"Kelenteng itu dewa punya rumah. Kita orang kudu kulo nuwun sama tuan rumah. Kayak kita masuk ke rumah orang ya kudu kulo nuwun.. ndak iso nyelonong sembarangan."
Itu Tante Yuyun punya kata-kata. Sudah lama sekali saya dengerken waktu pertama kali ngobrol di Kelenteng Eng An Bio, Bangkalan. Waktu itu Jembatan Suramadu belum jadi. Kita orang kudu naek kapal feri di Dermaga Ujung Surabaya turun di Dermaga Kamal.
Karena sering mampir di Kelenteng Bangkalan, meski kitorang bukan Tionghoa dan bukan Tridharma, saya jadi akrab dengan Yuyun Kho. Ibu asal Salatiga ini selalu kasih tau kalau ada acara-acara Tionghoa di Kelenteng Bangkalan, Kwan Im Kiong Pamekasan, TITD Sumenep dsb.
"Kalau Cap Go Meh kamu orang usahakan dateng. Lontongnya enaaak," kata Tante Yuyun.
Logat Melayu Tionghoa lawasnya belum hilang. Bahasa Madura malah tidak bisa meski sudah sekitar 25 tahun mengabdi di Kelenteng Bangkalan.
Sejak pandemi virus setan covid saya tidak pernah ke Bangkalan. Tapi masih kontak dengan Tante Yuyun. Biokong yang juga seniman ini sering bagi lagu-lagu Tionghoa yang enak di kuping.
Kamis 11 Agustus 2022.
Saya kali pertama ke Bangkalan, Madura, pasca-Covid 19. Mampir ke kelenteng di Jalan PB Sudirman itu. Kula nuwun sejenak ke empunya rumah Dewa Bumi (Hok Tek Tjeng Sin) dengen tundukken kepala sedikit.
Tante Yuyun sibuk bikin teh tawar untuk suguhan dewa-dewi. Teh yang dipakai harus kualitas tinggi. Sorenya diganti lagi teh yang baru. Tidak boleh pakai gula karena orang Tiongkok tidak biasa minum teh manis.
Tante Yuyun ini tergolong biokong (penjaga kelenteng) langka. Bukan sekadar penjaga, siapkan teh, kue dsb, tapi juga pinter membuat lukisan-lukisan khas Tionghoa. Khususnya lukisan dinding atau mural di kelenteng.
"Lukisan-lukisan di Kelenteng Lawang itu saya yang bikin," katanya.
Bagi Tante Yuyun, melukis dewa-dewi Tionghoa, menjaga kelenteng selama 24 jam... sama dengan ibadah. Upahnya dari langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar