Oleh Kanisius Karyadi
Penulis Buku Biografi Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, "Sang Maestro dari Perak"
16 tahun silam, Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, Uskup Keuskupan Surabaya, mengirim SMS (Short Massage Service), kepada saya. Ia meminta saya segera menghadap, karena ada urusan penting.
Saya segera menghadap Yang Mulia Bapa Uskup Surabaya ini. Tanpa basa basi, ia menawari jabatan kepada saya, sebagai Direktur Sasana Krida Jatijejer, Trawas, Mojokerto. Ini sebuah tempat pembinaan dan pertemuan yang dimiliki Keuskupan Surabaya.
Ia menerangkan segala bentuk kompensasi, baik gaji, fasilitas mobil dan lain lain. Ia agak terperangah dan kaget dengan jawaban saya yang menolak jabatan mentereng dan keren itu.
"Gila kau Karyadi, orang lain berlomba mengejar jabatan tinggi, kau ditawari malah menolak!" timpal Mgr Oei Tik Hauw, nama kecil dan asli Bapa Uskup Surabaya ini.
Ia kaget, mungkin ia mengira ini anak nakal, sampai menolak jabatan penting di awal masa kepemimpinannya.
Itulah secuil kisah dengannya yang membekas sampai hari ini. Uniknya, ia tidak marah, tetap menjalin komunikasi.
Mgr Sutikno lahir di Surabaya, 26 September 1953. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Oei Kok Tjia (Stephanus Widiatmo Wisaksono) dan Kwa Siok Nio (Ursula Madijanti),
Menurut Ibu Ursula Madijanti (RIP), waktu kehamilan anak kedua ini sering mengidam pencit (mangga muda). Madijanti mengatakan nama Oei Tik Hauw diberikan kepada anak keduanya itu berarti 'kebijaksanaan yang indah'.
Sejak kecil, Tikno akrab dipanggil maminya, "Nyooce" yang artinya sinyo atau anak kecil yang lucu. Sejak kecil bersama keluarga tinggal di Jalan Perak Timur 216 Surabaya, Jawa Timur.
Masa kecilnya lengket kayak perangko dengan maminya. Ke mana pun mami pergi, Nyooce tak mau dilepaskan. Dalam belajar sehari hari, ia mendapat porsi lebih banyak, tak jarang, kedua saudara perempuannya menjadi iri (meri), tapi uniknya tak pernah berkelahi.
Menurut maminya, Nyooce di masa kecil badannya kecil dan kurus. Soal daya tahan tubuh, Nyooce gampang sakit. Kekuatan fisiknya lebih rapuh dibandingkan kedua saudara perempuannya.
Awal mula ketertarikan menjadi pastor Gereja Katolik. Ia terinspirasi sosok, dan teladan hidup Romo Herman Kock, CM. Pastor Katolik dari Kongregasi Misi ini banyak menginspirasi soal keutamaan hidup, kesederhanaan, pelayanan sesama manusia.
Setelah lulus dari SMPK Angelus Custos Surabaya, tahun 1970-an, ia melanjutkan studi di Seminari Menengah Garum, Blitar, lanjut ke Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogjakarta. Sampai ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 21 Januari 1982 oleh Mgr J Klooster, CM di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, (Katedral) Surabaya.
Pasca tahbisan imam itu ia ditugaskan di berbagai tempat seperti Blitar, Malang. Ia spesialis menangani pembinaan calon imam di Keuskupan Surabaya. Pernah ditugaskan di Seminari Menengah Vincentius a Paulo, Blitar, sampai Seminari Tinggi Praja Antar Keuskupan di Malang sebagai Rektor.
Setelah 10 tahun menjadi Rektor Seminari Tinggi, tahun 2000 ditugasi oleh Mgr Hadiwikarta untuk studi S3, memperdalam ilmu psikologi konseling di De La Salle University, Manila, Filipina.
Tak terduga tak ternyata, 1 April 2007, ia mendapat telpon dari Duta Besar Vatikan untuk Indonesia mengabarkan dirinya ditunjuk jadi Uskup baru Keuskupan Surabaya. Ia tak percaya, karena menganggap sebagai April Mop semata, alias kabar bohong. Kemudian ia konfirmasi ulang, ternyata berita itu benar.
Pada perayaan Misa Krisma, 3 April 2007, Duta Besar Vatikan, Mgr Geopoldo Girelli mengumumkan secara resmi, "Saya dengan gembira memberitahukan kepada anda bahwa Bapa Suci, Paus Benedictus XVI, telah menunjuk Romo Vincentius Sutikno Wisaksono dari Keuskupan ini, sebagai Uskup Surabaya." Lalu ditahbiskan menjadi Uskup Surabaya pada tanggal 29 Juni 2007 oleh Kardinal Mgr Julius Darmaatmadja, SJ.
Selama 16 tahun menggembalakan umat Keuskupan Surabaya, Banyak hal yang dilakukan bersama jajaran hirarkinya. Mulai Manajemen struktur paroki, Manajemen keuangan Gereja, arah gerak, program Gereja dan banyak hal melalui Musyawarah Pastoral yang melibatkan stakeholder Keuskupan Surabaya.
Hal yang unik dan nyentrik dari Monsinyur Sutikno adalah ciri khas dialek bahasa Suroboyoan yang khas dan kental. Agak vulgar, ceplas ceplos, suaranya keras menggelegar.
Tak lupa, dalam banyak khotbah disukai umat karena lucu, berisi dan menggugah. Dalam sesi pembinaan selalu menggembirakan, menarik dan menggugah.
Dalam kehidupan sehari hari, watak sosialnya begitu tinggi, Sering memberikan bantuan material kadang juga bantuan petunjuk, nasehat iman spiritual kepada umatnya.
Jiwa pembauran sungguh nyata. Ia Uskup pertama yang keturunan etnis Tionghoa, sungguh memberikan teladan pembauran sejati di kalangan umatnya.
Monsinyur Sutikno sosok yang bersemangat lebih (magis semper) tentang pembinaan calon calon pastor/imam praja atau diosesan.
Peninggalan besar adalah merintis dan membangun seminari tinggi imam diosesan di Surabaya, secara mandiri. Pada awalnya masih bergabung dengan beberapa keuskupan di Malang.
Ia merintis dan membangun Seminari Tinggi di Keuskupan Surabaya, bernama Providentia Dei. Untuk melengkapi ia bersama tim membuat kelas studi filsafat dan teologi, sekaligus mulai mendirikan Fakultas Kedokteran di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Mulai dari awal menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan seminari tinggi, baik fisik gedung, konsep, tenaga pengajar, dana, dan lain sebagainya.
Kamis, 10 Agustus 2023, kita dikejutkan berita duka, Sang Maesto dari Perak wafat, menghadap Sang Ilahi. Selamat jalan Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono, semoga segala kebaikan yang telah ditebar membawa banyak inspirasi bagi umat dan masyarakat.