Senin, 23 Januari 2023

Mampir Sejenak di Margasiswa PMKRI Surabaya

Cukup lama saya tak singgah di Margasiswa PMKRI Surabaya. Persis di samping Hotel Garden Palace, Jalan Taman Simpang. Gedung tua peninggalan Belanda yang masih sedap dipandang.

Bangunan tempo doeloe itu ada tulisan Houtstra. Mungkin meneer (tuan) Belanda yang empunya rumah. Kemudian diambil alih Keuskupan Surabaya. Diberikan ke PMKRI Sanctus Lukas Surabaya sebagai margasiswa atau kantor sekretariat. Hebat sekali PMKRI Surabaya!

PMKRI di kota-kota lain tidak semujur PMKRI Surabaya. Margasiswanya kontrakan. Pindah-pindah. Lebih sering di kos-kosan pengurus atau ketua presidium. Contohnya PMKRI Jember. Sama sekali tidak ada bantuan dari hirarki untuk kontrak margasiswa.

Karena itu, teman-teman di PMKRI Jember dulu sangat cemburu dengan Surabaya. Jangankan margasiswa, rama moderator pun tak ada. Beda dengan Surabaya yang punya moderator resmi. Diangkat langsung oleh Uskup Surabaya.

Dulu saya sering singgah di margasiswa PMKRI Surabaya ini. Menginap, wisata, ngobrol, diskusi dengan kawan-kawan Sanctus Lukas. Nginap berhari-hari gratis. Kalau urusan makan minum ya beli sendiri di warung Mbak Lis di depan margasiswa. Warung itu sangat terkenal dengan menu rawon yang khas. Penggemarnya sangat banyak.

Sabtu 21 Januari 2023. Saya singgah di rumah singgah, eh, margasiswa PMKRI Surabaya. Istirahat sambil menunggu acara Natal dan Tahun Baru bersama keluarga besar Flores di Surabaya Raya. Acaranya di Balai Pemuda. Sekitar 100 meter dari margasiswa.

Oh, di manakah warung Mbak Lis? Di mana Mas Gatot?

Halaman PMKRI Surabaya bersih total. Tak ada bangunan warung dan pondokan Mas Gatot sekeluarga di belakang. "Sudah pulang ke Jember," kata seorang pelanggan lama di dekat Garden Palace.

Oh, Tuhan!

Saya dan pelanggan-pelanggan lama kehilangan betul masakan khas Mbak Lis. Selain rawon, soto, pecel, oseng-oseng juga enak. Dulu anak-anak PMKRI biasa ngebon kalau belum dapat kiriman dari orang tua. Mbak Lis hafal di luar kepala.

Mas Gatot juga teman ngobrol yang enak. Apalagi kalau bicara kitab suci. Meski tinggal di dalam kompleks katolik, Mas Gatot ini orang pentakosta. Sangat rajin baca Alkitab. Beda dengan kita orang yang tidak hafal ayat-ayat suci.

"Bu Lis dan keluarga sudah pulang. Ada acara perpisahan cukup besar dengan para senior (alumni)," kata Stanley, mantan ketua PMKRI Surabaya.

Hujan deras, petir menggelegar. Saya pun diajak diskusi bersama ketua presidium, pengurus biro, penghuni margasiswa. Kebetulan semuanya berasal dari Flores. Khususnya Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur. Hanya satu orang mahasiswi yang asal Sulawesi Selatan. Itu pun pacarnya cowok Flores.

Ya, ya, ya... PMKRI di mana pun selalu jadi tempat (mengutip himnenya): melatih diri, menggalang budi, bagi gereja dan negara Indonesia. Pro ecclesia et patria!

Tapi, di sisi lain, yang tak kalah penting, PMKRI juga jadi tempat ajar kenal lawan jenis. Bibit-bibit asmara sering tumbuh subur di sini. Sebagian besar ketua presidium baik di Surabaya, Jember, Malang, Jakarta dsb dapat jodoh di organisasi mahasiswa ekstrakampus itu. Aktivis ketemu aktivis cocoklah.

Hujan masih deras di malam tahun baru Imlek. Para junior ini rupanya sangat antusias bicara tentang kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Juga sikap hirarki atau KWI yang cenderung membisu dalam kasus Papua.

Saya agak kewalahan karena sudah lama kurang minat bahas politik. Apalagi soal Papua. Pengetahuan saya sangat kurang. Maka saya hanya bisa merespons secara normatif. Termasuk "memahami" posisi gereja di Papua. Kebetulan Uskup Jayapura Mgsr Leo Laba Ladjar orang Lembata juga. Bapa Uskup ini memang sangat hati-hati kalau bicara soal Papua yang masih bergejolak itu.

Berkumpul dengan aktivis-aktivis muda, ditemani kopi pahit asli Manggarai, membuat kita orang ikut semangat lagi. Ternyata masih banyak anak muda Katolik yang melakukan "ansos" (istilah khas di PMKRI dulu: analisis sosial). Mereka pun tidak main HP atau gawai saat diskusi.

Saya senang idealisme anak-anak muda masih menyala di era digital. Hujan mulai reda. Saya pamit ke Balai Pemuda untuk pesta Nataru bersama masyarakat Flores, Lembata, dan Alor. Adik-adik PMKRI Surabaya itu rupanya kurang tertarik ikut acara Natal bersama meski mereka semua, kecuali satu cewek itu, juga orang Flores asli.

Viva PMKRI!
Pro ecclesia et patria! 

3 komentar:

  1. Apakah tahun 1965 PMKRI cabang Djember sudah ada ? Kalau sudah terbentuk, seharusnya organisasi itu mempunyai segala fasilitas seperti PMKRI di kota2 lainnya.
    Semoga PMKRI sudah " beichten " untuk dosa-nya yang dulu ikut coup d'etat menjatuhkan Soekarno. Yang isun sesalkan bukan lengsernya seorang presiden, tetapi akibatnya, yang menyebabkan terbantainya jutaan manusia di Indonesia secara sadis.
    Tanggal 1 Oktober 1965, hari Djum'at, isun ikut PMKRI demo sambil teriak teriak kesurupan kesambet, AJO GANJANG UNTUNG !
    AJO GANJANG UNTUNG ! sepanjang jalan sampai Alun-Alun kota Malang. Sebenarnya Untung sing dimaksud kuwi sopo sih cak ? Salahe Untung opo terhadap ku, kok harus aku ganyang ?
    Untung sing isun kenal, adalah kernet nya kakang ku. Karena rajin dan loyal, maka suatu hari kakang berkata kepada Untung. Tung,kowe gelem tak dadino supir ku ?
    Yo terang gelem tho Yuok.
    Lek ngono tak uruse rebewes mu. Tanggal lahir ? Mboh Yuok !
    Umur ? Mboh ! Lek koyo ngene, piye cara ku ngurus rebewes mu nyang kantor polisi ? Jarene mbok, aku lahir waktu ono ujan lesus !
    Wis wurung Tung, nek ngono. Yuok umure sampeyan piro, tulisen podo karo umure sampeyan wae ! Kowe iku ngawur wae.

    Apa salah Soekarno ? Tanyalah kepada Nekolim, mungkin Thian pun tidak tahu !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu cerita heroik senior² PMKRI tempo doeloe yg ikut KAMI tumbangkan sebuah rezim. Glorifikasi itu masih ada & selalu terdengar. Meskipun rezim orba 32 tahun jadinya seperti itu.
      Semoga Tuhan hapus dosa² yang dulu & generasi muda tidak bikin dosa baru.

      Hapus
  2. Tahun 65 belum ada PMKRI di Jember. Perguruan tinggi di Jember baru dibuka 64. Masih darurat kondisinya. Mahasiswa katolik pun mungkin belum ada untuk bikin kumpulan organisasi. Apalagi PMKRI ini aslinya kurang diminati mayoritas mahasiswa katolik. Dari dulu tidak sampai 20% yg ikut. Bahkan tak sampai 7% menurut ayas punya perkiraan.

    BalasHapus