Jumat, 01 Desember 2023

Desember kelabu selalu menghantui

 


Tak terasa sudah masuk bulan Desember. Tahun 2023 segera berlalu. Pandemi covid juga sudah berlalu meski masih ada virus corona yang terus bermutasi.

Suasana di mana-mana sudah terlihat normal. Sudah tak banyak yang pakai masker. Cuci tangan pun tak lagi sering. Hanya kurang dari 5 kawan di tempat kerja yang masih pakai masker.

Kerja dari rumah, WFH, tak lagi dianjurkan. Tapi para reporter rupanya masih melanjutkan WFH. Cukup kirim naskah dan gambar lewat surel, WA, atau apa saja. Di era digital sistem WFH, kerja dari warkop, kerja dari mana saja rasanya semakin umum.

 Karena itu, kantor tak lagi ramai seperti dulu. Tak ada lagi suasana hiruk pikuk, guyonan, nonton bareng Persebaya atau timnas, tebak skor berhadiah, makan-makan bareng seperti dulu. Bangunan kantor yang besar dan luas mungkin hanya 20 persen yang terisi. 

Naga-naganya ke depan ruang kerja atau kantor bakal semakin sempit. Mirip hotel-hotel murah jaringan Oyo atau RedDoorz yang sempit tapi kamarnya banyak dan tersebar di mana-mana.

Seharusnya setelah pandemi covid, situasi makin normal dan bahagia. Tapi kelihatannya Indonesia sedang tidak baik-baik saja. 

Suasana kampanye jelang pemilihan presiden dan pemilihan presiden pun landai saja meski baliho, banner dsb tersebar di segala sudut kota. Alat peraga kampanye PSI dan Prabowo-Gibran kayaknya paling dominan di kota ini.

Setiap bulan Desember saya selalu teringat Maharani Kahar. Artis lawas asal Surabaya inilah yang dulu mempopulerkan lagu Desember Kelabu. Lagu yang sangat hit tahun 1983 kalau tidak salah.

Saya beberapa kali wawancara, lebih tepat ngobrol, dengan Bu Maharani tentang nostalgianya sebagai artis top masa lalu. Kebetulan dulu satu paroki di daerah Pagesangan. "Dulu saya memang artis. Sekarang orang biasa aja," katanya.

Saya sedang menikmati suara Maharani Kahar semasa muda. Membawakan lagu Desember Kelabu ciptaan A. Riyanto. Asyik juga lagu melankolis nan manis itu.

"Desember kelabu selalu menghantui setiap mimpiku!" 

Rabu, 08 November 2023

Ingat Pabrik Paku di Waru, Ingat Konglomerat Tempo Doeloe Madjid Asnoen

Penulis pernah dapat kiriman buku dari seorang profesor di USA: Surabaya, City of Work, karya Howard W. Dick. Kajian yang mendalam tentang perkembangan ekonomi di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya.

Sayang, buku tebal itu hilang entah ke mana. Beberapa kali dipinjam mahasiswa yang mau skripsi, difotokopi, dibaca.. tapi tidak dikembalikan. 

Nah, salah satu topik yang dibahas HW Dick adalah pabrik paku di kawasan Kedungrejo, Waru, Sidoarjo.  Yang bersebelahan dengan Terminal Purabaya.

Gara-gara membaca buku itu, meski agak berat karena pakai academic English, penulis jadi kenal nama Madjid Asnoen, pengusaha top, crazy rich Surabaya tempo doeloe. Madjid importer terkemuka sejak zaman Hindia Belanda. Tidak kalah dengan tauke-tauke dan kongsi-kongsi Tionghoa yang sangat merajalela saat itu.

Madjid Asnoen, Rahman Tamin (Ratatex), Moesin Dasaad (Kantjil Mas), dan beberapa lagi dianggap sebagai pengusaha pribumi dan industriawan yang hebat. Karena itu, mereka diharapkan jadi lokomotif perekonomian Indonesia setelah tahun 1950. Belanda baru benar-benar minggat pada akhir Desember 1949. 

Nah, Madjid Asnoen yang sudah konglomerat itu kemudian diberi dukungan penuh, insentif, dsb untuk mendirikan pabrik paku di Waru, Sidoarjo. Sebab, Presiden Soekarno menganggap bahan-bahan bangunan sangat dibutuhkan rakyat dari Sabang sampai Merauke. 

Pabrik Paku Madjid Asnoen itu memang berkembang pesat. Didukung rantai distribusi Firma Madjid Asnoen yang memang sudah mapan sejak era kolonial Belanda. Beda dengan taipan-taipan Tionghoa yang bisnisnya kocar-kacir setelah ditinggal meneer-meneer Belanda. 

Saking terkenalnya, pabrik paku jadi land mark atau tetenger di kawasan Waru dekat perbatasan Surabaya. Seluruh kawasan Bungurasih, Kedungrejo, hingga Kureksari biasa disebut pabrik paku. Terminal Purabaya di Desa Bungurasih belum ada. Dulu orang cuma kenal Terminal Joyoboyo.

 "Bungurasih dulu masih hutan, sawah-sawahnya banyak," kata Eni Rosada, Kades Bungurasih, yang baru saja lengser. 

"Pabrik paku itu sudah ada di Waru jauh sebelum saya lahir," Bu Kades menambahkan.

Berbeda dengan pabrik Ratatax di Balongbendo yang sudah lama rata tanah, pabrik paku di Waru masih bertahan meski tidak lagi pakai nama Pabrik Paku Madjid Asnoen. Manajemennya sudah berbeda.

Informasi yang beredar di media sosial, pemerintah daerah mengubah peruntukan lahan di kawasan Kedungrejo, Waru, dan sekitarnya. Tidak lagi untuk pabrik seperti era 1950-an hingga 1980-an tapi permukiman dan perdagangan.

Kalaupun pabrik paku di Waru itu tutup (atau relokasi), sepertinya kawasan itu akan tetap disebut pabrik paku. Sama dengan Ratatex yang juga jadi land mark di Balongbendo. (rek)

Jumat, 03 November 2023

Dalang Tionghoa Tee Boen Liong konsisten nguri-uri seni budaya Jawa

Oleh Jihan Navira/Wafi Syihab
Mahasiswa FBS Universitas Negeri Surabaya

Meski keturunan Tionghoa, Tee Boen Liong tidak bisa lepas dari kesenian tradisional Jawa. Apalagi Boen Liong yang juga dikenal sebagai Ki Sabdo Sutedjo sudah lama bergelut di dunia pedalangan. Sudah 11 kali Boen Liong menjadi dalang wayang kulit dalam acara sedekah bumi di Kampung Pecinan, Kapasan Dalam, Surabaya.

"Kalau di Kapasan Dalam itu memang sudah langganan. Setiap tahun saya ditanggap untuk mendalang di sana. Puji Tuhan, selalu ramai, meriah, masyarakatnya sangat antusias," kata Tee Boen Liong.

Tee Boen Liong memang sangat total mengembangkan kesenian wayang kulit, campursari, wayang orang, dan tarian tradisional Jawa. Dia berguru langsung pada mendiang Ki Narto Sabdo, dalang kondang dan maestro kesenian Jawa.

 "Saya malah gak ngerti bahasa Tionghoa blass. Kalau bahasa dan budaya Jawa memang saya pelajari secara khusus," ucap alumnus Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya ini.

Setelah mendalang di Kapasan Dalam, belakang Kelenteng Boen Bio, Ki Dalang Boen Liong ikut tampil bersama Wayang Orang Suryo Budoyo di Balai Pemuda, Surabaya. Lakonnya Ontorejo Ngracut. Sebagai dalang yang punya jam terbang cukup tinggi, Boen Liong tidak kesulitan tampil bersama seniman-seniman Surabaya lainnya.

Masih di bulan Oktober 2023, Boeng Liong dipercaya menampilkan tarian untuk menyambut kapal perang Rusia yang berlabuh di Surabaya. Kali ini Boen Liong meminta anak-anak asuhnya menampilkan Tarian Nusantara.

 "Intinya, tari mulai Sabang sampai Merauke. Kita ingin tunjukkan kemajemukan Indonesia,  Bhinneka Tunggal Ika," kepada para tamu dari luar negeri.

Sudah sejak 2014, Boen Liong dan grup tarinya dipercaya untuk mengisi acara kesenian setiap kedatangan kapal perang dari berbagai negara di Kota Surabaya. Biasanya dia lebih dahulu mempelajari karakter dan minat tamu asing itu. Pihak Rusia rupanya meminta tarian bernuansa Nusantara.

Bagaimana dengan tamu-tamu dari kapal perang Tiongkok?

"Oh, ya, kalau tentara-tentara dari Kapal Perang China kemarin dikasih Tari Lenggang Surabaya. Kalau kapal perang berlabuh di Banyuwangi bisa joget-joget di atas kapal. Kalau di Surabaya tariannya di dermaga dekat kapal perang," kata Boen Liong.

Rabu, 01 November 2023

Mata Pelajaran di Sekolah Tionghoa Surabaya Tahun 1960-an

Mata pelajaran apa saja yang diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 1950-an dan 1960-an?

 Ada rekan yang punya koleksi rapor Sekolah Menengah Chung Hua, Surabaya, tahun 1960-an. Sekolah yang biasa dikenal dengan CHHS itu ditutup selepas peristiwa G30S 1965 bersama semua sekolah Tionghoa yang lain.

Dari rapor tempo doeloe ini kita bisa mengetahui berbagai mata pelajaran di sekolah-sekolah Tionghoa. Kelihatannya ikut kurikulum nasional ditambah pelajaran khusus Bahasa Tionghoa, Sejarah Tiongkok, Ilmu Bumi Tiongkok. Ilmu-ilmu lain saja di seluruh dunia.

Yang saya kagumi, nama-nama mata pelajaran menggunakan bahasa Indonesia asli. Apa adanya. Bukan kata-kata atau istilah serapan dari bahasa Inggris, bahasa Belanda, atau bahasa asing lainnya.

Karena itu, kita tak akan menjumpai pelajaran Biologi tapi Ilmu Hayat. Ilmu Alam, bukan Fisika. Ilmu Hitung bukan Aritmatika. Ilmu Ukur Sudut bukan Trigonometri.

Bahkan, pelajaran Olahraga pun disebut Gerak Badan. Betapa orang-orang dulu sangat mengutamakan kata-kata asli bahasa Melayu/Indonesia dan tidak begitu saja menggunakan kata-kata serapan English.

Saya perhatikan murid-murid Sekolah Tionghoa di Surabaya dulu piawai dalam mata pelajaran bahasa Tionghoa dan Bahasa Indonesia. Artinya, mereka lancar berbahasa Indonesia dan berbahasa Tionghoa. 

Bahasa Tionghoa yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa Mandarin resmi versi Peking (sekarang Beijing). Bukan bahasa Hokkian, bahasa Kanton, atau bahasa-bahasa suku.

Pantesan Tante Lanny Chandra jago banget berbahasa Mandarin dan selalu diminta jadi penerjemah di kepolisian atau Pengadilan Negeri Surabaya. Aksara Tionghoa atau Hanzi yang dipelajari di Chung Chung, Shin Chung, dan sebagainya pun aksara tradisional yang rumit. Bukan aksara Hanzi sederhana yang sekarang dipakai di Tiongkok dan seluruh dunia.

"Hanzi sederhana itu memang lebih gampang. Goresannya sedikit. Tapi Tante lebih seneng sama Hanzi tradisional," kata Tante Lanny alumnus Sekolah Tionghoa di Surabaya.

Berikut daftar mata pelajaran di Sekolah Menengah Chung Hua, Surabaya, tahun 1960-an:

Bahasa Tionghoa
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Ilmu Hitung
Ilmu Aljabar

Ilmu Ukur
Ilmu Ukur Sudut
Ilmu Alam
Ilmu Kimia
Ilmu Hewan

Ilmu Tumbuh-tumbuhan
Ilmu Hayat
Sejarah Tiongkok
Sejarah Indonesia
Sejarah Umum

Ilmu Bumi Alam
Ilmu Bumi Tiongkok
Ilmu Bumi Indonesia
Ilmu Bumi Umum
Kelancaran Bahasa 
Gerak Badan

Perang Tak Kunjung Sudah di Tanah Suci! Vanity of Vanities

Entah kapan perang ini berakhir. Sudah hampir sebulan Israel terlibat perang melawan Hamas di Jalur Gaza. Israel mengklaim tidak berperang melawan Palestina tapi Hamas organisasi teroris.

Diawali serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel akhirnya balas dendam. Habis-habisan. Tumpas kelor Hamas. Israel tak mau gencatan senjata. Maunya perang terus.

 Entah sudah berapa ribu bangunan yang hancur di Gaza. Jutaan orang jadi pengungsi. Palestina yang diharapkan segera merdeka kembali ke titik nol. Bahkan minus.

Biasanya perang Israel vs Palestina, Israel vs Liga Arab dan sebagainya tidak panjang. Ada perang 6 hari yang terkenal itu. Lalu gencatan senjata. 

Siapa menang, siapa kalah tidak jelas. Sebab perang bukan sepak bola. Perang hanya melahirkan tragedi kemanusiaan.

 Hamas-hamas tua mungkin habis (berkurang). Tapi hamas-hamas balita suatu saat akan bergerak lagi saat dewasa. Israel akan selalu terancam. Tidak bisa tidur nyenyak. Selama belum ada solusi tuntas masalah Palestina.

PBB sudah tak mampu mengatasi persoalan di Palestina. USA jelas membantu proksinya Israel. Indonesia sudah bikin pernyataan dan bantu obat-obatan, makanan dan sebagainya.

Vatikan sejak awal menawarkan diri jadi penengah. Khususnya untuk membebaskan para tawanan. Tapi tidak digubris. Pengaruh Vatikan makin pudar seperti PBB.

Jumat pekan lalu Paus Fransiskus mengajak umat Katolik sedunia melakukan doa bersama, puasa, matiraga, agar perang Israel vs Hamas segera dihentikan. Hanya itu yang bisa kita lakukan: sembahyang, puasa, berdoa, ekaristi. 

Semoga Tuhan mendengarkan doa-doa umat manusia yang cinta damai. Yang tidak ingin melihat ribuan manusia tewas di medan perang. Tapi rupanya doa-doa (sejak dulu) belum dikabulkan Tuhan.

Mea culpa, mea culpa!

 Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022. Perang itu juga belum selesai. Belum ada tanda-tanda gencatan senjata. 

Rusia ingin menghabisi Ukraina. Sebaliknya Ukraina pun tak mau menyerah begitu saja meski harus berhadapan dengan negara yang pernah jadi salah satu adikuasa itu.

Paus Fransiskus juga mengajak semua umat Katolik di dunia berdoa agar konflik Rusia vs Ukraina segera berakhir. Doa-doa dengan intensi perdamaian di Ukraina dan Rusia didaraskan saban hari di rumah dan gereja. Tapi belum ada hasilnya.

Lama-lama manusia lelah mengadu pada Tuhan. Putus asa. Vanity of vanities, kata Pengkhotbah.

Senin, 30 Oktober 2023

Kuliah jaman now lebih praktis, padat, singkat, tidak perlu skripsi

(Jihan Navira mahasiswa FBS Unesa sedang meliput pusat barang antik di Surabaya untuk tugas magang.)

Kuliah jaman now di Indonesia rasanya lebih mudah ketimbang jaman old. Apalagi setelah Mas Menteri menelurkan kebijakan merdeka belajar, kampus merdeka, dan sebagainya. 

Gaya dan kebijakan Mendikbud Mas Nadhiem jauh berbeda dengan menteri-menteri sebelumnya. Apalagi mendikbud era Orde Baru. Mas Menteri orangnya praktis, efisien, kerja cepat, pragmatis.

Itulah yang saya tangkap ketika menjadi pengampu beberapa mahasiswa magang di Kota Surabaya. Saat ini saya masih mengampu dua mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Jihan Navira arek Manukan dan Wafi Syihab arek Karang Pilang. Mereka magang hingga akhir Desember 2023.

Program magang di perusahaan ternyata dikonversi menjadi banyak SKS (satuan kredit semester). Jihan bilang magang selama empat bulan di media massa bakal dikonversi jadi 20 SKS.

 Luar biasa!

 Saya tidak pernah bayangkan magang atau praktik kerja lapangan (PKL) dihargai dengan SKS sebanyak itu. Mahasiswa juga bisa bikin project apa saja dan dikonversi dengan SKS.

Belakangan ada kebijakan baru lagi. Mahasiswa tingkat akhir tidak perlu capek-capek bikin skripsi. Ada jalur nonskripsi. "Tapi saya masih pakai skripsi. Mungkin tahun depan sudah berlaku kebijakan itu," kata Jihan.

 Mahasiswi ini sudah bikin projek film bersama beberapa temannya di FBS Unesa. Semangat anak-anak milenial untuk bikin projek memang sangat tinggi karena, itu tadi, dapat benefit bisa dapat tambahan SKS.

Saya masih ingat zaman kuliah dulu kami harus menyelesaikan 150 SKS sebagai syarat lulus strata satu (S-1). Wajib skripsi. Wajib penelitian di lapangan. Wajib seminar awal riset, kajian rancangan percobaan, lalu seminar lagi tentang hasil penelitian. 

Lalu menulis skripsi. Betapa sulitnya mencari buku-buku referensi saat itu. Internet belum ada. Buku-buku elektronik alias e-book masih mimpi.

Karena itu, skripsi jadi masalah besar. Banyak mahasiswa yang stres gara-gara skripsi. Betapa sulitnya menemui dosen pembimbing. Kalaupun ketemu ya revisi berkali-kali. Komputer old school masih kelas jangkrik yang mengandalkan WS: word star.

Betapa banyak mahasiswa yang terpaksa DO gara-gara skripsi. Padahal SKS-nya sudah mendekati 150. Bahkan ada yang sudah lebih. 

Berbahagialah mahasiswa-mahasiswi jaman now! Semuanya serba dimudahkan. Apalagi kalau menterinya masih Nadiem Makarim atau tokoh yang sealiran dengannya.

Dengan magang yang dikonversi 20 SKS, projek-projek pribadi, simulasi program, aplikasi dsb maka masa kuliah bisa dipangkas. Tidak perlu lama sampai empat tahun atau lima tahun. Tiga tahun bisa kelar karena tidak perlu skripsi yang makan waktu dan biaya itu.

"Minta izin tidak masuk hari ini, Pak. Saya ada program pembuatan film pendek. Tapi saya akan tetap kirim hasil liputan," kata Jihan, anak magang yang jadi muridku.

Betapa bedanya Jihan dkk dengan mahasiswa jaman old. Ada saja garapan dan mainan mereka berbasis digital. Kelihatan main-main tapi  serius dan jadi tambahan SKS. Jadi modal untuk mempercepat kuliah. Dan bisa langsung diterapkan setelah lulus nanti.

Saya jadi ingat syair lagu jazz dari Louis Armstrong yang terkenal itu:

I hear babies cry
I watch them grow
They'll learn much more
Than I'll ever know

And I think to myself
What a wonderful world

Nita Hurek Segera Menempuh Hidup Baru! Selamat Bahagia Ade Manis

Adik sepupuku, Nita Ebong Hurek, sudah berhasil jadi dokter. Dapat job di salah satu rumah sakit plat merah di Kupang, NTT. Saya ikut senang dan bahagia.

Perjalanan Nita Hurek jadi dokter tidak mudah. Apalagi harus merantau jauh dari orang tuanya, Bapa Daniel Hurek dan Mama Victoria Tandi, di Kupang. Tak mudah bagi anak perempuan untuk merantau jauh. Tapi Nita sudah dikondisikan dengan "magang merantau" saat bersekolah di SMAK Syuradikara, Ende, Flores. Boleh dikata SMA terbaik di NTT.

Nita Hurek tipe "orang kota" NTT yang lahir di Kupang. Bapaknya asli Lembata, lahir di kampung pelosok yang susah. Kampung Nobolekan atau Desa Bungamuda, Kecamatan Ile Ape, itu tak ada listrik. Ambil air pun harus jalan kaki jauh di sumur Desa Atawatung atau Desa Lamawara.

Mama Vita sapaan Victoria Tandi asli Maumere yang besar di Kupang. Mama yang satu ini jago nyanyi tembang kenangan. Dia punya suara tidak kalah dengan penyanyi beneran. Apalagi kalau nyanyi Simphony Yang Indah.

Meskipun adik sepupu, saya tidak kenal dekat Nita karena perbedaan usia terlalu jauh. Saat saya masih SMA atau kuliah di Jawa Timur, Nita belum lahir. Bahkan Bapa Daniel dan Mama Vita belum menikah. Saya hanya mengikuti perkembangan studi Nita di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dari media sosial.

Kebetulan dulu Nita cukup aktif mengunggah sejumlah kegiatannya di UKI Jakarta. Termasuk kesukaannya menonton konser jazz. Nita Hurek dan Gita Hurek, adiknya, bahkan sempat bergambar bersama saksofonis terkenal Dave Coz. 

Akhirnya Nita resmi jadi dokter. Mulai sibuk urus orang sakit di Kupang. Nita tak lagi muncul di Facebook. Saya pun kehilangan ceritanya selain informasi dari beberapa keluarga dekat di kampung.

"Lapor, Ama. Tgl 10 November 2023, adik dr. Nita Ebong Hurek menikah. Jika sempat, Ama boleh hadir. Ina Is dan Erny belum tentu dai. Kame sdah urus persiapan dengan Ina Yus dan Ama Fidel serta seluruh kel kita di  Kupang."

Pesan itu datang dari Bapa Dr Urbanus Ola Hurek. Adik kandung ayahku. Menyampaikan kabar gembira bahwa dr Nita akan menikah dalam waktu sangat dekat. Bahwa persiapan sudah diurus keluarga besar kami di Kupang.

Deo gratias! 
Syukur kepada Allah!

Siapa calon suami Nita? Kerja di mana? Bapa Urbanus tidak menyebutkan. 

"Nita han naranen heku? Aku lewun?" Saya bertanya kepada Yus Hurek dalam bahasa kampung.

"Nita han (suaminya) orang Ende, besar di Kupang, kerja di PU, Elwyn namanya," tulis Yus Hurek, adik kandungku yang bekerja sebagai guru di Kupang.

Saya hanya bisa mendoakan semoga pernikahan dr Nita dan Elwyn berjalan lancar. Mulai urusan adat istiadat hingga penerimaan Sakramen Pernikahan di gereja. Sayang, Mama Vita tidak bisa mengantar putri sulungnya ke altar karena keburu dipanggil Tuhan saat  pandemi Covid-19 lalu.