Jumat, 12 Agustus 2022

𝐒𝐮𝐢𝐤𝐞𝐫𝐬𝐭𝐫𝐚𝐚𝐭 𝐚𝐥𝐢𝐚𝐬 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐆𝐮𝐥𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐉𝐚𝐝𝐢 𝐏𝐮𝐬𝐚𝐭 𝐒𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐲𝐮 𝐓𝐢𝐨𝐧𝐠𝐡𝐨𝐚

Selama ini Jalan Gula (d/h Suikerstraat) Surabaya sangat terkenal dengan bangunan-bangunan tua yang mangkrak. Anak-anak muda biasa mejeng, swafoto, syuting video, riset, hingga foto pranikah.

Ada juga orang yang senang uji nyali karena dianggap punya sesuatu. "Terasa banget tarikannya. Wow.. penghuninya (makhluk halus) banyak banget," kata seniman tua (almarhum) yang senang uji nyali di petilasan-petilasan.

Yang tak banyak diketahui orang, Suikerstraat atawa Jalan Gula atawa Kampung Doro ini tempo doeloe dikenal sebagai pusat penerbitan buku-buku cerita, roman, dan sastra Tionghoa. Kantor penerbitan Tjerita Roman itu di Suikerstraat Nomor 1-3 Surabaya. Persis di pojokan Jalan Slompretan dekat Pasar Bong.

Tjerita Roman ini terbit setiap bulan macam majalah bulanan. Tapi bukan seperti majalah Anita Cemerlang tahun 1980-an dan 1990-an yang berisi kumpulan cerpen. Tjerita Roman menerbitkan buku roman (semacam novel pop) tanggal 20 saban bulan.

Gaya bahasa yang dipakai Melayu Rendah atau Melayu Tionghoa. Pakai ejaan Van Ophuijsen tentu saja karena masih di zaman Hindia Belanda. Kalimat-kalimatnya lincah, santai, enak.. seperti orang ngobrol di warung kopi sambil menikmati pisang goreng atawa singkong rebus.

Para sastrawan Melayu Tionghoa itu tak lupa memasukkan petuah-petuah dan wejangan dalam narasinya. Mirip sekali dengan gaya bercerita Asmaraman Kho Ping Hoo sang raja cerita silat. Bedanya, gaya bahasa Kho Ping Hoo tidak lagi kental dengan Melayu Tionghoa tapi sudah cenderung ke bahasa Indonesia baku yang "baek dan bener".

"Apa jang kaoe bisa nanti ada laen orang jang lebih bisa kerna kaoe toch tjoema satoe manoesia...," begitu antara lain pesan Tjan Bong Sing, pengarang roman Boe Tek Eng Hiong, terbit November 1931 di Suikerstraat 1-3 Surabaya.

Owe sudah lama tertarik dengen orang-orang Tionghoa tempo doeloe punya roman-roman menarik tapi dianggap roman picisan dalem pelajaran bahasa Indonesia di masa Orde Baru. Deskripsinya hidup sekali dan ada bumbu-bumbu humornya.

Gaya roman-roman Tionghoa ini sangat berbeda dengan roman-roman Balai Pustaka atau Pujangga Baru. Novel-novel Sutan Takdir Alisjabana misalnya terlalu serius, mirip makalah filsafat, zonder hiburan. Karena itu, novel Grotta Azzurra karya STA tidak berhasil saya tamatkan meski sudah saya coba sejak 15 tahun lalu.

Sebaliknya, membaca roman-roman Melayu Tionghoa ini bisa dipastikan lekas tamat tak sampai setengah hari meskipun tebal juga. Orang Tionghoa ternyata tidak hanya jago berdagang tapi juga piawai mengarang dan menyebarluaskan bahasa Melayu Rendah (cikal bakal bahasa Indonesia) ke seluruh Nusantara. Tabek. 

3 komentar:

  1. Dalam buku cerita silat atau buku roman melayu-tionghoa tidak pernah ada kata lokalisasi, yang ada cuma tempat pelesiran. Dulu kalau para mas atau engkoh, yang numpak becak ke arah Krembangan, ditanya; Nyang endi sampeyan Mas ? Arep plesir nyang BR !
    Saya jadi bertanya-tanya, apakah kata plesir atau pelesir adalah kata bahasa Jawa dan Bali ataukah plintiran dari kata Prancis "plaisir".
    Kata plesir dulu sangat populer di Jatim dan Bali, yang maksudnya bisa macam2, kya-kya, wisata, nglonte, pokoknya ber-senang2.
    Ejaan van Ophuijsen mula2 sangat janggal dan susah dimengerti.
    Waktu masih duduk di bangku SMP saya sering kali sepedaan ke jalan Gembong Sawah daerah Kapasan untuk menyewa buku cerita silat, bahkan sudah jadi langganan tetap. Disana kita bisa menyewa buku-buku cerita silat yang isinya sangat caboel dan seronok, sudah tentu buku-buku tersebut adalah cetakan tua, pakai ejaan van Ophuijsen, formatnya pun hanya separo dari format cersil biasanya, dibungkus dengan kertas minyak tebal warna coklat tua.
    Lho ternyata buku2 itu dicetak di Surabaya tha ! Dasar Oom2 dan engkoh2 suroboyo dasarnya dari jaman londo sudah caboel tho , halleluja ! Ejaan van Ophuijsen yang mbulet pun, kalau isinya caboel, setelah tiga halaman membaca, langsung jadi akrab.
    Apa sih arti caboel, jaman kita masih sekolah ? Lha sekarang ini, apa yang doeloe khusus untuk 18 tahoen keatas, khan cerita nina- bobo nya anak2 millenial. Fenomena janggal, tambah banyak halleluyaan dan religi, kok tambah caboel. Saking caboel nya, sampai tak terasa lagi. Kita manusia koq jadi tambah munafik ?
    Hari ini tanggal 15 Agustus, adalah Hari Raya Besar lho Bung, kok Anda malah cerita tentang Eng An Bio, wis murtad tha ? Jangan2 digoda oleh Xiaojie Singkawang ? Omitohud !

    BalasHapus
  2. Aha.. itoe betoel ,,lokalisasi" itu kata jang baroe. Orang tempo doeloe seneng pake pelesir moengkin itoe pindjem kata Belanda poenja. Roman2 Tionghoa van Soerabaia kita liat lebih ke tjerita2 asmara jang berlikoe dengen beroerai aer mata. Kamsia.

    BalasHapus
  3. Aha.. Gembong Sawah itoe menarik ada bangoenan tempo doeloe bekas fabriek sigaret jang sekarang dipake PLN. Pindjem boekoe2 tjerita silat memang bikin seneng orang2 doeloe.
    Kita orang doeloe djoega seneng batja tjerita Silat Kho Ping Hoo sampe njandoe.
    Itoe pengarang2 Tionghoa ada poenja ilmoe silat oentoek bikin pembatja sampe.ketagihan dengen plot.jang interesan. Kamsia.

    BalasHapus