Jumat, 09 Oktober 2020

Obong-Obong Omnibus Law

Indonesia memang sulit maju dengan lekas seperti Tiongkok atau Vietnam. Itu karena terlalu ribetnya aturan, undang-undang, perda, dan sebagai. Investor atau penanam modal selalu wait and see. Tak ada kepastian.

Sudah lama pengusaha-pengusaha di tanah air mengeluh. Khususnya pengusaha-pengusaha besar yang punya jaringan dan pengalaman internasional.

"Di Tiongkok kita diperlakukan seperti raja," kata seorang pengusaha top dalam sebuah seminar di Sidoarjo tahun 2004 - kalau tidak salah.

Di sini bagaimana? "Kalian sudah tahu semua lah. Ada uang debu, kebisingan, unjuk rasa buruh dsb," katanya.

Investor asing sangat dimanjakan di Tiongkok. Pemerintahnya yang komuni menyediakan apa saja yang dibutuhkan investor. Sangat efisien. Maka pengusaha marga Go ini sudah lama buka pabrik di Tiongkok. Dan maju pesat, katanya.

Jokowi selaku presiden berlatar belakang pengusaha niscaya sangat paham masalah-masalah seputar investasi, penciptaan lapangan kerja, perizinan dari pusat hingga daerah. Termasuk praktik-praktik suap, pelicin, komisi dsb yang membuat ekonomi biaya tinggi.

Karena itu, dalam pidato pelantikan sebagai Presiden RI periode kedua, Jokowi sangat fokus akan memangkas puluhan atau ratusan atau ribuan aturan yang menghambat investasi. Omnibus Law. Undang-undang yang menghilangkan tumpang tindih berbagai persoalan investasi.

Obsesi besar Jokowi ini pun mulus di parlemen. UU Cipta Kerja bisa selesai dengan sangat cepat. Inilah UU paling rumit dalam sejarah Indonesia. Tapi pembuatannya jauh lebih kilat ketimbang UU yang sederhana.

Sayang, ambisi besar Jokowi membuat loncatan jauh ke depan tidak mudah dipahami banyak orang. Khususnya kalangan pekerja alias buruh. Informasi yang diterima sepotong-sepotong di media sosial. Itu pun tidak akurat. Provokatif dan penuh gorengan khas tukang obong-obong.

Maka terjadilah unjuk rasa yang TSM: terstruktur, sistematis, masif di seluruh Indonesia. Massa telanjur panas karena sudah diobong-obong secara sistematis di media sosial. Saya pun tidak yakin korlap demo sudah baca semua pasal dalam UU Cipta Karya yang sangat panjang itu.

Yang pasti, UU Cipta Karya, Omnibus Law, Sapu Jagat, atau apa pun namanya sangat diperlukan di Indonesia. Kita sudah tertinggal jauuuh dari Tiongkok. Vietnam yang dulu sibuk perang saudara, sangat miskin ketimbang Indonesia, kini sudah meninggalkan Indonesia.

Timnas sepak bola Vietnam pun lebih bagus ketimbang timnas Indonesia. Vietnam yang dapat medali emas di SEA Games.

2 komentar:

  1. Indonesia itu punya kekurangan yg sangat terang benderang dibandingkan Cina, Vietnam, Jepang, Korea, Thailand, bahkan Malaysia sekalipun. Rakyat Indonesia terlalu beragam: ada beratus etnis dan bahasa. Yg beragama lain-lain. Bahkan yg muslim pun bermacam-macam. Sedangkan di negara2 yg disebut di atas, ras, bahasa, agama, dll. semuanya sama. Mudah sekali berkomunikasi dan membuat budaya kerja yg homogen dgn mereka. Di Indonesia: mumet.

    Krn itu jangan terlalu menaruh impian terlalu tinggi terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Tidak bisa melesat sejauh negara2 itu. Yg santai saja, alon alon asal kelakon. Tidak perlu lari cepat2 malah kesandung.

    BalasHapus
  2. Obong Obong Bakar Bakar, Ora Melok Duwe, Bukan Punya Ku Koq !
    Itulah otak manusia manusia yang belum pernah bayar pajak kepada negara.

    Ketika saya masih sekolah (otak kosong, cangkem gede), saya tinggal di asrama mahasiswa. Di dalam asrama ada alat telefon milik umum, kalau mau telpon harus sedia uang logam untuk dimasukkan kedalam alat itu.
    Banyak anak2 mahasiswa yang kuliah di bidang tehnik elektro, mereka tahu caranya membandrek, memanipulasi alat tersebut, sehingga kita bisa telpon gratis ke rumah, ada yang telpon ke Indonesia, Iran, Irak, Syria, Turki, USA, Mesir, Jordania, dll.
    Seorang teman kita, anak pribumi, selalu lapor ke kantor telefon, mengadu, bahwa kita mahasiswa memanipulasi alat telefon itu.
    Saya bilang kepada nya: Bernhard kenapa lu lapor ke kantor telefon, lu kan juga boleh pakai telpon gratis seperti kami.
    Jawab Bernhard: kalau gua mau nelpon, gua akan bayar ! Kalau gua tidak perlu atau tidak punya uang, ya gua tidak nelpon ! Hei, kalain orang asing, tahukah, sadarkah kalian, kalau perusahaan negara kantor telpon rugi, yang menanggung adalah ayah-ku dan para pembayar pajak !!

    Setelah bekerja, dan selalu membayar pajak penghasilan sebesar 50%, barulah saya sadar, bahwa semua milik negara, notabene adalah milik kita semua, pembayar pajak. Kalimat-nya si Bernhard selalu mengiyang-ngiyang di telinga saya. Sejak itu saya marah, jika ada manusia yang merusak barang2 milik umum (kommune), sebab benda itu dibeli dari uang pajak saya. Saya marah jika melihat gerombolan bajingan membakar rumah, mobil, barang2, milik pribadi orang lain, sebab saya sadar betapa susahnya cari duit, menabung untuk membeli rumah, mobil, dll.
    Anak2 muda gondrong, otak kosong cangkem gede, yang demo, merusak, membakar, tidak pernah bayar pajak, tidak merasa ikut punya negara, mereka seyogianya tunas bangsa, kuntum bangsa, suatu waktu duduk di gedung DPR, juga tetap tidak merasa ikut memiliki negara ini. Quo Vadis, Indonesia ?
    P.S.: Rambut-ku dulu juga sering gondrong, itu pertanda aku sudah dua semester tidak bikin ujian. Harus cukur dan maju ujian !

    BalasHapus