Sabtu lalu saya mampir ke TITD Eng An Bio, Bangkalan. Kelenteng di Jalan PB Sudirman, kawasan pecinan, itu penuh kenangan.
Saya kenal dekat Tante Yuyun Kho sejak akhir 90-an hingga berpulang. Tante asal Salatiga ini bukan sekadar bio kong, penjaga kelenteng, tapi juga seniman lukis. Dia biasa melukis figur-figur Tionghoa di dinding kelenteng.
Sepeninggal Tante Yuyun ke Nirwana, Om Jakob Basuki jadi penggantinya. Ia juga aktif ritual sembahyang di kelenteng. Menyiapkan teh untuk para dewa dan tugas rutin sebagai bio kong.
Yang menarik, Om Jakob ini ternyata Katolik taat. Rajin pigi misa di gereja. Dia juga sangat hafal nama-nama rama yang pernah bertugas di Paroki St Maria Fatima, Bangkalan, sejak puluhan tahun lalu. Bahkan sebelum dia jadi Katolik.
Om Jakob Basuki dulu sekolah Tionghoa THHK Bangkalan. Tidak jauh dari kelenteng itu. Maka waktu kecil agamanya ikut orang tuanya: pigi sembahyang ndek kelenteng. Saban tanggal 1 dan 15 kalender Imlek.
Kemudian dipanggil jadi "anak Tuhan": ikut Gereja Pentakosta. Rajin kebaktian, katanya. Tapi juga dia penasaran dengan Sai Baba di Surabaya. Ikutlah dia agamanya Sai Baba. "Semua agama itu baik," katanya.
Mungkin karena pengaruh teman Tionghoa yang ikut Katolik, Jakob akhirnya coba-coba jadi katekumen. Ikut misa. Dekat dengan pastor. Lama-lama dipermandikan secara Katolik.
Gereja terakhirnya ini dianggap "ramah Tionghoa" dan "ramah kelenteng". Orang Katolik macam Pak Jakob boleh datang ke kelenteng. Bahkan jadi pengurus penting semacam Om Tan ini. "Saya sudah tanya romo, gak masalah," katanya.
Sabtu sore, saya mampir misa di Gereja Katolik Santa Maria Fatima, Bangkalan. Bangunannya makin megah dan cantik. Jauh berbeda dengan ketika saya berkunjung pertama dulu.
Eh, ternyata Om Jakob Basuki sudah ada di dalam gereja. Baca lembaran misa. Saya pun bersalaman lagi dengan baba Tionghoa yang hobi mengisi teka-teki silang (TTS) itu.
"Saya biasa misa hari Sabtu sore. Hujan gak hujan tetap datang karena itu kewajiban kita sebagai umat Katolik," katanya mirip katekis di kampung.
Misa Minggu Advent I dipimpin Romo Yasintus Agustinus Purnomo, O.Carm. Pastor asal Tumpang, Malang, itu memang satu-satunya romo yang bertugas di Paroki Bangkalan. Umat Katolik di Kabupaten Bangkalan memang sedikit. Jadi, tidak perlu banyak pastor seperti paroki-paroki di Surabaya yang minimal tiga romo untuk satu paroki.
Mea culpa!
Mea maxima culpa!
Menarik. Gereja Katolik ramah thd penghormatan kepada leluhur di Tiongkok itu karena jasa Pater Mateo Ricci, misionaris Jesuit ke kekaisaran Tiongkok di jaman dinasti Ming. Ricci mahir berbahasa Cina dan bahkan tulisan2 klasiknya (wenyan wen). Maka itu dia mengerti budaya Cina dan menganjurkan akulturasi budaya utk memudahkan orang Cina masuk Katolik. Karena menghormati leluhur itu bukan memuja mereka, begitu rasionalisasinya. Tapi argumen ini tidak laku di kalangan Protestan. Haleluya!
BalasHapusAmat menarik dan unik. Teologi inkulturasi ala katolik membuat orang katolik lebih luwes dalam beragama. Tapi di sisi lain dianggap tidak skripturalis oleh kaum puritan.
HapusYa. Mirip dgn NU vs Muhammadiyah. NU itu turunan para wali yg berdakwah melalui akulturasi (wayang, penghormatan kpd para leluhur yg mendahului - maka itu ada ziarah kubur, puasa Senin Kemis dll). Kalau Muhammadiyah berusaha “memurnikan” spt Protestan yg soal scriptura.
HapusWaktu masih aktif di Mudika mahasiswa dulu, ada bekas pastor Katolik yg jadi aktivis yg menerangkan kpd kami, scriptura itu datangnya dari mana? Ya dari Gereja. Kalau dibilang sola scriptura, itu logika sirkuler. Kok bisa scriptura menegaskan dirinya sendiri, harus ada otoritasnya yang mengesahkan. Ngono lho pak.