaya (Ubaya) juga awalnya ditawari pakai gedung itu setelah pindah dari gedung eks CHHS di Baliwerti. Tapi, karena sudah dijadikan markas militer, maka Ubaya menggunakan gedung sekolah Tionghoa di Undaan Kulon. Sekarang jadi Sekolah Trisila.

Tak lama kemudian, aset gedung Lian Huo yang bersejarah di Undaan Wetan itu dijual. Kemudian dibongkar total. Rata dengan tanah. Lalu dibangunlah ruko itu. Jejak ian Huo benar-benar hilang sama sekali. Karena itu, sangat wajar kalau banyak orang Surabaya tidak tahu kalau dulu pernah ada SMA Tionghoa terkenal bernama Lian Huo High School alias Lien Chung alias LHHS.

Selasa, 30 Mei 2023

Catholics in Indonesia during the Japanese occupation, 1942-1945


By KAREL A. STEENBRINK


Professor Emeritus of Intercultural Theology at Utrecht University

 

The Japanese administration of Indonesia took religion as an important issue in order to win the sympathy of the population. It gave ample facilities to Islamic institutions.

 

Christianity was seen as the religion introduced and most often directed by the Dutch oppressor. Moreover, Islam was the religion of more than 80% of the population, while in 1942 Christianity reached only about 2.5%.

 

Therefore the Japanese attitude was ambiguous towards Christianity. Dutch missionary personnel were in most cases interned, and initially buildings and other properties of the churches were confiscated, the schools closed or taken over by the new authority.

 

The same was the case with the medical care organised by the Christian churches. In the second year of the Japanese rule there was a milder policy: the Japanese sent several Protestant ministers, some Catholics priests and even two Japanese Catholic bishops to Indonesia (especially to Minahasa and Flores).

 

There were many local variations in this pattern. On the whole it has to be acknowledged that Christianity not only survived the Pacific War but indigenous leadership was given an opportunity to grow because of the absence of foreign missionaries.

 

In education and medical care the Christian churches never regained the broad facilities and close cooperation with the state they had enjoyed before 1942.

 

For the whole of Indonesia the Japanese period was seldom seen as a move towards independence and greater freedom. With the exception of Batakland, the indigenous Indonesians only reluctantly took over the positions of the foreign missionaries. The churches lost much of their solid foundation in society: their schools and sometimes also the hospitals.

 

In 1943 the administration required that during church service the leader should read a message about the Greater Asia War, its causes and aims. 

 

Emperor worship also entered the church buildings, because in many places a Japanese flag was put inside the church building, on the wall facing Tokyo. Before the beginning of the service the assembled congregation were to face that wall and bow.

 

Although it was officially stated that this was an act of respect and not of veneration or adoration, the Christian community had an uneasy feeling about it. Some people wanted to evade this ritual and decided not to go to church anymore.

 

Another reason for a fall in church attendance was the fact that many people had no decent clothes anymore. In regions like the Moluccas, festive black clothes were preserved for going to church on Sundays.

 

Children could go to school naked, as happened in Sangir (the archipelago north of Sulawesi) towards the end of the war, but their parents did not wish them to participate in the church service in such a condition.