Sabtu, 31 Agustus 2019

Rumah Disewakan untuk Muslim



Masih dalam rangka 40 hari berpulangnya Bapa Nikolaus Hurek, 79, ayahanda tercinta, tadi pagi saya misa di Gereja Katolik Salib Suci, Waru, Sidoarjo. Meskipun beda kabupaten/kota, gereja ini lebih dekat ketimbang Gereja Katolik Roh Kudus di Perumahan Puri Mas, Rungkut, Surabaya, paroki saya.

Karena itu, saya sering ke Salib Suci kalau bangun agak terlambat. Misa pagi harian di Surabaya dan Sidoarjo dimulai pukul 05.30. Misanya rata-rata setengah jam saja. Para pastor di Paroki Salib Suci Sidoarjo dan Paroki Roh Kudus Surabaya sama-sama SVD dan hampir semuanya asal Flores, NTT.

Nah, saya kaget membaca spanduk di salah satu rumah tak jauh dari parkiran Gereja Salib Suci. Bekas warung nasi goreng kambing yang tutup. Tertulis: RUMAH DISEWAKAN UNTUK MUSLIM....

Waduh... waduh... rupanya yang begini ini sudah menjalar ke Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Selama ini yang sering saya baca dan dengar di Jogjakarta. Kos-kosan khusus muslim. Yang bukan muslim ditolak.

Bagaimana kalau yang ingin menyewa rumah itu muslim tapi Tionghoa? Muslim tapi Papua? Apakah bisa diterima? Saya tidak tertarik bertanya meskipun nomor teleponnya sangat jelas.

Saya jadi ingat liputan BBC tentang mahasiswa Papua di Jogja dan beberapa kota lain. Anak-anak Papua ini sangat sulit mendapatkan indekos. Sebab para pengusaha kos-kosan tidak suka orang Papua dengan berbagai alasan stereotipe. Suka minum, mabuk-mabukan, ngemplang bayar, resek, hingga badannya bau dsb.

Gara-gara ditolak pemilik kos itulah, maka mahasiswa Papua biasanya ngontrak rumah yang besar. Dijadikan wisma atau asrama Papua. Bisa juga minta bantuan gubernur atau bupati untuk bikin asrama di Jawa.

Karena itu, jangan salahkan anak-anak Papua yang lebih sering berkelompok sesama Papua saat kuliah di Jawa. Tidak banyak mahasiswa Papua yang bisa melebur dengan warga setempat di Jawa. Kecuali para pemain sepak bola.

"Biarpun muslim tapi asal Papua ditolak juga sama pemilik kos di Jogja," ujar anak Papua yang dikutip BBC.

Indonesia baru saja merayakan hari jadi ke-74. Usia yang sangat senior untuk ukuran manusia. Tapi rupanya Pancasila belum dihayati sesama anak bangsa. Khususnya sila Persatuan Indonesia.

"Orang Papua belum diindonesiakan," kata Gubernur Papua Lukas Enembe. "Orang Papua masih dibedakan. Belum dianggap benar-benar Indonesia."

Kembali ke rumah di Desa Tropodo, Kecamatan Waru, Sidoarjo, yang disewakan khusus kepada muslim itu. Sudah 6 atau 7 tahun belakangan juga ada tren pembangunan perumahan khusus untuk orang Islam. Perumahan berkonsep syariah.

Ternyata tidak mudah melaksanakan Pancasila di era digital dan media sosial nan canggih ini. Quo vadis Pancasila???

Benang Kusut Mahasiswa Papua


Hampir setiap hari saya lewat di Pacarkeling. Sudah pasti juga lewat di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kalasan 10 Surabaya. Sebab Jalan Kalasan itu semacam gang dari Jalan Pacarkeling. Kadang-kadang mampir di warkop dekat asrama mahasiswa itu kalau hendak misa di Gereja Kristus Raja di Jalan Residen Sudirman. Asrama Papua memang dekat dengan Gereja KR dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Resud.

Dari dulu tidak pernah ada masalah. Biasa-biasa aja. Makanya tidak banyak orang yang tahu di mana Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya itu. Bahkan masih banyak orang Surabaya yang tidak tahu di mana Jalan Kalasan.

Hingga terjadilah unjuk rasa 700an aktivis ormas, warga, dan aparat itu. Gara-gara isu di media sosial yang viral soal bendera merah putih itu. Di saat tensi nasionalisme sedang tinggi pada 15-17 Agustus 2019. Mbak Susi dan kawan-kawan tidak terima bendera merah putih dihinakan. Pelakunya diduga mahasiswa yang tinggal di asrama itu.

Namanya orasi unjuk rasa, kata-kata yang dilontarkan pun panas. Nama-nama penghuni bonbin keluar semua. Anak-anak Papua terkepung berjam-jam di dalam asrama. Sambil mendengar orasi dan teriakan yang tidak enak.

Malamnya 43 penghuni asrama dibawa ke kantor polisi. Diamankan istilahnya. Diinterogasi siapa gerangan yang mematahkan dan membuang bendera NKRI itu. Ternyata tidak ada yang tahu. Lalu 43 orang itu dikembalikan.

Lalu muncullah reaksi yang luar biasa di Papua dan Papua Barat. Mulai Senin 19 Agustus 2019 sampai... entah kapan. Kelihatannya makin panas saja Bumi Cenderawasih itu.

Kemarin sore saya lewat di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan. Ada spanduk baru. Isinya sangat mengerikan: referendum is solution.

Wow... referendum?
Minta merdeka?
Separatisme?

Kita tidak bisa minta konfirmasi dari mahasiswa Papua penghuni asrama. Sebab mereka bertekad menolak siapa pun yang datang ke asramanya. Untuk urusan apa pun.

Jangankan wartawan di Surabaya, tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pun ditolak mentah-mentah. Gubernur Papua Lukas Enembe ditolak. Gubernur Jatim Khofifah ditolak. Wali Kota Risma pun tidak diterima.

Pendeta-pendeta dan pengurus Bamag dari Papua dan Papua Barat juga ditolak. Bagaimana dengan pendeta-pendeta di Surabaya? Pendeta GKI di dekat asrama mahasiswa? Atau pastor-pastor dari Gereja Kristus Raja? Apalagi.

"Situasinya masih belum kondusif. Cooling down dulu," kata RD Benny Susetyo, rohaniwan Katolik.

"Tapi isunya sudah melebar, Romo? Semula soal ujaran kebencian, rasialisme, diskriminasi, sekarang kok pasang spanduk referendum? Ini kan bahaya," kata saya.

"Mungkin itu cuma emosi anak-anak muda saja. Masalah Papua ini perlu diselesaikan dengan kepala dingin," kata romo asli Malang itu.

Yang saya baca di internet, mahasiswa Papua di Jakarta dan beberapa kota mengusung isu referndum saat unjuk rasa. Bahkan membawa bendera Papua Merdeka segala. Isunya persis sama dengan bunyi spanduk di pagar Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya itu.

Salam damai untuk Papua!

Jumat, 30 Agustus 2019

Misa Arwah 40 Hari Bapa Niko Hurek

Misa di Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya, Jumat 30 Agustus 2019.


Waktu berlalu begitu cepat.

Tidak terasa sudah 40 hari ayahanda tercinta berpulang. Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia di Lewoleba, Lembata, NTT, pada 22 Juli 2019. Mama Maria Yuliana sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta pada 1998.

Empat anaknya resmi yatim piatu. Berni (Surabaya), Yus (Kupang), Erni (Lewoleba, Lembata), dan Is (Lewotolok, Lembata). Anak kelima (bungsu) Vincentius Hurek Making hanya menikmati dunia selama dua atau tiga minggu saja.

Bapa Niko Hurek, putra sulung pasangan kakek/nenek Samun Hurek/Ebong Nimanuho juga meninggalkan 2 adik perempuan dan 2 adik laki-laki.

* Kaka Paulina Perada Hurek (Bungamuda Lembata).
* Kaka Margareta Kewa Hurek (Atawatung Lembata)
* Bapa Daniel Demong Hurek (Kupang, pimpinan PKB di NTT, mantan Wakil Wali Kota Kupang).
* Bapa Dr. Urbanus Ola Hurek (dosen Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.

Oh ya, di Flores Timur dan Lembata ada sapaan hormat yang berbeda dengan istilah bahasa Indonesia. Semua kakak/adik ayah disapa Kaka (kakak) meskipun usianya sama atau lebih tua ketimbang ayah. Padahal aslinya bibi atau tante atau budhe atau bulek. Adik atau kakak lelaki ibunda kita disapa om atau nana atau opu.

Anak atau cucunya om juga harus disapa Om. Ini ada kaitannya dengan urusan adat istiadat Lamaholot. Maka, saat berada di kampung halaman, bocah TK pun saya panggil Om kalau marganya Manuk. Sebab mama saya marganya Manuk. Maria Yuliana Manuk (RIP).

Jenazah orang Lembata tidak akan bisa dikuburkan jika Om-Om alias Opu Lake ini tidak datang. Yang berhak tutup peti, memaku peti jenazah, ya Om-Om atau saudara kandung atau sepupu ibunda kita.

Maka, jangan pernah sakiti hati Om-Om kamu saat kau hidup. Sudah banyak kejadian. Om-Om di Lembata sakit hati sehingga tidak datang-datang untuk melepaskan jenazah secara adat kemudian tutup peti. Tidak bisa sembarangan kalau urusan adat suku Lamaholot atau NTT umumnya.

Puji Tuhan, urusan adat istiadat Lamaholot terkait kematian di Desa Bungamuda, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, NTT, sangat mulus dan lancar. Om-Om Kayo Puken Wai Matan dari Suku Nimanuho datang pada kesempatan pertama. Om Guru Gorys Nimanuho yang juga ketua Stasi Mawa Napasabok yang memimpin pelepasan Bapa Niko Hurek ke dunianya yang lain.

Lalu, misa requiem khusus dipimpin Pastor Paroki Bernardus Abas, Tokojaeng. Suasana sangat sedih. Begitu banyak air mata tumpah. Tangisan bersahut-sahutan dari keluarga besar dan orang-orang kampung yang tak lain mantan murid-muridnya Bapa Niko Hurek.

Di depan peti jenazah, sebelum ditutup Om-Om Nimanuho, saya pandangi wajah Bapa Niko. Masih tampak senyum di tubuh yang dingin kaku. Bapa telah menyelesaikan pertandingan hingga akhir.

Setelah misa di halaman rumah, di bawah pohon yang rindang, dilanjutkan penyerahan jenazah kepada Pemerintah Kabupaten Lembata. Bupati Lembata Yenci Sunur menugaskan Camat Ileape memimpin penguburan Bapa Niko secara kedinasan.

Oh Tuhan, rupanya jasa-jasa Bapa Niko merintis SDK Yonas di Desa Mawa Napasabok masih diingat Pemkab Lembata. Meskipun ayah sudah pensiun PNS 19 tahun lalu. Bapa Niko merintis sekolah dasar di kampung, jadi guru tunggal, hingga jadi kepala sekolah. Selama 32 tahun.

Bapa Niko Hurek juga ikut merintis Gereja Stasi Mawa bersama Bapa Gaspar Hurek (RIP). Saat ini Stasi Mawa berkembang bagus. Ketua stasinya Guru Gorys Nimanuho, Opu Lake alias Om, yang punya kewenangan adat untuk menutup peti jenazah Bapa Niko.

Begitu banyak cerita yang bisa ditulis untuk Obituari atau In Memoriam Bapa Niko Hurek. Tapi berat... terlalu beraat... bagi saya. Anak kandungnya. Terlalu banyak air mata yang jatuh.

Beda banget dengan menulis obituari atau profil tokoh-tokoh untuk surat kabar atau majalah atau laman daring (online). Terlalu emosional.

Maka, di kampung pun saya tidak banyak bicara. Tidak bisa kasih kata sambutan dsb. Cukup diwakili Bapa Daniel Hurek dan Ade Franky Hurek (saudara sepupu). Franky lah yang paling sibuk dan capek. Terima kasih banyak, Franky!

Jumat 30 Agustus 2019

Pagi ini saya pesan intensi misa untuk Bapa Niko Hurek + Mama Maria Yuliana di Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Pater Dominikus Beda Udjan SVD, pastor paroki, didampingi dua pastor lain.

Hadir pula 20-an frater yang sedang mengikuti tahun orientasi rohani. Misa pagi yang dimulai pukul 05.30 diikuti sekitar 200 jemaat. Antusiasme umat Katolik di Surabaya untuk mengikuti misa harian memang sangat tinggi.

"Kita selalu doakan agar Bapa Niko memdapat kebahagiaan di sisi-Nya," kata Pater Domi Udjan yang asli Lembata ini.

Bapaknya Pater Domi, Bapa Yosef Nuba Udjan (RIP), teman akrab Bapa Niko di kampung. Sama-sama mengurus sekolah dan gereja stasi di kampung. Kakak kandungnya Pater Domi juga jadi pastor, Pater Paulus Udjan SVD, bertugas di Timor Leste.

Homili singkat pagi ini tentang 5 gadis bijaksana vs 5 gadis yang bodoh. Gadis-gadis bodoh membawa pelita tanpa minyak. Gadis-gadis pintar sudah siapkan minyak agar siap menyambut pengantin dalam perjamuan.

Akhirnya, pengantin datang. Lima gadis bijaksana masuk ke aula pesta. Sedangkan gadis yang bodoh terlambat. Masih membeli minyak di pasar. Mereka tidak bisa masuk ke ruang perjamuan karena pintunya ditutup.

Pesan Injil ini ternyata sangat relevan dengan kematian. Selalu siap dan siap karena kita tidak tahu kapan sang pengantin datang. "Bahan bakar jangan sampai kosong," kata pastor tamu yang belum saya tanya namanya.

Selepas misa untuk 40 hari kepergian Bapa Niko, saya cek ponsel. Ada SMS dari Is Hurek, adik saya:

"Ka Berni ingat Bapa 40 hari naen... tolong doa untuk Bapa. Kame doa ia Nobolekan. Erni punya di Lamahora dengan keluarga Hurek Making."

Adik yang satunya di Kupang, Yus Hurek, juga kirim pesan WA:

"Kame juga minta misa 40 hari di gereja..."

Begitulah. Orang Lembata dan Flores Timur selain sangat ketat dalam urusan adat istiadat, juga sangat menekankan sembahyang atau misa 40 hari kematian anggota keluarga.

Resquescat In Pace (RIP)

Rabu, 28 Agustus 2019

Selamat Jalan Ayahanda Tercinta Bapa Nikolaus Nuho Hurek




Gelisah, cemas, waswas.. takut. Campur aduk. Itulah yang saya rasakan selama hampir dua minggu. Sulit tidur. Padahal saya tipe orang yang sangat mudah tidur di mana pun. Saya tidak perlu kasur empuk, bantal guling, kamar semewah hotel berbintang hanya untuk tidur.

Tapi dua mingguan itu mata sulit terpejam. Bolak-balik saya lihat ponsel. Padahal biasanya HP saya matikan sebelum pukul 23.00. Mode pesawat. Tinggal musik pengantar tidur. Saya bolak-balik cek HP.

"Kak Berni.. kondisi Bapa sangat melemah. Sulit diajak bicara," begitu SMS dari Is Hurek, adik saya, dari Lembata.

Oh, Tuhan!

Saya pun tak bisa berbuat banyak. Larut dalam keheningan. Berdoa agak lama. Berdoa lagi dan lagi. Rosario lima peristiwa. Sampai pagi.

Waktunya sudah dekat rupanya. Tuhan kasih isyarat dalam kegelisahan itu. Ayah kandung saya, Bapa NIKOLAUS NUHO SAMUN HUREK, juga beberapa kali datang dalam mimpi. Bapa Niko tersenyum dalam wajah yang masih relatif muda, di bawah 60an tahun. Bukan 79 tahun atau 80an tahun seperti usia sebenarnya.

Bapa Niko Hurek tidak ngomong apa-apa dalam mimpiku. Tapi saya tahu beliau minta agar saya segera pulang. Bertemu beliau di ujung perjalanan tugas di dunia ini.

Bapa Niko.. Bapa... saya segera pulang. Minggu ini. Saya harus izin cuti panjang, urus tiket dsb. Tuhan... izinkan saya bertemu ayahandaku sebelum saatnya tiba! Begitu doaku di malam yang gelisah itu.

Minggu 21 Juli 2019
Kristofora Tuto alias Is Hurek kirim SMS. Bunyinya:
"Kak Berni... pia Bapa bisa loka nong tite koda di loka jadi mo daiko ki... nepi kme open hala."

"Kak Berni.. Bapa sudah tidak bisa bicara dengan kita. Jadi segera pulang. Kami tidak bohong."

Saya pun menangis. Di toilet kantor di Kembang Jepun, Surabaya, jelang deadline. Tanganku gemetar saat mengedit berita-berita untuk halaman 1 koran pagi Radar Surabaya.

"Saya pulang. Go urus cuti nong seba tiket pesawat. (Saya segera urus cuti dan cari tiket pesawat)," jawab saya ke Is dan keluarga besar di kampung.

Tak lama, masih Minggu malam 21 Juli 2019. Fransiskus Terong Hurek alias Franky kirim WA. Saudara sepupuku itu menulis:
"Malam bae, kalau boleh dai moi bapa ki."

Lengkap dengan foto Bapa Niko di kamar di Lamahora, Lewoleba, Lembata. Adik Is duduk di samping ayahanda yang terbaring. Tak ada kata. Tapi wajah ayahku masih tersenyum khas. Mirip saat mimpi beberapa kali itu.

Senin 22 Juli 2019
Pagi itu saya mampir ke pastoran Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Mau ketemu Pater Dominikus Udjan SVD yang baru tiga bulan bertugas di Surabaya. Romo Domi ini kebetulan asli Lembata.

Ayah Pastor Paroki Roh Kudus Surabaya ini, Bapa Yosef Nuba Udjan (+), dulu ketua Stasi Gereja Atawatung. Bapa Niko Hurek, ayah saya wakil ketua Stasi Atawatung. Waktu SD di kampung, saya selalu diajak Bapa Guru Niko untuk main di rumah Bapa Guru Yosef Nuba. Karena itu, hubungan kami seperti keluarga sendiri meskipun Pater Domi ini berasal dari Kalikasa. Lumayan jauh dari Atawatung di Kecamatan Ileape.

Sudah bertahun-tahun saya tidak ketemu Pater Domi. Maklum, pastor ini lebih banyak bertugas di Jakarta. Terakhir kalau tidak salah di Matraman Raya, Jakarta.

Saya pun menunggu di pastoran. Setengah jam kemudian Pater Domi keluar. Saya langsung peluk sang pastor. Wajahnya tidak banyak berubah. "Anda siapa?" tanya Pater Domi.

Lalu saya cerita sedikit latar belakang, orang tua dsb di kampung. Ouww... Pater Domi kemudian memeluk saya erat-erat.

"Berni Hurek... kamu dulu kurus. Saya pangling," kata pater yang dulu biasa jalan kaki 30an km dari Lewoleba ke Atawatung saat duduk di SMPK Santo Pius X Lewoleba itu.

Lalu saya diajak ke lantai atas. Ruangan khusus para pastor. "Mo menu kopi le teh... (mau minum kopi atau teh)," tanya Pater Domi.

Saya jawab kopi. Pater Domi, dulu Pater Geurtz SVD memberi gilingan kopi di rumah saya di Mawa, Lembata. Semua warga bebas giling kopi (selep). Makanya sejak SD saya sudah biasa minum kopi. Sampai sekarang pun sulit lepas dari kopi.

"Oh ya... saya ingat," kata Pater Dominikus Udjan SVD.

Obrolan pun makin gayeng. Cerita-cerita nostalgia pun mengalir deras. Termasuk kehebatan Bapa Yosef Nuba Udjan yang memimpin Gereja Stasi Atawatung, pandai berkhotbah dsb dsb. "Jujur aja Pater... khotbahnya Bapak Yosef Nuba dulu kualitasnya tidak kalah dengan pastor beneran. Bahkan lebih bagus," kata saya disambut tawa Pater Domi Udjan.

Tidak heran dua putra almarhum Bapa Yosef Nuba Udjan berhasil jadi pastor. Pastor Dominikus Udjan SVD bertugas di Surabaya dan Pastor Paulus Udjan SVD bertugas di Timor Leste.

Tak lama kemudian telepon saya berdering. "Maaf Pater.. saya terima dulu. Dari Is Hurek di Lewoleba," kata saya minta izin ke Pater Domi.

Isak tangis Is Hurek, adik perempuan saya, sangat keras. Tak banyak kata. Tapi saya sudah menangkap pesannya. Ayahanda Nikolaus Nuho Samun Hurek sudah tiada. Sudah dipanggil menghadap Bapa di Surga.

"Kak Berni... Kak Berni... mo dai hala ka Bapa naika...." (Kak Berni.. Bapa Niko pergi sebelum kamu pulang)

Wajahku memerah. Air mataku tumpah di depan Pater Dominikus Udjan SVD. Pater pun memberi kekuatan kepada saya. "Saya akan doakan secara khusus dalam misa di sini," katanya seraya mengantar saya ke halaman parkir Gereja Katolik Roh Kudus, Puri Mas, Rungkut, Surabaya.

Saya pun belum sempat menyampaikan maksudku yang sebenarnya ke Pater Dominikus Udjan. Pertama, minta doa agar Bapa Niko Hurek diberi tambahan umur agar saya bisa bertemu dengan ayahanda tercinta di saat-saat terakhir hidupnya. Kedua, minta berkat agar perjalanan mudik ke kampung halaman besok aman dan lancar.

Tapi Tuhan punya rencana lain. Benarlah nas kitab suci ini:

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9)

Dari Gereja Roh Kudus, Rungkut, saya pun langsung cari tiket. Sore atau malam ini harus sudah tiba di Kupang dan besoknya di Lembata. Ternyata dapat penerbangan Lion Air malam hari ke Kupang. Satu-satunya flight yang tersisa.

Di sisi lain, manajemen, direktur, GM, HRD, dan pemimpin redaksi memberikan cuti khusus dukacita kepadaku. Semua wartawan dan karyawan juga menyampaikan doa yang tulus kepada ayahandaku yang telah berpulang dan mendoakan saya serta keluarga yang ditinggalkan.

"Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Terpujilah nama-Nya!"

(Ayub 1:21b)

Resquescat in pace!
Beristirahatlah dengan tenang bersama-Nya!

Selamat jalan ayahanda tercinta Bapa Nikolaus Nuho Samun Hurek Making!

Selamat berjumpa lagi dengan ibunda tercinta Mama Maria Yuliana Manuk (+) yang sudah lebih dulu berpulang pada 1998!

Budi jasa moen aya aya Bapa!
Kame anak anak moen balas bisa hala!
Go pia teti ata lewohna.. doan doan pi Surabaya
onek peten peten kong mo
Go balik lewo koi Bapa hala muri

Senin, 19 Agustus 2019

Oei Hiem Hwie, Buku, dan Media Lama

OEI HIEM HWIE masuk koran lagi. Cerita lama tentang pengalamannya di Pulau Buru karena dianggap antek-antek Bung Karno. Pak Oei juga punya kedekatan khusus dengan Pramoedya Ananta Tour saat berada di pulau pembuangan tahanan politik itu.

Cerita tentang Pak Oei sudah sering dibeber di media massa. Saya juga beberapa kali menulis pengalaman mantan wartawan Trompet Masjarakat, Surabaya, itu di koran. Kalau perlu pendapat tokoh atau pengamat Tionghoa, biasanya saya kontak Oei Hiem Hwie.

Lama-lama jadi dekat dengan sesepuh Tionghoa Surabaya itu. Apalagi beliau punya perpustakaan antik di Medokan Ayu Surabaya. Satu-satunya perpustakaan yang menyimpan begitu banyak majalah, koran, buku, dan dokumen tempo doeloe. 

Mau cari koran prakemerdekaan macam Sin Poo, Sin Jit Poo, Keng Poo... ada saja arsipnya di perpustakaan yang bernama Medayu Agung. "Saya memang hobi membaca dan mengoleksi media massa dan buku-buku," ujarnya. 

Sayang, banyak buku koleksinya yang diambil aparat setelah peristiwa kelabu 65 itu. Masih lumayan ada setumpuk yang disembunyikan di plafon rumahnya ketika ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. 

Kembali ke Jawa Timur, Oei kelahiran Malang tapi cari duit di Surabaya, bersyukur karena buku-buku lamanya masih ada. Tapi di masa Orde Baru dia hidup dalam kecemasan gara-gara status ET di kartu penduduk. ET : eks tapol. "Kami terus diawasi setiap saat," ujarnya. 

Orde Baru kemudian tumbang. Pak Oei bisa sedikit lega meskipun tetap eling lan waspada. Diam-diam dia buka perpustakaan sederhana, kecil, agar koleksi-koleksi lawas itu bisa dibaca banyak orang. "Tiap hari ada mahasiswa, dosen, wartawan, tokoh masyarakat datang ke sini," tuturnya lantas tertawa kecil.

Hehehe... Saya ikut tersindir karena memang sering ke perpustakaannya yang dekat perbatasan Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Kalau saya lewat di tambak-tambak Sedati Juanda hingga Tambakoso biasanya saya merapat ke Medayu Agung.

Makin hari saya lihat buku-buku makin menumpuk. Selain membeli pakai duit sendiri, banyak orang yang ikut menyumbang. Di era digital ini tentu sumbangan buku makin banyak. Sebab manusia modern lebih banyak membaca di internet ketimbang buka-buka buku kertas.

Saya merasa asyik membaca tulisan-tulisan lawas dengan gaya Melayu Pasar atau Melayu Tionghoa. Penulis-penulis lama senang bermain-main kata, guyon, nyindir... sehingga berita-berita jadi sangat berwarna. Beda dengan model jurnalistik modern yang singkat, padat, tidak bertele-tele, to the point.

Kelemahan perpustakaan milik Tuan Oei hanya satu: tidak ada AC. Bisa dibayangkan betapa sejuknya ruangan perpustakaan dua lantai itu di Surabaya yang panas. Tapi tentu saja Pak Oei tidak punya anggaran untuk pengadaan AC. Pemkot Surabaya juga belum berkenan menyumbang karena lebih memperhatikan perpustakaannya sendiri yang mutunya biasa-biasa saja.

Tahun ini Pak Oei genap 82 tahun. Beliau mau menerbitkan buku memoar yang isinya pasti werno-werni dan interesan. Semoga lancar dan Tuhan kasih sehat untuk Pak Oei. 

Senin, 12 Agustus 2019

Blog Dihapus Bikin Trauma Ringan

Awalnya kaget dan shock. Kehilangan blog dengan konten 3.000 tulisan. Blog yang cukup populer karena lebih dulu masuk blogsphere. Tapi beberapa hari kemudian saya ikhlas. Sadar bahwa laman pribadi di blogspot suatu ketika akan hilang.

Toh, saya juga sudah pernah kehilangan blog. Multiply dihapus. Blogsome hilang. Yahoo 360 amblas. Tapi tiga platform blog pribadi ini memang tutup. Mungkin bangkrut. Ribuan pengguna juga kehilangan.

Nah, bedanya, Multiply, Blogsome, Yahoo 360 ada pemberitahun lebih dulu. Notifikasinya berkali-kali. Kita bisa siap-siap mengarsip atau menyelamatkan naskah, foto, atau video.

Lah, Mbah Google ini dadakan. Akun hurek2007 yang dihapus. Otomatis semua akun saya yang terkait Google terhapus. Otomatis! Termasuk hurek.blogspot.com yang dirintis mulai 2006 itu. (Ada naskah-naskah bertahun 2005 tapi sejatinya dipos tahun 2006.)

Bukankah gampang bikin blog baru? Gampang banget memang. Tidak sampai 5 menit bikin akun email baru. Akun yang bisa dipakai untuk bikin laman di blogspot, youtube dsb.

Yang tidak gampang itu menjaga mood. Bikin tulisan-tulisan baru atau ngepos ulang arsip-arsip lama yang bisa diselamatkan. "Saya butuh artikel tentang seriosa," kata seorang doktor asal Malaysia, Sharifah.

Dia ternyata diam-diam aktif membaca blog lawasku. Bahkan jadi salah satu referensi untuk bikin tesis doktoral. Sharifah juga memberi dorongan agar saya terus menulis di blog. Agar bisa diakses di mana saja lewat internet.

Iya iya.... Tapi kasus kehilangan 3.000 artikel dalam hitungan detik ini sedikit banyak membuat trauma. Bisa saja naskah-naskah baru pun hilang dalam sekejap karena dianggap melanggar syarat dan ketentuan Mbah Google.

Jumat, 09 Agustus 2019

Tionghoa kok bukan pedagang?

Surabaya, 16 October 2014

Orang Tionghoa di Indonesia identik dengan pedagang. Mulai pedagang kelontong hingga bos yang punya banyak pabrik. Karena itu, ketika melihat Ahok jadi gubernur Jakarta, dengan gayanya yang blak-blakan dan unik, mayoritas orang Indonesia terkejut. Yang terkejut ini bukan hanya pribumi tapi juga Tionghoa sendiri.

Dua hari lalu saya didatangi mahasiswi Universitas Kristen Petra Surabaya. Olivia namanya, tinggal di Taman, Sidoarjo. Di otak saya, ayah si Olivia ini pasti pedagang atau pebisnis. "Papamu bisnis apa?" tanya saya.

Pertanyaan standar ketika kita bertemu warga keturunan Tionghoa. Kalau ketemu pribumi, pertanyaan kita: Anda kerja di mana? Di bagian apa?

"Papaku pendeta," kata Olivia mantap. Oh, Tuhan, saya kena batunya. Termakan oleh stereotipe, generalisasi, yang memang ada di alam bawah sadar saya. Memang sangat jarang, bahkan baru kali ini, pertanyaan standar "papamu bisnis apa" dijawab pendeta.

Saya tahu banyak sekali pendeta Tionghoa, khususnya di gereja-gereja aliran pentakosta dan karismatik, di Jawa Timur. Tapi mendengar langsung ucapan seorang Tionghoa, anak pendeta, baru kali ini. "Wah, papamu benar-benar melaksanakan sabda kitab suci. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran...."

Olivia tertawa kecil. Lalu, obrolan kembali ke topik utama. Tak lagi bahas masalah pribadi, Tionghoa, pendeta, kristiani, dan sebagainya. Olivia cuma ingin wawancara tentang sistem kerja di newsroom sebuah surat kabar untuk tugas kuliahnya.

Diam-diam, setelah Oliv pulang, saya merenung sendiri. Pasti tidak gampang bagi orang Tionghoa yang memilih jalan hidup sebagai pendeta. Profesi yang sangat jauh dari template di kalangan masyarakat Tionghoa di tanah air.

Bagaimana bisa membiayai anak istri? Beli rumah pakai apa? Masa depannya? Bukankah lebih enak punya banyak uang? Dan itu hanya bisa lewat perdagangan dan bisnis?

"Orang Tionghoa yang jadi seniman atau rohaniwan itu harus nekat. Harus tahan kritik dari lingkungan keluarga," kata Lim Keng, almarhum, pelukis terkenal di Surabaya.

Lim Keng dulu jadi bahan gunjingan keluarga, teman, dan orang-orang Tionghoa karena nekat memilih jalan kesenian. Bahkan, istri dan dua anaknya pun menyingkir ke kota lain karena memilih jalan dagang. Tapi Lim Keng merasa bahagia dan bertahan dengan dunia seni lukis sampai ajal menjemput.


Komentar Lama

Anonymous
October 17, 2014

Ya memang benar itu. Ketika saya kecil, setiap kali main ke rumah teman sesama Tionghoa, pasti ditanyain orangtuanya: "Papa kamu co apa?". "Co" - dalam pinyin dituliskan sebagai "zuo", artinya bekerja; lengkapnya zuo shengyi atau lafal Tionghoa Surabaya yang mlingsih dari aslinya: "co sen-i" (bekerja bisnis). Kalau kita bekerja sama orang (seperti saya) sering merasa minder. Padahal bekerja apa pun itu mulia, asalkan kita jujur dan memberikan bakat dan kemampuan kita yang terbaik.