Rabu, 17 April 2024

Hari Kartini - Tak Ada Lagi Wanita Bersanggul

Pertemuan kemarin membahas edisi khusus Hari Kartini. Beberapa wanita dinominasikan sebagai Kartini masa kini. Kriterianya subjektif pasti.

Saya jadi ingat Hari Kartini tempo doeloe. Ada kebiasaan wanita-wanita pakai kebaya, bersanggul. Hari Kartini pun identik dengan Hari Kebaya atau Hari Sanggul.

Apakah masih ngetren sanggul dan kebaya di tanah air? Jawa Timur khususnya?

Ki Dalang Tee Boen Liong prihatin. Suasana sekarang sudah beda jauh dengan tahun 90-an. Era modern, digital, dibarengi dengan kebangunan rohani. Revivalisme. Maka sanggul ikut menepi.

Tee Boen Liong, dalang Tionghoa Surabaya, menulis:

"Sanggul² usaha persewaanku sudah menjadi kenangan karena jarang dan hampir ga ada yg sewa sanggul di acara hajatan & karnaval².

Bahkan di Hari Kartini sudah jarang ada karyawan bank yg berkebaya bersanggul. Hanya penari, pesinden dan pelestari budaya aja yang bersanggul.

Saya berharap masih tumbuh generasi penerus kita yang mau berkebaya & bersanggul yg melestarikan budaya tradisional Indonesia."

Saya lalu ngobrol agak panjang dengan Ki Boen Liong. Ruwet juga masalah persanggulan ini. Akidah agama, doktrin, kebangunan rohani ikut membuat sanggul-sanggul makin tidak laku di masyarakat.

Wanita dulu menganggap rambut sebagai mahkota. Makin berwibawa jika mahkota itu dikasih sanggul.

Zaman sekarang rambut wanita kudu ditutupi. Tidak boleh memperlihatkan rambut di tempat umum. Rambut istri hanya boleh dilihat suami, kata komentator di media sosial.

Apa boleh buat, Boen Liong kudu banting setir. Tidak bisa lagi usaha persewaan sanggul. Boen Liong pasti lebih tahu apa yang sedang ngetren di pasar yang berubah.

4 komentar:

  1. Aneh sebenarnya, ketika Hari Kartini dirayakan dengan lomba Ratu Luwes, seperti jaman Orde Baru dahulu. Perempuan2 kecil, remaja, dan dewasa berlomba menggunakan kebaya, bersanggul, dan berjalan di panggung bak peragawati. Berlawanan dengan semangat emansipasi Ibu Kartini, yang dalam surat2nya mengeluh akan perlakuan terhadap perempuan Jawa yang sangat feodal. Memang, bukankah menggunakan kebaya dengan sewek yang ketat membuat wanita susah bergerak; dan membikin wanita sebagai obyek pandangan untuk dinikmati mata pria?

    Sebaliknya, menggunakan pakaian ala Arab juga tidak nyaman di negara tropis. Seluruh tubuh ditutup sehingga keringat tidak dapat dengan mudah menguap dan mendinginkan tubuh di hawa yang panas. Apalagi jika menggunakan kerudung yang ketat pula; makin panas lah. Lalu ... mengapa yang lelaki2 kaum ini menggunakan putih, tetapi yang perempuan disuruh menggunakan hitam2 yang menyerap panas matahari?

    Sebenarnya, kaum peranakan Tionghoa menciptakan inovasi yang disebut kebaya encim. Kebaya2 ini tidak ketat, jadi nyaman dipakai dan tetap menutupi aurat. Jika ingin menutupi kepala, bisa menggunakan kerudung Nusantara ala Ibu Fatmawati atau Yeni Wahid.

    Untuk perayaan Hari Kartini, seharusnya anak2 jangan disuruh menggunakan pakaian daerah -- ini lebih cocok untuk perayaan Hari Sumpah Pemuda. Untuk Hari Kartini, anak2 lebih cocok disuruh menggunakan pakaian profesi: dokter, perawat, suster religius, insinyur, mekanik, wartawan, dll. untuk menunjukkan persamaan hak antara pria dan wanita dan segala macam golongan.

    BalasHapus
  2. Ada benarnya bung punya pendapat. Maju sekali. Memang sudah salah kaprah Hari Kartini dikesankan sebagai hari kebaya nasional.

    Boen Liong bicara sebagai seniman + pedagang persewaan sanggul. Cuannya hilang kalau kondisinya macam beberapa tahun belakangan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seandainya saya jadi Menteri P dan K (istilah jadul), majulah pendidikan di Indonesia, wkwkwk.

      Hapus
  3. Menteri P&K sekarang lebih hebat lagi karena ahli aplikasi dan algoritma. Tidak perlu kerja keras tapi kerja cerdas jadi kaya raya. Jutaan motor dan mobil setor cuan ke aplikasi Gojek, GoCar, GoFood etc. Opo ora hebaat?

    BalasHapus