Sabtu, 17 Oktober 2020

Ling Tien Kung Buka Sasana Ke-103

Guru besar Ling Tien Kung, Fu Long Swie alias Awiek Wijaya, sudah berpulang setahun lalu. Tepatnya pada 8 Januari 2019 dalam usia 84 tahun.

 Fu Laoshi meninggalkan warisan berharga berupa Ling Tien Kung, olah gerak tubuh untuk terapi kesehatan. Fu tidak mau LTK disebut senam. "Saudara keliru kalau menulis Ling Tien Kung itu senam," ujar atlet lompat jauh yang meraih medali emas untuk Jatim di PON V 1961 di Bandung itu.

Dulu, saya memang dekat dengan sang suhu LTK. Bahkan cukup rajin mengikuti 'senam' terapi empet-empet anus, jongkok kocok-kocok, yang kelihatan sederhana tapi sangat melelahkan.

 Latihannya tiga kali seminggu di Lapangan Barata, Jalan Raya Ngagel, Surabaya. Kebetulan dekat dengan trmpat tinggalku di Ngagel Jaya Selatan dulu. Saya jadi saksi betapa disiplinnya Laoshi yang mantan guru di Sin Chung itu.

Siapa pun kena tegur kalau terlambat. Tak peduli pengusaha besar, bankir, aparatur negara, wartawan, ustad, pendeta dsb. Semuanya sama-sama murid kalau sudah latihan langsung bersama Fu Long Swie, guru besar sekaligus penemu Ling Tien Kung.

"Anda harus sudah hadir di sini 10 menit sebelum mulai," katanya. 

Lalu Fu bicara panjang lebar tentang filosofi LTK. Termasuk gerakan-gerakannya yang harus benar agar peserta dapat manfaat kesehatan. Kalau gerakannya kurang tepat, ngawur, akan sia-sia meskipun setiap hari senam empet-empet.

Beda banget 'senam' langsung dipimpin Fu Laoshi dengan instruktur-instruktur lain. Meskipun kemampuan para instruktur itu sangat bagus. Sebab hanya Fu yang mampu menjelaskan panjang lebar tujuan setiap gerakan LTK.

 Instruktur-instruktur lain pun tidak punya kemampuan untuk memarahi peserta yang tidak disiplin. Sie Ie Ai alias Ellia  Bestari, istri Fu Long Swie, pun tidak bisa galak seperti suaminya itu.

Setelah tidak lagi di Ngagel, saya tidak pernah lagi ikut LTK. Beberapa kali ikut latihan di Sidoarjo tapi rasanya beda banget dengan di Ngagel, markas besar LTK. 

Saya malah beralih ke olahraga sepeda pancal. Olahraga sendirian. Tidak perlu ramai-ramai di lapangan besar. Tidak ada guru yang marah-marah. Tidak ada peserta yang suka terlambat. Tak ada lagi suara Fu Long Swie yang selalu khotbah sebelum latihan dimulai.

Suatu ketika saya lewat di Barata Ngagel. Latihan LTK sedang berlangsung. Saya cuma melihat dari luar pagar karena tidak baik bergabung kalau terlambat. Meskipun Fu Laoshi sudah tiada, prinsip itu tentu masih berlaku.

Peserta latihan terapi ini tidak sebanyak dulu. Maklum sedang pandemi Covid-19. Ada pembatasan sosial, jaga jarak, menghindari kerumunan, dan sebagai. Saya jadi terkenang Bapak Laoshi Fu Long Swie yang tegas, disiplin, dan unik itu.

Bagaimana LTK setelah Laoshi tidak ada lagi?

 "LTK akan jalan terus secara alami karena cabang sudah ada di mana-mana. Orang perlu cas aki untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakitnya," kata Fu Long Swie kepada saya suatu ketika.

Ratusan instruktur sudah ia persiapkan. Selalu ada pelatihan berkala untuk instruktur-instruktur itu. Mulai peringkat pemula, menengah, hingga mahir. Apalagi saat ini ratusan video LTK bisa diakses di YouTube dan media sosial.

Minggu lalu, Oktober 2020, saya baca di koran LTK membuka sasana ke-103 di Regency 21, Sukolilo, Surabaya. Peresmian dihadiri Pangdam V Brawijaya Mayjen Widodo Iryansyah. Sejumlah pengusaha top juga jadi anggota LTK. Salah satunya Teguh Kinarto, pengusaha properti papan atas.

Mudah-mudahan warisan mendiang Fu Long Swie ini bisa dirawat dan dilestarikan. Bukan warisan harta atau uang, yang sering jadi bancakan dan sumber sengketa ahli waris, tapi senam terapi untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Lamat-lamat saya teringat teriakan khas Fu Long Swie di akhir latihan:

"Ling Tien Kung!!!"
"Jayaaaa!!!"

5 komentar:

  1. Ling Tien Kung atau Empet-Empet-Bol, juga dikenal oleh orang2 bule, cuma di Eropa istilahnya Beckenbodengymnastik atau Beckenbodentraining.
    Apakah yang menemukan methoda Gymnastik tersebut adalah mendiang saudara Fu Long-swie ? Saya koq tidak percaya, sebab saudara Fu usianya sebaya dengan engkoh2 saya, sedangkan praktek empet-empet-bol tersebut sudah ditekunin oleh kaum wanita di daerah-daerah kawasan Asia-Tenggara, sejak berabad-abad lalu.
    " Saudara keliru kalau menulis Ling Tien Kung itu senam " !
    Ya, engkoh benar ! Empet-empet-bol lebih cocok disebut:
    " Rahasia praktek perempuan asia memuaskan pasangan nya "
    Kalau perempuan eropa malas latihan, mereka lebih memakai logika, koq repot2 ngempet2, ada mulut untuk sedot-sedot.

    Dasar orang Indonesia selalu sukanya barang Import, maka disulaplah barang dalam-negeri menjadi Ling Tien Kung, se-olah2 barang Import made in tiongkok.
    Mau belajar empet-empet-bol, pergilah ke pulau Madura, belajar kepada bibi-bibi madura.
    Dasar orang kita IMPORT-MINDED, malu belajar ke Madura, lebih senang belajar ke Prancis. C'est la vie mon ami !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... memang banyak sekali senam2 ala Tionghoa yang populer di Indonesia sejak 90an. Orang Indonesia senang ikut karena ada iming2 manfaat kesehatan yang sangat banyak.
      Mr Fu berhasil bikin heboh dengan Ling Tien Kung yang pakai empet2, jongkok kocok2 dsb itu.

      Kalau senam gaya Madura ya gak akan laku. Soalnya orang Indonesia lebih suka barang2 impor.

      Hapus
    2. Orang kita yang masih hidup, senang ikut segala nya, karena ada Iming-Iming. Kalau kita sudah mati, barulah kita sadar, ternyata iming2 yang dijanjikan hanyalah bohong belaka.

      Minggu lalu saya membaca judul sebuah buku roman, Nur die Tote kennt die Wahrheit. Hanya orang yang mati tahu sebenarnya.
      Saya tertegun, kok penulisnya pandai memilih judul.
      Orang mati tahu kebenaran, namun lacurnya dia membisu seribu bahasa. Orang2 jahat yang masih hidup tahu hal itu, jadi mereka bebas menipu, menebar iming2 dan janji2 gombal. Pokoknya orang mati bisa dipercaya 100 persen memegang rahasia.

      Contohnya, Ada orang yang ber-koar2 : Hukuman zina di akhirat lebih berat ! Lho, lu kok tahu mas, apakah lu sudah pernah kesana ?
      Awas lu orang kafir, api neraka jahanam menanti mu !
      Lho, lu kok tahu mas, apakah lu sudah pernah lihat ?

      Seorang teman saya yang hidup di Kanada bercerita: Dia di Jakarta dijamu makan malam oleh seorang temannya, pemilik restoran terkenal di Jakarta, dan juga pakar kuliner.
      Si Pakar kuliner menawarkan sebotol Wein California yang katanya sangat enak dan mahal. Teman-ku melihat botol Wein itu, dan berkata: Gua di Kanada sering minum Wein merek ini, yang gua beli di toko swalayan seharga 3,90 $.
      Mbok dol piro ning restoran mu ? 70,-$
      Lho, kok cek larange !
      Kowe tak kandani, wong yinni-ren kuwi kudu dikotoki, tambah mok kotoki, mereka tambah bangga. Yo mbo hwat karo yinni-ren.

      Hapus
    3. Hahaha menarik pengalaman orang mati itu.
      Anggur bisa dijual mahal berlipat-lipat memang ada di sini.

      Pemain bola atau pelatih asing juga harganya jauh lebih mahal ketimbang produk lokal. Padahal pelatih timnas yang paling sukses di Indonesia itu Sinyo Aliandoe asal Larantuka, Flores.

      Om Sinyo nyaris membawa timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 1986. Indonesia gagal ke Meksiko karena kalah sama Korsel aja.

      Pelatih2 asing lainnya gak ada yang sukses. Cuma Polosin dari Rusia yang dapat medali emas SEA Games alias level Asia Tenggara.

      Hapus
    4. Will Coerver membawa PSSI ke tahap akhir prakualifikasi Olimpiade 1976, tapi kalah dari Korea Utara.

      Hapus