Jumat, 08 Maret 2024

Mau Dibawa ke Mana Hari Musik Nasional? Tak Ada Greget Sama Sekali

Hari Musik Nasional (HMN), 9 Maret 2024, kurang bergaung di Surabaya. Padahal, Makam WR Soepratman dan Museum WR Soepratman ada di Surabaya.

Biasanya ada komunitas atau anak sekolah mengisi HMN dengan berziarah ke Makam WR Soepratman. Ada juga yang mengunjungi Museum Mpu Tantular di Jalan Mangga. Dekat Stadion Tambaksari.

Tapi secara umum saya lihat HMN kurang greget. Bukan hanya di Surabaya. Tidak ada perayaan atau pesta musik yang skalanya kolosal. Di mana masyarakat merayakan musik. 

Saya bayangkan ada festival musik selama seminggu setiap HMN. Segala jenis musik ditampilkan. Anak jalanan, anak sekolah, anak kampus, anak band, siapa saja main musik dan menikmati musik. Musik apa saja.

Saya kirim unek-unek pagi ini ke Musafir Isfanhari, pemusik, dosen musik, dirigen, musisi, arranger kawakan di Surabaya. Satu jam kemudian datang jawaban. Bung Isfanhari sempat menulis artikel pendek.

Kutipannya:

HARI MUSIK NASIONAL, LALU .... ?

Oleh Musafir Isfanhari

Hari Musik Nasional memang selalu dikaitkan dgn WR Soepratman, karena tgl 09 Maret adalah hari kelahiran WR Soepratman.

Tapi Hari Musik Nasional belum terasa dampaknya  secara signifikan di masyarakat, karena tidak ada langkah yang konkrit untuk memeriahkannya.

Teman saya yang pernah ke Perancis disaat Hari Musik Nasional Perancis, maka warga memeriahkan dengan main musik dijalan tempat mereka tinggal. Ada suasana yang khas di Perancis saat Hari Musik.

Hal yang lain, di Olahraga ada KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) yang memikirkan kemajuan olahraga Indonesia.

 Di seni khususnya musik tidak ada lembaga semacam itu.

Berapa kali, PSSI mengirim satu team sepak bola ke Eropa dan negara berprestasi di Amerika Latin ( belajar di sana selama setahun). Berapa beaya mengirim team ke kesana untuk minimal 22 orang pemain selama setahun.

Itu bisa diberangkatkan karena ada KONI) yang menganggarkan Beaya itu semua.

Bandingkan dengan musik. Banyak grup paduan suara Indonesia berprestasi di Eropa (beberapa kali menjadi juara di sana) tapi beayanya ditanggung oleh grup itu sendiri (diambil dari kantong orang tuanya).

Sampai-sampai,  saya pernah dengar sendiri, seorang Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten (maaf, tidak saya sebut nama kabupatennya) melarang grup-grup paduan suara sekolahnya untuk berpartisipasi lomba  paduan suara keluar negeri, karena pak Kepala Dinas diprotes oleh orang tua murid, sebab para orang tua murid "kobol kobol" dompetnya.

Sedih.

Putri Ariani penyanyi tuna netra yang berprestasi di American Got Talent kan juga dompet orang tuanya yang "kobol-kobol". Putri Ariani berhasil mengharumkan nama Indonesia yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat Amerika dengan beaya sendiri.

Di olahraga setiap cabang ilahraga  dipimpin oleh pejabat (menteri, jenderal, dan pejabat yang lain). Contoh : PSSI dipimpin oleh Erick Tohir Menteri BUMN.

Di seni kan gak ada. Apa ada menteri atau dirjen menjadi ketua Persatuan Keroncong Indonesia,  atau ketua Indonesia Dangdut Asociation..... ?

Usulan untuk Hari Musik.Nasional :

Agar Musik Indonesia makin maju, Pemerintah harus memberi perhatian yang lebih besar demi kemajuan musik tanah air.

Contoh : Walikota Alabama (AS) meliburkan satu hari kerja, untuk memberikan kesempatan kepada warganya menyambut Ruben Studard yang memenangkan Kontes American Idol.

Demikian besar perhatian pemerintah terhadap prestasi warganya.

Hidup Hati Musik Nasional,
Kita tunggu langkah Pemerintah mengawal musik kita.

Salam sehat,
Isfanhari.

Lagu Indonesia Raya Aslinya Gaya Waltz, Birama 6/8 - Nyekar di Makam WR Soepratman

Ayas sering mampir di warkop samping Makam WR Soepratman di Jalan Kenjeran, Surabaya. Nunut baca koran Jawa Pos. Sejak dulu warkop pojokan itu melanggan Jawa Pos. Sebelum ponsel pintar dan media sosial marak boleh dikata semua warkop langganan koran.

Setelah baca koran dan nyeruput kopi, Ayas kadang mampir ke makam sang pahlawan. Komponis besar yang juga wartawan kawakan. Pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Di makam WR Soepratman diukir partitur Indonesia Raya. Lagu kebangsaan kita. Irama mars, birama 4/4, nada dasar G, dan seterusnya.

Hari lahir WR Soepratman, 9 Maret 1903, dijadikan Hari Musik Nasional. Belakangan hari lahir sang komponis dikoreksi ahli warisnya - lewat pengadilan - jadi 19 Maret. Tapi hari musik tetap 9 Maret. Sesuai dengan Keputusan Presiden SBY.

Nah, jelang Hari Musik Nasional 2024, Ayas nyekar ke Makam WR Soepratman. Nyekar tapi tidak bawa kembang. Cuma bawa tasbih saja. Sembahyang pendek dalam hati.

Ayas kembali perhatikan notasi lagu Indonesia Raya. Jadi ingat artikel pendek yang ditulis Musafir Isfanhari sekian tahun lalu. Isfanhari dosen musik di Unesa, pelatih paduan suara, arranger, dirigen, pengamat musik. Dulu Bung Isfan selalu jadi juri bintang radio dan televisi jenis seriosa.

Musafir Isfanhari mengatakan, Indonesia Raya aslinya ditulis oleh WR Soepratman  dalam tanda birama 6/8. Keterangan ini dimuat di buku LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982.

Tahun 1944 dibentuk Panitia Lagu Kebangsaan untuk penyempurnaan lagu Indonesia Raya. Panitya tersebut terdiri atas Ir Soekarno, Ki Hadjar Dewantoro, Achiar, Bintang Soedibyo (Ibu Sud) Darmajaya, Koesbini,  KH Mansyoer, Mr Mohammad Yamin, Mr Sastromoelyono, Sanusi Pane, Cornel Simanjuntak, Mr A Soebardjo, dan Mr Oetojo.

"Panitya inilah yang akhirnya mengubah Indonesia Raya menjadi berbirama 4/4 seperti sekarang yang kita nyanyikan," kata Bung Isfanhari.

Ayas perhatikan notasi asli Indonesia Raya yang asli itu. Menarik. Iramanya seperti orang menari waltz. Bukan mars, tegas, macam orang berbaris. 

Bung Isfanhari menulis:

"Lagu ciptaan WR Soepratman yang saya tahu banyak yang berbirama 6/8.
Contohnya: Di Timur Matahari. Dulu ketika masih kecil (di SR) saya menyanyi Ibu Kita Kartini  juga dalam birama 6/8."

Lagu Indonesia Raya birama 6/8, menurut Isfanhari, kesan gagahnya kurang. "Setelah diubah menjadi 4/4 terasa gagah dan wibawanya," kata pemusik yang baru saja menerbitkan buku kumpulan partitur paduan suara itu.

Lagu Indonesia Raya (versi sekarang) memang gagah. Apalagi orkestrasinya digarap Addie MS dan dimainkan Twillite Orchestra. Artistiknya lebih terasa ketimbang orkestrasi lama pada masa Orde Baru.

 Namun, dulu Ayas pernah kritik bahwa Indonesia Raya ini lagu kebangsaan yang sulit. Nada rendahnya terlalu rendah dan nada tingginya terlalu tinggi. Kalau dinyanyikan dengan nada dasar G, bisa dipastikan rakyat biasa kesulitan menjangkau nada tinggi di refrein. Kalau diturunkan ke F atau E, nada rendahnya gak nyampe.

Selamat Hari Musik Nasional!
Salam Indonesia Raya!

Rabu, 06 Maret 2024

Bersyukur masih bisa merayakan ulang tahun media cetak di Gresik

Sejak pandemi covid, Ayas jarang ke Gresik. Padahal dulu sering gowes ke kota santri itu. Beli legen, pudak, sego krawu.. banyak makanan enak di Gresik.

Tahun lalu Ayas hanya sekali mampir di Gresik. Tahun 2024 ini juga baru sekali. Kebetulan ada resepsi atau tasyakuran hari jadi ke-12 Radar Gresik di Jalan Pahlawan. 

Cukup ramai acara open house Radar Gresik. Pejabat-pejabat pemkab, pimpinan dan anggota dewan datang. Pengurus ormas Islam banyak yang hadir. Begitu juga relasi dari perusahaan.

Radar Gresik satu-satunya koran cetak yang masih terbit di Kabupaten Gresik. Dulu ada Radar Bawean tapi sudah pamit. Radar Bawean pun sebetulnya anaknya Radar Gresik. Menarik tapi pasar di Pulau Bawean tidak mendukung.

Ayas lihat banyak sekali karangan buka di sepanjang Jalan Pahlawan yang ramai itu. Artinya Radar Gresik punya relasi sangat luas. Merekalah yang selama ini memberi sokongan moral, material, doa-doa agar surat kabar lokal ini bisa tetap eksis di era digital.

Sudah lama media cetak baik koran, majalah, tabloid diramalkan mati. Itu ramalan sejak 90-an. Ramalan itu sepertinya mulai mewujud dengan datangnya gelombang media sosial yang dahsyat.

Syukurlah, Radar Gresik, Radar Sidoarjo, Radar Surabaya dan koran-koran cetak lain masih bisa terbit menemui pembaca. Dan masih bisa bikin tasyakuran potong tumpeng ulang tahun. 

Dirgahayu!

Spiritualitas Jawa vs Agama Samawi (Abrahamik)

Sulit tidur pagi ini meski badan dan jiwa lelah. Ayas iseng-iseng nonton siaran langsung sepak bola. Bayern Muenchen vs Lazio. Sudah sangat terlambat.

Skor sudah 3-0. Agregat 3-1. Berarti Bayern Muenchen yang lolos ke 8 besar Liga Juara. Kane borong dua gol. Hebaat!

Tak lama kemudian pelawak Djadi Galajapo alias HM Cheng Hoo membagi artikel pendek. Seperti biasa, tentang spiritualitas Jawa. Rajin sekali Galajapo kampanye melawan kaum fundamentalis, fanatis, ekstremis agama di negeri ini.

"ISLAM PANCASILA menolak konsep Tuhan Anthropomorfis. Rahayu," tulis Djadi yang di dokumennya tertulis kelahiran Kabupaten Surabaya - sekarang jadi Kabupaten Gresik.

Ayas pun membaca tulisan Kamerad Kanjeng yang dibagikan Cak Djadi itu. Ayas renungkan kok mirip ajaran leluhur di bumi Lamaholot NTT sana.

Leluhur Nusantara memang sangat doyan kerukunan dan keserasian sesama makhluk. Semua ajaran bahkan dianggap sama. Menuju ke Dewa Lera Wulan - Penguasa Matahari dan Bulan.

Berikut artikel Spiritualitas Jawa yang ditulis Kamerad Kanjeng: 

Konsep Tuhan dalam spiritualitas Jawa adalah unik..., khas..., dan berbeda dengan konsep tentang Tuhan versi agama Samawi/Abrahamik.

Agama Samawi yang berasal dari  bangsa-bangsa yang ada di Timur Tengah..., memiliki konsep Tuhan yang cenderung anthropomorfis.

Anthropomirfis..., yaitu  bersifat dan berperilaku seperti manusia...;  seperti  senang..., marah..., cemburu..., menyuruh/memerintah..., menghukum dan sebagainya.

Spiritualitas Jawa..., tidak pernah menggambarkan Tuhan dengan konsep sebagai personal atau sosok raksasa di atas langit..., yang bebas melakukan apa saja terhadap manusia...;  seperti menguji..., memerintah..., melarang..., menghukum..., atau memberi hadiah...,  dan bsebagainya layaknya perilaku manusia yang lain.

Dalam spiritualitas Jawa..., Tuhan lebih sering disebut dengan istilah Hurip (Hidup)..., atau Sang Hyang Hurip/Sang Maha Hidup. 

Konsep ini lebih bersifat abstrak dan universal..., daripada konsep tentang Tuhan sebagai sosok yang bersifat anthropomorfis tadi.

Itulah sebabnya..., dalam spiritualitas Jawa tidak ada istilah menyenangkan Tuhan..., memperjuangkan Tuhan..., membela Tuhan..., ataupun berperang atas nama Tuhan...; karena Tuhan dipahami sebagai Sumber, Dasar dan Tujuan dari segala sesuatu..., the power of LIFE itself (Sangkan Paraning Dumadi).

Dengan demikian...,  spiritual Jawa bisa menghargai dan hidup harmonis selaras dengan kepercayaan dan keyakinan lain..., karena menganggap semua itu berasal dari Tuhan..., sehingga tidak perlu ada persaingan untuk menunjukkan atau berebut mengenai Tuhan milik siapa yang lebih benar.

Semuanya adalah berasal dan akan kembali kepada Tuhan juga..., tanpa ada pembedaan dan diskriminasi sedikitpun.

Itu juga sebabnya..., dulu orang Jawa bisa menerima dan mempersilahkan semua agama dari bangsa-bangsa asing  untuk bisa masuk..., hidup..., dan berkembang di negeri ini.

Walaupun pada saat ini...; tidak sedikit dari mereka yang kemudian berkembang menjadi arogan..., ekspansif..., dan bahkan ingin menghilangkan atau  mengusir tradisi/budaya sang tuan rumah.

Spiritualitas Jawa..., juga tidak pernah mengenal misionari...; yaitu upaya ekspansi ataupun perekrutan massa. 

Spiritualitas Jawa...,  juga tidak pernah bicara tentang dominasi untuk menguasai dan mengatur seluruh dunia ke dalam satu sistem dan seragam yang sama.

Spiritualitas Jawa menghargai keragaman dan perbedaan secara sebenarnya..., bukan sekedar basa-basi di mulut saja.

Dan karena sifatnya yang demikian..., maka spiritualitas Jawa juga tidak sibuk mengatur tentang perilaku manusia..., melainkan sekedar berusaha membangkitkan kesadaran manusia.

Spiritual Jawa menyakini..., bahwa  dengan kesadaran itu manusia akan bisa mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik.

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan doktrin yang kaku dan tidak boleh dirubah...,  karena menyadari bahwa pengertian manusia akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan tingkat kesadarannya seiring dengan waktu. 

Spiritualitas Jawa...,  juga tidak menciptakan sistem dan lembaga yang cenderung akan menciptakan penjara baru bagi umat manusia. 

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan dokumentasi yang mati dan kaku..., karena menyadari bahwa kitab yang sejati letaknya ada di hati nurani dan sanubari manusia yang terdalam..., karena di situlah manusia akan bisa memahami "Tuhan" yang sejati..., dan bukan Tuhan yang sekedar sebagai "berhala mental" saja.

Spiritualitas Jawa juga tidak menciptakan teror..., ketakutan..., dan ancaman...; serta tidak ingin menciptakan perbudakan terhadap manusia berdasar ancaman dan rasa takut. 

Yang ada dalam Spiritual Jawa hanya  welas asih..., karena welas asih terhadap semua ciptaanNya  itulah sifat dan hakikat dari Tuhan yang sejati. 

Jumat, 09 Februari 2024

Joko Widodo dulu nampak sederhana peduli wong cilik

Oleh Sandyawan Sumardi
Relawan kemanusiaan, mantan pastor

Ini foto ketika aku bersama tokoh yang akhir-akhir ini kembali jadi bahan pembicaraan publik, karena sikap dan pernyataannya yang selalu berubah-ubah,  kontroversial, padahal beliau adalah  pemimpin negara bangsa kita.. 

Foto ini diambil di tengah masa kampanye calon gubernur dalam Pilgub DKI 2012 di kampung kami, Bukit Duri, Jakarta Selatan..

Kami seluruh warga Bukit Duri dan sebagian besar kaum miskin urban Jabodetabek  jaringan kemanusiaan kami ketika itu,  mendukungnya terus, bahkan  hingga beliau jadi Presiden RI dalam Pemilu 2017.

Di luar dugaan, tanggal 28 September 2016 kampung Bukit Duri, justru digusur paksa oleh Pemda DKI, (bersama kampung-kampung kaum miskin urban lain ketika itu, termasuk Kampung Akuarium, Kampung Pulo, Kalijodo, dll.), baru beberapa  bulan setelah beliau jadi Presiden RI (ironis, karena kami seluruh warga Bukit Duri terlibat aktif dalam  kampanyenya sebagai calon presiden pada Pilpres 2017).

Penggusuran yang dilakukan secara semena-mena,  meski gugatan kami di PTUN dan di PN Jakarta Pusat sudah dan sedang berjalan sekalipun..

Kami melakukan Gugatan "Class Action" (gugatan perwakilan kelompok), ada 4 orang perwakilan warga, aku salah seorang wakil kelas.

Waktu itu, kami mengaduh dan protes keras, namun suara kami seperti teriakan yang gemanya hilang dalam kegelapan di padang gurun..

Betapa sedikit, nyaris tak ada orang/pihak  yang bisa memahami, apalagi mendukung perjuangan  kami, salah satu komunitas warga yang digusur paksa..

Ya selanjutnya selama 6 tahun, kami terus bergerak berjuang, begitu banyak pengorbanan (setidaknya 17 warga keluarga penggugat yang meninggal selama kurun itu).. 
Ya warga Bukit Duri melakukan gugatan hukum di pengadilan.!

Kami sebagai warga negara sama sekali tidak minta diistimewakan.
Kami merindukan kemanusiaan yang adil dan beradab..!

Kamis, 08 Februari 2024

Mengenang Mas Jos - Wartawan Senior Pakar Bahasa Indonesia Jawa Pos Group

Kawan senior sekaligus guru telah kembali ke pangkuan-Nya. Tak ada lagi guyonan khas Mas Jos. Tak ada lagi atraksi sulap, ngemsi yang kocak, dan gaya nyanyi lagu-lagu lawas yang nyeleneh.

Mas Jos - nama aslinya Yuli Setyo Budi - bukan wartawan biasa. Dia salah satu dari sedikit wartawan yang sangat ahli bahasa Indonesia. Tempat bertanya bagi reporter-reporter atau wartawan muda.

"Kata-kata dasar yang pakai k, p, t, s diluluhkan. Termasuk kata-kata serapan asing," begitu salah satu nasihatnya.

Karena itu, mempesona jadi memesona, mengkonsumsi jadi mengonsumsi, mensosialisasikan jadi menyosialisasikan... 

Mas Jos lulusan IKIP Surabaya, Jurusan Bahasa Indonesia. Tidak semua sarjana bahasa Indonesia jadi pakar bahasa Indonesia. Betapa banyak sarjana bahasa Indonesia yang sangat lemah pemahaman sintaksis, morfologi, gramatika dsb.

Jos alias Yuli ini salah satu dari yang sedikit itu. Tidak heran, dia diminta Bos Dahlan Iskan, saat itu pemimpin redaksi Jawa Pos, untuk merapikan bahasa dan kalimat-kalimat wartawan. 

Jos dan temannya anak copy editor kemudian menyusun buku Satu Kata. Buku ini berisi kata-kata yang ambigu atau bersaing. Kata mana yang harus dipakai di koran.

 Sandarisasi atau standardisasi? Shalat atau salat? Sholawat atau selawat? Istigasah atau istighotsah? Itikad atau iktikad? 

Masih banyak kata-kata lain yang harus dirapikan. Harus "satu kata". Tidak boleh ada dua kata dalam satu media. Misalnya, hektare vs hektar, sepakbola vs sepak bola, bulu tangkis vs bulutangkis.

Saya sangat sering bertanya kepada Mas Jos ketika menemukan kata-kata bersaing. Kita tidak harus selalu ikut KBBI, katanya. Karena itu, JP Group biasa menggunakan "jamaah" meskipun KBBI menghendaki "jemaah".

Sayang, kesehatan Jos menurun sejak kena stroke sekitar 13 tahun lalu. Saya dulu sering besuk di rumah sakit di Sepanjang, Sidoarjo. Saat itu Jos melakukan latihan atau fisioterapi saban hari.

Kesehatannya pulih tapi tidak bisa joss seperti sebelum terserang stroke. Sejak itu acara karaoke bersama saban minggu selepas deadline tak ada lagi. Dulu Jos punya semacam bandar yang membiayai acara karaoke kapan saja.

Jos akhirnya pindah ke media lain. Masih menulis cerita-cerita misteri, masalah rumah tangga, features. Bahan-bahan sederhana diolah Jos jadi ramuan yang enak dibaca. Bahasa Indonesianya baik dan benar tapi tidak kaku.

Sepuluh tahun lebih Jos bertarung melawan penyakitnya. "Sakitnya gonta-ganti," kata Bu Jos. "Itu obatnya menumpuk di kardus."

Kali terakhir (bukan terakhir kali, kata Jos di newsroom dulu) Mas Jos cuci darah rutin. Lalu dibawa ke RSUD Sidoarjo. Akhirnya dipanggil Tuhan. "Saya sudah ikhlas. Sudah jadi kehendak-Nya," kata Bu Joss.

Saya kemudian ziarah ke kuburan Mas Jos di pinggir perumahan di Balas Klumprik, Surabaya. Ada Dipta putranya di sana. Dipta ini dulu sangat senang binatang-binatang aneh macam hamster, kelinci, dsb.

Dia masih ingat saya - om yang membelikan kelinci di Alun-Alun Sidoarjo. Tak ada kata-kata di pusara baru itu. Hanya doa tulus untuk Mas Jos, sang guru bahasa yang telaten dan cerdas.

Semoga Mas Jos bahagia di surga!

Indonesia sungguh indah permai - pohon nyiur melambai-lambai

Indonesia sungguh indah permai
Pemandangan alam indah santai
Pohon nyiur pun melambai-lambai
menyanyikan lagu-lagu pantai

Lautan biru membuai-buai
diiringi angin sejuk sepoi
Gunung biru tenang penuh damai
Indonesia sungguh indah permai

Rahmat Tuhan sungguh mahamurah
kepada bangsaku Indonesia
Tanah subur dan alamnya pun kaya
Inilah pusaka bangsa kita

Indonesia sungguh indah permai
keindahanmu menawan hati
Aku sungguh cinta kepadamu
Tanah airku, Indonesia!

Pagi ini tanggal merah. Libur Isra' Mikraj. Saya tiba-tiba teringat lagu lama: Indonesia Sungguh Indah Permai. Ciptaan Dr Janner Siaga. Orang Batak itu dulu dirjen pentinh di Departemen Penerangan - kementeriannya Bung Harmoko.

Lagu ini punya kesan kuat di hatiku. Santai, lembut, membuai, jazzy. Dulu dinyanyikan Harvei Malaihollo. Dijadikan lagu penutup siaran RCTI. Dulu televisi belum 24 jam. Rezim Soeharto malah meminta anak-anak segera tidur. Jangan begadang. Nanti segala penyakit akan mudah datang, kata Rhoma Irama.

Entah sudah berapa tahun saya tak menyanyikan lagu Indonesia Sungguh Indah Permai. Juga tidak memainkan secara instrumental rekorder anak sekolah + harmonika.

Syairnya sudah lupa. Maka saya minta bantuan Mbah Gugel. Lah, malah saya diantar ke artikel lama yang saya kenal betul. Tulisan saya sendiri. Kenangan lama di Sidoarjo. 

Blog lama itu sudah tak ada lagi. Rupanya ada orang yang salin-tempel alias copas. Lalu ditayangkan di blognya tanpa menyebut sumbernya. Begitulah perilaku orang Indonesia sejak dulu kala. Senang jiplak. Plagiarisme makin marak di era digital.

Saya pun membaca artikel lama di Sidoarjo itu sambil tersenyum. Membayangkan Pak Putut (saat itu TNI aktif) membawakan lagu-lagu Broery Marantika alias Broery Pesolima alias Broery Abdullah. 

Sebagian seniman yang biasa dugem di kafe dekat Gelora Delta itu sudah tak ada lagi. Kafenya juga sudah lama terbakar. Lagu-lagu pop jazzy, country, campursari dsb yang biasa diiringi Mas Dibyo tinggal kenangan.

Berikut kutipan artikel lama tentang Indonesia Sungguh Indah Permai:

Asyik banget menikmati suasana malam di sebuah kafe kecil di Sidoarjo. Jadul abisss! Diiringi organ tunggal, pengunjung, yang hampir semuanya wong lawas, seakan berlomba menyanyikan lagu-lagu pop lawas. 

Suara mereka gak kalah sama penyanyi-penyanyi baru di televisi. Apalagi penyanyi-penyanyi dangdut koplo yang sebagian fals itu. Pak Putut yang marinir paling jago membawakan lagu-lagu Broery.

 "Di alam nyata apa yang terjadi... Buah semangka berdaun sirih... Aku begini engkau begitu... Sama saja."

Enak banget gaya Pak Putut yang bikin kita kerasan nongkrong sembari menghirup kopi pahit buatan pabrik besar di Taman, Sidoarjo. 

"Beliau pernah jadi juara lomba lagu-lagu Broery di Surabaya. Beliau hafal hampir semua lagu Broery," kata Hartono Aje pemilik kafe di pinggir jalan raya itu.

Ada lagi seorang tante yang enak sekali menyanyikan "Tiada seindah kini... duduk berdampingan... menyentuh hati dengan wajah kasih". 

Lagu ini ibarat lagu wajib resepsi mantenan di Surabaya dan Sidoarjo. Bisik-bisik, katanya sih tante itu istri simpanan om yang duduk di pojok.

"Sepanjang kita masih terus begini. Tak kan pernah ada damai bersenandung...," lagu lawas karya Pance Pondaag ini dibawakan Pak Totok. 

Pimpinan orkes keroncong di Siring, yang rumahnya ditenggelamkan lumpur Lapindo, ini ternyata asyik juga membawakan lagu pop manis. Senyumnya juga lebar karena baru terima duit ganti rugi dari pemerintah.

Lagu yang rada gak umum dibawakan seorang pengunjung yang belum saya kenal. Laki-laki 40an tahun ini membawakan pop jazz. 

"Kala suara menghilang...," lagu hit Utha Likumahuwa tahun 1980an. Disusul "Indonesia Sungguh Indah Permai...."

Wow, lagu lama yang benar-benar jazzy, mas pengiringnya juga mampu menghadirkan swing, rasa jazz kental, malam itu. Saya jadi ingat teman saya di kampus dulu yang memang gitaris band jazz lokal.

 Mas Bambang sering banget memainkan lagu ini di kos-kosan, selain "Buat Kamu" dan lagu-lagu Emerald Band dengan vokalis Ricky Jo (almarhum) yang terkenal dengan Salam Olahraga di RCTI saat memandu siaran langsung balbalan itu.

Indonesia Sungguh Indah Permai, lagu pop jazz ini, diciptakan Janner Sinaga. Saat itu Pak Sinaga pejabat kementerian penerangan yang antara lain mengurusi media massa di Indonesia. 

Sebagai pejabat Orde Baru, Janner Sinaga bertugas mengamankan kebijakan Menteri Penerangan Harmoko soal SIUPP, penertiban wartawan, pembatasan halaman koran, pembatasan iklan, dsb.
Tapi, di sisi lain, Janner Sinaga seorang komposer, pianis yang bagus.

 Indonesia Sungguh Indah Permai bahkan menjadi lagu resmi RCTI, satu-satunya televisi swasta masa itu, saat mengakhiri siarannya. Nuansanya mirip Rayuan Pulau Kelapa yang dipakai TVRI, televisi negara.

Suasana santai, swing, asyik... sangat terasa di lagu Indonesia Sungguh Indah Permai ketika dibawakan Harvey Malaiholo, vokalis jempolan era 1980an dan 1990an. Harvey selain jago lagu-lagu festival, yang jarak nadanya lebar, juga piawai membawakan lagu-lagu jazz, khususnya bosanova.

 Lagu ini benar-benar melekat di hati saya karena nyantai dan sangat unik.
Belakangan Pak Wiranto, mantan panglima TNI, pendiri Partai Hanura, juga bikin rekaman lagu-lagu bernuansa perjuangan. Lagu Indonesia Sungguh Indah Permai jadi andalan Pak Wiranto. Suaranya enak juga!

 Bahkan, saya pernah menyaksikan Pak Wiranto tampil di Hotel Shangri-La Surabaya membawakan Indonesia Sungguh Indah Permai diiringi Surabaya Symphony Orchestra pimpinan Solomon Tong. Asyik!

Malam kian larut. Saya pun pulang sembari bersenandung Indonesia Sungguh Indah Permai di jalanan. Sekaligus melupakan dulu ribuan pengungsi di Singkil Aceh, bencana asap yang sulit diatasi, hingga rupiah yang mungkin tak akan pernah kembali ke Rp 10.000.