Ayas dulu sering mampir ke rumah tua gaya kolonial di Jalan Diponegoro 3 Malang. Ketemu dan ngobrol dengan Ratna Indraswari Ibrahim. Orangnya asyik, selalu tersenyum, kelihatan bahagia meski sejak kecil duduk di kursi roda.
Biasanya Bu Ratna mengajak duduk di samping rumah. Lalu dia menjawab pertanyaan apa saja secara runut dan detail. Satu pertanyaan singkat biasanya dijawab penjelasan yang panjang.
Karena itu, ngobrol dengan Ratna Indraswari ibarat kuliah tiga SKS di kampus. Tapi dosennya enak. Ngangeni.
Ayas kagum karena Ratna yang fisiknya rapuh ternyata sangat produktif menulis cerpen, novel, artikel dsb. Ratna juga sangat aktif di berbagai organisasi, LSM, di Malang.
Ratna Indraswari tutup usia pada 28 Maret 2011. Ayas masih simpan dua buku pemberiannya. Beberapa buku lain dipinjam teman dan tidak pernah kembali.
Ayas sempat blusukan nostalgia ke rumah Bu Ratna di Diponegoro 3 pekan lalu. Salah satu kawasan elite di Malang. Pagar bangunan tua itu tertutup rapat. Suasananya beda dengan saat Bu Ratna masih hidup. Kelihatannya sekarang jadi kos-kosan.
"Permisi, rumahnya almarhum Bu Ratna Indraswari di mana?" Ayas bertanya pura-pura tidak tahu. Sekadar mengetes pengetahuan seorang wanita 50-an tahun tentang sastrawan terkenal Ratna Indraswari Ibrahim.
"Maaf, saya gak tau," katanya. "Di sekitar sini gak ada yang namanya Bu Ratna."
Begitulah, sastrawan sekaliber Ratna Indraswari Ibrahim pun ternyata tidak dikenal di Malang. Bahkan tetangganya pun gak nyambung. Sastra memang asing di negeri ini. Pramoedya Ananta Tour pun belum tentu dikenal orang Indonesia hari ini. Wis.
Pramoedya Ananta Toer, selama di Indonesia saya hanya kenal namanya saja, dan tahunya, dia dipulauburukan oleh Soeharto.
BalasHapusBuku2-nya justru saya baca, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Ipar (engkohnya bojo-ku) di Frankfurt punya kamar perpustakaan. Di antara buku2-nya ada karangan Pramoedya, maka saya pinjam beberapa buku.
Buru Tetralogie : Garten der Menschheit. Kind dieser Erde. Spur der Schritte. Haus aus Glas. Buku2 itu setelah terbaca, sudah saya kembalikan kepada si empunya. Sedangkan satu buku lagi, Die Braut des Bendoro, saya lupa mengembalikannya, sejak 30 tahun, alias kebiasaan wong suroboyo, "dibab". Buku itu masih kinclong di atas rak di kamar kerja saya. Sekarang si empunya sudah meninggal dunia, bagaimana mau mengembalikan nya ?
Entah apa judul2-asli nya dalam bahasa Indonesia ?
Garten der Menschheit = Bumi Manusia ?
Die Braut des Bendoro = Gadis Pantai ? Dll.
Memang buku2 Pramoedya diharamkan rezim orba sehingga kita orang pun baru bisa baca2 setelah Mbah Harta jatuh. Versi bajakan Pram banyak dijual di lapak buku2 besar Jalan Semarang dekat Passer Toeri.
BalasHapusGaya bercerita Pram cenderung sangat serius, macam kasih kuliah lewat mulut para pelakon, hampir tidak ada bumbu humor. Makanya gak gampang baca dari awal sampai tamat.
Saya baca terjemahan bhs Inggrisnya 25 tahun lalu pas sebelum Suharto mundur. Ada di perpustakaan umum di Pasadena ketika saya masih tinggal di sana. Sbgmnpun bagus terjemahan tentu tidak seasyik dalam bahasa asli yg kita kuasai. Awal2 perjuangan sang tokoh cukup asyik karena diceritakan di kota Surabaya.
BalasHapusDui dui.. terjemahan memang beda banget. Gaya khas pengarang tak akan muncul. Yang ada gaya amrik. Pram biasa pakai kalimat2 pendek, ada istilah "harmal" (hari malam) dsb. Banyak ungkapan yang jarangbkita dengar dalam bahasa sehari-hari.
Hapus