Sabtu, 28 Desember 2024

Eva Koten: Penyanyi Pop Lamaholot Legendaris yang Mengawali Karier sebagai Penyanyi Cilik

Eva Koten, sosok yang dikenal sebagai penyanyi pop daerah Lamaholot, memulai karier menyanyinya pada tahun 1988 saat masih duduk di kelas 5 sekolah dasar. Ketika itu, ia diajak bekerja sama oleh Wens Kopong Liat, musisi dan komposer lagu-lagu Lamaholot asal Adonara yang telah menetap di Jakarta.

"Awalnya saya ragu karena tidak paham bahasa Lamaholot, tapi Om Wens membimbing saya dengan menyediakan teks lagu, musik pengiring, dan cara pengucapan," ungkap Eva Koten.

Bimbingan itu membuahkan hasil, dan Eva sukses merilis lebih dari lima album dalam bentuk kaset, yang menjadi favorit masyarakat NTT.

Dari sekian banyak lagu ciptaan Wens, Eva Koten mengaku memiliki beberapa lagu yang sangat berkesan baginya, seperti Ina Sayang, Ana Sayang, Ari Ake Tani, dan Ina Sare. Meski sempat vakum cukup lama, Eva kembali ke dunia musik dengan merilis lagu Dolo-Dolo dalam bahasa Nagi, berkolaborasi dengan Fanus G. Ama.

Meski dikenal sebagai penyanyi pop Lamaholot legendaris, Eva Koten yang lahir dan berdomisili di Jakarta baru sekali menginjakkan kaki di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Pada kunjungan itu, ia ditemani oleh suaminya yang berasal dari Waibalun.

 Salah satu momen istimewa dalam perjalanan tersebut adalah ketika Eva Koten tampil dalam perayaan Natal bersama di Paroki Hinga, Pulau Adonara, pada tahun 2022. Sambutan dari masyarakat setempat sangat meriah. Bahkan, mereka hafal hampir semua lagu yang dibawakan Eva Koten.

Meskipun dikenal luas sebagai penyanyi pop daerah sejak muda, Eva Koten tetap rendah hati. "Saya merasa diri saya biasa saja dan mau bergaul dengan siapa saja. Saya bahkan tidak merasa seperti seorang artis," katanya.

Perjalanan Eva Koten dalam musik tidak hanya menginspirasi generasi muda NTT untuk mencintai budaya lokal, tetapi juga memperkuat identitas musik daerah di tengah arus modernisasi. Lagu-lagu Eva kini menjadi bagian dari sejarah musik pop daerah Lamaholot yang terus dikenang.

Kamis, 19 Desember 2024

Surabaya Symphony Orchestra (SSO) Vakum Lima Tahun, Konser Natal Megah Tinggal Kenangan

Surabaya Symphony Orchestra (SSO), orkes simfoni kebanggaan Surabaya, telah vakum sejak pandemi COVID-19 melanda. Konser terakhir mereka, "Glory to God," digelar pada 10 Desember 2019 di Swiss-Belinn Hotel, Surabaya. 

Konser ke-93 ini menjadi persembahan terakhir sebelum pandemi menghentikan berbagai kegiatan seni dan budaya di seluruh dunia.

Didirikan oleh maestro Solomon Tong pada tahun 1996, SSO dikenal rutin menggelar tiga konser besar setiap tahunnya: Konser Natal, Konser Paskah, dan Konser Kemerdekaan. Namun, pandemi membawa dampak besar bagi orkes ini, mulai dari pembatasan sosial hingga kendala finansial, yang akhirnya memaksa SSO untuk menghentikan seluruh aktivitasnya.

Pauline Poegoeh, soprano utama dan guru musik di SSO, menyampaikan kerinduannya untuk kembali tampil di panggung. "Doakan semoga ke depan kita bisa konser lagi seperti dulu," ucapnya penuh harap.

 Namun, Pauline juga mengakui bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk kondisi sang pendiri dan konduktor, Solomon Tong, yang kini berusia 85 tahun.

Meski demikian, Pauline mengungkapkan bahwa SSO tetap berupaya menjaga semangat musik melalui program pendidikan mereka. "Meski tidak ada Konser Natal dari SSO, kami tetap mengadakan konser bertajuk 'Sound of Peace: Christmas Performance 2024' yang menampilkan para siswa SSO School of Orchestral Music. Hanya saja, skalanya berbeda dengan konser SSO yang biasa digelar di ballroom hotel berbintang," jelas Pauline.

 Konser siswa tersebut diadakan di ruang kelas untuk audiens terbatas, khususnya para orang tua dan teman-teman para siswa.

Lahir di Xiamen, Tiongkok, pada tahun 1939, Solomon Tong telah mendedikasikan hidupnya untuk dunia musik Surabaya. Di usia senja, meskipun energinya tak lagi seperti dulu, semangatnya tetap menginspirasi para musisi muda yang pernah bergabung dalam SSO.

Kerinduan terhadap SSO tidak hanya dirasakan oleh para musisi, tetapi juga oleh pecinta musik klasik di Surabaya. Konser Natal yang selalu megah dan penuh kemeriahan kini tinggal kenangan. Para penggemar berharap, suatu hari nanti, harmoni SSO akan kembali terdengar, membawa keindahan simfoni yang telah lama dirindukan.

Sabtu, 14 Desember 2024

Pastor Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm Menggembalakan Kawanan Kecil di Paroki Bangkalan Madura

Gereja Katolik Santa Maria Bangkalan kini jauh lebih indah ketimbang yang pernah saya lihat beberapa tahun lalu. Dulu gereja paroki ketiga di Pulau Madura itu sederhana sekali. Mirip gereja stasi.

Cukup lama saya tidak ikut misa di Bangkalan sehingga tidak mengetahui perubahan besar itu. Termasuk perubahan bangunan pastoran, Gua Maria, hingga "rumah singgah" dekat gereja.

Sejak zaman Belanda Pulau Madura ikut Keuskupan Malang. Bukan Keuskupan Surabaya yang nota bene hanya berjarak 5 kilometer dari Surabaya. Karena itu, pastor-pastor yang berkarya di Paroki Bangkalan, Paroki Pamekasan, dan Paroki Sumenep diutus dari Keuskupan Malang. 

Sampang menjadi satu-satunya kabupaten di Pulau Madura, juga Jawa Timur, yang tidak ada parokinya. Cuma stasi kecil dengan kapel yang numpang di rumah seorang Tionghoa. 

Pulau Madura juga sejak dulu dilayani oleh pastor-pastor Karmelit alias Ordo Karmel (O.Carm). Namun, imam-imam Karmelit sempat digantikan romo-romo diosesan alias RD selama empat atau lima tahun. Sebab pater-pater Karmel diutus ke berbagai negara.

Belakangan pastor-pastor Karmelit kembali melayani 3 paroki di Madura. Ordo Karmelit memang sejak dulu memilih pelayanan di kawasan Malang Selatan dan Madura. Keinginan Ordo Karmel itu juga diakomodasi para Uskup Malang yang kebetulan berlatar belakang Karmelit macam Uskup Pandoyoputro, OCarm (+) dan Uskup Pidyarto Gunawan, O.Carm.

Sejak 3 November 2022 pastor Karmelit kembali diutus ke Bangkalan. Pastor Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm yang sebelumnya bertugas di Tumpang, Malang, menggantikan RD Yohanes Triyana. Romo Triyana betugas selama 4,5 tahun di Bangkalan.

Saya cukup terkesan dengan gaya Romo Purnomo, O.Carm. Orangnya humoris, ramah, menyapa semua umat yang ikut misa di gereja. "Anda pasti dari Flores," katanya.

Kok tahu? "Iya, lah, wis jelas," katanya sambil tertawa kecil.

Romo Purnomo ternyata pernah bertugas di NTT. Karena itu, dia paham betul Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor, Timor dan sebagainya. Termasuk membedakan logat hingga postur tubuh orang NTT.

Beberapa waktu lalu Romo Purnomo jadi viral di televisi dan media online. Itu setelah dia memberikan pengampunan kepada seorang pemulung yang mencuri patung Yesus dan Bunda Maria, kipas angin, hingga sound system di Gereja Stasi Telang, Paroki Bangkalan.

Kasus pencurian properti itu pun dinyatakan selesai. Tersangka Muzamil dibebaskan. Kasus itu diharapkan menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali.

"Sekarang fokus kita adalah pembinaan OMK sesuai dengan program Keuskupan Malang. OMK adalah masa depan gereja," kata Romo Purnomo.

Umat Katolik memang minoritas kecil di Jawa Timur. Di Pulau Madura lebih minoritas lagi. Di tengah situasi itulah Romo Purnomo dengan telaten menggembalakan kawanan kecil, domba-domba di Bangkalan, ke padang yang berumput hijau.

Jumat, 13 Desember 2024

Orang Lamaholot Merantau ke Sabah Sejak 1930-an, Babat Alas Bangun Kota di Masa British

Merantau itu bahasa Lamaholotnya "melarat". Karena melarat, orang Lamaholot yang meliputi Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata "melarat" ke Sabah.

Sejak kapan orang Lamaholot merantau ke Malaysia? Sejak zaman penjajahan. Saat itu Sabah dan Serawak belum semaju sekarang. Masih hutan. 

"Perantau-perantau Lamaholot yang buka hutan, tebang pohon, jadi kuli bangunan, tukang di Sabah," kata Om Kornelis, mantan TKI di Sabah.

Lelaki asal Lomblen Island atawa Lembata itu masih pegang "IC merah" - semacam kartu penduduk musiman - yang dikeluarkan pemerintahan British. Saat itu Sabah masih dijajah oleh Inggris. Sabah baru bergabung dengan Federasi Malaysia pada tahun 1963.

Kamilus Tupen, orang Adonara Timur, mantan perantau di Sabah, pekan lalu mengunggah foto kehidupan orang Adonara sebagai TKI di Tawau, Sabah, pada tahun 1953. Foto hitam putih itu mendapat banyak komentar dari orang Lamaholot, khususnya Adonara.

Meski hanya pekerja kasar, kuli sawit, kuli bangunan, sopir dan aneka pekerjaan 3D (dirty, dangerous, difficult), para TKI Lamaholot itu tampil sangat rapi saat bergambar bersama. Macam orang pigi makan pesta!

 "Pada tahun 1992, saya sendiri sempat menjadi TKI di Labuan, Malaysia. Banyak suka dan duka yang saya alami, tetapi saya selalu mencoba menjadi TKI pembelajar, memanfaatkan kesempatan untuk belajar berbagai hal," ungkap Kamilus.

Sejarah merantau ini bahkan dimulai sebelum Perang Dunia II. Agus Dosi, salah seorang keturunan perantau, mengisahkan bahwa ayahnya sudah merantau ke Sabah pada tahun 1939. "Saat itu, belum ada Indonesia maupun Malaysia. Ayah saya sudah mencari penghidupan di sana sebagai buruh atau pekerja di sektor pemerintahan Inggris," ujarnya.

Hugo Ratu menambahkan, warga kampung mereka telah meninggalkan Adonara untuk menuju Sabah sejak tahun 1930-an. "Mereka berani mengambil risiko besar untuk berlayar ke Sabah, menetap, bekerja, dan membangun keluarga," jelasnya. Generasi mereka dikenal dengan sebutan "Orang Timor" oleh masyarakat lokal di Sabah.

Cukup banyak perantau ini yang menikah dengan warga setempat dan membangun kehidupan di Sabah. Marlin, yang memiliki orang tua angkat asal Honihama, Adonara, menceritakan bagaimana salah satu kerabatnya takut untuk kembali ke kampung halaman karena sudah terlalu lama menetap di Sabah.

 "Beliau sempat bilang, kalau saja belum berkeluarga, mungkin dia bisa pulang. Tapi karena sudah berkeluarga dan terlalu lama, beliau takut tersesat di jalan," katanya.

Kini, keturunan para perantau dari Adonara, Solor, Lembata, dan Flores ini menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas di Sabah. Mereka dikenal sebagai "Orang Timor," yang tetap menjaga warisan budaya leluhur di tengah kehidupan modern di Malaysia. Sebagian besar dari mereka terus mengenang asal-usul dan berupaya menjaga hubungan dengan kampung halaman meskipun jarak dan waktu memisahkan.

Orang-orang Lamaholot ini biasa kumpul-kumpul, makan pesta, menjaga seni budaya nenek moyang mereka. Di era media sosial ini arus perantau Lamaholot ke Sabah agak berkurang karena sudah terbagi ke Malaysia Barat, Batam, dan berbagai daerah di tanah air.

"Tapi yang paling nyaman tetap di Sabah. Bekerja dan tinggal di Sabah itu seperti berada di kampung halaman sendiri. Saban hari kita ketemu orang Lamaholot, bicara bahasa Lamaholot, tobo behing arak (duduk minum arak), sole oha (menari tarian adat) dan sebagainya," kata Om Kornelis.

Paman yang sudah meninggalkan dunia "behing arak" itu cabut dari Sabah karena kecantol dengan Marie, wanita peranakan Tionghoa di Kota Lama, Malang. Tapi kenangannya tentang Sabah di era British tidak pernah pudar. 

Minggu, 08 Desember 2024

Meta AI di WhatsApp sudah lumayan tapi belum bisa diandalkan

Kecerdasan buatan, AI, makin meluas ke mana-mana. WhatsApp, WA, pun baru memperkenalkan Meta AI. Semua pengguna AI pun diberi notifikasi mengenai Meta AI perangkat cerdas di ponselnya.

Dengan Meta AI maka segalanya jadi mudah. Kita bebas bernyata apa saja lalu dia jawab. Jawaban robot sesuai dengan megadata di algoritma digitalnya.

Iseng saya minta Meta AI bikin gambar ilustrasi hujan di Surabaya. Lumayan bagus. Tak sampai satu menit jadi. Kalau digambar biasa, manual, pasti lama.

Saya juga bertanya tentang banjir rob di Surabaya. Perbedaan antara kalender hijriah dan kalender Tionghoa yang nota bene sama-sama lunar calender. 

Mengapa bulan baru dan bulan purnama (hampir) pasti selalu jatuh pada tanggal 1 dan 15 Tionghoa? Sementara tanggalan hijriah tidak tentu? 

Meta AI menjawab dengan sangat detail. Lengkap dengan situs-situs yang jadi rujukan. Luar biasa.

Saya juga minta AI edit naskah berita. Ternyata hasilnya belum bagus. Ada paragraf penting malah dihapus. Kata-kata bahasa Indonesia pun belum sepenuhnya baku (KBBI). Misalnya, Meta AI menggunakan "merubah" mestinya "mengubah", "dirubah" mestinya diubah.

Meta AI jauh lebih hebat jika menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia memang masih dalam pengembangan. Lama-lama AI jadi "pinter beneran" setelah mendapat jutaan masukan dari pengguna WA di Indonesia.

Lama-lama makin banyak orang kehilangan pekerjaan karena diambil alih AI.

Yuliati Umrah Budayakan Tanaman Cempaka Mulia di Tetirah Gayatri, Lereng Gunung Bromo

Yuliati Umrah, Ketua Yayasan Arek Lintang, yang juga dikenal sebagai petani dan perangkai bunga, kini tengah membudayakan tanaman cempaka mulia (Magnolia figo) di Tetirah Gayatri. Bunga dengan aroma wangi khas ini menjadi salah satu tanaman yang ia tanam secara mandiri untuk kebutuhan usaha dan pelestarian tradisi.

Menurut Yuliati, cempaka mulia memiliki sejarah panjang sebagai bunga yang digunakan dalam berbagai ritual penting di Indonesia, khususnya di Ambon, yang merupakan habitat asli bunga ini.

 "Sejak era kuno, bunga ini digunakan sebagai persembahan karena aromanya yang sangat wangi," katanya.

 Yuliati mulai menanam cempaka mulia pada tahun 2020, saat pembangunan Tetirah Gayatri, dan sejak itu ia merawatnya dengan penuh perhatian.

Ia juga baru mengetahui bahwa bunga ini memiliki peran penting dalam adat istiadat masyarakat Tengger. "Baru dua tahun terakhir saya tahu bahwa bunga ini digunakan oleh pemimpin suku Tengger, Romo Dukun, dalam upacara besar dan ritus wajib mereka," lanjutnya.

 Tidak hanya itu. Bunga cempaka mulia juga digunakan dalam tradisi malam Jumat Legi oleh masyarakat di desa-desa di lereng Gunung Arjuno, yang memiliki sejarah sebagai tanah suci sejak era Kerajaan Singasari dan Majapahit.

Yuliati menambahkan bahwa selama ini banyak yang mengenal bunga cempaka kanthil (cempaka kuning atau cempaka gading) yang berasal dari India dan Nepal. Namun cempaka mulia yang memiliki aroma lebih lembut dan jarang ditemukan, justru menjadi pilihan utama dalam ritual-ritual tersebut.

 "Saya bersyukur dua pohon cempaka mulia saya tumbuh besar dan berbunga banyak. Bahkan, saya sudah berjanji kepada Romo Dukun Tengger untuk tidak segan memetiknya bila dibutuhkan untuk upacara," ujarnya.

Melihat pentingnya pelestarian bunga ini, Yuliati juga mengajak teman-temannya di Desa Bulukerto, lereng Gunung Arjuno, untuk menanam lebih banyak pohon cempaka mulia. "Keburu punah nanti," ungkapnya.

 Ia mengundang siapa pun yang ingin menikmati harum lembut bunga cempaka mulia untuk berkunjung ke Tetirah Gayatri yang terletak di lereng Gunung Bromo.

Kamis, 05 Desember 2024

Menemani Mama Siti di Surabaya, Pengganti Mama Yuli yang Sudah Tiada

Mama Yuliana Manuk anak pertama dari dua bersaudara. Keduanya perempuan. Adiknya Mama Siti Kasa.

Mama Yuli dan Mama Siti beda agama meski satu orang tua. Mama Yuli Katolik, Mama Siti Islam. Sama-sama kuat menjalankan agamanya. 

Mama Yuli pernah tinggal di asrama Susteran SSpS, Larantuka, saat jadi siswi SKP: Sekolah Kepandaian Puteri. Sembahyang pagi, sembahyang malam, sembahyang malaikat 3 kali sehari. Itu yang diajarkan kepada 4 anaknya di pelosok Pulau Lembata.

Sebaliknya, Mama Siti juga rajin "sembeang moan lema" - sembahyang lima waktu. Pintar mengaji. Bahkan, Mama Siti pernah ikut lomba mengaji alias MTQ tingkat kecamatan meski tidak menang.

Beda agama, beda keyakinan, tapi tinggal serumah. Rukun, damai, tanpa konflik hanya karena perbedaan keyakinan. Itulah budaya Lamaholot di Pulau Lembata, NTT.

"Tite kiwanan nong watanen hama hena. Tite taan tou!" begitu omongan nenek moyang Lamaholot dulu.

Artinya, "Kita yang Katolik dan Islam sama saja. Kita jadi satu!" 

Mama Yuliana sudah meninggal dunia pada 1998. Bapa Nikolaus Nuho Hurek berpulang pada 22 Juli 2019. 

Karena itu, Mama Siti Kasa yang lahir di Bungamuda pada Oktober 1951 itu saya anggap sebagai ibu kandung. Pengganti kakaknya yang sudah tiada. 

Mama Yuli suka ngomong, suaranya keras. Mama Siti sedikit omong dan low tone. Suaranya selalu rendah, tidak pernah teriak-teriak. Beda dengan kebiasaan orang kampung yang suka "goleng" saat memanggil orang di kejauhan.

Belum lama ini Mama Siti berkunjung ke Surabaya. Menemani Karin, cucunya yang baru masuk kuliah perawat di Stikes RKZ. Sejak bayi Mama Siti yang menjaga Karin di Kupang. Mamanya Karin, Vincentia, bertugas sebagai guru sehingga tidak bisa full time mendampingi anaknya Karin.

Itu yang membuat Mama Siti kangen sekali dengan Karin. Sebaliknya, Karin juga sangat kaget dengan pengalaman baru harus hidup jauh dari orang tua.

Saya pun mengajak Mama Siti ngelencer ke beberapa tempat wisata di Surabaya. Salah satunya Wisata Religi Ampel. Mama Siti sembahyang di Makam Sunan Ampel bersama ribuan peziarah lainnya.

"Atadiken aya kae. Niku helo mihek pana geler," kata Mama Siti yang terkejut melihat begitu banyak manusia memenuhi tempat ziarah terkenal di Surabaya itu.

Artinya, "Manusia begitu banyak seperti semut yang datang pergi."

Semoga Mama Siti diberi kesehatan dan umur panjang!

Ikut Misa di Bangkalan bersama Pengurus Kelenteng Eng An Bio

Sabtu lalu saya mampir ke TITD Eng An Bio, Bangkalan. Kelenteng di Jalan PB Sudirman, kawasan pecinan, itu penuh kenangan. 

Saya kenal dekat Tante Yuyun Kho sejak akhir 90-an hingga berpulang. Tante asal Salatiga ini bukan sekadar bio kong, penjaga kelenteng, tapi juga seniman lukis. Dia biasa melukis figur-figur Tionghoa di dinding kelenteng.

Sepeninggal Tante Yuyun ke Nirwana, Om Jakob Basuki jadi penggantinya. Ia juga aktif ritual sembahyang di kelenteng. Menyiapkan teh untuk para dewa dan tugas rutin sebagai bio kong.

Yang menarik, Om Jakob ini ternyata Katolik taat. Rajin pigi misa di gereja. Dia juga sangat hafal nama-nama rama yang pernah bertugas di Paroki St Maria Fatima, Bangkalan, sejak puluhan tahun lalu. Bahkan sebelum dia jadi Katolik.

Om Jakob Basuki dulu sekolah Tionghoa THHK Bangkalan. Tidak jauh dari kelenteng itu. Maka waktu kecil agamanya ikut orang tuanya: pigi sembahyang ndek kelenteng. Saban tanggal 1 dan 15 kalender Imlek.

Kemudian dipanggil jadi "anak Tuhan": ikut Gereja Pentakosta. Rajin kebaktian, katanya. Tapi juga dia penasaran dengan Sai Baba di Surabaya. Ikutlah dia agamanya Sai Baba. "Semua agama itu baik," katanya.

Mungkin karena pengaruh teman Tionghoa yang ikut Katolik, Jakob akhirnya coba-coba jadi katekumen. Ikut misa. Dekat dengan pastor. Lama-lama dipermandikan secara Katolik. 

Gereja terakhirnya ini dianggap "ramah Tionghoa" dan "ramah kelenteng". Orang Katolik macam Pak Jakob boleh datang ke kelenteng. Bahkan jadi pengurus penting semacam Om Tan ini. "Saya sudah tanya romo, gak masalah," katanya.

Sabtu sore, saya mampir misa di Gereja Katolik Santa Maria Fatima, Bangkalan. Bangunannya makin megah dan cantik. Jauh berbeda dengan ketika saya berkunjung pertama dulu.

Eh, ternyata Om Jakob Basuki sudah ada di dalam gereja. Baca lembaran misa. Saya pun bersalaman lagi dengan baba Tionghoa yang hobi mengisi teka-teki silang (TTS) itu. 

"Saya biasa misa hari Sabtu sore. Hujan gak hujan tetap datang karena itu kewajiban kita sebagai umat Katolik," katanya mirip katekis di kampung.

Misa Minggu Advent I dipimpin Romo Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm. Pastor asal Tumpang, Malang, itu memang satu-satunya romo yang bertugas di Paroki Bangkalan. Umat Katolik di Kabupaten Bangkalan memang sedikit. Jadi, tidak perlu banyak pastor seperti paroki-paroki di Surabaya yang minimal tiga romo untuk satu paroki.

Mea culpa!
Mea maxima culpa!

Nostalgia Restoran Kiet Wan Kie di Kembang Jepun: Ikon Kuliner Legendaris di Surabaya

Surabaya, kota dengan sejarah panjang sebagai pusat perdagangan, menyimpan kenangan manis tentang restoran legendaris Kiet Wan Kie (KWK). Restoran Tionghoa ini pernah menjadi primadona pada era Hindia Belanda, menyajikan masakan khas Hong Kong di Jalan Kembang Jepun.

Gedung eks restoran KWK hingga kini masih berdiri dan digunakan sebagai kantor serta gudang ekspedisi KWK. Meski lokasi utamanya telah berubah fungsi, Resto KWK tetap eksis di beberapa tempat di Surabaya. Restoran ini masih terkenal di kalangan warga Tionghoa di Surabaya dan sekitarnya.

Di masa lalu, Restoran KWK berlokasi sangat strategis di tengah keramaian kawasan pecinan. Restoran ini sering menjadi jujukan warga Tionghoa untuk mengadakan pesta atau mentraktir tamu dan rekan bisnis mereka. "Masakannya memang khas," ujar Baba Liem di Jalan Kembang Jepun.

Pada masa Hindia Belanda, KWK menawarkan menu spesial seperti babi opor muda (spenvarken) yang hanya tersedia di akhir pekan dan hari besar. Pelanggan juga dapat memesan makanan khusus untuk pesta kecil maupun besar, mencerminkan fleksibilitas dan keunggulan pelayanannya.

 Sistem "kartjis" untuk pembelian makanan yang diperkenalkan KWK menjadi salah satu inovasi modern pada zamannya.

Meski masakan KWK kini sudah beradaptasi dengan selera modern, reputasi restoran ini sebagai bagian dari sejarah kuliner Surabaya tetap hidup. Bagi warga Tionghoa yang mengenang masa lalu, KWK bukan sekadar restoran, tetapi simbol kebersamaan dan tempat berbagi momen istimewa.

Tidak banyak yang tahu bahwa Ekspedisi KWK di Kembang Jepun yang tembus ke belakang di Jalan Kopi itu dulunya restoran mewah di Soerabaia. Saat ini gedungnya kelihatan kusam dan kurang terawat. Sama dengan gedung-gedung tua lain di kawasan Kembang Jepun, Sambongan, Kopi, Bongkaran, Slompretan, Gula, Kalimati, Songoyudan, hingga Jalan Husin.

Kamis, 28 November 2024

Tahun Ini Jagoku Kalah Semua! Mulai dari Lembata, Sidoarjo, Jawa Timur, Pilpres hingga Amerika

Siapa pun yang menang nasib kita "hama hena". Sami mawon alias sama saja. Meskipun yang menang itu calon bupati dari satu kampung atau satu kecamatan. Bahkan, masih ada ikatan keluarga dekat atau jauh.

Begitulah yang terjadi di Pulau Lomblen alias Kabupaten Lembata. Kabupaten baru sejak 1999, kalau tidak keliru. Hasil pemekaran Kabupaten Flores Timur (Larantuka). Baru ada 3 bupati di Lembata. 

Ketiganya jagoku semua. Bupati Andreas  Manuk dua periode ada ikatan kekerabatan dari Ile Ape. Saya sempat tinggal bersama keluarga Ama Ande (almarhum) di Larantuka. Saat itu Ama Ande menjabat kepala dinas di Pemkab Flores Timur.

Tidak pernah terpikir sekian tahun kemudian Lembata jadi kabupaten sendiri dan bupatinya Ama Ande Manuk. Dua periode pula.

Bupati Yenci Sunur, baba Tionghoa asal Kedang, juga dua periode, mestinya. Tapi meninggal dunia karena covid. Maka, Dr. Thomas Ola Langoday, wakil bupatinya, naik jadi Bupati Lembata. 

Dr. Thomas Langoday akademisi top di Kupang. Asli Ile Ape juga. Adik iparku juga suku Langoday.  

Tahun ini Ama Thomas Langoday maju di Pilkada 2024 sebagai petahana (incumbent). Hasilnya: kalah! Yang menang Kanisius Tuaq - pasti dari kawasan barat alias Kedang. 

Di Sidoarjo juga Mas Iin kalah. Cak Bandi yang mantan kepala desa dekat Bandara Juanda itu menang meyakinkan. Di luar prediksi banyak pengamat.

Saya juga jagokan Bu Risma di Pilgub Jawa Timur. Energinya yang besar, kerja keras, turun langsung, punya sistem untuk mencegah korupsi kita harap diadopsi di tingkat provinsi.

Bu Risma ingin "resik-resik" Jawa Timur. Memangnya provinsi ini tidak resik? KPK beberapa kali datang menggeledah kantor pejabat-pejabat di Jawa Timur. Tiada asap tanpa api!

Pilpres di Hari Valentine 14 Februari 2024 pun begitu. Jagoku kalah telak. Paket makan siang gratis menang 58 persen. Jurus bansos dan joget gemoy ternyata sangat manjur. 

Pilpres di USA saya iseng-iseng taruhan. Jagoku seorang perempuan sangat cerdas, enak bicara, murah senyum. Saya harap Kamala bikin sejarah di negara Paman Sam itu. 

Hasilnya, rakyat Amerika Serikat lebih suka Bapa Donald Bebek, eh, Donald Trump. Padahal, kalau tidak salah, bapak ini beberapa kali jadi terdakwa beberapa perkara. Mulai soal main cewek hingga manipulasi macam-macam.

Bapa Donald juga kalau tidak salah 'mendukung" penyerangan Gedung Capitol. Kayaknya baru pertama kali ada serangan yang sangat antidemokrasi. Padahal USA dari dulu disebur rajanya demokrasi sejagat.

Eh, ternyata rakyat Amerika lebih memilih Pak Bebek. Kamala kalah telak!

"Suara rakyat suara Tuhan!" kata pepatah Latin.

Artinya, para pemenang pilbup, pilgub, pilpres, hingga US Election memang orang-orang yang direstui Tuhan untuk memimpin rakyat di lingkungannya masing-masing.

Saya gagal menangkap bisikan suara dari langit. Mea culpa!

Rabu, 27 November 2024

Hotel Ping An Tjan, Surabaya, Saksi Bisu Kejayaan Masa Kolonial yang Kini Mangkrak

Iseng-iseng baca koran zaman Belanda  ketemu iklan kecil di surat kabar Sin Po edisi 9 Desember 1922. Ada Hotel Tionghoa yang baru dibuka di Surabaya pada 1 November 1922. Itu hotel punya merek: Ping An Tjan.

Lokasinya di Sambongan Gang Tjaijpoo Nomor 8 Soerabaia. Direktur: Lie Tiauw Hwat. Eigenares: Nyonya Pang A Kioe Nio.

Ada keterangan bahwasanya Hotel Ping An Tjan sebelumnya adalah rumah Oeij Kang Jan. Pasti saudagar Tionghoa kaya pada zaman Hindia Belanda.

Akhirnya terjawab sudah owe punya penasaran selama ini. Losmen Samudra, persis di samping Gereja Kristen Tionghoa (GKT), Jalan Samudra (d/h Jalan Bakmie) itu dulunya gedung apa? Riwayatnya seperti apa. 

Hotel yang berlokasi di Sambongan Gang Tjippo No. 8 – sekarang Jalan Kopi – dulunya dikenal akan fasilitasnya yang mewah dan pelayanannya yang prima. Namun, setelah masa kejayaannya, hotel ini berganti nama menjadi Losmen Samudra, lalu perlahan kehilangan pamornya hingga akhirnya tutup.


Suparti, warga sekitar yang telah lama tinggal di kawasan Sambongan, mengungkapkan bahwa lesunya hotel-hotel di kawasan ini dimulai sejak penutupan Stasiun Surabaya Kota (Stasiun Semut). 

"Dulu Ping An Tjan sangat ramai, karena banyak pedagang luar pulau yang jadi pelanggan tetapnya. Tapi sekarang, tinggal bangunannya saja yang mangkrak," ujarnya.

Suparti juga menyebut bahwa beberapa hotel era kolonial di Sambongan yang masih bertahan, seperti Hotel Semut, Hotel Irian, Grand Hotel, dan Hotel Merdeka, juga mengalami kondisi yang sulit. Sepi tamu. Kondisinya juga ibarat lansia yang kurang terawat.





 Cak Boen, arek Kalimas yang kini duduk di Amerika Serikat, punya pengalaman dengan hotel di dekat restoran Tionghoa kelas atas di era kolonial itu. Selain menjadi hotel, Ping An Tjan juga pernah menyediakan layanan ekspedisi antara Surabaya dan Banjarmasin.

 "Dulu saya pernah diajak naik sepeda gandolan bersama pembantu laki-laki untuk mengantar barang ke sana," kenang Cak Boen, yang semasa kecilnya sering menyaksikan kegiatan di Hotel Ping An Tjan.

 Menurut dia, kakaknya yang tertua juga sering diminta untuk mengurus pengiriman barang di sana. Cukup ramai kawasan Sambongan pada masa lalu karena ada banyak hotel di kawasan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu.

Lantas, mengapa sekarang jadi bangunan mangkrak? Ada kesan angker malam hari. Apalagi ada pohon beringin di depannya.

Cak Boen menyebut nasib bangunan ini semakin tidak menentu karena masalah warisan. "Menurut teman main tenis saya di Surabaya, keturunan pemiliknya terlalu banyak dan tersebar di mana-mana, jadi sulit untuk mengeksekusi penjualan warisan," katanya.

 Ia juga mengingatkan bahwa jika dibiarkan terlalu lama terlantar, bangunan seperti ini berpotensi diambil alih oleh pihak ketiga, mafia tanah, atau tukang serobot tanahnya Gusti Allah.

Bangunan tua Hotel Ping An Tjan kini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu kawasan Sambongan, yang dulunya menjadi pusat aktivitas ekonomi. Sayangnya, kawasan ini semakin terpinggirkan di tengah dominasi perkembangan kota modern yang berfokus di Surabaya Pusat dan Selatan. 

"Jejak sejarah Sambongan seperti Ping An Tjan menunggu perhatian serius agar tidak lenyap begitu saja sebagai bagian dari warisan budaya Surabaya," komentar AI.

Senin, 25 November 2024

Suster Ursula, OSA, teman masa kecilku di kampung pelosok Pulau Lembata

Suster Ursula, OSA, pekan lalu mampir di Surabaya. Suster asal Desa Lamawara, Lembata, itu kontak saya. Bagi fotonya bersama suster asal Belanda.

"Kami mengunjungi Romo Kurdo di Gereja Santo Paulus, Juanda," tulis Suster Ursula di caption foto wasap.

Di Sidoarjo, tepatnya Desa Geluran, Taman, komgregasi suster OSA punya biara kecil. Ada sekolah juga. Karena itu, Sr Ursula dkk dari Ketapang, Kalimantan Barat, selalu mampir. Kantor pusat OSA memang di Ketapang.

Biasanya cuma mampir semalam lalu geser ke Tumpang, Malang. Sebab OSA punya biara sekaligus rumah sakit di sana. RS Sumber Sentosa. Sudah puluhan tahun melayani masyarakat di Tumpang dan sekitarnya.

"Kame langsung mai Tumpang. Suster Belanda maring Surabaya pelate ayaka," kata teman masa kecil di Ile Ape, Lembata, itu.

 Artinya, "Kami langsung pergi ke Tumpang. Suster Belanda bilang Surabaya terlalu panas."

Suster Ursula ini nama lahirnya Marselina. Waktu kami SD di kampung dipanggil Marse. Lalu ganti nama Ursula setelah resmi jadi suster. Ursula itu dia punya mama punya nama di kampung pelosok Lembata. 

Maka kadang saya masih keliru sebut nama. Mestinya Suster Ursula, saya bilang Suster Marse. "Di sini tidak ada Suster Marse," kata seorang staf di Biara OSA Taman, Sidoarjo.

 Suster Ursula, OSA sudah 30 tahun lebih jadi biarawati Kongregasi Santo Agustinus (OSA). Motonya: Sungguh, Allah itu keselamatanku, aku percaya dengan tidak gemetar, sebab TUHAN ALLAH itu kekuatan dan mazmurku.  Ia telah menjadi keselamatanku (Yes. 12:2).

Meski biarawati, Sr Ursula punya keahlian khusus di bidang keperawatan dan rumah sakit. Karena itu, dia sangat sering ditugaskan untuk menangani manajemen RS Sumber Sentosa di Malang.

Saya sering diajak ke Tumpang untuk mengunjungi biara sekaligus rumah sakit di pinggir jalan raya itu. Tapi selalu tidak pas waktunya. Ketika saya berkesempatan mampir di RS Sumber Sentosa, Sr Ursula malah berada di Ketapang, Kalbar.

SMPK Sanctissima Trinitas Hokeng Ditutup Akibat Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki

Salah satu lembaga pendidikan bersejarah di Flores Timur, SMPK Sanctissima Trinitas Hokeng, resmi ditutup secara permanen pada 13 Desember 2024. Penutupan ini menyusul bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki yang terjadi pada 10 November 2024, bertepatan dengan Hari Pahlawan.

Didirikan pada 6 Agustus 1958 oleh Sr. Guntil, SSps, SMPK Sanctissima Trinitas Hokeng telah menjadi bagian penting dari sejarah pendidikan di Flores Timur. Awalnya hanya menerima siswa perempuan, sekolah ini telah melahirkan ribuan alumni yang kini tersebar di seluruh dunia. 

Sayangnya, letusan dahsyat Gunung Lewotobi memaksa sekolah yang akrab disapa Sanctris ini mengakhiri perjalanannya.

Seperti halnya Gunung Lewotobi Laki-Laki yang berdampingan dengan Gunung Lewotobi Perempuan, SMP Sanctris juga hidup berdampingan dengan Seminari San Dominggo Hokeng, yang sama-sama terdampak bencana.

 Erupsi ini tidak hanya menghancurkan bangunan sekolah, tetapi juga mengubur kenangan para alumni dalam abu dan kerikil.

Bagi banyak alumni, SMP Sanctris adalah tempat mereka menanam benih panggilan hidup, terutama bagi mereka yang melanjutkan pendidikan ke Seminari San Dominggo Hokeng. Kisah-kisah masa remaja mereka diwarnai dengan asrama St. Agnes yang selalu terkait dengan Asrama Sesado. 

Rumah Retret Sesa Banu menjadi saksi bisu perjalanan iman dan persahabatan mereka.

Dus Nimo, salah satu guru yang mengabdi di SMPK Sanctissima sejak 18 Agustus 2016, mengungkapkan rasa kehilangan yang mendalam atas penutupan sekolah ini.

"SMPK Sanctissima Trinitas-Hokeng dalam kenangan," katanya, mengenang hari-harinya di sekolah tersebut.

"Mengulas kenangan mengabdi di SMPK Sanctissima adalah seperti membuka album penuh cerita perjuangan, dedikasi, dan kasih sayang. Setiap hari di sekolah ini adalah lembaran baru penuh semangat, tawa anak-anak, kerja sama dengan rekan-rekan guru, serta upaya tanpa henti untuk membawa pendidikan ke tingkat yang lebih baik. Namun, semua itu tiba-tiba sirna bersama dengan letusan Gunung Lewotobi. Dalam sekejap, bencana alam ini menghancurkan fisik sekolah dan juga harapan yang telah terbangun selama bertahun-tahun."

Ia juga menambahkan, meskipun sekolah telah tutup, kenangan dan nilai-nilai yang ditanamkan selama ini akan terus hidup dalam diri setiap siswa yang pernah ia bimbing.

Penutupan SMP Sanctris adalah pengingat akan rapuhnya kehidupan di bawah bayang-bayang gunung berapi. Namun, semangat pendidikan yang ditanamkan oleh Sanctris akan terus hidup melalui para alumni yang kini tersebar di berbagai belahan dunia.

Duka ini adalah panggilan bagi semua pihak untuk bersatu membantu komunitas yang terdampak bencana dan melestarikan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh lembaga ini selama 66 tahun. SMP Sanctissima Trinitas Hokeng mungkin telah berakhir, tetapi warisannya akan terus berlanjut.

Kamis, 21 November 2024

Manusia Modern Lebih Suka Baca Ramalan Shio, Zodiak, Weton ketimbang Baca Berita-Berita Serius

Enam  berita terpopuler di PORTAL BERITA terbesar di Indonesia Kamis pagi ini:

1. Melarat Menjadi Ningrat: 8 Weton yang Tidak akan Sengsara Lagi Beralih Menjadi Hidup Makmur dan Sejahtera

2. Enam Tanggal Lahir Diberi Kecerdasan Intelektual Berpikir Logis Mudah Pecahkan Masalah

3. Ramalan Zodiak Keuangan dan Asmara 19 November 2024 : Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo dan Virgo

4. Ramalan Zodiak Keuangan dan Asmara 20 November 2024 : Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo dan Virgo

5. Ramalan Zodiak Keuangan dan Asmara 19 November 2024 : Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius dan Pisces

6.  Keberuntungan Tertahan 2024, Kini Bendungan Rezeki 6 Weton Segera Jebol Pada 2025

Sudah lama konten terpopuler, dus disukai pembaca, adalah shio atau fengshui Tionghoa, ramalan bintang (zodiak), dan weton jowo. Saban hari pasti masuk 10 besar.

Bagaimana dengan konten-konten utama jurnalistik seperti berita? Sangat jarang masuk 10 besar. Sekali-sekali masuk top ten kalau ada kejadian yang benar-benar besar dan heboh. 

Shio, zodiak, weton selalu stabil di peringkat teratas konten paling populer. Karena itu, konten-konten ramalan nasib atau horoskop itu selalu dibuat para content creator atawa kreator konten.

Cukup bekerja di dalam ruangan, selancar sana sini di internet, media sosial, minta bantuan AI dsb, maka jadilah konten horoskop. Tidak perlu turun ke lapangan, wawancara, motret, mandi keringat seperti wartawan beneran. 

Kerja cerdas, bukan kerja keras! Kerja keras itu kuli tinta alias wartawan old school. Kerja cerdas gaya wartawan, eh kreator konten "jaman now". Kerja kuli hasilnya sedikit. Tidak pernah masuk 10 besar.

Saya bertanya kepada Tuan AI: mengapa konten terkait shio, zodiak, dan weton Jawa mengalahkan berita jurnalistik di portal berita terbesar di Indonesia?

 Beberapa alasan mengapa ini terjadi adalah:

1. Kebutuhan akan hiburan dan pelarian

 Dalam era informasi yang sangat cepat dan penuh tekanan, banyak orang mencari konten yang menawarkan hiburan, rasa nyaman, atau sekadar pelarian dari berita-berita yang berat atau menegangkan. Ramalan-ramalan tersebut memberikan hiburan ringan, yang jauh dari berita aktual yang sering kali penuh dengan konflik atau kejadian yang menegangkan.

2. Keterbatasan perhatian

Dalam dunia digital yang serba cepat, perhatian pembaca menjadi sangat terbagi. Banyak orang cenderung mencari konten yang bisa diserap dengan cepat dan tanpa banyak usaha. 

Berita jurnalistik, dengan analisis mendalam dan informasi yang membutuhkan perhatian lebih, bisa kalah saing dengan konten yang lebih mudah dikonsumsi, seperti ramalan yang hanya membutuhkan pembaca untuk membaca sekilas.

3. Personalisasi dan keinginan untuk relevansi pribadi

Shio, zodiak, dan weton Jawa sangat relevan dengan pengalaman pribadi pembaca. Orang cenderung tertarik pada hal-hal yang bersifat pribadi dan dapat memberikan informasi yang seakan-akan sesuai dengan mereka secara individu. 

Ini berbeda dengan berita jurnalistik yang lebih bersifat umum dan berfokus pada peristiwa besar yang mungkin tidak langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari.

4. Media sosial dan viralitas

Konten seperti ramalan lebih mudah menjadi viral di media sosial. Mereka sering kali dibagikan karena sifatnya yang menarik, menghibur, atau bahkan mengejutkan. Artikel yang lebih serius atau berat mungkin tidak mendapatkan daya tarik yang sama di platform-platform sosial yang lebih cepat.

5. Kepercayaan dan nilai budaya

Di Indonesia, kepercayaan terhadap hal-hal seperti zodiak dan weton Jawa sangat kuat di sebagian kalangan. Ini membuat jenis konten tersebut memiliki audiens yang setia. Sebaliknya, berita jurnalistik, meskipun penting, mungkin dianggap kurang relevan atau menarik bagi orang-orang yang lebih percaya pada keberuntungan atau ramalan.

"Namun, ini tidak berarti bahwa masyarakat tidak tertarik lagi pada berita jurnalistik. Lebih tepatnya, ada pergeseran dalam cara orang mengonsumsi berita," kata AI.

Nah, sekarang saya makin sadar mengapa tulisan-tulisan di blog ini makin jarang dibaca. Dan, tidak lagi masuk dalam algoritma Google.

Paus Fransiskus Minta Dimakamkan Secara Sederhana Tanpa Upacara Megah - Tidak Perlu Peti Bertingkat

Paus Fransiskus dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana. Bapa Suci asal Argentina itu minta agar dimakamkan secara sederhana. 

Paus Fransiskus memilih peti kayu berlapis seng sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Meninggalkan tradisi panjang Gereja Katolik yang biasanya menggunakan tiga peti bertingkat dari kayu cemara, timah, dan ek.

Permintaan tersebut diumumkan melalui ritus formal baru yang diterbitkan Vatikan pada Rabu (20/11/2024). Selain peti sederhana, Paus juga menolak prosesi megah yang biasanya menampilkan jenazah paus di atas catafalque, sebuah panggung khusus di Basilika Santo Petrus. 

Sebagai gantinya, tubuh Paus Fransiskus nantinya akan tetap berada dalam peti dengan tutup terbuka selama penghormatan terakhir umat.

Paus yang akan berulang tahun ke-88 pada 17 Desember mendatang, masih aktif menjalankan tugasnya meski menggunakan kursi roda akibat masalah pada lutut dan punggung. Dalam beberapa bulan terakhir, ia bahkan melaksanakan dua kunjungan luar negeri yang melelahkan pada September serta memimpin sinode besar di Vatikan selama Oktober 2024.

Langkah ini sejalan dengan komitmen Paus Fransiskus untuk menyederhanakan banyak tradisi Gereja Katolik. Tahun lalu, ia menyatakan keinginannya untuk mempersingkat ritus pemakaman paus yang selama ini dikenal panjang dan penuh simbolisme.

 Selain itu, Paus Fransiskus juga menyampaikan rencana untuk dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, bukan di Basilika Santo Petrus seperti para pendahulunya.

Pilihan ini mencerminkan hubungan spiritual mendalam Paus Fransiskus dengan Santa Maria. Ia kerap mengunjungi basilika tersebut untuk berdoa sebelum dan sesudah kunjungan apostolik ke luar negeri. 

Jika rencana ini terwujud, Paus Fransiskus akan menjadi paus pertama yang dimakamkan di luar Vatikan dalam lebih dari satu abad, sejak Paus Leo XIII yang wafat pada 1903 dan dimakamkan di Basilika Santo Yohanes Lateran, Roma.

Tradisi pemakaman paus dengan tiga peti yang bertumpuk telah berlangsung selama berabad-abad untuk memastikan jenazah tetap terjaga dari kerusakan serta memungkinkan barang-barang simbolis, seperti koin atau dokumen, disertakan bersama jenazah. 

Namun, melalui keputusan ini, Paus Fransiskus sekali lagi menunjukkan komitmennya pada kesederhanaan dan pengabdian spiritual yang mendalam.

Keputusan ini diharapkan akan memberikan inspirasi bagi umat Katolik di seluruh dunia untuk lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai spiritual dibandingkan tradisi megah yang sering kali penuh simbolisme.

Rabu, 20 November 2024

Nelys Manuk, Komposer Lagu "Sedon Lewa Papan", Tak Menyangka Karyanya Viral di Mana-Mana

 Lagu "Sedon Lewa Papan" karya Nelys Manuk, komposer asal Botung, Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT, menjadi viral setelah di-cover oleh L. Wurin, seorang polisi sekaligus penyanyi pop Lamaholot. Popularitas lagu ini melejit, tak hanya di Nusa Tenggara Timur (NTT) tetapi juga hingga ke luar negeri.

Nelys Manuk mengungkapkan bahwa lagu Sedon Lewa Papan diciptakan pada tahun 1990-an saat ia masih duduk di kelas 2 SMA di Larantuka. Lagu itu berkisah tentang Kopong, seorang pemuda Lamaholot, menjalin asmara dengan gadis cantik dari seberang lautan tapi kandas. Sang Sedon (gadis) diam-diam kecantol dengan pemuda dari Tanah Jawa.

"Sedon Lewa Papan itu lagu kedua saya. Tapi hanya disimpan saja karena teknologi belum semaju sekarang," ujar komposer yang tinggal di Podor, Larantuka, NTT.

Pada tahun 1992, saat bekerja di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Flores Timur, Nelys Manuk mencoba menyodorkan lagu itu untuk disiarkan. "Ternyata dapat sambutan yang bagus," kenangnya.

Sambutan tersebut mendorong Rusny Assan, seorang penyanyi lokal, untuk merekam lagu Sedon Lewa Papan di Surabaya. "Waktu itu masih dalam bentuk kaset pita," kata Nelys Manuk.

Bertahun-tahun kemudian, di era digital, Nelys melihat potensi untuk membangkitkan kembali lagu Sedon Lewa Papan. Ia menganalisis suara beberapa penyanyi Lamaholot di YouTube dan media sosial sebelum akhirnya menemukan sosok yang cocok.

 "Saya merasa L. Wurin adalah pilihan yang tepat. Padahal, saya tidak kenal dia sebelumnya, meskipun dia di Lewoleba dan saya di Larantuka yang sebenarnya cukup dekat," ujarnya.

Nelys Manuk kemudian mencari kontak WhatsApp (WA) Laurensius Wurin dan mengajaknya bekerja sama. Hasilnya, lagu Sedon Lewa Papan yang dibawakan Laurensius Wurin mendapat sambutan luas di media sosial, terutama di TikTok.

 "Puji Tuhan, lagu Sedon Lewa Papan bisa diterima banyak orang," kata Nelys Manuk yang murah senyum itu.

"Saya sendiri terkejut karena tidak akrab dengan media sosial, khususnya TikTok. Saya dikasih tahu teman-teman bahwa Sedon Lewa Papan viral di TikTok."

Lagu Sedon Lewa Papan kini tidak hanya menjadi simbol kebanggaan masyarakat Lamaholot, tetapi juga medium untuk memperkenalkan budaya daerah ke tingkat nasional dan internasional.

 "Terima kasih telah menghargai karya kami, anak Lewotana, untuk mengabadikan dan melestarikan budaya Lamaholot melalui koda kirin," tambah Nelys Manuk.

Kisah ini menjadi bukti bahwa musik tradisional dengan sentuhan modern mampu menembus batas geografis dan menarik perhatian lintas budaya.

Nuel Muda, Komposer Liturgi Asal Sumba, Hasilkan Lebih dari 120 Lagu Gerejani

 Emanuel Laurentius Muda, atau yang akrab disapa Nuel Muda, adalah seorang komposer musik liturgi Katolik yang telah menghasilkan lebih dari 120 lagu. 

Karya-karya Nuel yang memuliakan Tuhan dihimpun dalam sebuah buku berjudul "Nyanyikan Lagu Baru bagi Tuhan". Namun, buku ini belum diterbitkan karena kendala biaya.

 Hingga kini, hanya beberapa teman dekat yang memiliki buku tersebut. Buku tersebut telah memuat 88 lagu, sementara lagu lainnya masih berupa fotokopi dan file dalam flashdisk.

"Saya ketik semua lagu ini sendiri menggunakan program Words dengan format yang saya buat sendiri," ujar Nuel,  kelahiran Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT, 10 Desember 1955.

Meski belum mendapatkan rekomendasi resmi dari Komisi Liturgi (Komlit), Nuel selalu menggunakan lagu-lagunya setiap kali bertugas memimpin paduan suara. "Saya siapkan fotokopi teks untuk umat, dan mereka dilatih bernyanyi bersama," tambahnya.

Beberapa karya andalannya antara lain:

"Ya Tuhan Kami Percaya", lagu ke-54 yang mengajak umat mempercayakan hidup kepada Allah.

"Mari Kita Wartakan", lagu komuni untuk Masa Paskah yang penuh semangat pewartaan.

"Kami Datang Bapa", lagu persembahan dengan motif gong khas Sumba yang bisa diiringi tarian liturgis.

"Bunda Penuh Rahmat", lagu ke-86 yang menjadi pujian untuk Bunda Maria.

Nuel mengungkapkan bahwa ia banyak belajar dari Romo Karl Edmund Prier, SJ, direktur Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. "Beliau sering memberikan koreksi pada komposisi dan aransemen lagu-lagu saya. Karena itu, karya saya banyak terpengaruh oleh gaya aransemen PML," jelasnya.

Inspirasi menciptakan lagu kerap datang dari pengalaman sehari-hari. Salah satunya adalah lagu "Marilah Kita Merenungkan", yang idenya muncul saat perjalanan dari Yogyakarta ke Purwokerto. 

"Melodi itu tiba-tiba muncul di kepala, lalu saya matangkan saat sudah sampai rumah," kenang pria yang menjadi organis di Gereja Katedral Kristus Raja Purwokerto sejak tahun 1990 hingga sekarang itu.

Selain itu, Nuel juga menciptakan lagu-lagu bertema khusus seperti "Panggilan Tuhan", yang mengajak umat menanggapi panggilan Allah, dan "Jagalah KawananKu", yang diciptakan untuk para imam agar tetap setia pada janji imamat.

"Semua talenta ini adalah pemberian Tuhan, maka saya persembahkan kembali kepada-Nya," tutup Nuel penuh syukur. 

Melalui karya-karyanya, ia berharap dapat terus memuliakan Tuhan dan memperkaya musik liturgi gereja.

Lowongan Kuli Toko di Rungkut, Jadi Ingat Kuli Tinta, Bangsa Kuli

Sudah lama saya tidak dengar dan baca kata "kuli". Padahal, dulu saya selalu ngaku "kuli" kalau ditanya kerja di mana, kerja apa, kok pulang tengah malam terus.

Kuli tinta, kerennya. Tapi "tinta" dibuang tinggal kuli tok.

"Kuli apa?" tanya Mbah Tandur tukang soto di Rungkut.

"Kuli, masak gak ngerti!"

Sejak itu Mbah Tandur menganggap saya kerja sebagai kuli pelabuhan. Di Kalimas, Jamrud, kawasan Tanjung Perak. Kuli angkut, tukang pikul barang-barang berat.

Gara-gara dianggap kuli pelabuhan, bukan kuli tinta, porsi makan saya selalu dilebihkan Bu Tandur. Nasinya banyaaak. Soto ayam juga begitu -- kuahnya. Isinya sih sama saja.

Kuli harus makan banyak supaya kuat mikul barang di Kalimas. Mungkin begitu fikiran Mbah Tandur. Asyik juga dianggap kuli beneran!

Pagi ini saya lihat spanduk di dekat jalan raya kawasan Rungkut Menanggal. Isinya: "Dibuka lowongan pekerjaan kuli toko..."

Hahaha... kata "kuli" yang sudah lama hilang muncul lagi di Surabaya. Mungkin baba Tionghoa itu wong lawas. Biasa pakai kata "kuli" warisan kolonial Belanda. Mungkin baba itu belum biasa basa-basi gaya eufemisme: karyawan, pekerja, staf.. atau kata-kata lain yang dianggap lebih halus.

Kata "kuli" memang ada di dalam kamus bahasa Indonesia. Mulai kamus awal kemerdekaan hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Owe periksa kata "kuli" di kamus.

KBBI: kuli n orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain) pekerja kasar: aku minta dicarikan -- pengangkut barang"

Kamus St Moh Zain, 1952:
pekerja atau buruh yg bukan tukang. buruh yg tidak ada kepandaian khusus. pemikul barang².
 
Bung Karno mengatakan: 

"Di antara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, hidup suatu bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Tapi akhirnya kembali menjadi kuli diantara bangsa-bangsa, kembali menjadi  een natie van koelies, en een kolie onder de naties. Bangsa koeli dan koeli di antara bangsa-bangsa"

(Soekarno–Tahun Vivere Pericoloso – 1964).

Naga-naganya omongan Bung Karno ada benarnya. Hidup kuli!

Selasa, 19 November 2024

Mahathir Mohamad about big Chinese Characters in Kuala Lumpur 

By MAHATHIR BIN MOHAMAD 

1. Weekends I drive around Kuala Lumpur.

2. Sometime I drop in the shopping complexes.

3. KL's shopping complexes are great.

4. The new ones are fantastic.

5. They are bigger and better than the shopping complexes in London or Tokyo.

6. The other day I dropped in one of the new ones.

7. Wow. It is great.

8. But suddenly I felt I was in China.

9. Then I realised why.

10. All the signboards are in Chinese with English translations.

11. Nothing in Malay. Not at all.

12. So is this Malaysia.

13. Or have we become a part of China.

14. English I can understand why.

15. Even in Japan signboards have English translations.

16. But big Chinese characters.

17. I was told that some Chinese TV refer to Malaysia as Little China.

18. Why?

19. Because among the Southeast Asian countries Malaysia displays the Chinese characters all over; large and prominent.

20. Must be because we have so many Chinese visitors.

21. But translation in small characters yes.

22. But our national language is Malay.

Yuliati Umrah: Dari Aktivis Anak Jalanan hingga Menjadi Perangkai Bunga

Yuliati Umrah, ketua Yayasan Alit Indonesia, dikenal luas atas pengabdiannya dalam pemberdayaan anak jalanan yang sering disebut arek lintang. Dedikasinya dalam membantu anak-anak jalanan di Surabaya telah membuatnya menjadi sosok yang dihormati di kalangan aktivis sosial. 

Namun, di balik perannya sebagai aktivis, Yuliati juga memiliki sisi lain yang jarang diketahui publik: dia adalah seorang floris, perangkai bunga, dan pembudidaya bunga yang berbakat.

Lulusan FISIP Universitas Airlangga (Unair) itu telah lama menekuni dunia bunga. Keahliannya dalam merangkai bunga membawanya ke berbagai kota di Indonesia untuk mengisi pelatihan seni merangkai bunga. Bagi Yuliati, bunga bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga menjadi ladang pengembangan diri, kewirausahaan, dan budaya.

"Saya bersyukur impian saya sejak kelas 4 SD akhirnya terwujud. Kini saya memiliki kebun bunga, menjual bunga di toko, dan mengajarkan seni merangkai bunga. Proses ini sangat menyenangkan dan juga mengasah kemampuan saya dalam bidang pertanian dan kewirausahaan," ujar Yuliati.

Yuliati menceritakan pengalaman menarik saat menyelenggarakan workshop merangkai bunga yang diikuti oleh berbagai peserta. Foto-foto karya mereka yang diunggah di media sosial mendapat respons positif dari publik.

"Beberapa di antaranya langsung mendapatkan pesanan bunga. Bahkan, ada lima peserta yang membuka toko bunga di Surabaya Utara, Sidoarjo, Malang, dan Jakarta," paparnya.

Selain itu, Yuliati dipercaya untuk mendekorasi panggung Upacara Penyucian Candi Prambanan pada 10 November 2024. Upacara ini menjadi salah satu momen sakral dalam pemeliharaan dan pelestarian Candi Prambanan yang telah diakui sebagai candi terindah di dunia.

 Untuk acara tersebut, total biaya dekorasi bunga mencapai  Rp 20 juta. Yuliati menggunakan berbagai jenis bunga. Di antaranya, lily marlon dan bacardi, serta lily yelloween yang memberikan kesan elegan.

 Tak ketinggalan, aster putih dan kuning, serta pikok putih, ruskus dan xanado. Rosida, sedap malam, serta pohon pucuk merah juga dimasukkan dalam rangkaian, menciptakan suasana yang lebih mistis dan sakral.

 Krisan yang ditanam dalam pot menjadi elemen tambahan yang mempercantik tampilan, sementara gabah kering dan gumitir menambah elemen tradisional yang kaya makna.

"Tuhan berkati karya-karya kami, untuk memuji-Mu dan mengirimkan keindahan itu kepada seluruh alam semesta. Semoga karya ini menjadi doa terbaik bagi leluhur kami yang telah membuat negeri ini menjadi indah," kata Yuliati penuh syukur.

Yuliati juga berharap suatu saat bisa mendekorasi Candi Borobudur setelah sukses mendekorasi Candi Prambanan. 

Senin, 18 November 2024

Father Nicholas Strawn, SVD: A Life Devoted to Lembata’s People

Father Nicholas Strawn, SVD, a missionary from the Society of the Divine Word, has spent over six decades serving the people of Lembata, Indonesia.

 Born on September 24, 1934, in Iowa, USA, Father Strawn celebrated his 90th birthday this year. His unwavering dedication and love for the people of Lembata have become his defining legacy, as he chose to remain in the region rather than return to his homeland.

During a recent visit to Bukit Hospital in Lewoleba on September 13, 2024, where Father Strawn is bedridden due to age and illness, locals reflected on his profound impact.

 Laurentius Lewo, a native of Lembata, shared his heartfelt memories of meeting Father Strawn for the first time when he was just five years old.

"When you first arrived at St. Paul's Station in Atawolo, I was a young child," Laurentius said. "We affectionately called you 'Tuan Nico.' Your kindness and warmth made all of us children feel close to you."

Laurentius fondly recalled how Father Strawn regularly visited schools during his pastoral missions, teaching religious lessons and engaging with students. "You were like a shepherd to your flock," he added.

Father Strawn's commitment extended to the Parish of Lerek, where he served with unwavering enthusiasm and humility. Despite the physical challenges of his advanced age, he remains in Lembata, embracing the community that has become his family.

For the people of Lembata, Father Strawn's decision to stay is a testament to his deep love and devotion. Laurentius expressed his gratitude, saying, "Thank you, our shepherd, for choosing to be with us. May you find joy on your 90th birthday, and may God bless you always."

As Father Strawn rests in Lewoleba, his story continues to inspire the island's residents, a living example of faith, service, and love.

Gereja Tua di Lembata Tahun 1950-an

Oleh Peter A. Rohi
Wartawan Sinar Harapan

Pada tahun 1970-an, beberapa kali menyeberangi Pulau Lembata, saya sangat terkesan dengan kerukunan di sana dan keramahan penduduk di kampung-kampung yang saya lalui.

 Dari Loang ke Lewoleba, lalu dari Lewoleba memotong ke tengah pulau menuju Waiteba. Menyusuri arah barat dengan berjalan kaki, menginap di rumah penduduk sepanjang perjalanan.

Saya ingin menyampaikan Salam Natal kepada mereka yang dengan senang hati mengulurkan tangan membantu saya setiap kali saya melanglang ke pulau indah itu. Terutama saat meliput detik-detik terakhir Kampung Waiteba sebelum akhirnya runtuh atau tenggelam ke dasar laut.

Inilah foto tahun 1950 dari sebuah gereja di Lewoleba, Pulau Lembata, yang saat itu masih dikenal sebagai Pulau Lomblen.

Pada tahun 1979, ada sebuah kota kecamatan bernama Waiteba di selatan Pulau Lembata yang runtuh ke dasar laut. Sebelumnya, gempa terus-menerus terjadi akibat aktivitas Gunung Hobalt, sebuah gunung berapi di bawah laut.

 Ketika meletus beberapa bulan kemudian, kota tersebut tenggelam ke dasar laut, menelan ratusan jiwa.

Peristiwa itu sangat dahsyat. Namun, karena pada saat itu media di Indonesia masih terbatas dan televisi hanya satu, kejadian ini tidak banyak terekspos. 

Meski begitu, laporan saya di Harian Sinar Harapan dijadikan bahan penelitian ilmiah oleh Universitas Colorado. Saya adalah satu-satunya wartawan yang melakukan peliputan beberapa saat sebelum kota itu tenggelam.

Minggu, 17 November 2024

Remembering the 1979 Eruption of Mount Hobalt and the Tsunami in Lembata: Nearly a Thousand Lives Lost

Mount Hobalt, an active underwater volcano located in the Atadei District, southern Lembata Island in East Nusa Tenggara, is known for its dangerous eruptions. Its eruption in 1979, accompanied by a tsunami, claimed the lives of nearly a thousand people and submerged coastal villages.

The Volcanology and Geological Disaster Mitigation Center (PVMBG) records that Mount Hobalt erupted in 1976, 1979, 1983, and 2013, with the most devastating eruption occurring on July 21, 1979. 

Before the disaster, Peter Rohi, a reporter for Sinar Harapan, had warned in his article that Waiteba, the capital of Atadei, could be submerged if Mount Hobalt erupted.

Peter had witnessed numerous fish, including sharks, washed up on the shores, likely killed by the heat from the volcano. He warned the authorities about the impending eruption, but his caution was dismissed. 

Local government officials even told the residents to ignore the journalist's concerns. "Don't worry, just continue your work as usual. It's just a journalist's story," Peter recalled them saying.

Tragically, just days later, Mount Hobalt erupted, triggering a tsunami that reached up to 50 meters in height, sweeping along the coastline. Waiteba was swallowed by the sea.

 The East Nusa Tenggara provincial government recorded 539 fatalities, 364 missing persons, and 470 injured. A total of 903 lives were lost.

Peter's warning had come from a source in East Flores who had noticed signs of an eruption, coupled with information from a relative working at PVMBG in Bandung. Without hesitation, Peter chartered a boat from Larantuka to Lembata. 

Upon arrival, he traveled on foot to Lewoleba, the capital of Lembata, where he stayed the night. The next day, accompanied by a local, he continued his journey to Waiteba, traversing difficult terrain, and reached the village at midnight.

 While photographing Waiteba from a hilltop the following day, a sudden earthquake struck, causing the ground to collapse beneath him.

"I was thrown among the rocks but managed to survive. My goal was ahead—there was a major story, lives to be saved," Peter recalled.

Jonathan Lassa, from the Institute of NTT Studies, described how the tsunami inundated nearly the entire bay area, stretching 12 kilometers long and 500-600 meters wide. Debris lodged in lontar palm trees reached a height of about seven meters.

The event involved three tsunami waves, followed by landslides. After the eruption, the tip of Mount Hobalt vanished beneath the sea, and it remains an underwater volcano to this day.

Jumat, 15 November 2024

Javanese Catholic Tradition Lives On in Sweet Friday Prayer Vigil at Puhsarang

Thousands of Catholic faithful from 46 parishes in the Diocese of Surabaya gathered last night for a prayer vigil Mass at the Lourdes Grotto in Puhsarang, Kediri, honoring the Javanese tradition of "Jumat Legi" or Sweet Friday.

 Many pilgrims from Surabaya joined the monthly pilgrimage, a special time for communal prayer.

The Mass was imbued with rich Javanese cultural elements, harmoniously blending Javanese customs with Catholic rituals, creating a spiritually enriching experience for the pilgrims.

"I always make an effort to come to Puhsarang every Friday Legi night unless there are unavoidable obligations," said Susilo, a Catholic from Sidoarjo.

Maria from Surabaya, also present at the vigil, expressed her gratitude, saying, "Last night's Friday Legi prayer vigil Mass at the Lourdes Grotto, Puhsarang Kediri, was a blessing. May God bless us all."

During the procession to the Lourdes Grotto, participants walked while carrying lit candles and singing the hymn "At Lourdes in the Grotto." 

Each candle was placed before the statue of the Virgin Mary, a symbol of the sincerity of their prayers. Prayer requests, initially hung on tree branches, were burned one by one, symbolizing their submission of hopes and prayers to God through the intercession of Mother Mary.

Keroncong dan Seriosa Kian Redup, Final Bintang Radio 2024 di Surabaya Hanya Lomba Pop

Tren musik keroncong dan seriosa semakin meredup di Indonesia. Hal ini terlihat dari ajang Final Bintang Radio 2024 di Surabaya beberapa hari lalu, yang hanya melombakan kategori musik pop atau hiburan. 

Padahal sejak digelar pertama kali pada 1951, Bintang Radio yang pernah menjadi ajang paling bergengsi di Indonesia ini selalu memasukkan kategori seriosa, keroncong, dan hiburan.

Apakah ini menandakan keroncong dan seriosa sudah tak lagi diminati?

Musafir Isfanhari, dosen musik di Unesa dan mantan juri Bintang Radio, menilai keroncong dan seriosa masih memiliki penggemar, meski segmennya lebih kecil dibanding pop. "Di mana-mana begitu," ujarnya.

Isfanhari melihat keroncong justru sedang bangkit, terutama di kalangan anak muda. "Sekarang banyak grup keroncong muda dengan kualitas permainan bagus," katanya. 

Di Semarang bahkan muncul fenomena "Cong Rock," perpaduan keroncong dan rock yang tetap membawa nuansa khas keroncong. "Banyak grup keroncong sekarang semua anggotanya wanita. Di masa lalu, grup seperti ini hampir tak ada."

Untuk musik seriosa, Isfanhari menyebut bahwa di negara asalnya, Eropa, peminatnya memang terbatas. "Seriosa itu tidak seperti rock atau dangdut yang bisa tampil di lapangan sepak bola dengan ribuan penonton," jelasnya.

Ia menambahkan, seriosa dan keroncong tergolong "chamber music" atau musik kamar, yang idealnya dimainkan di ruangan tertutup. "Penontonnya datang berpakaian rapi dan memberi tepuk tangan secukupnya."

Namun, Isfanhari juga menyoroti tantangan besar bagi kedua genre ini jika dijadikan kategori lomba. "Kalau seriosa dan keroncong masuk ajang lomba, siapa yang mau mensponsori? Pasti sponsornya sedikit, dan ini masalah tersendiri," ujarnya.

Berat Badan Para Romo, Uskup, hingga Paus Cenderung Tidak Terjaga, Rawan Penyakit

Berat badan para uskup dan imam Katolik sering kali terlihat tidak terkontrol, cenderung mengalami kenaikan yang berdampak pada kesehatan. Ini terlihat hampir di seluruh dunia.

 F. Rahardi, wartawan senior sekaligus pemerhati masalah kegerejaan, mengungkapkan kondisi ini mencerminkan pola hidup yang kurang berolahraga di kalangan pemuka agama.

"Berat badan itu salah satu faktor penentu kesehatan seseorang," kata Rahardi. 

Ia mencontohkan Paus Fransiskus yang tampak lebih langsing saat terpilih pada konklaf 13 Maret 2013, namun berbeda saat berkunjung ke Indonesia pada awal September 2024.

 "Saat berdiri terlihat sekali tubuhnya berat untuk ditopang. Padahal di Vatikan ada dokter, ahli gizi, dan instruktur olahraga ringan," ujarnya.

Rahardi juga menyoroti sejumlah uskup muda di Indonesia yang sudah mengalami masalah kesehatan, termasuk sakit jantung. Menurutnya, ini terkait pola makan, pola hidup yang cenderung kurang gerak, serta pola pikir.

 "Jalan kaki satu jam per hari itu mudah dan murah, tapi niatnya yang mahal. Yang jual niat pun langka," ungkap Rahardi yang juga penulis buku.

Rahardi mengingat Paus Yohanes XXIII yang dikenal berperawakan gemuk dan hanya memimpin Gereja selama lima tahun, dari 1958 hingga 1963, sebelum wafat di tengah berlangsungnya Konsili Vatikan II. 

"Monsinyur Ruby wis penakiten, kurang gerak," tambah Rahardi, mengenang dengan nada reflektif sebagai mantan seminaris yang tak jadi pastor.

Senada, Wied Harry, salah satu jemaat Katolik, juga menyoroti masalah kesehatan yang kerap dialami para imam muda. 

"Banyak romo muda yang sudah kolesterol, tensi, gula darah, atau asam uratnya tinggi. Selain faktor makanan, peran 'caosan dhahar' dari umat yang biasanya berupa makanan kesukaan romo juga mempengaruhi," tulis Wied di media sosialnya.

Ahli gizi itu menyebut hanya sedikit romo yang sadar pentingnya pola makan sehat, seperti Romo Fitri dan Romo Santo, yang ia kenal dengan baik.

Kamis, 14 November 2024

Mount Batutara in Lembata: A Natural Wonder of Explosive Beauty

Mount Batutara, located in the administrative area of Lembata Regency, sits on Komba Island—a remarkable place that is both an island and a volcanic mountain. Situated in the Flores Sea just north of Lembata Island, Batutara is known for its unique and powerful eruptions.

What makes Mount Batutara especially fascinating is its consistent eruption cycle—every 20 minutes, it releases fiery hot lava, forming beautiful sparks that light up the sky.

 The eruptions are often accompanied by small tsunamis, though these are harmless and can be safely viewed from about 20 meters away. This stunning natural display occurs continuously throughout the day, but according to Ocep Karez, a young man from Atadei who recently visited Batutara, it's most enchanting during dusk and dawn.

A 90-minute journey by speedboat from Lewoleba brings you to Batutara, making it relatively accessible for adventurous travelers. Mount Ile Batutara is one of only three volcanoes in the world with such a unique eruption pattern—the others are in Sicily and the Atlantic Ocean.

Recently designated a geological tourist destination by Lembata Regency, Batutara has begun attracting visitors from across the globe, eager to witness this extraordinary natural show. Just recently, about 35 tourists from Latin America visited Batutara to marvel at its fiery landscape.

"Batutara is incredibly beautiful," said Ocep. "More and more visitors are coming, although most stay along the shoreline to dive and enjoy the coral beauty."

With a steep structure, Batutara's peak is bare, unlike other volcanic mountains. The summit features small, sporadic eruptions, releasing ash and smoke every 20-25 seconds, creating a fascinating sight.

Is Batutara Always Open to Visitors?

While it's possible to hike Batutara, visitors must obtain permission from local security officials to ensure they are aware of any climbing activities. 

"There's no phone signal up there, so it's important to inform authorities if you're planning to climb," Ocep added.

With its unique geological features and captivating views, Mount Batutara is fast becoming a must-see destination for those seeking a rare encounter with Earth's raw beauty.

Riwayatnya Hoesinstraat atawa Jalan Husin di Kembang Jepun Surabaya, Mengenang Saudagar Kaya Haji Hoesin bin Haji Tajib Napis


Sudah lama owe penasaran dengen Jalan Husin, Surabaya. Persis di pojokan Shin Hua Barbershop yang terkenal di Kembang Jepun. Agak aneh ada jalan bernama Husin di Handelstraat kawasan pecinan.

Owe dulu sempet nanya kiri kanan tapi tidak dapet jawaban. Memang dari dulu namanya Jalan Husin, kata rekan aktivis tempo doeloe yang seneng blusukan di kota lama.

Eureka! Akhirnya, owe gak sengaja nemu berita kecil di koran tempo doeloe pake bahasa Melayu Tionghoa. Sin Tit Po edisi Selasa, 1 Desember 1931. 

Isi berita kecil itu sebagai berikut:

 Dalam pertemuan Dewan Kota Surabaya tahun 1931, Tuan Hadji Hoesin bin Hadji Tajib Napis, perwakilan dari perusahaan konstruksi Bouw-en Handels Compagnie bin Tajibnapis, mengajukan permintaan agar sebuah jalan baru di Kampung Dukuh diberi nama sesuai jasanya. 

Jalan tersebut diusulkan untuk dinamai Hoesinstraat atau Hoesindwarsstraat.

Oalah... 

Permintaan ini akhirnya disetujui oleh gemeente atau pemerintah kota saat itu, sehingga Jalan Husin menjadi salah satu cabang Jalan Kembang Jepun di sisi utara.

 Jalan ini dikenal sebagai jalan baru sejak tahun 1931, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi Tuan Hadji Hoesin. Hadji Hoesin, saudagar kaya asal Banjar,  dianggap memiliki jasa besar bagi masyarakat Kota Surabaya, terutama di sektor pembangunan dan perdagangan.

"Bisnisnya tidak kalah dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa di kawasan Pabean, Kembang Jepun, Cantian, Slompretan, Pabean, Sambongan, dan kawasan pecinan lainnya," ujar Liman, seorang anggota komunitas tempo doeloe.

Owe periksa di Google dengen ketik nama "Hoesin" dan "Tajibnapis". Tidak banyak informasi. Tidak ada artikel yang membahas perdagangan tuan itu pada masa kolonial di Surabaya. Tapi ada satu tulisan di blog yang menyebut Hoesin Tajibnapis salah satu orang terkaya di NTB.

Artinya, sejak dulu bisnis Haji Tajibnapis, dilanjutkan Hoesin bin Tajibnapis dan saudara-saudaranya menyebar ke beberapa kota. Di Surabaya sendiri Tajibnapis jadi saudagar kaya dan tuan tanah yang disegani pemerintah kolonial Belanda.

Karena itu, Gemeente Soerabaia alias pemkot pada masa Hindia Belanda, tahun 1931, meluluskan pembukaan jalan baru dengen nama Hoesinstraat atawa Jalan Husin.

Owe sendiri sering lewat Jalan Husin ke arah Kampung Dukuh lalu terus Nyamplungan mampir sejenak di Wisata Religi Ampel, Masjid Raden Rahmat, Surabaya. Dulu owe fikir Hadji Hoesin ini orang Hadramaut atau Arab dari Kampung Ampel. Ternyata orang Banjar, Kalimantan Selatan. 

Sekian.