Baru kali ini kita orang pigi jalan-jalan sebentar di Madura. Hampir dua tahun tidak sempat ngeluyur ke pulau garam itu gara-gara pandemi Covid-19. Orang Madura sendiri sebenarnya tidak begitu ketat soal pembatasan sosial, social distancing, pakai masker dsb.
Setelah menikmati es degan di kaki Suramadu, sisi Madura, saya meluncur ke Bangkalan. Mampir ke Kelenteng Eng An Bio di Jalan PB Sudirman yang terkenal itu. Terkenal karena pernah dirusak dan dibakar oleh perusuh jelang lengsernya Pak Harto.
Namun, kejadian itu ibarat berkat tersembunyi. Kelenteng yang tadinya sempit kini jadi makin luas. Mungkin salah satu TITD yang paling luas dan indah interiornya di Jawa Timur. Asap-asap dupa, lilin, dan sebagainya tidak menimbulkan bau khas seperti di kelenteng-kelenteng lain.
Ni hao ma? Ibu Yuyun Kho tersenyum. "Yo, opo kabare? Kita orang bae-bae saja," kata pengurus kelenteng alias biokong asal Salatiga ini.
Meskipun Tionghoa, Yuyun Kho ini mengaku buta bahasa Mandarin. Bahasa Hokkian pun sedikit-sedikit. Dia lebih sering berbahasa Indonesia ala Melayu Tionghoa lawas. Bahasa cakapan yang mirip banget dengan bahasa Nagi alias Melayu Larantuka di Flores Timur.
Yuyun Kho baru saja kasih sajian untuk para dewa penghuni kelenteng. Tuan rumahnya Dewa Bumi atawa Hok Tik Ceng Sing. Ada Kwan Kong, Kwan Im, dan beberapa lagi.
"Hok Tik Ceng Sing itu dewa yang bawa rejeki. Orang Tionghoa biasanya rame-rame dateng ke sini biar rejekine lancar. Malah bulan lalu ada orang Jawa yang dateng ke sini juga karena sudah dapet rejeki," kata Tante Yuyun.
Tante yang lahir bersamaan dengan tahun kemerdekaan Indonesia itu bilang ada tujuh altar di Eng An Bio. Dia siapkan teh tawar setiap hari untuk para dewa asal Tiongkok itu. Tidak sembarang teh tentu saja. Ada doa-doa dan ritual yang diamalkan biokong seperti Tante Yuyun.
Selepas ritual sesajen, Yuyun Kho menggarap aneka hiasan dari kertas emas untuk sembahyangan. Wanita yang mengurus Kelenteng Bangkalan sejak kerusuhan pada 1996 itu (kalau tidak salah) memang seorang seniwati.
Tante Yuyun biasa melukis figur-figur khas Tiongkok untuk hiasan dinding kelenteng. Membuat kertas keemasan ini jelas pekerjaan enteng buat dia. "Ini ada yang pesan kertas twa kim," katanya.
Satu bunga kertas biasa dijual Rp 30 ribu. Model yang ruwet dibanderol Rp 50 ribu. Cukup mahal karena harga kertas di Kapasan, Surabaya, naik. Belum lagi skill dan ketelatenan yang tidak dipunyai sembarang orang.
"Pesenan rodo seret karena covid," katanya.
Covid-19 atawa virus corona. Topik ini jadi bahan obrolan sembari menikmati kopi sasetan di aula kelenteng. Ada dua bapak Tionghoa dan satu orang Madura di situ. Ngomong ngalor ngidul soal corona yang berkepanjangan itu.
Gara-gara corona itulah acara-acara di kelenteng stop total selama hampir dua tahun ini. Sembahyang awal dan tengah bulan tidak ada. Kelenteng dinyatakan tertutup... meskipun sebenarnya kita orang bisa masuk pada jam kerja. Tentu saja kulo nuwun dulu sama Tante Yuyun Kho.
Bagaimana dengan acara kue bulan? Covid kan agak turun sekarang?
"Tetep ndak ada. Sembahyang sendiri-sendiri di rumah," kata Tante Yuyun.
Semoga pandemi ini segera berlalu dan kehidupan kembali normal. Termasuk persembahyangan di kelenteng-kelenteng. Kalau tidak ada sembahyangan, rezeki yang diterima Tante Yuyun pun anjlok. Bahkan nihil.
Jemaat kelenteng itulah yang bagi-bagi rezeki untuk biokong macam Tante Yuyun. Tentu saja tidak mengabaikan perang sang dewa pembawa rezeki yang empunya kelenteng.