Kita orang sudah lama komplain soal tes PCR yang sangat mahal. Sekitar Rp 1 juta atau 900 ribu sekali tes. Tes antigen juga mahal. Di atas 200-an.
Ya, kalau tes gratisan dari pemerintah untuk melacak kontak erat dsb. Bagaimana kalau bayar sendiri? Bisa mati berdiri. Bukan mati karena corona tapi kelaparan.
Penghasilan karyawan di Indonesia, khususnya Jawa Timur, rata-rata di bawah Rp 5 juta. UMK di bawah Rp 4 juta. Kalau harus tes PCR maka uang di saku tinggal Rp 2 juta. Bisa tidak makan dua minggu.
Sayang, seperti biasa para wakil rakyat tidak peka soal biaya PCR ini. Sama sekali tidak ada keluhan atau protes dari anggota parlemen. Apalagi pemerintahnya. Seakan biaya PCR yang seribu itu, Rp 1 juta, dianggap wajar.
Gara-gara PCR yang biayanya sekitar 30% dari penghasilan, maka selama ini banyak banget orang Indonesia yang enggan dites covid. Padahal punya gejala-gejala kena virus corona. Dianggap sakit selesma (istilah flu di Lembata sana), influenza, flu, atau demam biasa.
Banyak karyawan yang suspek covid, gejala ringan, tetap kerja seperti biasa. Cangkrukan di warkop. Antar pesanan atau penumpang karena dia orang tukang ojek. Seakan-akan orang itu cuma flu ringan yang bisa sembuh sendiri.
"Ndak kuat kita orang kalau harus tes covid pakai duit sendiri. Tes antigen sih agak murah. Tapi kalau reaktif kan kudu pigi tes PCR yang satu juta. Apa negara yang bayar," kata Cak Fulan.
Kenalan saya ini wong Jowo tapi pernah ke NTT. Dia suka pakai "kita orang" kalau omong-omong dengan saya. Maka saya pun mulai terbiasa pakai kita orang, kitorang, dia orang, dorang, khas omongan Melayu Pasar di NTT.
Fulan tidak cuma omong atau guyon. Bulan lalu dia kena gejala covid. Taruhlah ada 10 ciri-ciri orang terpapar covid, bung itu dapat 8. Alias sudah hampir pasti positif kalau dites antigen dan PCR.
"Tapi kita orang tidak mau tes-tesan. Langsung isoman aja," tuturnya setelah sehat kembali.
Buat apa tes antigen dan PCR yang makan biaya sekitar Rp 1.500 kalau kita sudah tahu positif? Begitulah jalan pikirannya. Dan... banyak banget orang Indonesia yang berpikir dan bertindak seperti itu.
Maka, Fulan dan banyak orang lain ini tidak tercatat sebagai penderita Covid-19. Meskipun sejatinya bisa dipastikan covid. Covid ibarat gunung es. Data-data konfirmasi dsb cuma permukaan gunung es saja. Di bawahnya masih banyak.
Dan... salah satu biang keroknya adalah biaya tes yang sangat mahal.
Syukurlah, Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara. Bapa Presiden bilang kita orang punya biaya tes PCR kemahalan. Tidak masuk akal kalau sampai 900 atau 1000 atau di atas itu.
Jokowi minta biaya PCR diturunkan jadi 450. Maksimal Rp 550. "Saya sudah bicara dengan menkes," katanya.
Presiden jelas terlambat. Sangat terlambat. Sudah 17 bulan pandemi baru sadar ada masalah serius dalam testing & tracing di Indonesia. Menkes dan kepala daerah lebih parah lagi karena seakan tidak tahu bahwa harga PCR itu bisa menyedot habis penghasilan rakyat yang masih di bawah Rp 3 juta.
Mengapa biaya tes PCR di India hanya Rp 100 ribu? Toh, India juga bukan negara kaya. "Kulakan di mana alat PCR di India itu?" tanya seorang pendengar Radio Suara Surabaya.
Tidak ada salahnya kalau Bapa Menkes pigi ke India untuk studi banding PCR test. Sambil pesiar dan bertemu artis-artis Bollywood.