Senin, 28 Agustus 2023

Nyambangi Dukut Imam Widodo, Senior Ikamisa, Terkenang Manuk Bence di Lowokwaru Malang

Ayas pagi tadi gowes ke kawasan Wiguna: Wisma Gunung Anyar, Surabaya. Dekat perbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Mampir ke rumah Dukut Imam Widodo. Senior Ikamisa alias Ikatan Alumni Mitreka Satata, Malang, ini sangat terkenal di kalangan pembaca buku-buku tempo doeloe di Jawa Timur.

Sam Dukut, sapaan akrabnya, menerbitkan cukup banyak buku tempo doeloe. Di antaranya, Soerabaia Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Grissee Tempo Doeloe, Sidoardjo Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe, Monggo Dipun Badhog.

Buku-buku Sam Dukut selalu jadi rujukan pemkab dan pemkot di Jatim meski Dukut sendiri tidak berpretensi menulis buku sejarah. Gayanya yang renyah, banyak guyonan ala ludruk membuat buku-bukunya enak dinikmati. Didukung foto-foto tempo doeloe era Hindia Belanda yang menarik.

"Perkenalkan, saya Dukut Imam Widodo arek Malang asli, lahir di Rumah Sakit Lavalette, Rampal Kulon, Malang, pada tanggal 8 Juni 1954. Sejak lahir hingga tumbuh jadi ABG dan lulus SMAN 1, Jalan Tugu, saya tinggal di Malang."

Demikian alinea pertama buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo. "Sam Ikamisa tahun berapa?" Ayas bertanya dan dijawab tahun 1973.

Obrolan menjadi ringan dan enak karena sama-sama Ikamisa. Ayas bertanya soal keaslian gedung SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 di dekat Alun-Alun Bunder itu apakah masih asli. Sebab gedung sekolah eks AMS Belanda itu ikut dihanguskan tahun 1947. Sam Dukut bilang masih relatif asli. Direnovasi seperti aslinya.

Sam Dukut tinggal bersama keluarga orang tuanya di Jalan Lowokwaru 40 (sekarang Jalan Letjen Sutoyo). Ada foto Dukut kecil di buku Malang Tempo Doeloe. 

Tahun 1960-an itu suasana Malang masih sepi. Dukut yang remaja sering menikmati suara burung-burung malam. Salah satunya manuk bence. Kalau kunam itu bersuara artinya ada isyarat bahaya. "Awas, ada maling," kata ebesku.

Zaman telah berubah. Begitu juga dengan Malang. Malang yang dulu sejuk berubah jadi sanap (panas), kata Sam Dukut. Burung bence itu pun menghilang.

"Sekarang suara manuk bence sudah tidak terdengar lagi di malam hari. Itu pertanda bahwa di kota ini sudah tidak ada lagi maling!" tulis Dukut.

"Yang ada adalah.. begal!" Dukut menambahkan.

 Hehehe.. iso ae sam asli Ngalam iki!

Ayas pamit pulang karena obrolan sudah agak panjang. Sam Dukut memberikan oleh-oleh berupa buku Malang Tempo Doeloe. 

Tidak lupa Sam Dukut menulis pesan untuk ayas di buku itu: "Jangan pernah menyerah! Jangan! Jangan!"

Rutam nuwus, Sam Dukut!

2 komentar:

  1. Saya pernah baca mengenai buku Mangga Dipun Badhog itu. Judul yang ironis karena kata kasar "badhog" didahului oleh basa krama "mangga dipun". Saya pernah tanya kepada teman sekerja orang Semarang, tentang penerimaan kata badhog di Jawa Tengah. Katanya, jika dia menggunakan kata itu di rumahnya bisa disawat sandal oleh ibunya. Hehehehe. Arek Jatim memang lain drpd yang lain!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Judul yg ironis, nakal, merusak tatanan, unggah ungguh dsb. Khas guyonan arek² di warkop buat lucu-lucuan. Badhog itu kata paling kasar untuk makan. Malah di buku pelajaran anak-anak badhog: mangane buto.
      Mangane ulo nguntal. Mangane boyo nyaplok. Mangane tikus ngrikiti.

      Gaya bahasa Jowo khas Arek memang jauh berbeda dengan gaya kromo inggil di Jogja dan Jawa Tengah.

      Hapus