Kamis, 18 April 2024

Michael Bambang Hartono Orang Terkaya di Indonesia Doyan Makan Tahu Pong di Warung Pinggir Jalan

 Michael Bambang Hartono, 83 tahun, dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Saban tahun masuk daftar orang paling tajir.

Oei Hwie Siang pemilik Grup Jarum dan BCA. Meski super kaya, Hwie Siang masih senang makan di pinggir jalan. Membeli makanan yang dijajakan pedagang kaki lima.

Di media sosial beredar foto Hwie Siang sedang makan di warung pinggir jalan. Di Semarang. 

"Pak Hwie Siang sedang makan tahu pong kesukaannya di warung pinggir jalan di Semarang," tulis Herry Tjahjono.

"Orang kaya sejati melakukan segala sesuatu untuk esensi, bukan sensasi. Dia makan untuk menikmati rasa, bukan mengunyah gengsi," pendapat Herry Tjahjono.

Begitu banyak komentar yang memuji kesederhanaan Michael Bambang Hartono. Orang kaya, super kaya, tapi seleranya seperti orang kebanyakan. "Orang kaya beneran memang gak pamer gengsi," kata warganet.

Marore Hetty mengaku pernah menikmati kebaikan bos besar itu di Semarang. Dia mengalirkan air bersih ke beberapa langsung dari rumahnya yang kebetulan terletak di paling ujung dan paling tinggi.

 "Jadi, ratusan kelurga hidup dari air yang beliau alirkan, tanpa minta bayar!!! Bedakan dengan air dari PAM yang tidak gratis. Hal ini sudah beliau lakukan dari generasi ke generasi," kata Marore.

Saya pernah wawancara empat mata dengan Michael Bambang Hartono di Surabaya. Saat kejuaraan taichi di Pantai Kenjeran. Hwie Siang ketua pengurus pusat taiji yang membuka kejuaraan.

Orangnya memang sederhana. Tidak kelihatan kalau orang kaya tujuh turunan. Dia makan soto ayam dari PKL Kenjeran dengan lahap. Lalu bicara tentang kegemarannya berolahraga taichi. 

"Taichi itu bagus untuk kesehatan, mengontrol emosi," katanya.

Hwie Siang juga atlet bridge tingkat nasional. Bahkan ikut Asian Games di Jakarta sebagai atlet tertua.

 "Saya main bridge supaya tidak cepat pikun," katanya. 

7 komentar:

  1. Masakan Indonesia menurut saya lebih enak dan lebih kompleks rasanya drpd masakan Chinese atau masakan Eropa. Hanya, persepsi masyarakat saja yang menganggap masakan Indonesia kelas lebih rendah karena tempat penjualannya yang di pinggir jalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepakat bung kalau ini. murah meriah tapi nikmat.

      Hapus
    2. Yang berkomentar seperti itu bukan saya saja, tetapi orang Italia yang buka pizzeria bernama Delicioso di Surabaya. Kebetulan dia kawin dengan sepupu saya,, cewek yang besar di NTB.

      Hapus
  2. Betuuul bung.

    Dulu waktu liputan komunitas Tionghoa owe sering dapat undangan makan di resto paling mewah. Menu lengkap paling mahal. Tapi lidah wong kampung merasa gak nikmat. Bisa jadi karena owe terbiasa dengan makanan² kelas menengah bawah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ok Lambertus, lain kali saya di Surabaya kita kopdar di warung soto atau semacamnya.

      Hapus
    2. Oom Hwie Siang ini generasi lawas yg biasa kumpul sama wong kampung, blusukan lihat tembakau di kebun². Makanya biasa makan menu² kampung.
      Biasanya generasi kedua dan ketiganya pujya selera moderen kelas sirip hiu dan amrik. Owe lihat tenglang² angkatan 45 beda jauuuh dengan angkatan 80, 90, apalagi 2K.

      Hapus
    3. Lambertus, ayah saya angkatan Oom Hwie Siang ini, tapi seleranya agak beda. Ayah saya suka segala makanan, baik Indonesia, Chinese, maupun barat. Kalau Indonesia dia suka rawon, tahu telor, rujak cingur, ikan bakar, soto Banjar, sate. Kalau Chinese, dia suka ikan tim, sa ho hun / kwee tiauw (dekat kantor Japos lama di Kembang Jepun), ca sayur2an. Kalau barat dia suka yang sudah diIndonesiakan seperti steak ayam ala Bon Cafe.

      Hapus