Jumat, 30 September 2022

Terharu Menonton Final Piala Memorial Eltari 2022: Persebata Lembata vs Perse Ende

Turnamen Piala Eltari, kemudian ganti nama jadi Piala Memorial Eltari (ETMC) sudah digelar 31 kali. Dirintis Gubernur NTT El Tari pada 1968. Kejuaraan sepak bola antarkabupaten ini sangat heboh di NTT. Jauh melebihi Divisi Utama Perserikatan, Galatama, Liga 1, bahkan Piala AFF sekalipun.

Dulu pesertanya 12 perserikatan karena pada masa Orde Baru hanya ada 12 kabupaten di NTT. Setelah reformasi jadi 22 kabupaten. Hampir dua kali lipat.

Dulu, sebelum 1999, Pulau Lembata ikut Kabupaten Flores Timur. Sejak zaman Hindia Belanda pun Lembata jadi bagian dari Larantuka, kota utama di ujung timur Pulau Flores. Bahkan, sejak zaman Portugis pun Lomblen Island (nama lama Lembata) ikut Larantuka juga.

 Maka, saya pun tercatat di KTP dan dokumen lainnya lahir di Flores Timur - meski sebenarnya di Pulau Lembata. 

Betapa fanatiknya orang-orang Lembata dulu dengan Perseftim: Persatuan Sepak Bola Flores Timur. Setiap kali Perseftim main pasti kumpul mendengarkan siaran pandangan mata di radio. Seru banget! Apalagi Flores Timur dulu memang jagoan sepak bola.di NTT.

Singkat cerita, saya dan anak-anak kampung angkatan lama tidak pernah menonton pertandingan Piala Eltari. Tapi hafal nama-nama pemain top macam Cor Monteiro, Valens Fernandes, Isak, dsb. Om Cor dulu memang idolanya orang Flores Timur saking hebatnya di lapangan hijau.

Saya baru satu kali nonton Piala Eltari alias ETMC ya bulan ini. Ketika turnamen Liga 3 NTT itu diselenggarakan di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Berkat teknologi live streaming yang sudah menjangkau pelosok Nusantara. 

 Saya ikut terharu, bangga, terkejut.. ternyata Lembata bisa jadi tuan rumah kejuaraan sepak bola terbesar di Provinsi NTT. 

Bukan itu saja. Kualitas tim Persebata Lembata juga di atas rata-rata. Bukan karena tuan rumah, jago kandang, didukung ribuan suporter, tapi memang punya kualitas. Tak heran Lembata lolos ke partai final jumpa Perse Ende, tim kawakan dan unggulan. 

Kamis sore, 29 September 2022. Saya menyaksikan live streaming partai final Lembata vs Ende. Benar-benar haru rasanya. Anak-anak Lembata yang sering diejek di media sosial bisa melangkah sejauh ini. 

Skor 2-2 bertahan hingga 90 menit + tambahan waktu 2x15 menit.

Gol kedua Lembata dari umpan panjang, long ball, sangat menarik. Laskar Kelimutu tidak menyangka Lembata mampu menyamakan kedudukan jadi 2-2.

Apa boleh buat. Harus adu penalti. Kali ini nasib baik berpihak ke Ende. Perse Ende yang jadi juara ETMC 2022. Sekaligus menepis anggapan bahwa Piala Eltari ini cuma piala arisan untuk host. Siapa pun yang jadi tuan rumah akan juara. 

Anak-anak Lembata kalah terhormat. Ribuan penonton memberikan respek, penghargaan luar biasa, atas perjuangan tim Sembur Paus ini. Juga respek untuk pemain-pemain Ende yang jadi juara. Pendukung tuan rumah malah ikut mengelu-elukan Perse Ende sebagai sang juara.

Selamat untuk Perse Ende!
Selamat untuk Persebata Lembata!

Kamis, 29 September 2022

Ulama khusus Islam, Pastor khusus Katolik?

Saya baru tahu setelah baca kliping koran di laman Perpustakaan Nasional. Dahulu, tahun 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bikin pernyataan menarik. Bahwa kata atau istilah ulama hanya digunakan untuk pemuka agama Islam saja. (Waspada, 23 Mei 1975)

Majelis Ulama DKI Jakarta menyampaikan bahwa setiap agama mempergunakan istilah yang lazim bagi agamanya, seperti untuk agama Kristen dapat menggunakan istilah "pendeta", untuk agama Katolik "pastor" dan untuk pemuka agama Buddha dapat memakai istilah "biksu".

Saya belum baca konteks pernyataan MUI Jakarta ini. Bisa jadi dulu ada orang atawa media yang menggunakan istilah ulama Kristen atau ulama Buddha. Dikira ulama itu istilah netral dan umum.

Dulu kata pastor pun hanya merujuk ke romo atau pater atau imam Katolik. Pendeta Yesaya tentu pemuka agama Kristen Protestan. 

Karena itu, dulu, orang NTT biasa tersenyum atau tertawa sendiri membaca tulisan Kepala Paroki Santo Yosef Kupang (misalnya) Pendeta Yakobus Laba SVD.  Pendeta kok pimpin paroki?

Pembedaan pastor/pater/romo dengan pendeta itu memang khas tempo doeloe. Ketika gereja-gereja Kristen Protestan masih kental peninggalan Hindia Belanda. Alias Protestan beneran.

Nah, setelah gerakan Pentakosta dan Karismatik makin marak, maka lahirlah gereja-gereja Haleluya. Yakni gereja-gereja evangelical atau karismatik bercorak Amerika. Perkembangannya luar biasa. Hampir semua ruko, hotel, restoran dsb disewa untuk "ibadah raya".

 Gereja-gereja ini tidak pakai istilah "kebaktian" karena terkesan banget protestannya. Mereka juga tidak suka disebut Protestan. "Kami Kristen, titik," kata teman lama mantan aktivis gereja aliran Haleluya.

Nah, pendeta-pendeta gereja yang entertaining ini tidak disebut pendeta, melainkan pastor. Lah, kok sama dengan pastor Katolik yang tidak menikah itu? 

Yah.. karena istilah American English untuk pemuka gereja-gereja Haleluya memang pastor, bukan reverend. Maka di baliho-baliho sering ada billboard ibadah raya yang menghadirkan pastor-pastor terkenal dari dalam dan luar negeri. Hanya pendeta-pendeta lawas yang masih pakai istilah pendeta seperti Pendeta Dr Stephen Tong dari Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII).

Pemuka agama Buddha juga tidak mesti pakai istilah biksu versi MUI tahun 1975. Di Surabaya sekarang sudah jarang yang disebut biksu. Lebih banyak yang pakai bhante atau romo atau rinpoche dsb. Dulu saya sering diundang meliput kegiatan rinpoche-rinpoche asal Tibet.

Muktamar dan Milad Partai Komunis Tiongkok

Catatan Yu Shigan selalu menarik. Sejak dulu. Pakai kalimat  pendek. Enak dibaca. Selalu ada humor. Ada kejutan. Masalah ruwet jadi sederhana. 

Kamis pagi ini, 29 September 2022, Tuan Yu menulis di blognya. Juga di koran yang bukan koran. Di Surabaya. Begini kutipannya:

"Kapan Tiongkok akan menghapus kewajiban karantina? Kelihatannya juga terkait dengan muktamar itu.

 Berarti November depan, setelah Muktamar Oktober, semua hal akan lebih longgar di Tiongkok. Termasuk karantina."

Yang menarik, bagiku, bukan kewajiban karantina di Tiongkok atau Taiwan. Kita orang sudah bosan bahas covid. Selama dua tahun lebih. Kata "muktamar" ini kejutan. Rada guyon tapi serius.

Partai komunis bikin muktamar? 

Selama ini media-media di Indonesia hanya pakai muktamar untuk ormas-ormas Islam. Seakan-akan kata "muktamar" hak eksklusif orang muslim. 

Tidak ada acara muktamar KWI atau PGI. Tidak ada muktamar ormas Buddha, Hindu, Khonghucu. Apalagi muktamar partai komunis.

Bukankah muktamar, kongres, musyawarah, pertemuan, sidang agung (gereja, biasanya).. artinya sama? Sinonim?

Memang. Tapi di Indonesia ini agak unik. Ada kata-kata tertentu yang tidak bisa dipertukarkan meskipun artinya sama atau mirip. Salah satunya ya muktamar ini.

Kata ulang tahun pun punya beberapa versi. HUT sangat umum. Ormas NU beserta onderbouw-nya selalu pakai Harlah: Hari Lahir. Jangan bilang Selamat HUT Ke-sekian NU, tapi Selamat Harlah...

Ormas Muhammadiyah dan beberapa ormas Islam lain, termasuk PKS, pakai kata milad. Milad PKS, bukan HUT atau Hari Jadi PKS. 

Kelihatannya Yu Shigan mau menghapus sekat psikologis dan ideologis kata. Bahwa kata dari bahasa apa pun milik semua. Bukan milik satu agama, sekte, golongan, ormas, dsb.

Bisa jadi suatu saat Mr Yu berkunjung ke Tiananmen, Beijing, untuk menyaksikan perayaan Milad Republik Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok. 

100 Tahun SVD di Pulau Lembata - Mengenang Tuan Bode Misionaris Penjala Nelayan Paus


Umat Katolik di Pulau Lembata, NTT, baru saja merayakan pesta syukur 100 tahun kehadiran Societas Verbi Divini (SVD) di pulau yang tempo doeloe disebut Lomblen. Kongregasi SVD inilah yang berhasil meng-Katolik-kan masyarakat Lembata satu abad lalu.

Pulau Lembata tidak jauh dari Larantuka di ujung timur Pulau Flores. Cuma satu jam perjalanan laut dengan kapal cepat. Pulau Lembata tetangga dekat Pulau Adonara dan Pulau Solor. Adat istiadat, bahasa, ras dsb sama-sama Lamaholot meski ada sedikit nuansa yang beda.

Tapi rupanya pater-pater Portugis yang berkarya di Kota Reinha,  Larantuka, dulu tidak sempat mempermandikan orang Lembata. Pernah ada imam misionaris yang ke Lomblen tapi pulang karena beratnya tantangan alam, tantangan adat leluhur, hingga tantangan fisik. Nyawa pater asal Eropa jadi taruhannya.

Karena itu, Pulau Lembata sangat terlambat dapat kabar gembira pewartaan Injil. Padahal Kerajaan Larantuka di sebelah barat itu sudah diserahkan kepada Tuan Ma alias Bunda Maria pada tahun 1510.  Larantuka ini dikenal sebagai wilayah Katolik tertua di Indonesia. 

Pulau Lembata ketinggalan 400 tahun dari Larantuka kota di ujung timur Pulau Flores. 

Adalah Pater Bernard Bode SVD yang babat alas firman Allah di Pulau Lomblen (belum pakai nama  Lembata). Meski sebelumnya ada pater Jesuit alias SJ yang buka pelayanan selama 13 tahun di Lomblen. SJ mundur karena satu dan lain hal.

 Pater Bode mulai bermisi di kawasan Lamalera, kampung nelayan di pantai selatan. Orang-orang Lamalera dikenal sebagai nelayan paling berani. Biasa memburu ikan paus hingga ke perairan Australia. Tuan Bode yang asli Jerman menyapa dan berusaha menghayati kehidupan orang kampung.

Pater Lukas Jua SVD pimpinan tertinggi Provinsial SVD Ende memberikan kata sambutan dan perayaan 100 Tahun SVD di Lembata. Uskup Larantuka Monsinyur Frans Kopong Kung yang pimpin misa agung itu.

Pater Lukas Jua SVD bercerita Pater Bernard Bode tiba di Lamalera dalam kondisi sulit. Namun masyarakat antusias menyambut sang misionaris dengan peledang, perahu khas Lamalera untuk memburu ikan paus. 

Tuan Bode juga belajar bahasa Lamaholot logat Lamalera agar bisa mengajar agama baru itu. Tuan Bode bahkan menyusun misa dalam bahasa Lamaholot. Padahal gereja-gereja di seluruh dunia masih wajib pakai bahasa Latin. Misa bahasa Latin mulai diganti bahasa-bahasa lokal setelah Konsili Vatikan II tahun 1965.

Luar biasa memang imam-imam SVD tempo doeloe. Mereka selalu jeli melihat peluang untuk bagi kabar gembira dari Tuhan Allah. Nelayan-nelayan Lamalera yang saban hari menjala ikan dijadikan penjala manusia.

"Penyebaran agama Katolik berkembang pesat di Lembata karena dibantu oleh para guru waktu itu. Luar biasa, para guru pagi mengajar di sekolah dan malam hari mengajar agama di rumah," tutur Pater Lukas Jua.

Begitulah. 

Benih-benih sabda Allah yang ditabur Tuan Bode (juga pater SJ sebelumnya) di Pulau Lembata tumbuh subur, berbunga, dan berbuah. Lalu lama-lama menggeser agama nenek moyang Lera Wulan (Matahari Bulan) yang sangat kuat di Lomblen tempo doeloe. Khususnya kampung-kampung kami di kawasan utara yang dulu lebih senang Tula Gudung, bikin ritual adat, sesaji di rumah adat, lebih percaya klenik dan dukun ketimbang pigi sembahyang di kapela atau gereja.

Sejak 1980an panggilan imam di Lomblen pun subur betul. Tuan-tuan pater dari Eropa perlahan-lahan diganti romo-romo asli Lembata atau Adonara, Solor, Flores. Pater-pater SVD asal Lembata pun tersebar ke mana-mana. Tidak saja di NTT tapi ke Bali, Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga banyak negara.

Saat mudik tahun 2019 di Lomblen alias Lembata, paroki-paroki yang pastornya SVD sudah hampir tidak ada lagi. Setahuku ya cuma di Waikomo yang jadi tempat perayaan 100 tahun SVD di Lembata itu. Sedangkan 95 persen paroki digembalakan imam-imam praja alias Reverendus Dominus (RD).

Minggu, 25 September 2022

Klinik Bersalin Santa Melania di Tambaksari Peninggalan Romo GJ Ter Veer CM Tinggal Kenangan

Saya sudah lima atau tujuh kali mampir di Bitten Coffe, Tambaksari, Surabaya. Biasanya malam hari. Namun saya baru sadar ternyata kafe tersebut berdiri di atas lahan bekas Rumah Sakit Bersalin Santa Melania.

Ada kawan lama yang bertanya apa kabar RS Melania di Tambaksari? Apakah masih ada? Saya jawab ada. Padahal sudah lama hilang tanpa jejak. Bahkan jejak digital pun tak ada. 

Rupanya bisnis rumah sakit kalah jauh dengan kafe atawa kuliner. RS Melania Tambaksari pun gulung tikar sebelum mencapai usia 100 tahun. "Rumah sakitnya rugi terus. Gak payu," kata Ayi yang punya toko di seberang eks RS Melania.

RS Bersalin Santa Melania atau Klinik St Melania cukup terkenal di kalangan warga Surabaya, khususnya Ketabang, Tambaksari, dan sekitarnya. Orang Katolik, khususnya Paroki Kristus Raja, pasti paham Klinik St Melania itu. Sebab, rumah sakit itu jadi satu bagian pelayanan dengan Paroki Ketabang alias Kristus Raja yang didirikan pada tahun 1928.

RS St Melania dibangun 1930 atau dua tahun setelah Gereja Kristus Raja berdiri. Sejak itulah RS St Melania melayani persalinan bayi-bayi di Kota Pahlawan. Sudah berapa juta bayi yang lahir di Poliklinik Melania Tambaksari mulai 1930-an sampai ditutup sebelum 2020?

Setelah poliklinik tutup buku, Yayasan Melania Sejati tampaknya lebih fokus mengurus sekolah. Yakni SDK St Melania dan TK S Anna di Jalan Pumpungan III/11.

 Energi dan SDM yayasan itu tampaknya sudah tak mampu lagi mengurus rumah sakit bersalin. Lahan yang dibeli di Tambaksari Nomor 7 oleh Romo GJ ter Veer CM selaku pastor perintis sudah beralih tangan. Bangunan klinik era kolonial Belanda dihancurkan rata tanah. Lalu dibangun kafe modern sesuai tren kekinian. 

Yang lalu biarlah berlalu... 

Jumat, 23 September 2022

Orang NTT di Rantau Wajib Punya Sarung Adat

Beberapa kawan sesama perantau asal NTT di Jawa Timur belakangan ini rajin mengunggah foto seni budaya dan adat istiadat NTT. Yang paling menonjol adalah sarung dengan motif tenun ikat.

Ada 22 kabupaten di bumi Flobamora, nama populer NTT. Setiap kabupaten punya motif berbeda. Bahkan satu kabupaten pun ada variasinya.

Motif ikat di Flores Timur contohnya. Motif Adonara agak lain dengan Solor atau Flotim daratan. Lembata, Alor, Pantar, Sumba, Sabu, Rote, dsb juga berbeda. 

"Kalau ada pertemuan keluarga besar Flobamora supaya wajib pakai pakaian daerah, sarung masing-masing kabupaten," kata teman Gabriel dari Tanjung Bunga.

"Kwatek goen take, Ama!" kata saya. (Saya tidak punya sarung.)

"Orang NTT wajib punya sarung. Apalagi orang Lamaholot seperti Anda. Pesan rae lewo (di kampung) atau beli aja kan bisa," kata kawan lama di Kenjeran itu.

Omongan Gabriel ini sudah lama. Jauh sebelum ada pandemi. Ketika masih ada Natal bersama, halalbihalal, atau acara keluarga Flobamora. Tapi kata-kata itu selalu membekas: Orang NTT wajib punya sarung adat di mana pun berada.

Kita orang yang jarang mudik ke NTT kadang kaget melihat pemandangan yang berbeda dengan di Jawa. Sebagian besar wanita ke gereja pakai sarung. Itu yang di Kupang, ibu kota NTT. Kalau di daerah macam Pulau Lembata hampir 100 persen wanita pakai sarung kalau ke gereja.

"Tidak bagus kalau pakaian ke gereja seperti jalan-jalan di mal atau tempat wisata," kata Ina Tuto dari Lembata.

𝗘𝗸𝘀 𝗦𝗲𝗸𝗼𝗹𝗮𝗵 𝗞𝗶𝗮𝘂𝘄 𝗡𝗮𝗺 𝗱𝗶 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗺𝘂𝗱𝗿𝗮 𝟰𝟴 𝗦𝘂𝗿𝗮𝗯𝗮𝘆𝗮 -- 𝗚𝘂𝗴𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗛𝘄𝗶𝗲 𝗧𝗶𝗮𝘂𝘄 𝗞𝗮 𝗞𝗮𝗻𝗱𝗮𝘀

Bekas gedung Sekolah Kiauw Nam di Jalan Samudra 48 Surabaya masih terlihat kokoh tapi kusam. Ada plang dari Dinas Pendidikan Jawa Timur sebagai penguasa tanah dan bangunan itu. Dijadikan gudang.

Namun, masih ada 6 keluarga yang  setia menempati dan menjaga eks kantor sekolahan Tionghoa itu.  Soejati alias Soepartik dan kerabatnya tak lain keturunan pengurus Perkumpulan Hwie Tiauw Ka di Jalan Slompretan 58 Surabaya. 

Perkumpulan itu sempat menggugat negara (BPN, menteri keuangan, gubernur) agar lahan dan bangunan itu dikembalikan. Sebab tanah seluas 2.003 meter persegi itu aslinya milik Hwie Tiauw Ka alias Rukun Sekawan, perkumpulan masyarakat Hakka di Surabaya.

Ceritanya, tempo doeloe tanah di Bakmi 48 (nama lama Jalan Samudra) itu dipinjam Yayasan Kiau Nam untuk dibangun sekolah. Ketua yayasannya Chung Kho Pin, pimpinan koran Tsing Huang Daily di Jalan Bongkaran 22. Tuan Chung ini pernah jadi direktur Toko Nam yang sangat terkenal di Surabaya.

Umur sekolahan ini sangat pendek. Sekolah Kiauw Nam di Bakmi 48 ditutup pada 4 Desember 1958. Mengapa ditutup? Sudah sering dibahas di grup-grup Tionghoa.

 Biasanya sekolah-sekolah yang berkiblat ke nasionalis Tiongkok alias Kuomintang yang kena gelombang pertama pembredelan. Nanti setelah G30S giliran sekolah-sekolah Tionghoa lain yang disapu habis oleh rezim militer Orde Baru.

Pekan lalu, saya mampir ngopi di Warung Bu Partik di kompleks eks Kiauw Nam itu. Ngobrol sedikit soal sekolah itu. Bu Partik alias Soejati yang lahir tahun 1963 tentu saja tidak pernah melihat sendiri ada sekolah Kiauw Nam di situ. Tapi dia tahu dulu pernah ada Sekolah Trisila. Sekian tahun kemudian semua murid Trisila dipindahkan ke kawasan Undaan.

"Dulu ramai banget di sini. Jualan saya laku keras. Anak-anak sekolah juga sering latihan tarian, nyanyian, pokoknya kreatif banget," tutur Bu Partik yang ramah dan seneng guyon itu.

Sudah lama saya dengar ada sengketa hukum di situ. Kalau tidak salah awal 1980-an Perkumpulan Hwie Tiauw Ka berjuang agar asetnya dikembalikan. Tapi mana bisa sukses di zaman Orba yang sangat anti Tionghoa?

Tahun 2019 Ali Handoyo, ketua Perkumpulan Hwie Tiauw Ka melayangkan gugatan resmi ke pengadilan. Agar lahan dan bangunan eks Sekolah Kiauw Nam (kemudian Trisila) dikembalikan ke perkumpulan. Tapi kayaknya belum hoki. 

PN Surabaya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Artinya, penguasaan aset eks Kiauw Nam School oleh Dispendik Jatim sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Saya belum baca putusan di tingkat banding. Naga-naganya agak berat untuk menang. Apalagi eks sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia sejak dulu memang diambil alih dan dikuasai negara.

Bu Partik sendiri tidak paham sengketa hukum eks Kiauw Nam. Dia lahir di situ, ibunya juga di situ, tinggal di situ, dan dari dulu sudah jadi bagian dari keluarga besar Rukun Sekawan alias Hwie Tiauw Ka meski dirinya asli Jowo, bukan Tiong Hwa.

"Dulu pernah ada beberapa orang yang minta kami untuk keluar karena bangunan ini bukan milik kami. Lah, kalau disuruh pergi lalu saya bersama anak cucu mau tinggal di mana?" kata Bu Partik.

Yo, wis!   🙏🏼🙏🏼

Jumat, 16 September 2022

Ruwatan Kampung Pecinan Kapasan dengan Dalang Tionghoa Ki Tee Boen Liong

Kampung Pecinan di Kapasan Dalam, Surabaya, bakal mengadakan sedekah bumi atawa ruwatan kampung. Mirip dengan kampung-kampung tradisional Jawa. Bedanya ruwatan di kawasan Pecinan Boen Bio itu tidak dilaksanakan pada bulan Suro.

Sedekah bumi di Kapasan Dalam selalu digelar setiap hari ke-26 bulan ke-8 penanggalan Imlek (Tionghoa). Tepatnya satu hari sebelum hari jadi Nabi Khonghucu. Jadi, ruwatan ini satu rangkaian dengan sembahyangan di Boen Bio sebagai puncak perayaan.

Seperti ruwatan di desa-desa lain, sedekah bumi di belakang Boen Bio ini selalu ada wayang kulit. Biasanya dua kali pertunjukan. Dalang yang paling sering seniman Tionghoa juga. Tee Boen Liong alias Ki Sabdo Sutedjo. 

Saya sering nonton wayang kulitnya Boen Liong awalnya karena ditugasi atasan Ibu Nany Wijaya. "Anda perlu mengangkat sisi lain sosial, budaya, religi, hingga interaksi warga Tionghoa yang harmonis dengan etnis Jawa dan Madura. Sangat unik dan menarik," kata NW.

Awalnya kagok dan bingung karena kita orang ini bukan Tionghoa. Juga bukan Jawa. Kemampuan bahasa Jawa masih terbatas. Bahasa krama inggil atau bahasa pewayangan terlalu berat bagi orang NTT yang merantau di Jawa.

Namun, kama-lama saya jadi akrab dengan Ki Boen Liong dan beberapa tokoh Kapasan. Ki Dalang Boen Liong juga kerap ditanggap untuk memeriahkan lustrum paroki-paroki di Keuskupan Surabaya. Juga dekat dengan beberapa tokoh Kapasan Dalam yang ternyata aktivis Paroki Kelsapa, Jalan Kepanjen.

"Boen Liong itu dalang yang unik. Orang Tionghoa tapi bisa mendalang, nguri-uri budaya Jawa," kata Romo Eko Budi Susilo yang juga kawan dekat Boen Liong dan para dalang wayang purwa di Surabaya. 

Saat ini Romo Eko yang asli Solo itu jadi Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya. Semacam wakil uskup. Di paroki mana pun ia bertugas, wayang kulit dan kesenian Jawa selalu ditanggap. Romo Eko juga mendorong Boen Liong untuk mengembangkan wayang wahyu.

Setelah absen dua tahun karena pandemi covid, tahun 2022 ini ruwatan kampung pecinan di Kapasan Dalam kembali diadakan. Tepatnya Rabu 21 September 2022. Ruwatan kampung Kapasan Dalam ke-126.

Saya dapat informasi ini langsung dari Ki Sabdo Sutedjo alias Tee Boen Liong. Lakonnya Semar Gedhong Kencana. Cak Dalang ditemani waranggana yang hitam manis Nyi Galuh, Nyi Angelica, dan kawan-kawan.

Ceritanya tentang apa?

"Sampean datang aja lihat langsung biar lebih jelas. Lakon ini sangat menarik," kata Boen Liong.

Rahayu! Rahayu!
Berkah Dalem!

Selasa, 13 September 2022

Hotel Slamet di Jalan Bongkaran 18 Pernah Jaya, Sekarang Tinggal Nostalgia


Masih di Jalan Bongkaran, Kelurahan Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. Tidak jauh dari Hotel Merdeka (d/h Hotel Liberty) ada Hotel Slamet. Sama-sama hotel toewa yang dibangun pada masa kolonial Belanda.

Hotel Slamet ini (mungkin) satu-satuanya hotel di Surabaya pada masa kolonial Belanda yang pakai nama bahasa Jawa. Tahun berapa didiriken ini hotel? Kita orang belum dapet informasi yang akurat.

Yang pasti, Hotel Slamet sudah eksis sejak tahun 1920-an. Sering jadi jujukan pedagang-pedagang dari berbagai kota yang berkunjung ke Surabaya. Sebab, lokasinya di Jalan Bongkaran Nomor 18 sangat strategis. Dekat Stasiun Kota atawa Semoet, Kembang Jepun, Kalimas, pusat pemerintahan di Jembatan Merah, dsb.

Iseng-iseng saya baca koran Soeara Publik edisi Djoemahat 12 Maart 1926. Tuan Oei Tjwan Seng dari Cepu menginap di Hotel Slamet, Jalan Bongkaran. Berita di koran lawas Surabaya itu berjudul "Tikus Dalem Hotel".

Intinya, Oei Tjwan Seng kehilangan uang f 300 di dalem ia punya kamer di itu hotel. "Poelangnja dari mandi, abis minoem koffie, maoe pakean, lebih doeloe raba sakoenja. Disitoe ia dapet taoe dompet berisi f 300 soedah amblas," tulis Soeara Publiek yang berkantor di Jalan Greesee 44 Soerabaia.

Dari sini bisa disimpulkan Hotel Slamet sudah ada sejak awal 1920-an. Dan, yang menarik, pemiliknya baba Tionghoa bernama Ho Tik Tjwan. Nama Baba Ho ini juga ditulis di buku telepon Soerabaia tahun 1937 sebagai eigenaar (baca: eikhnar) alias pemilik alias owner Hotel Slamet.

Seperti Hotel Liberty di sebelahnya, Hotel Slamet ini tidak begitu terkenal di Surabaya. Tidak banyak orang tahu kecuali warga yang tinggal di kawasan Surabaya Utara. Yang lebih tahu justru pedagang-pedagang atau masyarakat dari luar Jawa yang dulu biasa berpegian dengan kapal laut lalu sandar di Dermaga Kalimas atau Tanjung Perak.

Setelah kemerdekaan Hotel Slamet terus berkibar. Tidak perlu ganti nama macam Hotel Liberty jadi Merdeka atau Hotel Oranje jadi Majapahit. Bangunan hotel pun diperluas hingga ke belakang. Tentu saja karena pelanggan alias tamunya terus meningkat.

Puncak kejayaan Hotel Slamet ini tahun 1980-an. "Tahun 1990-an sudah sulit. Dan itu bukan hanya Slamet tapi juga Merdeka dan hotel-hotel lain di kawasan Bongkaran, Slompretan, Bakmi (Samudra), Pasar Atoom," kata Cak Slamet, mantan redaktur Jawa Pos di Kembang Jepun - tidak jauh dari Jalan Bongkaran.

Cak Slamet bilang doeloe di Jalan Bongkaran ada banyak hotel kelas melati semacam Hotel Slamet dan Hotel Merdeka. Jalan Bongkaran ada 4 atau 5 hotel. Slompretan juga lebih dari 3. Jalan Bakmi alias Samudra lebih dari 3 juga. Di Kembang Jepun pun ada 3 atau 4 hotel.

"Kalau ditotal bisa lebih dari 20 hotel di kawasan pecinan aja. Itu belum termasuk hotel-hotel di Kapasan, Cantian, Nyamplungan, Ampel, dsb," kata Cak Slamet yang dikenal sebagai gurunya sebagian besar redaktur media cetak di Surabaya.

The glory is over!

Tahun 1990-an bisnis perhotelan di kota lama (Surabaya Utara) terus melesu. Eigenaar alias para juragan makin tua. Anak-anak mereka memilih bisnis lain atau jadi akademisi atau pigi kuliah dan kerja di luar negeri. Manajemen hotel tidak sebagus ketika para siansen itu masih muda dan kuat.

"Hotel Slamet ini sudah lama tutup. Sudah puluhan tahun," kata Cak Mat. Orang Madura ini sudah lama (10 tahun lebih) jadi penjaga bekas Hotel Slamet.

Sejak tahun berapa ditutup? 

"Wah, gak tau saya. Pokoknya sudah lamaaa. Jauh sebelum saya di sini," katanya.

Setelah berhenti beroperasi, Hotel Slamet pernah disewa baba Tionghoa dan keluarganya. Dijadikan rumah tinggal sekaligus bisnis katering. Jualan favoritnya daging babi. "Orangnya dekat sama pemilik sehingga sewanya murah. Dari awal cuma Rp 25 ribu dan  tidak pernah dinaikkan sampai orang itu keluar," kata Cak Mat sambil tersenyum.

Baba yang sewa ini pun makin tua dan rapuh. Cabut dari eks hotel tua itu. Lalu datanglah Cak Mat bersama istri dan anaknya yang jadi penunggu. Sampai sekarang. (*)

Minggu, 11 September 2022

Hotel Merdeka (d/h Hotel Liberty) di Dikepung Hotel Modern di Bongkaran


Di kawasan kota lama Surabaya tempo doeloe ada banyak hotel. Tapi yang bertahan sampai 2022 ini bisa dihitung dengan jari sebelah. Mungkin tidak sampai 5 biji.

Salah satu hotel tua itu Hotel Merdeka di Jalan Bongkaran 6. Kawasan pecinan lama yang tempo doeloe penuh dengan kantor kongsi dagang baba-baba Tionghoa. Bangunan hotel itu lebih mirip rumah besar khas juragan kaya.

 Orang-orang lama juga lebih sering menyebut losmen ketimbang hotel. Sampai sekarang pun masih ada tulisan kecil "losmen" di papan nama Hotel Merdeka.

"Sudah ada sejak zaman dulu. Mungkin sejak zaman Belanda," kata seorang pegawai Hotel Merdeka belum lama ini. Ia tidak punya catatan kapan bangunan itu didirikan.

Merujuk ke buku Penundjuk Telepon Surabaja tahun 1950-an, hotel di Jalan Bongkaran 6 ini punya nama Hotel Liberty. Pemiliknya Baba Tan Siauw Tjong. 

Hotel Liberty kemudian ganti nama jadi Hotel Merdeka. Ini sejalan dengan gelombang nasionalisasi yang riuh di awal kemerdekaan. Semua istilah asing yang berbau kolonial, Oldefo, diganti dengan kata Indonesia. Liberty ya Merdeka!

Istilah "kakus" yang sudah lama hilang dari lema pembicaraan orang Indonesia modern pun masih dipakai. Hotel Merdeka tidak pakai kata "toilet" yang terasa lebih modern dan keren. Kakus mengingatkan saya pada MCK (mandi, cuci, kakus) di pelosok NTT sana.

Baba Tan konon membuat Hotel Liberty dengan suasana rumahan.  Maka di daftar tempo doeloe ada keterangan: Liberty, Hotel & Pension.

Namanya juga losmen atawa hotel melati, tarif Hotel Merdeka ini relatif murah. Jauh lebih murah ketimbang hotel baru bintang tiga di depan dan belakang si Merdeka itu. Tak heran, cukup banyak tamu dari luar pulau memanfaatkan hotel ini ketika bertugas di Surabaya. 

Kamis, 08 September 2022

Gedung Kong Siauw Hwee Kwan (KSHK) di Jalan Bongkaran 63 Surabaya

Di Jalan Bongkaran 63 Surabaya ada gedung tua yang masih terawat. Gedung Karya Surya Harapan Kesejahteraan (KSHK). Nama aslinya dalam bahasa Tionghoa: Kong Siauw Hwee Kwan (KSHK).

Rezim Orde Baru (1966-1998) memang melarang orang Tionghoa pakai bahasa Tionghoa di ruang publik. Nama-nama orang Tionghoa pun perlu dinusantarakan. Maka orang Tionghoa ganti nama atau istilah bahasa Tionghoa tapi sedapat mungkin singkatannya tetap sama.

Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) diganti jadi Taman Harapan Hari Kemudian. Sekolah THHK atawa Taman Harapan ini cukup terkenal di Malang. Dekat balai kota.

Kembali ke KSHK di  Bongkaran 63. Dulu saya sering diajak Liem Ou Yen (almarhum) untuk melihat latihan wushu dan barongsai. Lalu ciak bareng bersama para pengurus barongsai di ITC.

Ciak enak banget.. ada menu halal dan ada yang tidak. Lebih banyak yang doyan B2. Cerita panjang lebar tentang apa saja. "Makan pelan-pelan.. dan kenyang," kata Liem Ou Yen, juru bicara pengusaha Tionghoa di Surabaya.

KSHK ini punya sasana barongsai, wushu, liang liong, dan bela diri berbau Tiongkok lainnya. Dikenal dengan nama Lima Naga. Atlet-atlet barongsai dan wushu terbaik di Surabaya (dan Jatim) kebanyakan dari Lima Naga.

Bosnya Candra Wurianto Woo, pengusaha bermarkas di Jalan Karet. Sekaligus jadi markas organisasi barongsai Indonesia alias Persobarin.

Sudah lama saya tidak ciak dengan para pentolan KSHK. Bapak Liem Ou Yen alias Djono Antowijono pun meninggal dunia gara-gara covid varian delta. Saya kehilangan seorang tokoh yang paling informatif dan bersemangat soal seluk beluk Tionghoa di Surabaya.

Rabu 8 September 2022, saya melintas di depan gedung KSHK di Jalan Bongkaran. Gedungnya sudah dicat bagus lagi setelah sempat suram gara-gara pandemi. Jalanan pun macet lagi. Pertanda roda ekonomi di Bongkaran, Slompretan, Sambongan, dan sekitarnya berputar normal lagi.. meski harga BBM naik.

Rabu, 07 September 2022

𝗧𝗵𝗲 𝗧𝗵𝘄𝗮𝗻 𝗧𝗷𝗶𝗼𝗲 𝗧𝗼𝗸𝗼𝗵 𝗧𝗶𝗼𝗻𝗴𝗵𝗼𝗮 𝗱𝗶 𝗦𝗶𝗱𝗼𝗮𝗿𝗷𝗼 𝗗𝗶𝗿𝗶𝗸𝗲𝗻 𝗧𝗼𝗸𝗼 𝗪𝗮𝗻𝗰𝘂 (𝗥𝗲𝗱𝗷𝗼) 𝗧𝗮𝗼𝗲𝗻 𝟭𝟵𝟯𝟯

Pekan lalu saya mampir lagi ke Toko Wancu alias Toko Redjo di Jalan Gajah Mada, Sidoarjo. Persis di depan eks Sekolah Tionghoa yang kini jadi sentra kuliner. Toko Wancu masih seperti yang dulu. 

Saya beli minyak gosok. Iseng aja. Aslinya cuma nostalgia. Mengenang almarhum Haryadjie BS, pelukis senior Sidoarjo yang biasa disapa Bambang Thelo atau Mbah Tekek. Haryadjie memang paling suka melukis tokek dan kucing.

Mbah Bambang Thelo inilah yang pertama kali mengajak saya ke Toko Wancu. Dia fanatik betul dengan toko khas Tionghoa tempo doeloe.

 "Saya kalau belanja pasti ke Wancu. Barang-barang yang kami butuhkan ada semua. Rasanya lain belanja di Wancu dengan di minimarket," kata pentolan Dewan Kesenian Sidoarjo itu.

Maklum, Bambang Thelo ini orang lawas. Ia poenja selera matjam oma opa tempo doeloe. Ia juga sering omong-omong pake bahasa Melajoe tempo doeloe matjam ini. Lama-lama kita orang djadi terbiasa. 😀

Bambang Thelo yang memang senang sejarah lalu cerita sedikit riwayat itu Toko Wancu. Intinya, tempo doeloe ada juragan Tionghoa bernama Wancu bangun toko untuk cari nafkah layaknya pedagang-pedagang Tionghoa lainnya.

"Tapi beliau bisa mempertahankan model tokonya sampai hari ini. Toko-toko lain di Gajah Mada dan sekitarnya sudah berubah. Itulah hebatnya Wancu," ujar Bambang Thelo.

Siapa gerangan engkong bernama Wancu itu?

Tidak lain The Thwan Tjioe (baca: Wancu). Wartawan Jawa Pos era Kembang Jepun Basuki Soedjatmiko menyebut The Thwan Tjioe sebagai salah satu tokoh terkemuka Tionghoa di Sidoarjo. Aktif di organisasi masyarakat Tionghoa.

Pak Wancu juga beberapa kali jadi ketua Kelenteng Tjong Hok Kiong Sidoarjo di Jalan Hang Tuah. 

Effendy Tedjokusumo menulis:

"Beliau dipenjara dan 'digebuki' penjajah Jepang. Sehingga sesudah itu, beliau menderita radang paru-paru (batuk darah) dan sakit-sakitan. Sehingga akhirnya harus mengasoh, dan selanjutnya beliau aktif dalam kepengurusan di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Sidoarjo, dan selama beberapa tahun menjabat sebagai ketua."

Toko Wancu sendiri berdiri sejak tahun 1933. Tidak mudah tentu saja untuk mempertahankan toko lawas ini di tengah gempuran supermarket, minimarket, dan ritel-ritel modern.

"Uniknya, kalau orang-orang lama Sidoarjo ke toko, mereka selalu pesan jangan diubah-ubah. Nuansa toko kuno yang jual segala, yang berkesan morat-marit ini, supaya dipertahankan," kata Effendy. 

Langgar Tua di Balongbendo, Jejak Haji Laut di Zaman Belanda

Cukup banyak bangunan tua era kolonial di kawasan Balongbendo, Sidoarjo. Maklum, tempo doeloe ada Pabrik Gula (PG) Balongbendo, kemudian pabrik tekstil Ratatex yang terkenal. 

Kampung di pinggir Sungai Brantas juga pernah jadi pusat perdagangan yang sibuk. Jejaknya masih terlihat di Passer  Soeroengan (Pasar Surungan), Desa Penambangan, Balongbendo.

Akhir pekan lalu saya mampir ke dekat Pasar Surungan itu. Ngobrol di Omah Belanda, salah satu bangunan tempo doeloe yang menonjol di Penambangan. Ditemani Bung Taufik dan Mbak Rita pemilik rumah tua itu.

Mbah buyut Taufik dulu memang saudagar hasil bumi, palawija, yang kondang di Balongbendo. Ia membeli Omah Londo itu dari pedagang Tionghoa. Rumah itu sempat rusak berat tahun 1970-an. Kemudian direstorasi. Jadi bagus lagi.

Di samping rumah lawas itu ada langgar (mushala) keluarga. Mbah buyut Taufik ini orang Tionghoa yang beragama Islam. "Beliau yang bangun itu langgar," kata pensiunan karyawan IPTN di Bandung itu.

Kapan langgar itu dibangun? 

Taufik tidak punya catatan tahunnya. Hanya saja, mereka sudah empat generasi di pinggir Kali Brantas itu. Artinya, tahun 1800-an. "Rumah aslinya tidak ada langgar karena pemilik rumah bukan muslim," katanya.

Mbah buyut Bung Taufik pigi naik haji ke Makkah beberapa kali pada masa kolonial Belanda. Pakai kapal laut tentu saja. Lamaaa sekali.. bisa enam bulan pergi pulang. 

Nah, sebagai ungkapan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sepulang haji beliau membangun itu langgar di samping rumah. Selain dipakai sendiri, sekaligus untuk tempat sembahyang pekerja-pekerja yang cukup banyak.

"Sampai sekarang masih dipakai salat warga di sini," kata Taufik.

Bisa jadi langgar di Penambangan, Balongbendo, ini merupakan salah satu "monumen" Haji Laut di Kabupaten Sidoarjo. Lebih unik lagi karena Abah Haji yang bangun itu langgar ternyata orang Muslim Tionghoa. Artinya, sudah lama ada orang Tionghoa yang beragama Islam di Sidoarjo. (*)

Selasa, 06 September 2022

Makam Tionghoa di Taman, Sidoarjo, Dibongkar Tahun 1981, Dijadikan Perumahan


Tidak banyak orang Sidoarjo  yang punya koleksi foto-foto tempo doeloe. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Lie Tjin Sam. Pria Tionghoa ini dulu dapat job sebagai fotografer di kepolisian.

Mbah Sam, sapaan akrabnya, dibekali kamera bagus dan banyak film. Satu rol film hanya bisa dipakai jepret 36 kali. Belum ada kamera digital atau ponsel pintar yang bisa dipakai memotret sesuka hati.

Mbah Sam manfaatkan fasilitas  itu untuk memotret apa saja yang dianggap menarik. "Buat dokumentasi," katanya. "Suatu saat foto-foto lama itu akan dicari orang."

Saya biasa mampir ngombe kopi (dawet gak ada) di tokonya di depan kantor Kecamatan Taman, Sidoarjo. Mbah Sam biasa pamerkan ia punya foto-foto lama tentang Sidoarjo. Paling banyak objeknya di Sepanjang, Taman, Ngelom, Ketegan, Karang Pilang, dan sekitarnya.

Ada beberapa foto Mbah Sam yang sangat menarik perhatianku. Khususnya yang berkaitan dengan Tionghoa. Ada sekolah Tionghoa di Sepanjang yang elok. Ditutup tahun 1966. Lalu dijadikan sekolahan Muhammadiyah.

"Ada kelenteng di dekat sekolahan Tionghoa itu. Dibongkar juga. Sekarang tinggal cerita aja," kata Mbah Sam yang doyan lagu-lagu Teresa Teng.

Ada juga foto pembongkaran makam atawa bong Tionghoa di Kalijaten, Taman, tahun 1981. Orang Tionghoa di Sidoarjo, khususnya Taman dan sekitarnya, dulu sempat protes. "Tapi gak bisa apa-apa," kata Lie Tjin Sam.

Pihak keluarga kemudian memindahkan makam-makam itu ke kota lain. Ada yang ke Krian, Lawang, dsb. Ada juga makam yang tidak sempat dipindahkan. 

Kawasan bekas makam Tionghoa itu lalu dijadikan perkampungan. Sangat padat saat ini. Banyak orang yang tak tahu kalau dulu pernah ada makam Tionghoa, sekolah Tionghoa, atau kelenteng di Sepanjang, Taman. 

"Itu semua nostalgia aja. Buat catatan sejarah aja," kata Mbah yang juga penasihan komunitas Vespa lawas di Taman.

Mbah Sam sudah berpulang tak lama sebelum pandemi covid. Album-album foto masa lalunya entah di mana sekarang. Rumah sekaligus toko pracangannya pun sudah berpindah tangan. 

Senin, 05 September 2022

Misa Pendek, Khotbah Pendek, Misa Panjang, Khotbah Panjaaang

Selama pandemi covid misa kudus atau ekaristi katolik diselenggarakan secara daring. Semua paroki bikin live streaming. Misa jadi sederhana dan singkat. 

Durasi normal misa hari Minggu di Surabaya dan Sidoarjo rata-rata 75 menit. Ada juga yang 90 menit -- di paroki-paroki yang romonya senang homili (khotbah) panjang. Biasanya di Surabaya bagian selatan dan Sidoarjo bagian utara.

 Pater-pater asal NTT, khususnya Flores, Lembata, Solor, Adonara, masuk kategori ini. Namanya juga kebiasaan di kampung halamanku. Umat Katolik di daerahku tempo doeloe umumnya senang khotbah yang panjang, banyak cerita ngalor ngidul khas pater-pater dari Eropa.

Di Jawa tidak bisa begitu. Khotbah harus singkat dan padat. To the point. Orang-orang kota di Jawa terlalu sibuk. Durasi misa pun diatur cukup ketat. Sebab misanya diadakan tiga, empat, hingga lima sesi. Di kampungku misa atau ibadat sabda tanpa imam hanya satu sesi saja.

Gara-gara pandemi, misa di Jawa Timur pun tidak lebih dari satu jam. Misa harian lebih pendek lagi. Makanya saya lebih senang ikut misa harian.

Kini, setelah pandemi (meski covid masih ada), misa di Surabaya dan Sidoarjo sudah normal lagi. Durasinya kembali ke laptop: 75 menit hingga 90 menit. Paroki-paroki sudah jarang bikin live streaming agar umat pigi misa ke gereja. Bukan lagi misa di depan laptop atawa HP.

Kita yang terbiasa misa singkat padat selama dua tahun pandemi perlu adaptasi lagi dengan "misa normal". Rasanya lama banget.

Pagi ini, saya ikut Sunday Mass atau Misa Minggu versi Amerika Serikat. Romo Jack pimpin misa dari St Thomas The Apostle Parish di West Springfield, Massachusetts. Durasi misanya cuma 23 menit. Kalau misa hari biasa rata-rata cuma 18 menit.

Romo Jack tidak pakai misdinar, tidak ada lektor, tidak ada kor, pembawa persembahan, dan sebagainya. Semuanya dilakoni sendiri sang pastor. Efisien betul.

Pater Jack ini punya prinsip lebih baik umat katolik ikut misa pendek setiap hari ketimbang ikut misa panjang seminggu sekali atau sebulan sekali. Sebelum ada pandemi pun banyak paroki di USA sudah mengadakan online mass yang padat dan singkat.

Pandemi virus setan corona ini ternyata punya banyak hikmah. Termasuk urusan liturgi atau ibadah. Berkah Dalem!

Jumat, 02 September 2022

𝗟𝗮𝗴𝘂 𝗦𝗲𝗿𝗶𝗼𝘀𝗮 "𝗕𝘂𝗸𝗶𝘁 𝗞𝗲𝗺𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻", 𝗡𝗼𝘀𝘁𝗮𝗹𝗴𝗶𝗮 𝗱𝗶 𝗞𝗹𝗼𝗷𝗲𝗻


Setiap bulan Agustus saya selalu ingat Bukit Kemenangan. Lagu seriosa tempo doeloe ini biasa dibawakan paduan suara pelajar dan mahasiswa di Grahadi Surabaya. Saat upacara bendera 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia.

Lagu ini juga mengingatkan saya pada Bu Bambang, guru vokal dan piano di Klojen, Malang. Ibu ini biasa mengajar kor dengan gaya klasik. Beda jauh dengan paduan suara yang saya kenal saat anak-anak hingga SMP di kawasan Flores Timur, NTT.

Bu Bambang (nama aslinya ayas tidak tahu) punya wawasan musik jauh di atas rata-rata. Aku perhatikan cara dia mengajar vokal, pernapasan, frasering, falsetto dsb.

 Bukit Kemenangan selalu diajarkan Bu Bambang karena dianggap sebagai lagu seriosa standar BRTV. Tingkat kesulitannya cukup tinggi.

Lagu Bukit Kemenangan ini pun sering jadi lagu wajib lomba paduan suara pelajar dan mahasiswa di Jawa Timur. Aransemen paduan suaranya digarap Musafir Isfanhari, guru musik dan musisi senior di Surabaya. Sampai sekarang aransemen kor SATB versi Isfanhari ini selalu dipakai di kampus-kampus dan SMA di Jatim. Termasuk di Grahadi itu.

<< 𝐷𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐵𝑖𝑠𝑚𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ..
𝐹𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ…
𝑇𝑒𝑘𝑎𝑑 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑚'𝑛𝑦𝑒𝑟𝑎ℎ
𝐷𝑒𝑚𝑖 𝑚𝑒𝑟𝑑𝑒𝑘𝑎
𝑁𝑢𝑠𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑠𝑎
𝑅𝑒𝑙𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛 𝑗𝑖𝑤𝑎

𝑀𝑒𝑟𝑖𝑎𝑚 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑙𝑒𝑔𝑎𝑟
𝑃'𝑙𝑢𝑟𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟
𝐻𝑎𝑡𝑖 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑔𝑒𝑛𝑡𝑎𝑟
𝐾𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑔𝑢𝑔𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑦𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑛
𝑁𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑗𝑢 >>

Gara-gara sering bikin catatan tentang seriosa, dulu, saya sering dianggap sebagai pengamat musik klasik (seriosa). Ada beberapa musikolog dari luar negeri yang bertanya kepada saya tentang perkembangan lagu-lagu seriosa di Indonesia.

Sharifah Faizah PhD dari Kuala Lumpur, Malaysia, paling serius mengorek data dan informasi tentang seriosa di Indonesia. Sharifah baru saja menerbitkan buku tebal tentang sejarah dan perkembangan seriosa kita. Ia beberapa kali menghubungi saya.

Minggu lalu saya membaca buku karya Sharifah yang sangat tebal dengan analisis musik yang sangat akademis. Boleh jadi inilah buku pertama tentang seriosa yang paling mendalam dan komprehensif.

Salah satu lagu yang dibahas adalah Bukit Kemenangan.  Menarik banget memang cerita di balik lagu patriotik yang menggelegar ini. Belum lagi nada-nada pentatoniknya.

 Sharifah, kawan dari Malaysia, ini pun berhak menyandang gelar profesor. Tahniah 🙏🏼🙏🏼