Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, menelan korban tewas 130 orang. Itu versi polisi dan pemerintah. Versi lain di media sosial bisa lebih banyak dari angka itu.
Nasi sudah jadi bubur. Yang mati tidak akan hidup lagi. Tim investigasi sedang bekerja kumpulkan informasi dan data dari banyak pihak.
Yang bikin saya tak habis pikir: pemerintah daerah, kepolisian, tentara dsb sepertinya lupa bahwa pandemi covid masih ada. Stadion Kanjuruhan dibuka lebar-lebar seakan tak ada covid. Bahkan lebih parah ketimbang sebelum ada penyakit aneh yang disebut covid itu.
Jumlah penonton di dalam Stadion Kanjuruhan lebih dari 100 persen. Belum lagi ribuan orang di luar stadion saat Arema vs Persebaya. Orang Ngalam, khususnya forkopimda, lupa dengan covid.
Di masa pandemi, saat ini, mestinya penonton bola dibatasi. Paling banyak 70 persenlah. Tidak boleh kapasitas penuh. Apalagi sampai 150 persen kayak di Kepanjen itu.
Sambil mikir covid dan pertandingan bola, tiba-tiba datang pesan WA dari Gabriel Hokon. Teman lama satu kelas di SMAN 1 Larantuka itu bilang ada orang Flores Timur jadi korban di Kanjuruhan. Oh, Tuhan!
"Korban meninggal di antaranya anak teman kita Daniel Doweng Kumanireng dan pacarnya. Sudah dimakamkan," tulis Gabriel yang tinggal di kawasan Kenjeran.
Daniel Doweng.. sudah 30-an tahun tidak ketemu. Saya cuma satu tahun sekelas di A1-1 - jurusan fisika di SMAN satu-satunya di Kabupaten Flores Timur itu. Setelah itu saya merantau ke Jawa. Minggat ke Malang dan seterusnya.
Daniel menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Begitu juga Gabriel. Tapi kami tak pernah ketemu muka. Bahkan, saya tidak pernah tahu bahwa Daniel sudah lama jadi dosen di Malang. Dan.. gila bola, khususnya Arema FC - seperti saya dulu gila Arema Galatama di Stadion Gajayana.
Hobi nonton sepak bola itu kemudian menurun ke Philip, anaknya. Pemuda itu (hampir) selalu nonton Arema bertanding di Kanjuruhan. Bersama pacarnya yang juga Aremanita.
Begitulah kalau orang terlalu fanatik. Fanatik bola, fanatik capres, fanatik ormas, fanatik agama dsb!
"Kalau fanatik di kampung paling hanya baku pelungku terus bubar.
Di sini gas airmata, diinjak sampe mati," kata kawan Gabriel yang asli Tanjung Bunga, dekat Larantuka, itu.
Nasi sudah jadi bubur.
Philip sudah pulang bersama 130 suporter Arema lainnya.
Semoga semuanya bahagia di surga.
Semoga Tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik mereformasi tata kelola sepak bola di Indonesia. Jangan ada lagi nyawa-nyawa melayang hanya karena sepak bola.