Rabu, 06 Oktober 2021
Tahlil untuk Mas Andri dan Prof Trijono Ayahnya
Senin, 04 Oktober 2021
Terlalu banyak berita kematian, tapi mau bagaimana lagi?
Tidak terasa sudah bulan Oktober. PPKM atau pembatasan sosial masih berlaku. Protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan pakai sabun.. tetap diserukan pemerintah.
Pasien-pasien covid masih ada meski tak sebanyak pertengahan Juni, Juli (paling parah), kemudian Agustus, dan September (mulai melandai).
Terlalu banyak kematian orang-orang dekat membuat aku makin sering merenung. Kabur ke hutan, baca renungan di ponsel, dengar kata-kata bijak yang disimpan di YouTube online.
Bahwa sang maut selalu datang kapan saja. Bagaikan pencuri yang sulit ditebak. Maka, berjaga-jagalah, berjaga-jagalah... Kata-kata ini pun makin sering disuarakan para gembala di gereja-gereja yang kosong. Kita orang cukup ikut misa daring via live streaming.
Gara-gara terlalu sering merenung, menyingkir ke hutan, khususnya di kawasan Trawas, aku makin jarang menulis untuk blog. Oktober ini sepi catatan. Bukan apa-apa. Kalau ditulis pun yah.. jatuhnya ke obituari juga. Cerita tentang orang-orang dekat yang berpulang.
Berita kematian, kematian, kematian.. akibat virus korona jadi tema utama selama pandemi yang jelang dua tahun. Berita yang sifatnya senang-senang, hura-hura, main-main makin jauh. Pahit memang.
Tidak menarik kalau setiap hari kita orang menulis tentang orang mati. RIP terus. Bolak-balik muncul frase "Innalilahi wa inna ilahi raji'un". Tapi mau bagaimana lagi?
Semoga pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan ini bisa kita rayakan lagi!
Senin, 27 September 2021
Mukjizat Yesti Rambu! PRT Asal Sumba Jadi Sarjana Matematika
Sabtu, 25 September 2021
Pelajaran Disiplin Waktu dari Prof Sahetapy
Sabtu, 11 September 2021
Menyambangi Tante Yuyun di Kelenteng Bangkalan
Kamis, 02 September 2021
Njamoek Pers, Koeli Tinta, Kuli Kalimas
Wartawan juga sering diumpamakan watch dog. Anjing penjaga yang menggonggong keras ketika ada orang tak dikenal atau mencurigakan punya niat jahat. Watch dog ini penting agar orang tidak kebablasan.
Sebelum nyolong, si maling sudah dicokot sama si asoe. Malingnya ketahuan tapi barang-barang tidak sampai hilang dicuri.
Di Surabaya Raya ini sering sekali terjadi pencurian sepeda motor, sepeda pantjal, dan burung kicauan. Malingnya terekam kamera pengawas atau CCTV - bagi yang punya. Tapi kadang maling-maling ini terus berkeliaran. Ditangkap kalau sedang apes saja.
Kembali ke pers atau media massa.
Istilah koeli tinta kemudian diganti kuli disket. Sebab saat itu wartawan ke mana-mana bawa disket untuk simpan data. Maklum, belum ada USB yang bisa menyimpan hingga giga bita.
Lalu datanglah ponsel pintar, smartphone. Data digital bisa disimpan dengan mudah dan banyaaaaak... unlimited.
Istilah kuli tinta, kuli disket, kuli USB, apalagi njamoek pers, otomatis hilang. Tak ada lagi istilah khusus untuk wartawan, reporter, jurnalis, pewarta, pemberita dan sebagainya. Apalagi saat ini semua orang bisa bikin berita di media sosial, blog, dsb.
Tapi saya masih sering pakai istilah "kuli tinta" sekadar guyon. Atau menyamarkan diri biar tidak ketahuan sebagai njamoek pers.
"Sampean kerja di mana?" tanya Ning Sih, pemilik warung di Rungkut Menanggal.
"Di daerah Kalimas sana."
"Tanjung Perak?"
"Yah.. dekat pelabuhan itulah," jawabku enteng.
Kantor saya memang di pinggir Sungai Kalimas. Tidak jauh dari Pelabuhan Kalimas. Dekat Tanjung Perak memang.
"Sampean bagian apa di Kalimas?"
"Bagian kuli tinta aja," kata saya enteng. Kata "tinta" saya rendahkan. Sehingga yang terdengar hanya kuli di Kalimas.
Begitulah. Selama empat atau lima tahun ini Ning Sih mengenal aku sebagai kuli di Kalimas. Tukang angkat barang di pelabuhan tua di muara Sungai Kalimas tersebut.
Karena itu, Ning Sih ini selalu heran melihat saya begitu rajin baca koran di warungnya. Saya baca detail, khususnya berita-berita kota. "Lapo awakmu kok doyan moco koran kayak wong pinter ae," ujar ibu yang senang guyon ini.
"Iku tukang becak yo moco koran ben gak ketinggalan berita. Tukang rombeng iku yo doyan koran," kata saya merujuk beberapa pelanggan warungnya.
Pagi tadi saya mampir lagi di warkopnya Ning Sih sehabis nggowes dari kawasan tambak sekitar Bandara Juanda. Baca koran Jawa Pos, seperti biasa, lalu mulai main HP. Bukan main-main game atau media sosial, tapi unggah konten.
Salah satu tugas saya memang upload berita-berita di laman atau website. Sedikitnya 10-15 naskah sehari. Kelihatannya gampang tapi jelimet. Apalagi upload pakai HP. Beda kalau pakai komputer atau laptop yang lebih cepat dan enak.
Ning Sih melihat saya terlalu sibuk main HP. Tidak ikut nimbrung guyon bersama jemaah warkop lainnya. "Ngapaian sampean itu? Kok senang main medsos kayak arek nom ae," katanya.
"Ini lagi kerja Mbak. Rada ruwet ini."
"Halah... kerja di Kalimas aja kok gayanya serius banget," semprot Ning Sih lagi.
Hehehe... Memang susah jadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, kuli tinta, dan kuli apa saja.
Bung Karno tidak mau kita orang jadi bangsa koeli en koeli di antara bangsa-bangsa. o