Selasa, 25 Juli 2023

Menemani turis Singapura yang faham bahasa Melayu sikit-sikit lah


Dulu aku pikir semua orang Singapura yang Tionghoa bisa berbicara dalam bahasa Melayu dan Inggris. Ternyata aku keliru. Ternyata banyak juga warga negara Singapura yang Tionghoa hanya bisa ,,sikit-sikit cakap Melayu".

,,Melayu sikit-sikit lah," kata pasangan suami istri saat jelajah kota lama di kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya kemarin.

,,Boleh cakap bahasa Indonesia?"

Pasutri 60-an tahun itu geleng kepala. Lalu dia beralih ke Singlish. Bahasa Inggris ala Singapura yang khas itu. Tapi itu pun tidak jelas juga omongannya. Sulit ditangkap kata-katanya.

Kita orang omong dalam bahasa Inggris yang jelas dan pelan pun pasutri itu agak sulit mengerti. Tapi lebih nyambung ketimbang kita bicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu ala Ipin dan Upin di Malaysia.

Aku sebagai pemandu wisata dadakan pun tak kehilangan akal. Pelancong Singapura itu aku ajak lihat-lihat beberapa objek di bangunan tua kawasan pecinan. Melihat lukisan, foto bareng dsb. Bahasa Tarzan kadang masih perlu di era digital ini.

Tidak hanya turis Singapura, menghadapi wisatawan dari non English speaking countries memang tidak mudah. Misalnya turis asal Taiwan, Tiongkok, Thailand. Ucapan kata-kata bahasa Inggris mereka tidak jelas. Logatnya pun sesuai dengan logat bahasa daerah atau bahasa nasionalnya.

Bicara dengan orang Amerika atau British jauh lebih enak. Meskipun kemampuan berbahasa Inggris kita orang masih jauh di bawah standar TOEFL, orang USA dengan mudah menebak maksud kalimat-kalimat atau pertanyaan orang Indonesia dalam broken English.

 Itu yang sering aku lihat dalam konferensi pers di Indonesia. Wartawan-wartawan Indonesia umumnya sangat mampu dalam written English tapi lemah dalam spoken English. Itu juga hasil pelajaran bahasa Inggris kita (dulu) yang sangat menekankan tata bahasa atau grammar rules. 

Syukurlah, di era digital sudah banyak aplikasi untuk menerjemahkan bahasa apa saja lewat telepon genggam. Hanya dalam hitungan detik kalimat-kalimat dalam aksara Tionghoa atau Arab atau Thai atau India bisa dibaca dalam bahasa yang kita kuasai. 

Kembali ke turis Singapura tadi. Kalau dipikir-pikir wajar sekali kalau suami istri itu tidak bisa berbahasa Melayu karena jarang bergaul atau bertemu dengan orang Melayu di negaranya. Apalagi etnis Melayu di Singapura pun minoritas. Karena itu, lagu kebangsaan Singapura yang berbahasa Melayu itu mungkin hanya dimengerti dan dihayati orang Singapura yang Melayu. 

Warga Singapura yang Tionghoa dan India mungkin ,,cuma faham sikit-sikit lah." 

Jumat, 21 Juli 2023

MA tutup satu celah nikah beda agama


"Saya masuk Islam supaya bisa kawin dengan Leila," kata Soe Hok Djin, akademisi, aktivis, profesor terkenal era 90-an.

Ahok dan Puput beda agama. Menjalin asmara saat Ahok dibui. Istri lama diputus. Ahok ngebet kawin lagi setelah bebas.

Warganet harap-harap cemas. Siapa yang ngalah? Ahok jadi mualaf atau Puput yang ikut Haleluya? Anda sudah tahu.

"Saya pindah agama supaya bisa nikah dengan ibunya Jarot," kata pelukis senior Bambang yang lahirnya Katolik.

Setelah dimualafkan, seniman itu kelihatan jarang sembahyang. Lebih sibuk ikut acara-acara Kejawen macam Anggoro Kasih, Suroan di Gunung Kawi, nyekar ke petilasan dsb.

Sekali-sekali Bambang datang ke gereja di Sidoarjo. Bukan untuk sembahyang atau misa. "Saya senang ngobrol dengan Romo Didik dan romo-romo lain. Apresiasi seninya bagus. Enak diajak diskusi," kata seniman yang sudah Rahayu Ing Paleraman (RIP) itu.

Begitulah salah satu penyelesaian masalah nikah beda agama di Indonesia. Salah satunya harus ngalah. Siapa yang ngalah ya silakan rembug deso. Kalau tidak ada yang mau ngalah ya... angeeeel dan almost impossible.

Tapi selalu ada pasangan beda agama yang menyiasati UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 itu. Mereka yang punya duit pigi ke Singapura. Menikah di catatan sipil sana. Lalu pulang catatkan pernikahan di Catatan Sipil atau Dispendukcapil.

Faktanya, cukup banyak pasangan beda agama yang diberkati di gereja. Banyak sekali di Katolik. Ada yang disparitas cultus. Ada mixta religio. Syarat perkawinan campur tidak ringan. Tapi pasangan yang bukan Katolik tidak perlu murtad atau meninggalkan agamanya.

Sejumlah pasangan kawin campur ini kemudian mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil. Pasti masalah kalau beda agama. BS (nama lama catatan sipil sejak era Belanda) minta penetapan pengadilan dulu. Kalau ada penetapan PN baru dicatat.

Maka cukup banyak pasangan suami-istri beda agama lolos di Catatan Sipil. Mulai ada keresahan dan gugatan. Dianggap melanggar UU 1/1974 yang mengharamkan pernikahan beda agama.

Lama tak ada kabar, kini muncul surat edaran Mahkamah Agung bertanggal 17 Juli 2023. Isinya, "Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama atau keyakinan."

Putusan MA ini menutup salah satu celah yang nikah beda agama di Indonesia. Tapi biasanya manusia selalu menemukan jalan keluar dari situasi yang sulit.
Jalan termudah ya ngalah seperti Soe Hok Djin, Puput, Bambang. Kalau gak ada yang mau ngalah ya wis. 

Rabu, 19 Juli 2023

Tumpengan Tahun Baru Jawa 1 Suro di Kelenteng Hong San Ko Tee Surabaya


Tahun Baru Jawa, 1 Suro, selalu dirayakan di Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Jemaat memesan atau mengirim tumpeng ke kelenteng. Tumpengnya pun khas tradisi Jawa.

Selama dua tahun acara Suroan di TITD Hong San Ko Tee sempat ditiadakan karena pandemi Covid-19. Pemerintah menerapkan PPKM untuk mencegah penularan virus corona.

 "Tahun lalu kita adakan Suroan tapi terbatas," kata Erdina Tedjaseputra pengurus Kelenteng Hong San Ko Tee.

Tahun 2023 ini status pandemi covid sudah dicabut. Kegiatan sembahyang mulai normal lagi di TITD yang populer dengan sebutan Kelenteng Cokro itu. Kiriman tumpeng kembali ramai. Suroan tahun ini ada 41 tumpeng. Tidak sebanyak jumlah tumpeng sebelum ada pandemi.

"Tumpeng-tumpeng itu dibawa pulang setelah sembahyang bersama. Ada modin yang mendoakan tumpeng-tumpeng itu. Seluruh umat dan keluarganya juga didoakan agar dapat perlindungan dan rezeki selama satu tahun ke depan," kata Erdina, putrinya mendiang Ibu Juliani Pudjiastuti, ketua kelenteng yang lama.

Kelenteng Hong San Ko Tee berdiri sejak tahun 1919. Awalnya kelenteng kecil di kompleks makam tak jauh dari Jalan Raya Darmo. Tuan rumah atau dewa utamanya Kong Tik Tjoeng On. Saat ini Kelenteng Cokro dikelola generasi kelimapendirinya, yakni Jap Liang Sing.

Berbeda dengan kelenteng-kelenteng lain, TITD Hong San Ko Tee punya altar khusus untuk Dewi Sri. Sang dewi padi ini ditempatkan di dekat pintu masuk. Nuansa Jawa memang sangat kental.

 "Kita hormati Ibu Dewi Sri karena kita orang lahir, tinggal, cari rezeki di Jawa. Meninggal pun di tanah Jawa," kata Juliani suatu ketika.

Karena ada altar dan rupang (patung) Dewi Sri itulah, pengurus Kelenteng Cokro selalu mengadakan ritual-ritual Kejawen. Setiap bulan ada sembahyang dan tumpengan pada malam Jumat Legi. Acara tumpengan paling meriah ya tanggal 1 Suro alias Tahun Baru Jawa. Bersamaan dengan Tahun Baru Islam.

Selamat Tahun Baru Jawa!

Rahayu! Berkah Dalem! 

Selasa, 18 Juli 2023

Barbershop Tertua di Kembang Jepun 58 - Selesai di Generasi Kedua

Tempat pangkas rambut di Jalan Kembang Jepun 58 Surabaya lagi ramai di media sosial. Video tentang ,,barbershop tertua di Indonesia" itu dapat tanggapan luar biasa. Begitu banyak orang kagum dengan usaha pangkas rambut di kawasan bisnis utama di Pecinan Surabaya itu.

Owe hampir saban hari lewat di depan barbershop Shin Hua itu. Gedung tua di pojokan Jalan Husin. Di depannya ada gedung bekas restoran terkenal yang sudah lama mangkrak. Tidak ada plang atau tulisan bahwa itu gedung adalah barbershop tertua di Surabaya. Belakangan disebut-sebut tertua di Indonesia.

Owe dulu sempat kaget karena ada stiker dari Pemkot Surabaya di pintu masuk Shin Hua. Stiker keluarga miskin. Tandanya penghuni rumah itu berhak dapat ,,permakanan" dari pemkot. Saban hari petugas pemkot kirim bingkisan makanan untuk penghuni rumah yang namanya tertulis di stiker itu.


Gedung megah di Kembang Jepun kok masuk keluarga miskin? Orang Tionghoa pula? Bukankah selama ini ada citra bahwa orang Tionghoa itu sukses dagang, pinter bisnis, jago cari cuan dsb?

"Yang kaya itu bapaku. Aku gak kaya. Aku  cuma melanjutken saja Shin Hua ini," kata Tan Ting Kok, 74 tahun. 

"Tapi saya sudah tua. Gak kuat lagi. Kalau motong rambut, saya punya tangan gemetar. Saya kena diabet. Makanya saya berhenti. Langganan juga sudah banyak yang mati," kata Tan.

 Shin Hua berdiri sejak 1911. Tan Shin Tjo dateng dari Hokkian, Tiongkok, untuk mengadu nasib di Soerabaia pada masa Hindia Belanda. Awalnya jadi kuli, tukang bersih-bersih. Lalu mencoba jadi tukang potong rambut serabutan di dekat Pasar Pabean.

Tuan Tan ternyata punya hoki bagus. Usaha potong rambutnya terus berkembang, berkembang... jadi besar. Sampai dia bisa membeli gedung besar di Kembang Jepun atawa Handelstraat. Kalau tidak kaya betul mustahil punya properti di pinggir Jalan Kembang Jepun.

Tempo doeloe Tuan Tan Shin Tjo punya banyak pelanggan. Sehari bisa 200 sampai 300 kepala yang ditangani. Ting Kok, anak kedelapan dari 17 bersaudara, juga belajar ilmu potong rambut dari papanya yang totok Hokkian itu.

"Saya sempat buka barbershop di Kapasan, Gembong Tebasan. Dulu ramai sekali," kenangnya.

Ting Kok sempat menikah tiga kali. Bisa beli rumah besar dan mewah. Tapi dibawa lari istri pertama. Kawin lagi dengan wanita Arab. Juga tidak langgeng. Tapi mualafnya masih langgeng. Kawin kali ketiga dengan wanita Belanda. Ditinggal lagi.

Usaha Ting Kok alias Pak Eddy gulung tikar. Ayahnya di Kembang Jepun akhirnya pulang ke alam baka. Maka Eddy juga pulang ke rumah masa kecilnya di Kembang Jepun. Meneruskan Shin Hua sejak 1965. 

 "Langganan dulu wuakeeeh (banyaaak)," kenang Pak Eddy Tan, tamatan Sekolah Tionghoa di Jalan Kapasan dan Ngaglik.

Dunia terus berputar. Bisnis potong rambut di Kembang Jepun terus melesu. Sebulan cuma dapat 50-an pelanggan. Menjelang pandemi covid tinggal 20 pelanggan. Semuanya lao ren alias para lansia. "Langganan habis karena mati. Waktu covid tambah banyak lagi yang mati," kata Eddy.

Karena itu, sejak awal pandemi itulah Shin Hua resmi ditutup. Eddy tak punya karyawan. Anak-anak Eddy yang 9 orang (dari tiga istri) punya usaha sendiri-sendiri. Tak ada satu pun yang tertarik dengan bisnis potong rambut.

Sambil omong-omong dengan Eddy Tan, datang satu rombongan anak muda. Mereka penasaran setelah melihat video Shin Hua viral di media sosial. Eddy alias Ting Kok sempat mengutip peribahasa Tionghoa yang selalu diingatnya.

"Harta kekayaan itu tidak akan bertahan sampai tiga generasi," begitu kira-kira arti peribahasa Tionghoa tersebut.

Shin Hua Barbershop di Kembang Jepun malah selesai di generasi kedua. Gedung yang megah eks Shin Hua malah ditempeli stiker ,,keluarga miskin" oleh Pemkot Surabaya.

Apakah ada rencana menjual tanah dan bangunan Shin Hua ini?

"Tidak akan dijual. Ini untuk cucu-cucu kelak. Kalau ada cucu yang kurang beruntung, tidak mampu beli rumah sendiri, ya, bisa dateng menempati rumah warisan ini," kata Eddy Tan.

Dulu katanya ada salah satu bank yang hendak membeli gedung Shin Hua Barbershop. Nilainya sekian miliar rupiah. Tapi Eddy bergeming. "Saya tidak akan jual," katanya tegas.

Senin, 17 Juli 2023

Uklam Tahes Ikamisa - Reuni Kecil di SMAN 1 Malang


Sejak ada media sosial reuni makin marak. Khususnya reuni SMA/SMK. Reuni universitas juga sering tapi tidak sehebat reuni SMA. Mungkin ikatan emosional semasa di SMA lebih kuat ketimbang di perguruan tinggi.

Padahal, masa sekolah di SMA hanya 3 tahun. Anak-anak pindahan cuma 2 tahun. Jarang ada murid pindah saat kelas 3 di zaman Ebtanas. Pasti sulit adaptasi. Apalagi jelang lomba mengejar NEM: nilai Ebtanas murni.

Ayas kurang tertarik dengan reuni-reunian. Baik reuni tipis maupun reuni tebal. Reuni tipis itu misalnya reuni satu angkatan. Lebih tipis lagi satu kelas. Karena itu, Ayas tidak pernah ikut reuni mulai tingkat SD dan seterusnya.

Diam-diam, di tengah pandemi covid, ada nawak (kawan) lama yang memasukkan Ayas di grup alumni satu kelas. Grup itu rupanya dibuat awal 2015. Ayas baru dimasukkan tahun 2021. Grup Grafity Smansa Malang. 

Rupanya selama enam tahun nawak-nawak bikin reuni tipis. Khususnya saat hari raya Lebaran. Teman-teman yang rumahnya di Malang dan sekitarnya selalu reuni tipis satu kelas. 

Pesertanya tidak sampai 50 persen dari total 42 siswa kelas Grafity. Oh ya, tiga kawan sekelas sudah berpulang ke hadirat-Nya. Astuti, Yoyok, Rahima. Grup alumni sekelas inilah yang akhirnya mengetuk Ayas punya hati ikut reuni tipis. Toh, selama ini Ayas masih sering berakhir pekan di Ngalam.


Tiga pekan lalu, giliran nawak-nawak (kawan-kawan) jadi panitia Uklam Tahes! Sebutan reuni tipis Ikatan Alumni Mitreka Satata - SMAN 1 Malang alias Ikamisa. Dua kawan dekat jadi ketua panitia. Rizki pernah jadi teman kerja di Surabaya. Ipong kawan lama di Jember.

Kadit Kolem Kadit Mbois! Begitu wanti-wanti panitia. 

Akhirnya Ayas pun datang ke sekolah. Back to Mitreka Satata! Kolem (melok) Uklam Tahes Ke-106 Ikamisa.

Uklam-uklam tidak jauh. Cuma di depan Alun-Alun Bunder, depan Balai Kota Malang, muter di belakang sekolah Jln Sultan Agung, Jalan Suropati, kembali lagi ke lapangan basket di tengah-tengah sekolah.

Total ada 322 peserta Uklam Tahes edisi 106. Alumni tertua angkatan 54 dan termuda 2023. Lulusan paling senior itu tak lain Ibu Roosmani, pensiunan guru bahasa Inggris. Sudah sepuh tapi kelihatan masih kuat dan enak diajak ngobrol.

Gak nyangka nawak-nawak yang kian menua ternyata pinter joget dan nyanyi. Ada juga kawan yang dulu pendiam sekarang jadi cerewet. Ayas pangling melihat mantan teman-teman sekelas yang tidak lagi langsing seperti saat SMA dulu. Nawak-nawak yang dulu gondrong pun banyak yang rambutnya makin tipis dan memutih ditelan sang kala.


Sabtu, 15 Juli 2023

Pers Melayu Tionghoa dan Penyebaran Bahasa Melayu Rendah di Seluruh Nusantara


Oleh Basuki Soejatmiko
Wartawan Djawa Post dan Liberty

Secara awam Pers Melayu-Tionghoa dapat didefinisikan sebagai berikut :

Sebuah usaha penerbitan pers yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) yang mempergunakan bahasa Melayu "rendah" yang diwarnai lokal bercampur kata-kata Belanda, Tionghoa atau Inggris sepatah-dua-patah.

Dikatakan Melayu "rendah" karena dibandingkan dengan bahasa Melayu tinggi tatabahasa Melayu rendah terlalu sederhana dan sering dikatakan menyalahi tatabahasa Melayu tinggi. Namun, kelokalan dan kesederhanaan tatabahasa tidak membuat bahasa Melayu tersebut mempunyai derajat lebih rendah. 

Sebagai bahasa perhubungan, dialek Melayu ini digunakan di seluruh Nusantara. Kedudukannya paralel dengan bahasa Indonesia (Takdir, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia: 59). Lagi pula pers Melayu-Tionghoa sudah muncul jauh sebelum konsep kesatuan bahasa Bahasa Indonesia diucapkan pada Sumpah Pemuda 1928. 

Justru karena adanya pers Melayu-Tionghoa yang sangat berperan terhadap persebaran pemakaian bahasa Melayu rendah bahasa Indonesia lebih mudah diterima sebagai bahasa persatuan. Bukankah bahasa Indonesia yang bersumber pada bahasa Melayu tinggi juga memasukkan banyak elemen bahasa Melayu rendah?

Meskipun dikelola oleh orang Tionghoa yang pada saat itu sudah dikenal sebagai kaum Baba atau peranakan banyak juga penulis Indonesia yang terlibat di dalamnya. Wage Rudolf Soepratman adalah salah seorang redaksi mingguan Sin Po, Jakarta. Karena kedudukannya sebagai redaksi itulah maka lagu kebangsaan Indonesia Raya dimuat pertama kalinya di Sin Po seminggu setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Penulis lain yang berkecimpung di pers Melayu-Tionghoa adalah penyair terkemuka Indonesia, Armijn Pane. Dalam Sin Po (30 November 1935) ia menulis, 

"Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan pers Melayu-Tionghoa sangat penting. Verslag-verslag voetbal dalam pers Melayu-Tionghoa enak dibaca sebab hidup bahasanya."

Komentar Armijn Pane sungguh mengena. Pers Melayu-Tionghoa pada umumnya memang menggunakan bahasa gado-gado. Bukannya tatabahasa yang digunakannya sama sekali tidak beraturan.

 Penulis yang mempunyai dasar pendidikan Belanda akan menggunakan pola tatabahasa Belanda dalam menyusun kalimat-kalimatnya. Sedangkan mereka yang mempunyai dasar pendidikan Inggris akan menggunakan pola kalimat Inggris untuk diterapkan pada bahasa Melayu-Tionghoanya.

 Namun, lebih dari itu, bahasa yang digunakan para penulis pers Melayu-Tionghoa pada saat itu sangat polos sehingga apa yang hendak mereka utarakan dapat amat komunikatif. Tidak jarang di tengah-tengah kalimat bahasa Melayu secara tiba-tiba menyelip sepatah-dua-kata bahasa Belanda atau Inggris.

Komentar lain datang dari Kepala Volkslektuur dan guru besar bahasa Melayu di Fakultas Hukum di Batavia, Dr. G.W.J. Drewes, yang dengan tandas mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa sangat nyata dalam memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia.

 Dalam tulisannya berjudul The Influence of Western Civilization on the Languages of the East Indian Archipelago ia mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa antara lain adalah dalam membantu pengadopsian kosa kata Portugis ke dalam bahasa Indonesia.

 Menurut sarjana tersebut bangsa Tionghoa bukan hanya saudagar barang yang lihai tetapi juga merupakan "pedagang bahasa" yang hebat. (Sin Po, Jubileum Nummer).

Yang perlu dipelajari sekarang justru apa sebenarnya tujuan penerbitan pers Melayu Tionghoa tersebut. Mengapa orang Tionghoa yang hingga saat ini dikenal sebagai pedagang dapat mengalihkan minatnya ke dunia tulis-menulis yang asing itu.

 Tentang hal tersebut penulis menyimpulkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, seperti pendapat hingga sekarang, adalah karena pers adalah bisnis yang menguntungkan. Kemungkinan kedua, pers Melayu-Tionghoa terbit untuk membela kepentingan mereka sendiri yang sekalipun mendapat perhatian besar namun juga diperlakukan secara tidak adil oleh pihak Hindia Belanda.

Kalau diperhatikan kata pengantar dari setiap penerbitan pers Melayu-Tionghoa, condong disimpulkan bahwa kemungkinan kedualah yang lebih tepat. Dalam Mingguan Sin Po edisi pertama yang terbit tanggal 1 Oktober 1910 tertulis :

"Kita harep, orang-orang boediman segala bangsa jang dengen ini lagi sekali ada dioendang dengen hormat nanti soeka berieken di ini soerat kabar minggoean segala pikirannja jang ada bergoena boeat gerakan di ini djeman soepaja bisa terdjadi perobahan-perobahan dari perkara-perkara jang sesat, jang sampe di ini masa masi ada banjak di dalem ingetannja sebagian besar dari pendoedoek di ini Hindia". 

Mempersoalkan nasionalistis tidaknya pers Melayu-Tionghoa pada masa itu adalah tidak realistis. Pada tahun-tahun itu semangat nasionalisme baru mulai dibangkitkan yaitu dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908. 

Kita catat pers Melayu-Tionghoa yang besar saja, yaitu Mingguan Sin Po. Sin Po terbit pertama kali di tahun 1910. Situasi dunia pada saat itu juga harus diperhatikan. Dr. Sun Yat Sen berhasil memproklamirkan Republik Tiongkok pada tahun 1911.

 Perubahan besar ini sudah barang tentu sangat mempengaruhi cara berpikir orang orang Tionghoa di perantauan, juga di Hindia Belanda. Meskipun belum pernah melihat negeri Tiongkok, sebagai masyarakat yang hidup dalam penjajahan dan dihitung sebagai masyarakat kelas dua kemerdekaan tersebut berarti mengangkat harkat mereka sebagai manusia. Karena nya, tidaklah mengherankan apabila kemudian pers Melayu-Tionghoa kemudian menjadi corong bagi masyarakat yang ingin memprotes meskipun dalam bentuk terselubung terhadap segala yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda termasuk pers: harian dan mingguannya. 

Pers Melayu-Tionghoa pada saat itu dapat dikatakan sebagai cermin dari etnis Tionghoa yang ingin duduk sama tinggi dengan pihak Belanda.

Bahwa kemudian pers Melayu-Tionghoa dapat berkembang dengan persebaran yang: luar biasa tidaklah diperhitungkan Belanda. Sebenarnya luasnya persebaran ini juga disebabkan karena bahasa yang digunakannya dapat dimengerti oleh masyarakat. Tionghoa dan Pribumi yang tidak terlalu tinggi pendidikannya.

 Bukankah pada masa itu etnis Jawa yang berpendidikan tinggi juga hanya mau menulis di pers Belanda agar dapat dibaca oleh kaum intelektual? Sedangkan bahasa Belanda bukanlah bahasa kebanyakan dan apabila mereka memerlukan informasi pers Melayu-Tionghoalah tempat mereka mencarinya.

Pers Melayu-Tionghoa juga berkembang karena memberikan informasi bagi para pedagang di seluruh Tanah Air dengan berita maupun iklan-iklannya. Sebaliknya iklan juga menopang hidupnya pers Melayu-Tionghoa. Tapi lebih dari semua itu, pers Melayu-Tionghoa dengan bahasa Melayunya berhasil menembus pembaca di kepulauan-kepulauan yang terpencil sekalipun. 

Mingguan Sin Po, misalnya, pada waktu berusia 25 tahun sudah tersebar di 322 kota di Jawa, 77 kota di Sumatera, 25 kota di Sulawesi, 17 kota di Kalimantan, 8 kota di Irian Jaya di samping langganan di Ambon, Aru, Bali, Banda, Bangka, Sumba, Sumbawa, Batu, Bili ton, Seram, Ewab, Kei, Flores, Halmahera, Lombok, Nias, Sangi, Riau, Talaud, Ternate, Timor. Dan semua ini karena mingguan tersebut menggunakan bahasa yang digunakan rakyat terbanyak sederhana dan komunikatif. (Langganan Sin Po bahkan tersebar di jajahan Inggris, beberapa kota di Tiongkok, Eropah, Jepang). 

Bagaimana menejemen dan transportasi pengiriman langganan belum pernah diselidiki. Sesuatu yang sebetulnya sangat menarik untuk diriset.

Pers Melayu-Tionghoa mengalami kemundurannya di jaman pendudukan Jepang. Sebabnya mungkin karena Jepang hanya menghendaki pers sebagai corong mereka melulu. Sebagai bukti semua radio pada masa itu disegel. 

Kemungkinan lainnya adalah kebencian Jepang pada pers Melayu-Tionghoa yang pada masa lampau diketahui mengumpulkan dana untuk membantu Tiongkok dalam peperangan melawan Jepang. Alasan kedua ini diperkuat dengan banyaknya pimpinan atau orang pers Melayu-Tionghoa yang ditangkap Kenpetei dan dipenjarakan bertahun-tahun.

Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat data-data pada ceramah-ceramah Basuki Soejatmiko di Dewan Kesenian Surabaya dan PPIA [Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika] 1980-1981 mengenai masalah bahasa dan dialek Melayu - Tionghoa.

Sumber: Buku ,,Etnis Tionghoa" karangan Basuki Soejatmiko, 1982

Kamis, 13 Juli 2023

Gedung THHK di Jalan Kapasari 3-5 sempat jadi kampus AWS, sekarang SMK Farmasi

Ita Nasyiah (kiri) mengunjungi eks kampus  AWS di Jalan Kapasari 3-5 Surabaya.

Akhir-akhir ini sejumlah komunitas melakukan blusukan ke kampung-kampung lawas di Surabaya. Salah satunya di Jalan  Kapasari. Salah satu perkampungan Tionghoa tempo doeloe itu sekarang jadi sentra dagang barang-barang bekas.

 Hermawan Kartajaya, suhu marketing, juga sempat  blusukan di Kapasari. Nostalgia di rumahnya di Kapasari Gang V. Rumah masa kecilnya sudah lama pindah tangan. 

Hermawan Kartajaya sudah lama hijrah dari Kapasari. Begitu juga orang-orang Tionghoa yang lain. Biasanya Wong Tenglang pindah ke perumahan menengah atas yang lebih nyaman. Sebab, mobil sulit masuk di gang-gang sempit Kapasari, Gembong, Kalianyar, Kaliondo, Kapasan, dan sebagainya.

Setiap melintas di Jalan Kapasari, sangat sering, Ayas selalu ingat THHK. Tiong Hoa Hwee Kwan. Sekolah Tionghoa yang pernah sangat terkenal sebelum Orde Baru berkuasa pada 1966. THHK di Kapasari ini ditutup bersama semua sekolah Tionghoa yang lain selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ada juga yang bilang Gestok: Gerakan 1 Oktober.

Orde Baru memang identik dengan politik kontra Tionghoa. Bahkan bahasa Tionghoa, Mandarin, aksara hanzi pun haram. Sudah jelas warga keturunan Tionghoa ketar-ketir. Bisa jadi sasaran persekusi dan kemarahan publik yang dikompori rezim saat itu. 

Gedung Sekolah THHK di Jalan Kapasari Nomor 3-5  itu kemudian dijadikan kampus Akademi Wartawan Surabaya (AWS) dan Sekolah Asisten Apoteker (SAA). Sekarang jadi SMK Farmasi.

 Sangat banyak wartawan di Jawa Timur yang lahir dari kampus AWS di Kapasari itu. Kampus legendaris, kata mereka. 

"Kampus AWS di Kapasari itu benar-benar kampus perjuangan. Banyak romantika dan lika-liku di situ," kata Ita Nasyiah, mantan wartawan andalan Jawa Pos, alumnus AWS Kapasari.

Ita yang produktif menulis buku itu beberapa kali nostalgia di bekas kampusnya. AWS, sekarang Stikosa AWS, sudah lama pindah ke kawasan Nginden. Gedung di Kapasari sepenuhnya dipakai untuk sekolah farmasi.

Gara-gara sering diskusi di grup tempo doeloe, Ayas akhirnya tahu kalau Sam Edi Soetedjo  ternyata alumnus AWS di Kapasari juga. Kera Ngalam ini semasa aktif jadi wartawan Sinar Harapan, kemudian Suara Pembaruan, dikenal kritis dan tangguh. Hasil penggemblengan di dapur AWS masa lalu yang tidak berorientasi cari ijazah tapi jago di lapangan.

Karena itu, tidak heran banyak mahasiswa AWS (dulu) yang DO karena keasyikan bekerja di berbagai media. Mereka tidak peduli ijazah dan tetek bengek formalitas akademik.

Ada juga wartawan tua yang kembali ke kampus untuk menyelesaikan sisa SKS dan diwisuda setelah puluhan tahun jadi bos media. AWS di Kapasari dulu benar-benar kampus merdeka. Merdeka berpikir, merdeka belajar, merdeka bekerja, merdeka berijazah.

Sekolah THHK kali pertama didirikan di Surabaya pada 5 November 1903. Para perintisnya Liem Sioe Tien, Phoa Lian Tjing, Kwee Lian Phik serta Go Khing Lian. Sekolah tersebut berada di daerah Keputran dengan nama Ho Tjiong Hak Kwan.

Pengajaran di THHK Surabaya menggunakan bahasa Hokkian. Bahasa itu dipilih karena mayoritas orang Tionghoa yang berada di Surabaya berasal dari suku Hokkian. Sekolah THHK yang berada di Surabaya berbeda dengan THHK di Batavia yang menggunakan bahasa nasional atawa Kou-Yu. 

Didit Hape, pensiunan wartawan TVRI Surabaya, punya kenangan manis dengan kampus pertama AWS di Jalan Kapasari. Berikut komentar mantan pengasuh acara Rona-Rona di TVRI Surabaya itu:

,,Saya juga mantan mahasiswa AWS Kapasari,  yang nggak pernah lulus dan nggak pernah diwisuda. Saya kuliah sambil bekerja sebagai kuli tinta / koresponden koran Merdeka Jakarta.

Anehnya ketika sampai di kantor redaksi pusat, oleh para dosen AWS  saya disarankan langsung  ke kantor TVRI pusat Jakarta. Alasannya kala itu TVRI sedang membuka lowongan kerja , jadilah saya seorang cameraman film , sekaligus jurnalis di TVRI sampai Pangsiunan.

Kampus AWS - Kapasari , Surabaya,.. ✍🏻 bagi kami adalah kampus lawas yang banyak menyimpan kenangan, karena di gedung bangunan lama inilah Tuhan mempermukan jodohku , Budha Ersa , yang sekarang jadi Istriku  yang juga alumni SAA , Sekolah Asisten Apoteker Surabaya."