Rabu, 10 Agustus 2022

Yuyun Kho Setia Mengabdi di Kelenteng Eng An Bio, Bangkalan

"Kelenteng itu dewa punya rumah. Kita orang kudu kulo nuwun sama tuan rumah. Kayak kita masuk ke rumah orang ya kudu kulo nuwun.. ndak iso nyelonong sembarangan."

Itu Tante Yuyun punya kata-kata. Sudah lama sekali saya dengerken waktu pertama kali ngobrol di Kelenteng Eng An Bio, Bangkalan. Waktu itu Jembatan Suramadu belum jadi. Kita orang kudu naek kapal feri di Dermaga Ujung Surabaya turun di Dermaga Kamal.

Karena sering mampir di Kelenteng Bangkalan, meski kitorang bukan Tionghoa dan bukan Tridharma, saya jadi akrab dengan Yuyun Kho. Ibu asal Salatiga ini selalu kasih tau kalau ada acara-acara Tionghoa di Kelenteng Bangkalan, Kwan Im Kiong Pamekasan, TITD Sumenep dsb.

"Kalau Cap Go Meh kamu orang usahakan dateng. Lontongnya enaaak," kata Tante Yuyun. 

Logat Melayu Tionghoa lawasnya belum hilang. Bahasa Madura malah tidak bisa meski sudah sekitar 25 tahun mengabdi di Kelenteng Bangkalan.

Sejak pandemi virus setan covid saya tidak pernah ke Bangkalan. Tapi masih kontak dengan Tante Yuyun. Biokong yang juga seniman ini sering bagi lagu-lagu Tionghoa yang enak di kuping.

Kamis 11 Agustus 2022. 

Saya kali pertama ke Bangkalan, Madura, pasca-Covid 19. Mampir ke kelenteng di Jalan PB Sudirman itu. Kula nuwun sejenak ke empunya rumah Dewa Bumi (Hok Tek Tjeng Sin) dengen tundukken kepala sedikit.

Tante Yuyun sibuk bikin teh tawar untuk suguhan dewa-dewi. Teh yang dipakai harus kualitas tinggi. Sorenya diganti lagi teh yang baru. Tidak boleh pakai gula karena orang Tiongkok tidak biasa minum teh manis.

Tante Yuyun ini tergolong biokong (penjaga kelenteng) langka. Bukan sekadar penjaga, siapkan teh, kue dsb, tapi juga pinter membuat lukisan-lukisan khas Tionghoa. Khususnya lukisan dinding atau mural di kelenteng.

"Lukisan-lukisan di Kelenteng Lawang itu saya yang bikin," katanya.

Bagi Tante Yuyun, melukis dewa-dewi Tionghoa, menjaga kelenteng selama 24 jam... sama dengan ibadah. Upahnya dari langit.

Sabtu, 06 Agustus 2022

𝗡𝗧𝗧 = 𝗡𝗮𝘀𝗶𝗯 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗧𝗲𝗻𝘁𝘂.. 𝗡𝗮𝗻𝘁𝗶 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗧𝗼𝗹𝗼𝗻𝗴

Masyarakat (NTT) di perantauan sesekali perlu go public. Sekadar silaturahmi dengan komunitas etnis lain, diskusi tipis-tipis, promosi wisata tipis-tipis, ngomong soal Pulau Komodo, danau tiga warna di Ende, berburu ikan paus di Pulau Lembata, dsb.

Provinsi NTT - lebih sering dipelesetkan jadi Nasib Tidak Tentu atau Nusa Tetap Tertinggal tapi Nanti Tuhan Tolong - merupakan salah satu dari 34 provinsi yang kurang dikenal di luar NTT. Khususnya di Pulau Jawa.

Tidak banyak orang Jawa atau Sunda atau Betawi atau Madura yang tahu Pulau Flores, Pulau Timor, Pulau Sumba, dan pulau-pulau kecil macam Rote, Sabu, Raijua, Alor, Pantar, Lembata, Adonara, Solor, dsb. Apalagi Pulau Babi, Pulau Komba yang konon dihuni para suanggi alias hantu-hantu blauw.

Orang Bali, Lombok, Sumbawa hampir bisa dipastikan lebih paham NTT karena tempo doeloe kita pernah satu provinsi, yakni Provinsi Soenda Ketjil kemudian Provinsi Nusa Tenggara. Ibu kotanya di Singaraja. Sejak 20 Desember 1958 dimekarkan jadi tiga provinsi: Bali, NTB, NTT. 

Karena itu, kita orang senang kawan-kawan komunitas Flores Bersatu dan Flobamora ikut berpartisipasi di acara Persatuan Nusantara Satu Rasa di Rumah Joglo, MERR Surabaya, Gunung Anyar. Sekaligus memeriahkan Suroan.

Nona Yetty dan Nona Joan tampil mengenakan pakaian adat Manggarai dan Rote.  Joan yang lahir dan besar di Rungkut terlihat anggun mengenakan busana tenunan khas Rote. 

Rote itu di mana? Pulau paling selatan Indonesia. Banyak seniman dan nona-nona manis berasal dari pulau ini. Komposer dan penyanyi lawas Obbie Messakh pun asli Rote.

Provinsi NTT punya 22 kabupaten. Di setiap kabupaten ada beberapa motif tenun dan budaya yang agak berbeda. Manggarai pun ada Manggarai Barat, Manggarai Timur, Manggarai (Tengah). Belum lagi kawasan Kepulauan Komodo.

Kalau di MERR kemarin budaya Manggarai dan Rote yang ditampilkan, kali lain gantian Sumba Timur, Sumba Barat, Sikka, TTU, TTS, Belu, dsb. 

Bae sonde bae Flobamora lebeh bae! 

(Baik tidak baik NTT lebih baik!)

Kamis, 04 Agustus 2022

Eksostisme Pabrik Obat di Jalan Bongkaran

Kawasan kota lama Surabaya ini sumpek dan padat siang hari. Malamnya sepi. Gedung-gedung tua banyak betul. Tapi kebanyakan mangkrak.

Saya sering banget melintas di Jalan Bongkaran, belok kiri Jalan Kopi, tembus Pasar Bong, Slompretan, Topekong alias Cokelat, Jalan Karet, ada juga Jalan Teh, dan seterusnya. Kalau sudah capek biasanya mampir di Maya punya rumah di dekat Topekongstraat.

Setelah nikah, Cik Maya diboyong suaminya ke Jakarta. Yah.. terpaksa mampirnya di warkop-warkop van Madoera yang banyak banget di kawasan Old Chinese Town itu. 

Kemarin ada orang Medan pusing-pusing ke Jalan Karet, Gula, Slompretan, Bibis.. sampai penat. Mampir di warkop Jalan Bongkaran. Orang Madura punya warkop. 

"Orang Madura banyaaak di sini ya, Bang?" tanya si Medan gaya Tapanuli.

"Bukan banyak tapi banyaaaaak. Hampir semua warung, warkop di pinggir jalan, emperan gedung itu  punya wong Meduro."

"Warung sate dekat kelenteng itu Madura juga?"

"Iya.. itu Abah punya ponakan. Abah asli Madura sudah lama naik haji hasil jualan sate sejak awal 80-an."

"Kalau bangunan Pabrik Obat Helmig dan Essence itu masih aktif?"

"Pabriknya sudah lama pindah ke Prigen, Tretes. Kawasan dingin banyak vila bagus. Anda bisa rekreasi di sana. Ada sate kelinci yang enak."

Bang Horas ini rupanya bukan turis biasa. Dia senang gedung-gedung tua, bangunan kolonial, kota tua, pabrik-pabrik tua dan sejenisnya. Sudah keliling beberapa kota besar. 

 "Bangunan-bangunan tua di Surabaya ini sebenarnya bagus-bagus. Tapi kurang terawat. Kalau di kota lama Semarang bagus-bagus," kata si Horas yang tidak suka RW alias Sengsu.

Saya lalu cerita dongeng tentang pabrik obat Helmig dan esens Tjap Lontjeng. Pabrik ini ganti nama jadi Pharmasi Industri Masyarakat (PIM) pada 1958. Sekarang jadi  PT PIM Pharmaceutical.

 Juga menyinggung sedikit bangunan-bangunan kolonial di kawasan Bongkaran, Slompretan, Bibis, Waspada, Karet, Gula dsb. Tidak lupa dikasih sedikit bumbu-bumbu kuntilanak, nonik-nonik londo yang melayang-layang, serta hantu-hantu tenglang.

Bang Horas sesekali tersenyum dengar dongeng soal hantu blauw van Londo. 

Horas.. horaaas... horaaasss!
Lisoi.. lisoi.. lisoi...
O parmitu lisoi.. 

(Tidak ada tuak di Surabaya 😀)

Selasa, 02 Agustus 2022

Patung Naga di Kembang Jepun, Teringat Bung Yusach Hariadi

Senin, 2 Agustus 2022.

Saya ngobrol dan ngopi bersama beberapa petugas yang mengecat gapura Kya Kya Kembang Jepun, Surabaya. Mereka juga membersihkan dan mengecat patung Naga khas Tiongkok yang gagah itu.

Pemkot Surabaya rupanya serius meromansakan kawasan pecinan kota lama yang selalu remang-remang pada malam hari. Bakal ada Car Free Night (CFN) di Jalan Kembang Jepun dan Jalan Karet alias Pecinan Kulon. 

Saya jadi ingat Yusach Nunung Hariadi. Seniman asal Mojokerto itu yang bikin patung Naga Tiongkok di Kya Kya Kembang Jepun. 

Bung Yusach juga yang bikin patung Dewi Kwan Im lengkap dengan naga-naga Tiongkok di Sanggar Agung, kelenteng di Pantai Ria Kenjeran.

Kalau soal patung-patung khas Tionghoa, ya Bung Yusach Hariadi seng ada lawan! Dahsyat banget.

Bung Yusach berpulang pada hari Senin, 10 Agustus 2020 pagi. Saat itu wabah covid sedang merajalela di negeri ini. Istirahatlah dengan tenang, Bung.

Hidup singkat, seni abadi.

Jagal Anjing di Surabaya Digerebek

Tite melarat Jawa, Malaysia, Sumatera.. musti dore adat raen. Belo aho, gerian aho, masak RW, sare hala. Ata watanen aya-aya ra suka denga ata diken belo geriah aho.

Ata diken titen biasa rekan aho, renu moke, arak, tuak.. tobo mete koda kiring sampe pagi.. biasa lau NTT.

 Tapi kalo tite tete adat lewon tai Jawa bisa masalah. Polisi bisa rewang tite.

KESIMPULAN: 
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Jumat, 29 Juli 2022

Om, Ina sudah diterima di Undana!

Terlalu lama tidak mudik membuat kita kehilangan orientasi. Sering pangling dengan kampung halaman. Tidak kenal anak-anak kecil yang ternyata keponakan dekat, anak-anak teman, dsb.

Waktu berlalu, tau-tau anak-anak kecil ingusan di kampung itu sudah besar. Sudah jadi gadis remaja. Kita orang juga makin tua.

"Om, Ina sudah lulus SMA. Puji Tuhan, diterima di Undana," kata Ina Yuli, ade Erni Hurek punya anak.

Undana: Universitas Nusa Cendana di Kupang. Perguruan tinggi negeri, universitas terbaik di NTT. Ina diterima di fakultas keguruan.

Syukur kepada Allah! Tidak banyak anak Lomblen Island yang bisa tembus Undana kalau tidak pinter betoel. 

Ina Yuli memang anak Lembata tapi sekolah SMA di Kupang. Negeri pula. Jadi, ada penyesuaian selama tiga tahun untuk menghadapi seleksi masuk PTN.

Mengapa masuk fakultas keguruan? Ina kelihatannya punya angan-angan ingin bikin pinter anak-anak Lembata. Biar punya wawasan lebih bagus. Biar tidak ditipu oleh orang-orang pendatang yang lebih pinter.

Sekarang memang zaman telepon pinter. Orang-orang juga makin keras adu pinter. Pinter-pinteran... keminter.

Rabu, 27 Juli 2022

Pabrik Paku Madjid Asnoen di Waru Riwayatmu Dulu

Saya pernah dapat kiriman buku dari seorang profesor di USA: Surabaya, City of Work, karya Howard W. Dick. Kajian yang mendalam tentang perkembangan ekonomi di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya.

"Kamu perlu baca buku itu. Kamu punya bahasa Inggris tidak terlalu buruk," kata profesor botak yang pandai berbahasa Indonesia itu.

Sayang, buku tebal itu hilang entah ke mana. Beberapa kali dipinjam mahasiswa yang mau skripsi, difotokopi, dibaca.. tapi tidak dikembalikan. 

Nah, salah satu yang dibahas HW Dick adalah pabrik paku di kawasan Kedungrejo, Waru, Sidoarjo.  Yang bersebelahan dengan Terminal Purabaya.

Gara-gara membaca buku itu, meski agak berat karena pakai academic English, saya jadi kenal nama Madjid Asnoen, pengusaha top, crazy rich Surabaya tempo doeloe. Madjid importer terkemuka sejak zaman Hindia Belanda. Tidak kalah dengan tauke-tauke dan kongsi-kongsi Tionghoa yang sangat merajalela saat itu.

Madjid Asnoen, Rahman Tamin (Ratatex), Moesin Dasaad (Kantjil Mas), dan beberapa lagi dianggap sebagai pengusaha pribumi dan industriawan yang hebat. Karena itu, mereka diharapkan jadi lokomotif perekonomian Indonesia setelah tahun 1950. Belanda baru benar-benar minggat pada akhir Desember 1949. 

Nah, Madjid Asnoen yang sudah konglomerat itu kemudian diberi dukungan penuh, insentif, dsb untuk mendirikan pabrik paku di Waru, Sidoarjo. Sebab, Presiden Soekarno menganggap bahan-bahan bangunan sangat dibutuhkan rakyat dari Sabang sampai Merauke. 

Pabrik Paku Madjid Asnoen itu memang berkembang pesat. Didukung rantai distribusi Firma Madjid Asnoen yang memang sudah mapan sejak era kolonial Belanda. Beda dengan taipan-taipan Tionghoa yang bisnisnya kocar-kacir setelah ditinggal meneer-meneer Belanda. 

Saking terkenalnya, pabrik paku jadi land mark atau tetenger di kawasan Waru dekat perbatasan Surabaya. Seluruh kawasan Bungurasih, Kedungrejo, hingga Kureksari biasa disebut pabrik paku. Terminal Purabaya di Desa Bungurasih belum ada. Dulu orang cuma kenal Terminal Joyoboyo.

 "Bungurasih dulu masih hutan, sawah-sawahnya banyak," kata Eni Rosada, Kades Bungurasih, yang baru saja lengser. "Pabrik paku itu sudah ada di Waru jauh sebelum saya lahir," Bu Kades menambahkan.

Berbeda dengan pabrik Ratatax di Balongbendo yang sudah lama rata tanah, pabrik paku di Waru masih bertahan meski tidak lagi pakai nama Pabrik Paku Madjid Asnoen. Manajemennya sudah berbeda.

Informasi yang beredar di media sosial, pemerintah daerah mengubah peruntukan lahan di kawasan Kedungrejo, Waru, dan sekitarnya. Tidak lagi untuk pabrik seperti era 1950-an hingga 1980-an tapi permukiman dan perdagangan. Maka izin HGB tak akan diperpanjang lagi.

Kalaupun pabrik paku di Waru itu tutup (atau relokasi), sepertinya kawasan itu akan tetap disebut pabrik paku. Sama dengan Ratatex yang juga jadi land mark di Balongbendo.