Minggu, 10 November 2019

Romo Benny Prihatin Sekolah Roboh

Romo Benny Susetyo memberikan kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya.


Sudah lama saya tidak bertemu Romo Antonius Benny Susetyo. Pater asli Malang ini memang sudah lama bertugas di Jakarta. Ia lebih banyak "bermain" di luar lingkungan gereja. Romo Benny justru lebih mudah dijumpai di televisi-televisi nasional.

Saat ini Romo Benny Susetyo jadi anggota BPIP. Badan Pengembangan Ideologi Pancasila. Karena itu, ia selalu bicara tentang Pancasila Pancasila Pancasila. 

Saya tidak pernah dengar Romo Benny bicara tentang liturgi, ekaristi, aksi puasa dan sejenisnya. "Kamu aja yang jadi pemazmur. Suaramu kan bagus," kata Romo Benny saat menugaskan saya jadi pemazmur di Gereja Paroki Situbondo beberapa tahun lalu.

Banyak kenangan menarik dengan romo kelahiran 1968 di Malang itu. Antara lain saya sering mengedit tulisan-tulisannya. Kalimat-kalimat panjang khas klerus saya sunat habis.

 "Pakai kalimat-kalimat pendek saja Romo! Hindari kalimat majemuk," pesan saya menirukan ajaran Mr Yu Shigan di Jawa Pos.

Pater Benny ternyata manut. Maka ia pun jadi salah satu kolumnis penting di Indonesia saat ini. Juga pembicara yang sering tampil di televisi. Sebab tugas-tugas pastoralnya di gereja tidak banyak. "Saya itu pastor kategorial," katanya.

Semalam Romo Benny Susetyo mengirim pesan WA tentang sekolah yang ambruk di Pasuruan. Dua orang tewas. Belasan murid terluka. Sebagai orang BPIP, Romo Benny mengaitkan insiden itu dengan penghayatan nilai-nilai Pancasila.

"Robohnya sekolah di Pasuruan itu sebagai simbol bahwa dunia pendidikan perlu ditata kembali agar pendidikan memiliki keadaban," kata Benny.

"Pendidikan kehilangan keadaban dan cenderung menghasilkan manusia yang tidak memiliki karakter kejujuran dan keutaman publik.

Penting menata kembali nilai keutaman dalam pendidikan untuk mengarusutamakan habitusasi Pancasila dalam tata kelola sekolah," tulis sang romo.

"Kita berharap menteri pendidikan memfokuskan pendidikan karakter guru yang bisa jadi role model bagi siswa. Siswa SD harus dibekali nilai-nilai karakter yang mengutamakan nilai displin, kejujuran, sportif, dan penghargaan kemajemukan," katanya.

Begitulah kalau Romo Benny sedang gundah gulana. Kata-kata mengucur deras kayak aliran Sungai Brantas di musim hujan. Saat ini sungai itu nyaris kering karena minim pasokan air dari langit.

Lalu saya tanggapi sedikit omongan RD Benny. Sebetulnya kasus robohnya sekolah di Pasuruan itu juga terjadi di daerah lain. Tapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Pasuruan jadi ramai karena ada 2 orang yang mati.

Proyek asal-asalan sebetulnya sudah jadi budaya di Indonesia. Habitus buruk, istilahnya romo. Campuran pasir dan semen yang mestinya 4:1 dibuat 6:1 bahkan 8:1. Biar hemat semen. Tentu saja bangunan sekolah-sekolah itu tidak akan kuat.

"Itu ada kaitannya dengan manusia yang tidak jujur dan tidak bertangung jawab. Tata kelola sekolah yang buruk. Mental mencuri. Makanya, perlu pendidikan karakter," kata sang Reverendus Dominus (RD) alias romo diosesan yang selalu kritis sejak jadi mahasiswa STFT Widya Sasana Malang itu.

Obrolan selesai. Saya pun kembali menikmati pertunjukan musik campursari di panggung Mami Kola (Malam Minggu Kota Lama) di Jalan Kembang Jepun 167 Surabaya. Penyanyi cantik membawakan lagu Pamer Bojo, Banyu Langit, Bojo Galak, dst.

 Beberapa om-om naik ke atas panggung untuk joget bareng sang biduanita Indah dari Tanah Merah, Surabaya. Ada juga kakek 92 tahun yang masih tahes (sehat) dan ikut nyanyi. Musik campursari memang bikin orang lupa utang, lupa bojo yang galak, dan segala keruwetan hidup.

Saya pun merenung sejenak. Gedung tua di dekat gapura Kya Kya Kembang Jepun itu dibangun tahun 1880. Usianya 139 tahun. Jauh lebih tua daripada sekolah yang ambruk di Pasuruan itu. Jauh lebih tua ketimbang semua bangunan sekolah di Nusantara.

Tapi kok bisa kuat kokoh sampai hari ini? Sepertinya penjajah Belanda dulu punya karakter yang bagus dan mengamalkan Pancasila. Ratusan bangunan lawas di kota lama pun masih kokoh.

Selamat Hari Pahlawan!
Rawe-rawe rantas!
Malang-malang putung!
Merdeka!

Kamis, 07 November 2019

Adat Minta Hujan ala Lamaholot

Amas Gaspar Hurek membuat upacara adat di Desa Bungamuda, Kecamatan Ileape, Lembata, NTT.


Musim kemarau tahun ini lebih panjang dan ekstrem. Hujan sempat gerimis sekali di Surabaya pada 1 November 2019. Lalu belum ada pertanda bakal turun hujan rutin khas bulan-bulan berakhiran -ber.

Dulu bulan Oktober sudah mulai masuk awal musim hujan. Sekarang November pun panas gak karuan. Nyamuk-nyamuk makin ganas di mana-mana.

 Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa sejak bulan lalu sering mengajak masyarakat melakukan ibadah untuk meminta hujan. Salat istisqa. Maklum, banyak kebakaran lahan, hutan, dan bangunan tahun ini. Paling parah di Gunung Welirang.

Hasil sembahyang minta hujan itu belum kelihatan. Tuhan masih menunda pengucuran air hujan dari langit. Tingkap-tingkap langit belum dibuka, istilah Alkitab.

Setiap kali Bu Gubernur bicara salat minta hujan, saya jadi ingat kampung halaman. Khususnya saat saya masih anak-anak di Lembata, NTT. Hampir tiap tahun ada acara minta hujan. Tapi bukan sembahyang atau misa di gereja-gereja stasi alias gereja desa.

Orang kampung lebih suka TULA GUDUNG. Bikin acara adat khusus khas suku Lamaholot untuk minta hujan kepada Lera Wulan Tanah Ekan alias Sang Penguasa Langit. Meskipun orang Lembata dan Flores Timur itu mayoritas Katolik, adat istiadat nenek moyang ini tidak pernah hilang. Bahkan orang lebih takut kualat adat ketimbang ancaman hukuman gereja.

"Kita orang Lamaholot itu 100 persen Katolik dan 100 persen Lamaholot. Adat istiadat dan gereja harus jalan sama-sama," kata Ama Daniel yang mantan pejabat yang sering blusukan ke rumah-rumah adat nenek moyang Lamaholot.

Upacara adat minta hujan ini cukup panjang. Beberapa sesepuh adat mula-mula sowan ke penguasa di Gunung Ileape. Mengambil sejumlah sampel hasil bumi dan sebagainya. Lalu dibuatkan rumah-rumahan dan dibawa ke pantai.

Semua warga kampung kemudian berkumpul di pantai. Ada upacara, koda kiring, yang dipimpin tetua adat. Semacam mantra atau permohonan kepada Lera Wulan (Lera: Matahari, Wulan: Bulan) agar diturunkan hujan ke bumi. Sebab warga akan kelaparan kalau tidak bisa menanam.

Lantas, tandu dari gunung tadi diantar ke laut lepas. Dibiarkan mengapung ke perairan Laut Flores yang luas dan dalam itu.

Masyarakat kembali ke rumah masing-masing. Tidak boleh banyak bercanda. Tidak boleh pesta atau hura-hura. Minum tuak atau arak boleh tapi dilarang mabuk. Suasana prihatin. Kalau tidak salah selama tiga hari atau satu minggu.

Apakah lantas turun hujan? Belum tentu. Namanya juga orang minta ya terserah yang punya hujan. Bisa dikasih minggu depan, dua minggu ke depan... bisa bulan depan.

Kebetulan saat saya kecil di kampung hujan pun datang tak sampai satu minggu kemudian. Deras sekali. Pengalaman itu membuat saya percaya bahwa permintaan atau sembahyang minta hujan ternyata sangat efektif. Tapi jangan minta hujan di musim kemarau.

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmiah?



Bulan bahasa baru lewat. Presiden Jokowi bikin kepres agar semua instansi pemerintah, swasta, rakyat biasa mengutamakan bahasa Indonesia. Bahasa asing macam Inggris atau Mandarin atau Arab perlu dikuasai. Bahasa daerah perlu dilestarikan. Bahasa Indonesia wajib dijunjung tinggi.

Itu pesan Sumpah Pemuda yang sering dilupakan. Nama-nama hotel, perumahan, kegiatan di Surabaya belakangan lebih banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan acara jalan sehat Polri pun pakai English. Padahal polisi adalah penegak hukum.

Pejabat-pejabat pun banyak yang nginggris. Suka bicara gado-gado Indonesia, Inggris, Jawa dsb. Contohnya: Menkumham Yasonna saat bicara di televisi. Gubernur Khofifah juga senang memasukkan frase atau kalimat English dalam pidato atau pernyataannya.

"Strong partnership antara Pemprov Jatim dan Lantamal ini akan menjadi role model blablabla...," kata Gubernur Khofifah di Pulau Sapudi, Sumenep, Madura, saat menyerahkan bantuan air bersih kepada warga yang krisis air.

Kemarin ada pertemuan 154 guru besar di Surabaya. Mereka berasal dari 31 perguruan tinggi di sejumlah negara di Asia. Para profesor ini bikin deklarasi. Minta agar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dijadikan bahasa ilmiah internasional.

Para guru besar ini komplain karena keahlian mereka tidak diakui gara-gara kendala bahasa Inggris. Maklum, banyak profesor tidak fasih berbicara, mengajar, dan menulis dalam bahasa Inggris. "Mengapa bahasa membatasi seseorang untuk menjadi profesor?" kata Prof Koentjoro dari UGM.

Prof Kamaruddin dari Malaysia dan Prof Endina dari Singapura berpendapat sama. Mereka menyebut saat ini bahasa Melayu dan Indonesia sudah diajarkan di 45 negara. Punya lebih dari 100 ribu kata. Dus, sudah memenuhi syarat sebagai bahasa ilmiah.

Akankah deklarasi para guru besar ini diterima gubes-gubes Barat? Kita tunggu saja.

Yang jelas, guru-guru besar, insinyur, pakar-pakar atau suhu-suhu di Tiongkok tidak bisa berbahasa Inggris. Sebagian besar juga tidak bisa membaca aksara Latin. Tapi siapa yang menafikan kehebatan Tiongkok di bidang ilmu dan teknologi. Buta bahasa Inggris bukan alasan untuk maju.

Nenek moyang kita dulu juga tidak bisa berbahasa Inggris. Juga tidak bisa berbahasa Indonesia atau Melayu. Toh, mereka bisa membangun candi-candi yang spektakuler macam Candi Borobudur.

Mangkanya... ojo kemelondo, ojo keminggris!
Bung Karno: "Inggris kita linggis... Amerika kita setrika!"

Selasa, 05 November 2019

Mas Nadiem Menteri Out of The Box


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ini sangat unik dan menarik. Bukan hanya karena masih sangat muda, tapi latar belakangnya yang bukan orang pendidikan, perguruan tinggi, ormas, atau politisi.

Nadiem swasta murni. Bos Gojek yang fenomenal itu. Siapa sangka dia bukan saja jadi super kaya dalam waktu singkat, tapi juga inspirasi bagi generasi milenial. Bahwa orang perlu kerja cerdas, memanfaatkan IT, di era ekonomi digital ini.

Sebagai orang lawas, yang rada konservatif, dari dulu saya berpendapat bahwa Gojek motor itu melanggar hukum. Melawan ketentuan undang-undang lalu lintas. Bahwa sepeda motor tidak dibenarkan menjadi kendaraan umum. Negara-negara lain pun saya yakin tidak memperbolehkan sepeda motor mengangkut penumpang.

Tapi ini era disrupsi, Bung! Undang-undang atau hukum ikut terkena longsor alias disrupsi. Nadiem mampu berpikir di luar kotak. Out of the box. Bukan cuma berpikir, Nadiem berhasil membangunan Kerajaan Gojek dengan aplikasinya yang hebat itu.

Dalam waktu singkat ribuan orang jadi tukang ojek online. Kostum hijau makin hari makin dominan di jalan raya. Awalnya polisi lalu lintas menilang ojol-ojol ini. Tapi lama-lama kompromi. Gojek jalan terus.

Bagaimana dengan undang-undang lalu lintas?

Masih ada. Masih melarang roda dua jadi kendaraan umum. Tapi cuma macan kertas. Pasal-pasalnya tetap tapi tidak bisa dieksekusi.

Mas Nadim, bos Gojek, malah diangkat Presiden Jokowi jadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Menteri yang beban anggaran dan tugasnya paling banyak. Boleh dikata Mas Nadiem ini super minister.

Disrupsi digital ini seperti wolak walike zaman. Apa yang kita anggap benar, bahkan undang-undang, di masa lalu tiba-tiba kehilangan relevansinya di era digital. Orang yang dulu kita nilai melanggar hukum karena memasalkan ribuan atau jutaan motor sebagai kendaraan umum justru diangkat jadi menteri di Indonesia.

Ini juga menunjukkan bahwa Jokowi presiden yang benar-benar thinking out of the box. Sampai sekarang saya masih sulit mengikuti jalan pikiran Jokowi yang memilih orang-orang yang "gak lumrah" menjadi anggota kabinetnya. Yang paling gak lumrah ya Mas Nadiem ini.

Zaman memang sudah berubah begitu cepat. Ebiet G. Ade bilang, "Roda zaman menggilas kita terseret tertatih-tatih."

SPBU Terindah di Dunia di Lembata

Masih tentang Ignatius Jonan. Arek Surabaya ini sudah tak lagi menjabat menteri di kabinet Jokowi. Masa jabatannya selesai pada 19 Oktober 2019. Satu hari sebelum pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI untuk periode kedua.

Namun, Ignasius Jonan meninggalkan kesan yang mendalam untuk rakyat NTT. Khususnya di Pulau Lembata. Pulau yang kini menjadi Kabupaten Lembata itu. Menteri BUMN Jonan meresmikan 13 Penyalur BBM Satu Harga di NTT, Jumat 11 Oktober 2019 dipusatkan di SPBU Kompak Kecamatan Omesuri Selatan, Kabupaten Lembata, NTT.

"SPBU Omesuri di Pulau Lembata bisa dikatakan SPBU dengan lokasi terindah di dunia," tulis Jonan.

"Dengan peresmian 13 Lembaga Penyalur BBM Satu Harga ini maka target program BBM Satu Harga sebanyak 170 lokasi di seluruh Indonesia telah tercapai."

Sebagai putra asli Lembata, saya ikut terharu dengan gebrakan Jonan. Juga tersanjung dengan kata-kata "lokasi terindah di dunia". SPBU yang unik di daerah Kedang alias Omesuri itu.

Apa betul terindah di dunia? Bisa jadi cuma basa-basi khas Jawa demi kepentingan unggah-ungguh. Bisa juga karena baru kali ini Jonan melihat langsung daerah pedalaman yang masih perawan. Wilayah yang tidak pernah muncul di televisi dan media-media di tanah air.

Saya sudah sering menulis keluhan tentang betapa sulitnya BBM di Lembata. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang hanya ada satu SPBU di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Maka antrean pun mengular sejak subuh hingga SPBU ditutup.

Bisa saja kita membeli bensin botolan di pinggir jalan. Tapi harganya bisa dua hingga empat kali lipat dari harga di SPBU. Bensin dimasukkan dalam botol-botol plastik bekas air kemasan 1500 ml. Bukan botol kaca macam di Jawa.

Karena itu, begitu banyak orang Lembata yang antre bensin berkali-kali untuk kulakan. Dimasukkan di tangki motor, dikeluarkan, lalu antre lagi dan lagi. Sebab pihak SPBU melarang orang membeli bensin pakai wadah jeriken atau kaleng besar dan sebagainya.

"Daripada merantau di Malaysia lebih baik antre bensin untuk dijual lagi," kata beberapa anak muda saat saya mudik ke Lembata.

Kini, dengan peresmian SPBU di Kedang berarti sudah ada dua SPBU di Lembata. Maaf, yang benar baru dua, bukan sudah dua. Hanya ada dua SPBU di satu kabupaten. Jangan bandingkan Kabupaten Sidoarjo yang punya ratusan SPBU hingga ke desa-desa.

Di daerah Pondok Candra, Waru, hingga ke kawasan Juanda Sedati saja ada 5 SPBU. Padahal jaraknya hanya sekitar lima kilometer saja. Di Lembata, sekali lagi, satu kabupaten cuma ada 2 SPBU. Yang kedua baru diresmikan Menteri Jonan sebelum lengser itu.

Tentu saja SPBU di Lembata masih sangat kurang. Paling tidak butuh 10 SPBU karena makin banyak sepeda motor yang merambat di jalan raya di Pulau Lembata. Beda dengan tahun 1980an dan 1990-an yang masih sangat sedikit.

Tapi bagaimanapun kehadiran SPBU di Kedang ini patut disyukuri. Siapa tahu jadi tempat wisata baru di Lembata setelah direkomendasikan Ignatius Jonan "sebagai lokasi terindah di dunia".

Bikin Garasi Dulu Baru Beli Mobil

Siapkan garasinya dulu sebelum membeli mobil!

Spanduk-spanduk macam ini mulai muncul di Surabaya sejak 3 tahun terakhir. Orang-orang kampung marah karena gang yang tidak seberapa lebar itu dijadikan tempat parkir mobil pribadi.

Parkirnya sih di depan rumah pemilik mobil itu. Tapi sudah pasti jalan kampung akan menyempit. Makin parah kalau banyak mobil pribadi yang parkir di jalan kampung.

Pagi ini saya lihat ada spanduk serupa di Gununganyar, Surabaya. Rupanya warga marah karena ada pemilik mobil memarkir mobil di depan rumahnya. Jalanan jadi macet. 'Sekarang sudah tidak parkir lagi,' kata seorang warga.

Parkir memang jadi masalah besar di kota besar macam Surabaya. Ketika makin banyak orang yang punya mobil pribadi. Makanya kalau ada acara besar, panitia membahas secara khusus lokasi parkirnya. Dan itu sangat tidak mudah. Butuh lahan yang sangat luas.

Hampir setiap hari ada orang yang ngeroweng di radio dan media sosial gara-gara jalan raya jadi lahan parkir. Khususnya di Raya Darmo yang ada sekolahan Santa Maria dan Polisi Istimewa yang ada Sinlui plus Gereja Katedral. Mobil-mobil antar jemput penuh di pinggir jalan.

Apa solusinya? Belum ketemu.

Tidak mungkin ada lahan seluas lapangan bola untuk tempat parkir di kawasan elite itu. Melarang orang naik mobil ke gereja atau sekolah juga bukan solusi. Trennya justru makin banyak orang Katolik yang memilih ikut misa di Katedral HKY Jalan Polisi Istimewa itu.

'Saya lebih cocok misa di Katedral. Sudah puluhan tahun,' kata Ricky di Sidoarjo. Padahal, jarak rumahnya ke Gereja Katolik di Jalan Monginsidi 13 Sidoarjo tidak sampai dua kilometer.

Rasis pun Ada di Eropa

Sami mawon. Sama saja.

Di Eropa dan Asia, khususnya Indonesia, yang namanya rasisme itu masih ada. Menganggap orang atau komunitas lain lebih rendah. Disamakan dengan binatang.

Begitulah kesan saya saat membaca judul berita di koran pagi ini: Son Diejek Sipit, Balo dengan Suara Monyet. Son pemain Spurs asal Korsel diejek suporter Everton di Inggris. Balotelli diejek kayak monyet di Verona, Italia.

Dua negara ini, Inggris dan Italia, punya peradaban tinggi. Sopan santun ala priyayi. Punya unggah ungguh bahasa. Tapi di lapangan bola suporter yang British itu mengejek pemain asal Korea. Hanya karena matanya sipit.

Balotelli sudah berkali-kali diejek gara-gara kulitnya yang hitam. Maklum, gennya dari Afrika meskipun warga negara Italia. Sudah puluhan kali Balo membela tim nasional Italia. Bahkan pernah jadi striker andalan negara yang ada negara kecil bernama Vatikan itu.

Tapi... namanya juga rasis, pemain-pemain yang berbeda ras macam Korea atau Afrika dianggap lebih rendah. Disamakan dengan kera. Kadang suporter melempar pisang ke lapangan untuk memberi makan pemain ireng yang dianggap monyet itu.

Bisa jadi rasisme ini punya akar panjang sejak era kolonial dulu. Supremasi orang putih. Orang putih merasa lebih beradab. Lebih segalanya. Orang hitam dijadikan budak belian.

Kalau tidak salah, diskriminasi orang hitam ini pun terjadi di USA. Dan baru dibereskan berkat perjuangan Martin Luther King tahun 1960an. Belum lama. Karena itu, bibit-bibit rasis sejatinya masih ada di benak orang putih di Amerika.

Membaca berita kecil tentang pelecehan Son dan Balo pagi ini membuat saya teringat kasus Papua. Unjuk rasa di asrama mahasiswa Papua di Pacarkeling, Surabaya, pada 16-17 Agustus 2019 lalu. Ada kata-kata yang menyebut nama-nama binatang, khususnya monyet.

Gara-gara ejekan itu, masyarakat Papua marah. Terjadi gejolak besar-besaran di sana. Sampai sekarang pun belum sepenuhnya reda. Orang Papua yang selama ini diam, pasrah, ngalah memilih bangkit untuk membela kehormatannya sebagai manusia.

Saya jadi ingat wejangan pater-pater lama di Flores tentang lidah. Hati-hati dengan lidahmu. Lidah itu seperti pedang. Bisa membunuh orang lain dan bisa membunuh dirimu sendiri.

Hari ini lidah itu bisa juga jempol atau jari-jarimu. Bisa membuatmu masuk penjara macam musisi kesukaan saya dulu, Ahmad Dhani.