Rabu, 21 Oktober 2020

Belajar Ilmu Covid ke Negeri Tiongkok

Orang Indonesia sering mengutip ungkapan: "belajarlah walaupun sampai ke negeri China".

Belajar apa?

Apa saja. Perdagangan, bisnis, obat-obatan tradisional, membangun gedung-gedung bertingkat, mengatasi kemiskinan yang parah, teknologi, dsb. 

"Asal jangan belajar politik partai tunggal dan komunisme," pesan Orde Baru. "Jangan belajar ateisme di sana karena kita bangsa yang religius."

Di saat pandemi ini, pesan untuk belajar di China alias Tiongkok makin relevan. Virus korona, kita tahu, berawal dari Wuhan di kawasan utara Tiongkok. Mulai diketahui pada akhir Desember 2019.

Otoritas Tiongkok awalnya panik juga. Tapi kemudian melakukan karantina wilayah yang ketat. Lockdown. Sangat berbeda dengan PSBB di sini yang aslinya tidak terlalu ketat.

Orang Indonesia waktu ramai-ramai mengecam Tiongkok yang melakukan lockdown. Teriak-teriak di media sosial dan media massa agar mahasiswa atau WNI di Wuhan dipulangkan.

 Akhirnya pemerintah Indonesia kirim Batik Air ke Wuhan. Warga Indonesia dibawa ke Pulau Natuna untuk isolasi dua pekan. Tiongkok bekerja makin keras untuk menghentikan wabah korona yang belum ada obatnya itu.

Kecaman terhadap Tiongkok mereda setelah Indonesia mulai kemasukan Covid-19 pada awal Maret 2020. Dalam waktu singkat persebarannya meluas ke mana-mana. Sementara di Tiongkok pandemi terbesar sejagat itu makin terkendali.

Rabu 21 Oktober 2020. Pandemi korono di Indonesia masih parah. Kasus baru 3.602. Kematian baru 117. Total kasus 368.842.

Bagaimana dengan Tiongkok? Cuma ada 258 kasus aktif. Hanya dua pasien kategori berat. Yang lain cuma gejala ringan.

Statistik Indonesia sudah jauh melampaui Tiongkok. Kasus korona di Indonesia 368.842, sementara Tiongkok stabil di angka 85 ribuan. Pagi ini 85.704. Kasus covid di Indonesia lima kali ganda Tiongkok.

Tumben... Indonesia yang biasanya suka berkiblat ke Amerika Serikat tidak bisa lagi belajar soal penanganan covid ke sana. USA punya 57.640 kasus baru. Angkanya benar-benar super jumbo.

Presiden Donald Trump juga tidak bisa dijadikan rujukan untuk penanganan covid. Bukannya bekerja sama dengan otoritas kesehatan, Trump malah terkesan antisains.

Trump paling tidak suka pakai masker. Sebab dia memang tidak percaya ada penyakit baru yang namanya Covid-19. Sementara angka pasien mati akibat virus korona baru terus saja bertambah.

Meskipun sudah terkena covid, sempat diisolasi, Trump terkesan masih belum percaya 100 persen. Masih anggap enteng. Janganlah korona mendominasi hidupmu, begitu kira-kira kicauannya di Twitter.

Kita lihat saja pemilihan presiden di USA beberapa hari lagi. Rupanya pandemi korona jadi bahan utama kampanye di sana.

1 komentar:

  1. Xi Jinping : 落后就爱打, luohou jiu ai da. Maksudnya engkoh Xi: manusia yang miskin terbelakang suka berkelahi. Orang kalau makmur dan kaya enggan berkelahi.
    Sebab itu dia getol melawan kemiskinan di negara nya.

    Idee yang serupa juga dimiliki oleh presiden Indonesia Jokowi.
    Namun sayangnya reaksi rakyat-nya yang sangat berbeda.
    Di China rakyat senang kalau ada investor mendirikan pabrik, supaya mereka bisa bekerja, nguli, dapat gaji menghidupkan keluarga dan menyekolahkan anaknya. Menabung pelan2, supaya bisa makmur, supaya pikiran dengki hilang, sehingga tidak jadi bonek yang pikirannya berkelahi dan demo terus.
    Di Indonesia kalau investor datang ingin mendirikan pabrik, reaksi para pseudo-cendekiawan langsung menghasut rakyat : Tolak investasi Asing dan Aseng , jangan mau dijadikan kuli, jongos, babu, budak di negeri sendiri, Indonesia Yang Tercinta.

    Waduh biyung; di Jerman yang jadi kuli jongos babu, ya bangsa Jerman nya sendiri. Tetapi mereka tidak punya mental budak, anak2 mereka dengan bangga mengaku: ayahku Arbeiter, Maurer, Schuster, atau
    ibuku: Haushälterin, Krankenpflegerin, Schneiderin, dst.

    Di Eropa para pegawai-ku adalah orang2 pribumi eropa kulit putih.
    Di Tiongkok babu-, jongos- dan supir-ku orang pribumi Cina-Asli.
    Kami hanya beda tugas pekerjaan, kami makan bersama satu meja, kami makan makanan yang sama, kami saling menghormati satu sama lain.
    Kami tidak punya mental feodal dan mental budak. Dimana salahnya ??

    Tidak semua orang bisa beruntung jadi politisi di DPR atau jadi pengkhotbah jual abab.
    Biar kalian pseudo-cendekiawan beruntung jadi politisi atau pengkhotbah, dan biarkanlah rakyat-biasa menjadi buruh, pegawai, montir, manager, supir, satpam, dll.

    BalasHapus