Senin, 15 Juli 2019

Tulisan yang bukan untuk dibaca



Tulisan itu sebaiknya penting dan menarik. Penting tapi tidak menarik tidak akan dibaca. Menarik tapi tidak penting? Masih lumayan.

"Tidak penting + tidak menarik? Habislah koranmu. Siapa yang mau keluar duit untuk membeli koran yang isinya tidak penting dan tidak menarik."

Begitu antara lain pesan wartawan senior di Surabaya. Anda harus bisa menemukan sisi-sisi menarik dari kegiatan yang penting. Pidato kenegaraan atau sidang-sidang parlemen jelas penting. Tapi apanya yang menarik?

Nah, kemarin Dahlan Iskan, mantan pemred dan bos Jawa Pos, bikin tulisan di blognya. Tentang seorang bankir di luar negeri.

 "Ini tidak penting. Juga tidak menarik. Apalagi juga tidak menyangkut nasib kita sama sekali," tulis Dahlan Iskan di awal tulisannya.

"Tapi setahun sekali saya ingin menulis yang beginian. Bukan untuk dibaca. Tapi hanya untuk ditulis."

Aha... menarik. Tulisan yang hanya untuk ditulis. Bukan untuk dibaca. Sebab tidak penting + tidak menarik.
Sudah lama saya amati begitu banyak tulisan atau berita-berita di koran, majalah, atau laman daring. Pembacanya sedikit. Bahkan tidak ada.

Kita yang biasa membaca koran pun biasanya tidak membaca semua berita di halaman depan sampai belakang. Membaca separo saja sudah bagus. Rata-rata di bawah 30 persen. Apalagi di era digital ini. Membaca 10 persen isi koran sudah bagus banget.

Lantas, berita-berita yang 90 persen itu? 

Ya lewat.... Ditulis, dicetak, tapi tidak dibaca.

Para blogger pasti tahu artikel-artikel mana saja yang paling banyak diklik hingga yang nihil klik. Klik doang. Belum tentu dibaca.

 Saya perhatikan banyak sekali tulisan atau postingan yang tidak klik. Atau cuma satu dua klik. Bisa dipastikan yang ngklik itu si blogger itu sendiri.

Apakah kita menyerah karena tulisan kita tidak dibaca?

Pesan Dahlan Iskan tadi sangat kena. Bahwa ada tulisan yang memang hanya untuk ditulis doang. Bukan untuk dibaca.

Tulisan-tulisan saya di blog lama (hurek.blogspot.com) tentang seriosa rupanya masuk kategori ini. Tidak untuk dibaca. Jarang yang klik.

Hingga beberapa tahun kemudian ada peneliti dari Malaysia yang nyasar. Sharifa namanya. Dia begitu antusias membaca semua artikelku tentang seriosa di Indonesia. Dijadikan bahan untuk riset doktoralnya di Malaysia.

Ouw... tulisan-tulisanku yang niat awalnya hanya untuk ditulis, bukan untuk dibaca, ternyata dibaca juga. Oleh akademikus internasional.

Maka, menulis menulis menulis dan teruslah menulis. Dibaca atau tidak itu urusan nomor 47. Toh, ada tulisan yang memang hanya untuk ditulis. Bukan untuk dibaca.

Sabtu, 13 Juli 2019

Mbah Greg Senang Lagu Seriosa

Mbah Greg, seniman yang pernah dibuang di Pulau Buru, ternyata suka menyanyikan lagu-lagu seriosa lawas. Meskipun suaranya pas-pasan, pelukis bernama lengkap Gregorius Suharsojo Gunito ini sangat menjiwai syair dan melodi seriosa yang memang bagus. Saya jadi teringat pelukis tua Mbah Bambang Thelo (almarhum) yang juga biasa bersenandung lagu-lagu seriosa.

Kok bisa ya lagu-lagu serius begitu sangat populer dan membekas di kalangan mbah-mbah jadul? "Rasanya lain bung! Beda dengan lagu-lagu pop sekarang yang terlalu cengeng," kata Mbah Greg di rumahnya Beringinbendo, Taman, Sidoarjo, yang tergenang air sejak pekan lalu.

Mbah Greg kemudian bercerita bahwa ketika masih sangat muda, belajar melukis, teater, drama, musik...di Balai Pemuda Surabaya, lagu-lagu seriosa ciptaan Maladi, Muchtar Embut, Cornel Simanjuntak, FA Warsono, Binsar Sitompul dsb sering dinyanyikan para seniman dan orang kebanyakan. Kebetulan majalah-majalah tahun 1960an dan 1970an sering memuat teks lagu-lagu seriosa lengkap dengan not angka, not balok, dan syair.

"Jadi, kami dulu memang dipaksa untuk belajar notasi. Kaset atau PH nggak ada. Itulah yang membuat saya bisa mengarang lagu selama berada di pembuangan (Pulau Buru)," kata mbah Greg yang akrab dengan komponis terkenal macam Subronto Kusumo Atmodjo dan Sudharnoto, sesama seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu.

Akhirnya, secara tak sengaja saya menemukan teks lagu Di Sela Rumput Hijau karangan R. Maladi di tumpukan majalah bekas. Majalah Minggu Pagi (MP edisi 25 Maret 1962. Luar biasa! Di masa itu redaksi majalah (dan koran) menyediakan ruang yang sangat luas untuk mempublikasikan lagu seriosa. Media massa tempo doeloe rupanya melakoni fungsi edukasi dan apresiasi kesenian.

Orang-orang lama macam Mbah Greg, Mbah Telo, Mbah Bete, atau Mbah Rijati biasa menggunting teks lagu itu untuk dipelajari. Dan disimpan bertahun-tahun hingga tutup usia. Itulah yang saya temui dari koleksi mbah Rijati almarhumah.

Bagi penggemar lagu seriosa, apalagi penyanyi klasik di Indonesia, Di Sela Rumput Hijau ini luar biasa populer. Melodinya indah, syairnya bagus, tidak terlalu sulit. Karena itu, biasa dipakai untuk mengenalkan musik seriosa Indonesia kepada para siswa pemula. Asyik banget!

Di YouTube pun sudah ada beberapa video lagu Di Sela Rumput Hijau yang dibawakan soprano senior Rose Pandanwangi dan Binu D. Sukaman. Kedua soprano ini pernah menjadi juara Bintang Radio dan Televisi pada masa lalu. Rekaman Binu D. Sukaman terasa lebih dahsyat dengan paduan suara sebagai backing vocal.

"Sayang, sekarang ini lagu-lagu seriosa sudah tidak ada lagi," kata Greg.

3.262 Postingan Saya Hilang

Bukan 2.000-an konten yang hilang. Ternyata 3.262 postingan. Amblas habis di blog hurek.blogspot.com. Gara-gara dipenalti tim Google. Tanpa pemberitahuan.

Senin 8 Juli 2019 pukul 23.29 WIB. Tiba-tiba ada pesan pendek (SMS) dari Google. Isinya singkat saja:

"Google Account disabled (hurek2007@gmail.com). Sign in to try to restore: accounts.google.com"

Oh Tuhan!

Saya pun lekas mencoba masuk ke akun Gmail saya itu. Tidak bisa. Masuk blogger pun diblokir.

Lalu kirim permintaan untuk peninjauan sesuai aturan Google. Besoknya dibalas: akun hurek2007 tidak bisa dipulihkan.

Yo wis...

Mau bagaimana lagi?

Toh, selama ini saya cuma nunut akun gratisan yang disediakan Google. Dimulai dari Gmail, lalu masuk blogger (blogspot), masuk YouTube dsb pakai akun yang sama. Maka, ketika akun hurek2007 dimatikan, semua layanan pun jadi amblas.

Nasi sudah jadi bubur. Rumah sudah terbakar (tepatnya: dibakar). Maka, yang bisa saya lakukan adalah mencari sisa-sisa barang yang masih bisa dipakai. Bersiap merintis rumah baru. Dari nol.

Mulailah saya bikin akun Gmail yang baru. Pakai hurek2019. Tidak bisa. Rupanya sudah ada yang pakai. Ganti hurek2020 pun tak bisa. Akhirnya hurek2021 yang bisa.

Dengan akun baru itu, saya mulai belajar lagi bikin blog. Kebetulan nemu beberapa naskah lawasku di internet. Naskah-naskah itu saya posting ulang di blog baru. Nama sementaranya Blog Sederhana.

Sambil menunggu siapa tahu tim Google berkenan memulihkan akun hurek2007 yang dihapus itu. 3.262 postingan jelas tidak sedikit. Tidak mungkin bisa di-repost ke blog baru.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga untuk saya dan semua blogger di tanah air. Bahwa musibah kebakaran dsb bisa menimpa siapa saja, kapan saja, di mana saja.

Blog Hurek Dihapus, Apa Salahku?????



"Blog telah dihapus
Maaf, blog di hurek.blogspot.com telah dihapus. Alamat ini tidak tersedia untuk blog baru."

Begitu pesan dari manajemen Google. Blog saya yang dirintis sejak 2006 pun mati. RIP. Sekitar 2000 naskah + foto pun hilang. Rasanya seperti disambar petir.

Apa salahku? Saya pun meminta pemulihan ke Google. Salahku di mana? Konten yang melanggar TOS? Adsense bermasalah? Komentar di Youtube yang melanggar kebijakan?

Tidak ada jawaban. Google memang tidak akan memberikan jawaban yang spesifik. Cuma kasih jawaban yang umum saja.

Tim Google menulis:

"Pelanggan yang terhormat,
Terima kasih telah menghubungi kami.
Kami telah meninjau permintaan Anda terkait akun hurek2007@gmail.com Anda dan mengonfirmasi bahwa Anda telah melanggar Persyaratan Layanan kami. Oleh karena itu, kami tidak akan mengaktifkan kembali akun Anda.
Untuk informasi selengkapnya terkait kebijakan kami dan tindakan yang kami ambil sebagai tanggapan atas pelanggaran kebijakan produk kami, harap lihat Persyaratan Layanan kami.
Hormat kami,
Tim Google"

Oh Tuhan... betapa berat hukuman dari Google. Akun hurek2007 dimatikan. Konsekuensinya: semua layanan yang terkait Google amblas. Mulai Gmail, blogger (hurek.blogspot.com), AdSense, YouTube dsb.

Kalaupun kesalahan di Adsense, yang tidak pernah saya utak-atik, okelah. Hapus saja iklan klik itu. Yang jadi masalah besar dua: Gmail dan Blogger.

Sejak hijrah dari mail.yahoo ke gmail, praktis email gratisan dari Google itu jadi akun email utama saya. Semua arsip tulisan, foto dsb ada di Gmail. Email yahoo sudah lama tidak dipakai.

Begitu juga blog pribadi saya di hurek.blogspot itu. Sudah ada 2000an naskah. Maklum, blog lawas ini dibangun ketika masih booming komunitas blogger pada 2005/2006. Media sosial belum seheboh sekarang.

Berikut statistik konten-konten di Blog Hurek sebelum dimatikan :

►  2019 (110)
►  2018 (152)
►  2017 (179)
►  2016 (169)
►  2015 (278)

►  2014 (261)
►  2013 (320)
►  2012 (343)
►  2011 (204)
►  2010 (219)

►  2009 (230)
▼  2008 (238)
►  2007 (387)
►  2006 (156)
►  2005 (16)

Begitu banyak hikmah dan pelajaran dari musibah ini. Sudah saya renungkan beberapa hari terakhir. Inilah saatnya kembali ke titik nol. Semua orang harus siap kehilangan apa saja.

Kemarin ada kebakaran di Surabaya. Sebanyak 21 rumah ludes. Harta benda habis. Jadi abu dan arang.

"Mengapa kamu sedih hanya karena kehilangan blog? Jauh lebih banyak orang yang kehilangan rumah, harta benda, pekerjaan, bahkan keluarganya," begitu bisikan halus yang saya terima.

Benar. Bulan lalu ada pengusaha di Sidoarjo  yang cerita ke saya kalau kehilangan uang Rp 15 miliar gara-gara skandal investasi. Dibawa lari investor. Toh, baba ini masih ceria. Masih senang nyanyi-nyanyi di tempat karaoke. Tralalala....

10 Bahasa Utama di Flores



Sejatinya riset tentang bahasa-bahasa di Flores sudah banyak. Namun, bahan-bahannya tersimpan rapi di Belanda. Orang Flores sendiri masih sedikit meneliti bahasa-bahasa di kampung halamannya sendiri. Beberapa nama yang patut disebut adalah Prof. Dr. Gorys Keraf (Universitas Indonesia), Dr. Inyo Yos Fernandez (Universitas Gadjah Mada), D.A. Kumanireng, A.N. Liliweri, M.M. Pareira. Saya berterima kasih kepada mereka semua.

Dari buku Dr. Inyo Yos Fernandez, saya akhirnya tahu bahwa Flores itu punya 10 bahasa utama. Bahasa-bahasa ini tidak sehomogen bahasa Jawa, tapi selalu ada variasi di sana-sini. Berikut bahasa-bahasa daerah yang dipakai penduduk Flores dan sekitarnya. Kita awali dari ujung timur.

1. BAHASA LAMAHOLOT

Digunakan sebagian besar penduduk Kabupaten Flores Timur dan Kepulauan Solor (Adonara, Solor, Lembata). Kami di kampung 100 persen bicara dalam bahasa ini. Susunan kalimatnya, seperti pengantar di atas, berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa sehingga anak-anak kampung macam saya awalnya kesulitan berbahasa Indonesia. Mengubah konstruksi kalimat bahasa Lamaholot ke bahasa Indonesia bukan pekerjaan gampang.

Maka, kalau Anda melihat di televisi orang-orang kampung Flores Timur sulit bicara dalam bahasa Indonesia, ya, begitulah kenyataannya. Memang paham sedikit-sedikit, tapi sulit lancar. Perbendaharaan kata bahasa Indonesia sangat minim. Saya sendiri baru "agak lancar" bahasa Indonesia setelah sekolah di SMP Pankratio Larantuka.

Wilayah Lamaholot dikelilingi lautan. Kontak dengan dunia luar sangat lancar. Maka, sejak dulu orang-orang Lamaholot sudah biasa kedatangan orang-orang luar yang berbahasa Melayu atau bahasa Indonesia. "Kelebihan" lain: sejak zaman penjajahan Portugis, Larantuka menjadi kota utama di Flores Timur dan Kepulauan Solor.

Penduduk Larantuka berbahasa Melayu (atau bahasa Nagi) yang tak lain bahasa Melayu pasar. Ini "memaksa" orang-orang Lamaholot macam kami untuk berbahasa Indonesia meskipun tertatih-tatif. Sampai sekarang pun bahasa Indonesia (yang sudah kompleks) itu masih disebut bahasa Melayu oleh orang-orang kampung di Flores Timur dan Lembata.

"Mo ake koda mang melayuhn terus. Koda mang lohumen hae," begitu teguran khas adik saya ketika saya selalu bicara dalam bahasa Indonesia dengan orang-orang kampung. (Kamu jangan bicara dalam bahasa Indonesia terus. Pakailah bahasa Lamaholot!)

Memang, orang yang tiap hari berbahasa Lamaholot biasanya tidak suka berbahasa Indonesia. Sebaliknya, orang yang tiap hari berbahasa Indonesia atau Jawa kesulitan mengubah cara berpikir, morfologi, serta sintaksis ala bahasa Lamaholot. Beda, misalnya, dengan bahasa Jawa yang strukturnya sama 100 persen dengan bahasa Indonesia. Wajar saja kalau orang Jawa sangat lentur ketika berbahasa Indonesia.

2. BAHASA KEDANG

Digunakan penduduk Kecamatan Omesuri dan Buyasuri di Kabupaten Lembata. Orang Kedang ini ibarat orang Madura di Jawa Timur yang bahasanya berbeda total dengan bahasa Jawa. Meski sama-sama di Lembata, dikelilingi oleh mayoritas penduduk berbahasa Lamaholot, orang Kedang punya bahasa sendiri.

Bapak saya pernah jadi guru di Kedang sehingga saya sedikit banyak paham bahasa Kedang. Beda banget dengan bahasa Lamaholot. Karena itu, guru-guru bahasa di Larantuka sering menjadikan bahasa Kedang sebagai bahan guyonan. "Siapa di sini yang asalnya dari Kedang? Angkat tangan," kata Pak Aldo, guru saya di SMPK San Pankratio Larantuka dulu.

Ketika ada teman Kedang yang angkat tangan, suasana kelas pun riuh. "Pandita ne amo?" canda Pak Guru. Maksudnya, "Bapak mau pergi ke mana?"

Hehehe.... Acap kali kaum "minoritas" menjadi bahan guyonan orang-orang dominan macam Lamaholot karena dianggap aneh. Kok bahasa Kedang lain sendiri? Begitu yang selalu muncul di benar orang Flores Timur.

3. BAHASA NAGI (MELAYU LARANTUKA)

Digunakan di Kecamatan Larantuka, Wure, dan Konga. Sejenis bahasa Melayu pasar yang berkembang seiring masuknya warga Melayu ke Flores Timur. Digunakan sekitar 25.000 orang. Kata-katanya sama dengan bahasa Indonesia, tapi terpengaruh bahasa Lamaholot dan Portugis.

Meski pemakainya tak sebanyak Lamaholot, bahasa Nagi sangat populer dan mudah dipelajari siapa saja. Macam bahasa Indonesialah. Orang-orang Lamaholot pun tak kesulitan menangkap bahasa Nagi. Karena itu, sejak dulu bahasa Nagi menjadi lingua franca yang andal.

4. BAHASA SIKA

Digunakan di enam kecamatan di Kabupaten Sika, yakni Talibura, Kewapante, Bola, Maumere, Nita, dan Lela. Menurut beberapa peneliti, ada dua dialek yang dipakai penutur bahasa Sika. Dialek Sika Barat dan Dialek Krowe atau Kangae atau Tana Ai di Sika Timur.

Maumere sejak dulu menjadi kota penting di Flores bagian timur. Ini membuat orang Flores Timur daratan paham beberapa kalimat dasar bahasa Sikka. Biasanya, anak-anak muda Larantuka belajar bahasa Sika dari para sopir atau kernet bus-bus Maumere yang tiap hari datang ke Larantuka.

5. BAHASA PALUE

Digunakan sekitar 15.000 penduduk Pulau Palue. Pulau vulkanis (ada Gunung Rokatenda) ini lebih dekat dengan Kabupaten Ende, tapi masuk Kabupaten Sika. Tokoh Palue yang terkenal di Jawa Timur adalah Damianus Wera. Dia tabib tradisional yang tiap hari mengoperasi pasien dengan pisau cutter tanpa pembiusan apa pun. Damianus belakangan ini membina Sasana Rokatenda yang mulai berkibar di Jawa Timur.

6. BAHASA LIO

Digunakan di Kabupaten Ende dengan jumlah penutur hampir sama dengan bahasa Lamaholot, sekitar 215.00 penduduk. Ada enam kecamatan yang menggunakan bahasa Lio: Nangapanda, Ende, Ndona, Wolowaru, Maurole, dan Detusoko.

Sejumlah pengamat menganggap bahasa Ende sebagai bahasa tersendiri. Namun, ahli-ahli terkemuka macam Dr Inyo Fernandez dan Dr Gorys Keraf memasukkan bahasa Ende sebagai salah satu dialek dalam bahasa Lio. "Sebab, tingkat saling pengertian antara penutur bahasa Ende dan Lio sangat tinggi," tulis Dr Fernandez.

7. BAHASA NGADA

Digunakan di Kabupaten Ngada, Flores Barat. Penutur bahasa Ngada tersebar di tujuh kecamatan: Aimere, Golewa, Mauponggo, Nangaroro, Boawae, Bajawa, Aesesa. Seperti bahasa-bahasa lain di Flores, bahasa Ngada pun mengenal macam-macam dialek.

Pater Arndt SVD sejak 1930-an sudah melakukan penelitian mendalam tentang bahasa dan budaya Ngada. Pada 1933 pastor ini bahkan sudah menulis tata bahasa Ngada, kemudian kamus Ngada-Jerman pada 1961. Ini menunjukkan bahasa bahasa dan kebudayaan Ngada menjadi kajian penting ketika misionaris SVD merintis misi Katolik di Flores.

8. BAHASA REMBONG

Digunakan di Riung Tengah, Kabupaten Ngada bagian utara. Kawasan ini berbatasan dengan Manggarai dan pengguna bahasa Ngada. Jumlah penuturnya cukup banyak, 20 ribu orang. Di kawasan ini, pesisir utara, juga ada penutur BAHASA BAJO. Bahasa ini dipakai orang-orang suku Bajo, kaum nelayan yang biasanya berumah di atas laut.

9. BAHASA MANGGARAI

Bahasa paling banyak penuturnya di Flores. Sekitar 500.000 penutur bahasa ini tinggal di Kabupaten Manggarai, ujung barat Flores. Ada sembilan kecamatan: Lembor, Satarmese, Mbrong, Elar, Lambaleda, Ruteng, Cibal, Reo, Kuwus. Menurut Fernandez, bahasa Manggarai kurang menampakkan pengaruh luar karena penuturnya "lebih akrab ke dalam".

Pakar-pakar Barat juga sudah lama meneliti bahasa Manggarai. Sebut saja J.A.J. Verheijen yang menulis Kamus Manggarai-Indonesia pada 1967 dan Kamus Indonesia-Manggarai pada 1970. "Alam yang bergunung-gunung dengan sungai dan hutan yang belum disentuh tangan manusia turut berperan dalam membentuk dialek-dialek di Manggarai," kata Dr. Fernandez.

10. BAHASA KOMODO

Digunakan di pulau-pulau kecil yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Selain Pulau Komodo yang terkenal dengan buaya darat, varanus komodoensis, pengguna bahasa Komodo tinggal di Pulau Rinca. Berbatasan dengan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, bahasa ini terpengaruh bahasa Bima yang dipakai penduduk Pulau Sumbawa.

Pantun Dolo-Dolo Lamaholot




Masyarakat etnis Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata, NTT, punya kebiasaan berbalas pantun. Pantun dolo-dolo. Pakai bahasa Lamaholot, bahasa daerah di sana.

Dolo-dolo itu musik rakyat yang sederhana. Bagian tetapnya adalah refren atau ulangan atau chorus. Kemudian solis bergantian menyanyikan pantun. Gantian laki-laki dan perempuan.

 
Tarian dolo-dolo ini dulu biasa dimainkan sampai jelang matahari terbit.

Itu dulu... ketika saya masih SD. Ketika belum ada listrik. Tidak ada televisi. Apalagi telepon dan HP. Karena itu, anak-anak dulu sangat terbiasa mendengar pantun dolo-dolo ini.

Tapi sekarang kelihatannya sudah berubah. Dolo-dolo masih ada tapi tidak seramai dulu. Anak-anak muda di tanah Lamaholot sekarang sudah jarang yang bisa merangkai kata-kata Lamaholot menjadi pantun yang berkesan.

"Ada yang bisa dolo-dolo tapi tidak banyak," kata Kaka Paulina akhir tahun 2018 lalu di kampung Bungamuda, Lembata.

Saya justru lebih banyak mendapat kiriman pantun dolo-dolo dari Ama Paulus Latera. Guru SMA Kristen Petra yang asli Botung, Adonara Barat. Biasanya dua kali seminggu ada kiriman pantun Lamaholot.

Pendek, sederhana, berkesan. Bikin kangen kampung halaman alias Lewotanah.

Nah, ini dia beberapa pantun dolo-dolo goresan Ama Paulus:

Teti belang lewo tolok
Tobo doan ata lewo
Tobo doanek ata lewo
Lohuk teti goka lodo

Lite rae lite
Mete soron rae lite
Sapu tangan sulam bunga
Mete soron rae lite

Hede bo kehede
Herin lodo bokehede
Nonin kame nimun take
Herin lodo bokehede

Kire inak kire
Tuen Tena inak kire
Inak rae lango tobo
Tuen tena inak kire

Wai lali wai
Gelu kila lali wai
Kete kaan tanda mata
Gelu kila lali wai

Ama Tena bera dai
dai hule suku lango
Ama Tena bera dai

Teti Ambon ro Menado
Moi heku nadon moe
Lali tokan Surabaya
Moi heku mete baya moe

Jumat, 12 Juli 2019

Mampir ke Kelenteng Bangkalan

Sudah lama kita orang tidak pigi Madura. Tidak melintas di Jembatan Suramadu yang panjangnya 5,4 km itu. Maka saya pun memanfaatkan tanggal merah untuk jalan-jalan ke Bangkalan.

Mampir ke Kelenteng Eng An Bio Bangkalan. Ibu Yuyun alias Kho Yoe Nio sendiri di pelataran Kelenteng Eng An Bio. Menyaksikan televisi.

"Ni hao ma?" saya menyapa bio kong asal Salatiga itu.

"Selamat pagi. Ndak usah ni hao ma... Aku ndak bisa bahasa Mandarin," ujar Bu Yuyun lantas ketawa renyah.

Cukup lama saya tidak mampir ke kelenteng-kelenteng. Padahal dulu sangat sering. Eng An Bio di Jalan PB Sudirman Bangkalan ini termasuk favorit saya. Tempatnya luas dan bersih. Bio kong alias pengurus hariannya, Yuyun Kho, pun sangat terbuka. Akrab layaknya konco lawas.

"Saya bertugas di Eng An Bio Bangkalan ini sejak 1992," ujar Yuyun yang bahasa Indonesianya medhok Jawa Tengahan.

Saat itu Yuyun diminta pengurus TITD Bangkalan, Margono alias Sing Hien, untuk jadi bio kong. Sebab, kelenteng di kawasan pecinan ini tidak punya bio kong yang paham seluk beluk tradisi Tionghoa. Apalagi Yuyun ternyata seorang pelukis spesialias figur dewa-dewi Tionghoa.

"Yah... bekerja di kelenteng itu pengabdian saya untuk Yang di Atas. Bukan untuk cari uang dsb," kata Kho Yoe Nio yang dipelesetkan oleh seorang tokoh Tridharma menjadi Yuyun itu.

Semula Yuyun bertugas di TITD Lawang pada 1984-1992. Mengurusi kelenteng milik Ong Kie Tjay, pengusaha Surabaya, yang dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Mendiang yang juga pimpinan Kelenteng Dukuh Surabaya ini merupakan ketua Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia.

Anda masih ingat almarhum Ong Kie Tjay?

"Lupa," kata saya. "Saya tahu Ong Kie Kiong yang di Kelenteng Dukuh."

"Itu putranya. Keluarga mereka yang ngopeni kelenteng-kelenteng Tridharma," kata Yuyun.

Lalu, bio kong ini masuk mengambil foto mendiang Ong Kie Tjay. Lahir di Tiongkok tahun 1917, meninggal 1985.

Berarti Tionghoa totok?

"Totok banget. Kata-kata bahasa Indonesianya tidak jelas. Saya aja yang Tionghoa kesulitan nangkap. Yoe Nio dibilang Yuyun. Akhirnya saya dipanggil Yuyun sampai sekarang," tutur perempuan yang kerap mengikuti berbagai hajatan di kelenteng-kelenteng di Jawa itu.

Sudah 27 tahun lamanya Yuyun bertugas di TITD Bangkalan. Dibantu seorang bapak asli Madura yang menangani kebersihan kelenteng. Yuyun juga kerap ngobrol dengan beberapa tetangga asli Madura.

"Tapi saya sama sekali tidak bisa bahasa Madura. Sulit banget. Sama sulitnya dengan bahasa Mandarin," katanya.

Banyak suka duka menjadi bio kong di Bangkalan. Pada 1996 kelenteng ini diserang sekelompok orang tak dikenal. Begitu juga beberapa gereja. Satu rangkaian dengan kasus penyerangan gereja-gereja di Situbondo. Saat itu Yuyun sedang nyenyak tidur di kamarnya di kompleks kelenteng.

"Syukurlah, saya dilindungi sama Yang Kuasa," katanya.

Penyerangan itu dilakukan massa yang dikerahkan dari luar. Bukan warga Bangkalan. Apalagi yang tinggal di sekitar kelenteng. Sebab hubungan jemaat Eng An Bio dengan masyarakat setempat sangat baik. Pihak kelenteng juga rutin adakan bakti sosial.

"Kalau hubungan tidak baik pasti kelenteng ini tidak bisa bertahan. Buktinya, sekarang jadi lebih luas," katanya.

Namun, di sisi lain, Yuyun agak prihatin karena jemaat yang datang sembahyang atau mampir ke kelenteng berkurang. Khususnya setelah ada Jembatan Suramadu.

"Sembahyangan tanggal 15 Imlek barusan hanya ada 4 atau 5 orang saja. Padahal dulu bisa 20 sampai 30 orang," katanya.

Tersambungnya Surabaya dan Bangkalan membuat kebanyakan orang Tionghoa di Madura lebih suka ke Surabaya. Jalan-jalan, rekreasi, belanja, hingga sembahyangan. Bahkan arisan bulanan pun di Surabaya.

"Latihan pingpong dan karaoke juga ndak ada lagi. Mereka lebih suka pigi ndek Surabaya," kata Yuyun.