Rabu, 04 Januari 2023

Robohnya Surau (Gereja) Kami

Sudah lama ada ide agar di setiap gereja (katolik) dibuat ruangan untuk menampung para musafir. Siapa saja boleh bermalam di situ. Makan, minum, mandi dsb gratis.


Uang kolekte kan banyak? Ada juga amplop persembahan, aksi puasa, aksi Natal, derma atau donasi umat. Ada juga yang kasih perpuluhan meski kadang tak sampai 10%.

Sayang, ide lawas itu belum terbentuk. Gereja-gereja di kota, khususnya di Jawa, yang dibangun justru ruang adorasi, ruang dan Gua Maria dan sebagainya. Padahal sembahyang adorasi & sembahyang rosario bisa dilakukan di dalam gereja. 

''Bahkan, ada desas desus kalau gedung semakin indah, maka kolekte semakin banyak. Jadi yang dikejar adalah uang," tulis Romo Yohanes Gani, CM. 

Romo Gani pagi ini kembali melakukan otokritik terhadap gereja-gereja, ya pastor, pendeta, jemaat, dsb yang mengabaikan kesalehan sosial. Orang kota makin terjebak ritualisme. Lupa dengan kata-kata Yesus Kristus:

"Sabab nalika Ingsun kerapan, sira ora nyaosi dhahar; nalika Ingsun kasatan, sira ora nyaosi ngunjuk;

nalika Ingsun lelana, sira ora nyaosi palereban; nalika Ingsun gerah, lan ana ing pakunjaran, sira ora sowan."

Tulisan Romo Gani ini patut direnungkan. Syukur-syukur ada pater atau dewan paroki yang mau mengawali proyek kemanusiaan peduli kaum papa. 

ROBOHNYA SURAU KAMI

Oleh Romo Yohanes Gani CM

Robohnya Surau Kami adalah judul cerita yang ditulis oleh AA Navis dan diterbitkan dalam majalah Kisah pada tahun 1955. Inti cerita adalah ada seorang kakek yang saleh dan menjaga surau. 

Suatu hari dia kedatangan seorang bernama Ajo Sidi yang bercerita tentang seorang bernama Haji Saleh yang masuk neraka. Padahal haji Saleh adalah seorang saleh yang melakukan ajaran agama dengan sebaik-baiknya. 

Dia protes kepada Tuhan, mengapa Tuhan memasukannya dalam neraka. Tuhan menjawab kesalahan haji Saleh karena dia hanya mementingkan diri sendiri, yaitu sembahyang, membaca kitab, dan menjalankan ajaran agamanya tetapi lupa akan situasi sekitarnya. Dia dianggap tidak peduli pada masyarakat yang menderita di sekitarnya. 

Cerpen ini merupakan kritik AA Navis terhadap penganut agama yang hanya fokus memuji Allah tetapi lupa akan situasi di sekitarnya. Orang berlomba membuat rumah ibadah besar dan megah, padahal ada banyak orang miskin dan terlantar. 

Dorothy Day pernah mencetuskan pemikiran agar di setiap gereja ada sebuah ruangan untuk menampung orang-orang yang dalam perjalanan atau orang-orang yang tidak punya rumah agar mereka dapat melewati malam dengan aman dan nyaman. Tetapi sampai sekarang ide itu belum terwujud. 

Sebaliknya di setiap gereja sekarang ada ruang adorasi, meski orang dapat adorasi di dalam gereja. Orang berlomba memperindah gedung, padahal berapa persen umat yang datang untuk berdoa. Bahkan ada desas desus kalau gedung semakin indah, maka kolekte semakin banyak. Jadi yang dikejar adalah uang. 

Seandainya dana untuk pembangunan gedung-gedung ibadah itu dijadikan modal berputar bagi kaum miskin, tentu akan ada banyak orang tertolong. 

Dengan demikian, kritik AA Navis masih berlaku sampai saat ini, dimana orang hanya sibuk dan ribut soal aturan ibadah, aturan agama, bahkan sampai bertengkar hebat, tetapi melupakan atau tidak peduli pada situasi masyarakat yang miskin.

Menurut penelitian Yayasan Bertelsman di Jerman, Indonesia termasuk negara yang paling relegius di dunia. Hal ini didasarkan kriteria sebagian besar rakyat Indonesia percaya pada Tuhan, percaya dunia roh dan kuasa gaib, berdoa secara teratur dan fanatik terhadap agama. Tetapi hampir semua umat beragama masih fokus pada pengejaran kesalehan pribadi agar masuk surga, sehingga melupakan kesejahteraan masyarakat. 

Orang memeluk agama tanpa memeluk kemanusiaan atau rasa keagamaannya lebih tebal daripada rasa ketuhanannya. Orang hanya menjunjung tinggi agama tetapi melupakan substansinya. Akibatnya meski mengaku dan diakui sebagai negara religius tetapi tingkat korupsi masih tinggi, pelecehan terhadap sesama manusia masih kuat, kebebasan sipil (beragama, berserikat, berpendapat) kurang perlindungan. Maka tidak heran bila ada bupati atau masyarakat yang melarang perayaan Natal. 

Maka tidak cukup beragama dan hanya fokus untuk masuk surga dengan menjalankan ajaran agama secara ketat. Perlu mencintai Tuhan yang terwujud dalam cinta kepada sesama dan semesta. Perlu menghargai sesama dan semesta.

 Jika hanya fokus hanya berdoa dan membuat gedung megah atau liturgi mewah maka mungkin apa yang diceritakan oleh Ajo Sidi bahwa haji Saleh masuk neraka ada benarnya. (*)

7 komentar:

  1. Hahahaha mana mungkin orang2 Katolik elite mau gereja2nya menjadi tempat menampung musafir2 yg tidak punya uang utk sewa hotel. Kan sama saja dengan mengundang wong melarat dan bambungan yang bau utk nginep di gereja.

    BalasHapus
  2. Tentu rumah singgah itu tidak harus dibangun di samping gereja. Bisa di tempat lain tapi dikelola seksi sosial paroki itu.

    Ide Romo Gani ini justru sejak dulu dilakukan sejumlah kelenteng di Jatim. Misalnya kelenteng di Tuban dan Pamekasan. Saya sudah sering nginap di wisma di belakang kelenteng Kwan Im Kiong Pamekasan. Siapa saja boleh nginap di situ gratis. Makan ya beli sendiri. Kecuali kalau ada perayaan Dewi Kwan Im pengurus kelenteng sediakan makan minum gratis. Biasanya setahun 3 kali pesta Dewi Kwan Im di Pamekasan yang ramai sekali.

    Di Tuban juga ada penginapan untuk para musafir yang kemalaman & kelelahan. Disediakan makanan gratis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klenteng luwih maju tinimbang greja. Piye to?

      Hapus
  3. Ide yang bagus. Semoga pengurus2 paroki2 membaca blog Pak Lambertus yang budiman dan melaksanakan ide yang murah dan mudah ini. Jika masjid dan klenteng bisa, mengapa gereja tidak?

    BalasHapus
  4. Ini sebetulnya unek² lama Romo Gani. Dulu beliau bikin rumah singgah untuk anak jalanan di Surabaya. Sempat jalan tapi belakangan mandek. Romo pindah tugas ke paroki, bahkan provinsi lain. Penggantinya tentu tidak sama visi misinya dengan pater perintis.

    Di gereja katolik selalu begitu. Romo² selalu dimutasi, rolling terus-menerus, pindah paroki dst. Misalnya Romo Gani bikin layanan rumah singgah di gereja. Apakah nanti setelah beliau dimutasi bisa dipertahankan? Belum lagi ada dewan paroki, dsb yang sering punya sikap berbeda. Belum lagi keuskupan yang notabene sebagai pemilik semua gereja katolik.

    BalasHapus
  5. Kalau di NTT khususnya di desa-desa tidak perlu ada rumah singgah untuk musafir. Sebab di semua rumah penduduk yg sederhana pun selalu ada kamar tamu di bagian depan. Siapa saja bisa mampir dan bermalam di situ. Gratis. Jadi, tidak perlu bikin rumah singgah di gereja atau masjid.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salut utk rakyat NTT yang berbudaya murah hati

      Hapus