Jumat, 13 Desember 2024

Orang Lamaholot Merantau ke Sabah Sejak 1930-an, Babat Alas Bangun Kota di Masa British

Merantau itu bahasa Lamaholotnya "melarat". Karena melarat, orang Lamaholot yang meliputi Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata "melarat" ke Sabah.

Sejak kapan orang Lamaholot merantau ke Malaysia? Sejak zaman penjajahan. Saat itu Sabah dan Serawak belum semaju sekarang. Masih hutan. 

"Perantau-perantau Lamaholot yang buka hutan, tebang pohon, jadi kuli bangunan, tukang di Sabah," kata Om Kornelis, mantan TKI di Sabah.

Lelaki asal Lomblen Island atawa Lembata itu masih pegang "IC merah" - semacam kartu penduduk musiman - yang dikeluarkan pemerintahan British. Saat itu Sabah masih dijajah oleh Inggris. Sabah baru bergabung dengan Federasi Malaysia pada tahun 1963.

Kamilus Tupen, orang Adonara Timur, mantan perantau di Sabah, pekan lalu mengunggah foto kehidupan orang Adonara sebagai TKI di Tawau, Sabah, pada tahun 1953. Foto hitam putih itu mendapat banyak komentar dari orang Lamaholot, khususnya Adonara.

Meski hanya pekerja kasar, kuli sawit, kuli bangunan, sopir dan aneka pekerjaan 3D (dirty, dangerous, difficult), para TKI Lamaholot itu tampil sangat rapi saat bergambar bersama. Macam orang pigi makan pesta!

 "Pada tahun 1992, saya sendiri sempat menjadi TKI di Labuan, Malaysia. Banyak suka dan duka yang saya alami, tetapi saya selalu mencoba menjadi TKI pembelajar, memanfaatkan kesempatan untuk belajar berbagai hal," ungkap Kamilus.

Sejarah merantau ini bahkan dimulai sebelum Perang Dunia II. Agus Dosi, salah seorang keturunan perantau, mengisahkan bahwa ayahnya sudah merantau ke Sabah pada tahun 1939. "Saat itu, belum ada Indonesia maupun Malaysia. Ayah saya sudah mencari penghidupan di sana sebagai buruh atau pekerja di sektor pemerintahan Inggris," ujarnya.

Hugo Ratu menambahkan, warga kampung mereka telah meninggalkan Adonara untuk menuju Sabah sejak tahun 1930-an. "Mereka berani mengambil risiko besar untuk berlayar ke Sabah, menetap, bekerja, dan membangun keluarga," jelasnya. Generasi mereka dikenal dengan sebutan "Orang Timor" oleh masyarakat lokal di Sabah.

Cukup banyak perantau ini yang menikah dengan warga setempat dan membangun kehidupan di Sabah. Marlin, yang memiliki orang tua angkat asal Honihama, Adonara, menceritakan bagaimana salah satu kerabatnya takut untuk kembali ke kampung halaman karena sudah terlalu lama menetap di Sabah.

 "Beliau sempat bilang, kalau saja belum berkeluarga, mungkin dia bisa pulang. Tapi karena sudah berkeluarga dan terlalu lama, beliau takut tersesat di jalan," katanya.

Kini, keturunan para perantau dari Adonara, Solor, Lembata, dan Flores ini menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas di Sabah. Mereka dikenal sebagai "Orang Timor," yang tetap menjaga warisan budaya leluhur di tengah kehidupan modern di Malaysia. Sebagian besar dari mereka terus mengenang asal-usul dan berupaya menjaga hubungan dengan kampung halaman meskipun jarak dan waktu memisahkan.

Orang-orang Lamaholot ini biasa kumpul-kumpul, makan pesta, menjaga seni budaya nenek moyang mereka. Di era media sosial ini arus perantau Lamaholot ke Sabah agak berkurang karena sudah terbagi ke Malaysia Barat, Batam, dan berbagai daerah di tanah air.

"Tapi yang paling nyaman tetap di Sabah. Bekerja dan tinggal di Sabah itu seperti berada di kampung halaman sendiri. Saban hari kita ketemu orang Lamaholot, bicara bahasa Lamaholot, tobo behing arak (duduk minum arak), sole oha (menari tarian adat) dan sebagainya," kata Om Kornelis.

Paman yang sudah meninggalkan dunia "behing arak" itu cabut dari Sabah karena kecantol dengan Marie, wanita peranakan Tionghoa di Kota Lama, Malang. Tapi kenangannya tentang Sabah di era British tidak pernah pudar. 

5 komentar:

  1. Bisa dipahami kalau budaya merantau sulit dihilangkan di NTT karena sudah berlangsung sangat lama.

    BalasHapus
  2. Karena merupakan bagian dari komunitas Lembata / Flores / NTT / Indonesia Timur, yang anggota2nya pada merantau ke luar tanah tumpah darah demi mencari sesuap nasi, Lambertus sangat mengerti cara berpikir dan tantangan2 yang dihadapi komunitas Tionghoa di Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dui dui.. sangat faham pengalaman dan perasaan kaum perantau. Kudu selalu ati2 dan pandai2 jaga diri di negeri orang. Terutama di negara lain macam Malaysia atau Singapura karena penegakan hukumnya lebih tegas.

      Hapus
  3. Bahkan Himne Flobamora sebagai "lagu wajib NTT" bercerita tentang orang NTT yang merantau jauh di negeri orang.

    "Meski sudah lama jauh di rantau orang, beta ingat mama janji pulang e.."

    "Hampir siang beta bangun sambil menangis... mengenangkan Fkobamora.. lelebo..."

    BalasHapus
    Balasan
    1. " Meski sudah lama jauh di rantau orang, beta ingat mama janji pulang e.."
      Lha itu buktinya, cinta kepada kampung halaman disusupkan kepada manusia melalui air ketuban dan air susu ibu. Engkoh-saya pada liburan hari Natal 1967 di kota Bochum, Jerman-Barat, pernah berkata kepada saya : Kita sebagai orang cina tidak usah belajar tentang konfucianisme, sebab sifat2 itu sudah masuk ke otak kita bersama air susu ibu kita.

      Hapus