Jumat, 10 Juli 2020

Mbah Djono Penjaga Hutan Jolotundo Berpulang

Mbah Djono (Sukardjono) berpulang pada 22 Juni 2020. Usianya sangat panjang, 126 tahun.

Semoga Mbah Djono tenang dan bahagia bersama Sang Pencipta Alam Semesta!

Nama Mbah Djono tak asing di kalangan petualang dan wisatawan di kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto. Maklum, dulu hanya ada satu warung di kawasan hutan milik Perhutani itu. Mbah Djono sang empunya warung sederhana itu.

Warung Mbah Djono bukan warung biasa. Ia jadi jujukan petualang, pekemah, wisatawan, atau orang-orang yang ngelaku. Siapa pun bisa tinggal beberapa hari, berminggu-minggu, hingga bulanan.

Yang tidak punya uang bisa ngutang dulu. Bahkan tidak perlu bayar. "Rezeki itu dari Gusti Allah. Kita tetap bisa makan," kata nenek yang tidak bisa berbahasa Indonesia itu.

Dulu, ketika warungnya masih di samping Petilasan Narotama, banyak sekali pengunjung yang mampir ke Mbah Djono. Paling banyak dari Surabaya dan Sidoarjo. Ngadem. Menikmati suasana sejuk di hutan Jolotundo.

Ada juga yang datang untuk cari nomor togel. Mbah Djono sering ditanyai para pemburu togel itu. Beberapa kali tebakannya tepat. Kadang meleset sedikit. Lebih banyak yang ngawur. Tapi ya banyak yang percaya Mbah Djono.

Saya sendiri mengenal Mbah Djono saat bersama-sama rombongan seniman lukis dan budayawan Sidoarjo. Pelukis Bambang Harryadjie (almarhum) yang jadi ketua rombongan. Ada juga pelukis Tarmudji, Herman Beng (alm), budayawan Eyang Bete, hingga musisi grup rock terkenal di Surabaya.

Lama-lama warung Mbah Djono jadi markas para seniman dan budayawan. Diskusi, ngobrol ngalor ngidul sampai subuh. Suasana selalu ramai di atas pukul 21.00. "Banyak inspirasi di sini," kata Bambang Harryadjie.

Pelukis senior itu pernah bikin pameran greet art di kawasan Jolotundo. Karya-karya Pak Bambang menggunakan bahan-bahan dari hutan seperti kayu kering, daun-daun untuk pewarna, dsb. Banyak turis asing rekanan PPLH yang menikmati pameran itu.

Saya pun sempat bikin semacam taman bacaan di dekat warung Mbah Djono. Tapi lama-lama banyak buku dan majalah yang hilang. Akhirnya tutup.

"Biarin aja. Toh, buku-buku itu dibawa pulang," kata Pak Bambang yang sudah saya anggap keluarga sendiri.

Suasana berubah drastis ketika kawasan Jolotundo dimasuki jaringan listrik. Jalannya juga dibeton. Makin banyak warung bermunculan. Mbah Djono sendiri harus geser karena pengelola Petilasan Narotama berganti. Pak Niti kuncen lawas tersingkir.

Sejak itulah posisi Mbah Djono sulit ditebak. Kadang di warungnga Bu Saning, kadang di Bu Gembuk, kadang di kampung...

Komunitas budayawan pun kehilangan jejak. Tidak ada lagi pemilik warung yang asyik, polos, mau melayani nyaris 24 jam seperti Mbah Djono. Jangankan 24 jam, nongkrong agak lama sedikit pun si empunya warung terlihat kurang ikhlas.

Beda banget dengan Mbah Djono yang justru bahagia jika tamunya banyak. Sebab, banyak langganannya tidak minta kembalian. Misalnya, habis Rp 15 ribu dibayar Rp 50 ribu. Kembaliannya untuk Mbah Djono. Sekaligus subsidi silang untuk para musafir yang makan minum gratis itu.

Gara-gara kenal Mbah Djono, saya jadi sering ke kawasan Jolotundo. Menikmati hutan, petirtaan peninggalan Raja Airlangga, dan hawa yang sejuk. Saya jadi kenal anak-anak dan cucunya. Saya pun selalu dapat layanan ekstra berupa selimut tebal warna merah.

Setelah tidak aktif cukup lama, saya tiba-tiba ingin sekali naik ke Jolotundo. Sumpek dengan PSBB, corona dsb di Surabaya dan Sidoarjo. Saya ingin ketemu Mbah Djono yang meskipun sangat tua tapi sangat jarang sakit itu.

"Apa kabar Mbah Djono? Sudah lama nggak ketemu," tanya saya.

"Mbah Djono sudah nggak ada. Ini mau tujuh harinya," jawab Ningsih, cucu Mbah Djono.

Saya langsung terdiam. Berdoa dalam hati.

Selamat jalan, Mbah Djono!

5 komentar:

  1. Liar biasa. RIP mBah Djono. Orang yg menjalani hidup dengan apa adanya dan bahagia. Kalau terima lebih tidak takut untuk memberikannya kepada yg membutuhkan walaupun dirinya tidak punya simpanan.

    Kita yang orang sekolahan dan orang kota perlu belajar darinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Betul banget. Almarhum suaminya Mbah Djono dulu mantri hutan yg jaga kawasan hutan di Trawas dan sekitarnya. Makanya sejak muda Mbah Djono ini ikut bantu suaminya sekaligus bikin gubuk satu2nya di dekat Candi Jolotundo. Mereka sebetulnya punya rumah di kampung tapi jarang ditempati.

      Cara hidup, karakter, guyub, baik hati membuat Mbah Djono ini jadi jujukan para pencinta alam dan orang2 yg dulu biasa nglaku di Jolotundo. Biasanya orang2 dulu suka berendam atau kungkum di sumur Jolotundo di atas jam 12 malam. Sehabis berendam ya mampir ngopi, makan pisang rebus, singkong, talas, ubi jalar, dsb di warungnya Mbok Djono ini.

      Banyak juga tamu2 dari jauh yang ngelaku atau nginap dalam waktu lama. Mereka ini jarang bawa bekal atau duit banyak. Tapi ya tetap ditampung dan dikasih makan. Sebab Mbak Djono itu sangat percaya rezeki selalu ada dari Tuhan kalau kita baik sama orang.. siapa pun dia. Rezeki itu ya dari orang2 Surabaya, Sidoarjo, dsb yang biasanya tidak ambil uang kembalian. Tips lebih banyak dari harga kopi dan gorengan hehe.

      Mungkin itu juga yg membuat Mbah Djono berusia di atas 100 tahun dan selalu sehat.

      Oh ya.. almarhumah Mbah Djono ini juga masak pakai kayu bakar kayak orang2 tempo doeloe.

      Hapus
    2. Karakter, cara hidup Mbah Djono yang riko uraikan diatas adalah cara hidup idealnya kaum communis. Punya, rela untuk berbagi tanpa pamrih. Hidup bergotong-royong. Susah sekali menjadi manusia communis sejati, sebab egoisme dan ketamakan sudah ada di chromosom manusia.
      Lebih gampang menjadi manusia religius daripada menjadi manusia communis. Religiusitas konon dinilai oleh Yang Diatas, seperti kita ketahui dan alami, Yang Diatas Sana gampang dikelabui oleh manusia. Gotong-Royong dinilai oleh kommunitas (manusia disekitar kita) yang bermata, bermulut dan bernalar.
      PKI mau diganyang, dimusnahkan, dibantai, sekarep mu sono, emangnye gue pikirin. Namun waktu PKI dibantai, banyak rakyat Indonesia yang tak bersalah, tak berdosa, ikut kena bantai, itu adalah fakta sejarah ! Hanya di negeri Indonesia ada orang2 yang merasa bangga ikut menjadi Tukang-bantai. Desa di Eropa disebut Kommune. Pilkada di Eropa disebut pemilu kommunal.
      Jalan raya, tong sampah, lampu penerang jalan, taman umum, pokoknya semua milik pemerintah, di Eropa disebut barang-barang milik kommunal, ergo milik kita rakyat bersama.
      Communisme adalah filosofi yang bagus, tetapi terlalu ideal, sehingga menjadi utopia. Untuk mengurangi Utopia tersebut, maka dimodifikasi menjadi paham sosialisme-demokrasi. Paham ini diterapkan di negara2 Eropa. Paham ini juga diimpikan oleh Bung Karno dalam pidato Manipol Usdek nya.
      Eka Sila yang dimaksud Bung Karno ya Gotong-Royong, seperti karakter-nya Mbah Djono. Dimana Salahnya ??
      Seandainya tidak ada paham communis, niscaya di dunia masih terjadi perbudakan, penjajahan, exploitation de l'homme par l'homme, homo homini lupus est.
      Harus diterangkan, dijelaskan di Indonesia, PKI tidak ada hubungannya dengan arti kata communis, yang berasal dari bahasa latin. Sama halnya dengan para penjajah, penipu, pembunuh, beragama tertentu.
      Contoh : Sensus communis = nalar sehat, sadar demi kepentingan umum, tata-krama, pedoman hidup bermasyarakat.
      Kodrat hayati, semua manusia ada communis di dalam badannya, ada Arteria carotis communis sinistra et dextra, Arteria iliaca communis sinistra et dextra, entah ada communis apa lagi.
      Kalau kadrun tidak mau ada communis, suruh mereka nyemplung ke laut.
      Dasar dari musyawarah adalah kommunikasi.
      Semua Nabi dan Rasull adalah kommunikator.
      Tujuan mudik lebaran adalah kommunikasi.
      Apa artinya hidup tanpa communis ?
      Mas Bas cerai karo Mbak Vero karena communis-nya tidak cocok.
      Biarawan- dan biarawati-katolik atau -buddha yang hidup di Kloster menganut prinsip communis. Siapa bilang communis tidak Bertuhan ? Justru sebaliknya !

      Hapus
  2. Kamsia atas penjelasan sampean yg sangat bagus.
    Begitulah hidup gotong royong ala orang2 kampung di pedalaman NTT. Sama persis dengan Mbah Djono.
    Kalau punya ya dimakan bersama. Orang2 jauh para musafir yang diberi makan minum apa adanya. Kebetulan banyak talas, ubi, jagung dan tanaman pangan lain yg bisa dimakan.

    Di Flores, Lembata, dan pulau2 kecil di Sunda Kecil biasanya semua rumah punya kamar tamu. Kalau ada orang yg kelelahan berjalan jauh atau pendatang dari pulau lain yang jualan barang ya tinggal di kamar tamu itu. Tidur, makan minum dsb gratis.

    Kita yang tuan rumah juga senang dan ikhlas. Do ut des!

    Suatu saat pun kita akan jadi tamu dan numpang di rumah orang lain. Mungkin itu yg disebut budaya gotong royong tadi. Gak wani ngomong sosialisme apalagi yg itu hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata dasarnya komunisme dengan komuni, community, commune, communication, dll. memang sama, yaitu bhs Latin communis, yang artinya "yang bersama". Tetapi bukan berarti artinya kata2 itu yang sekarang sama. Negara2 Komunis memakai nama sosialis dalam namanya atau tujuan negaranya. Bedanya apa lalu, Sosialisme a la Sjahrir atau Jerman / Perancis / Denmark dengan Komunisme alias Sosialisme a la Karl Marx? Bedanya ialah yang satu demokratis, yang lainnya diktator/fasis. Orang lain tidak diberi kesempatan bicara. Kalau tidak setuju, diganyang.

      Itulah bedanya Komunis dengan Sosialis. Sosialis itu sila ke-5 Pancasila yang diwujudkan melalui sila ke-4. Sedangkan Komunis itu sila ke-5 yang diwujudkan dengan kekuasaan absolut. Sila ke-1, ke-2, ke-4 tidak ada. Hanya ada kekuatan absolut partai atas negara. Sila ke-1 ada, tetapi Tuhan harus diinterpretasikan lewat partai.

      Gus Dur dan FPI, sama Islamnya. Apa bedanya Gus Dur dan kadrun? Yang satu demokratis, yang satunya fasis. Gus Dur mau mewujudkan khilafah dalam artian luas: negara adil dan makmur bernafaskan Islam yang merahmati semua mahluk. Kadrun mau mewujudkan khilafah dalam artian sempit: negara yang adil dan makmur untuk orang Islam, yang lainnya numpang, dan kalau tidak setuju boleh dibasmi. Jadi Kadrun dan Komunis itu sama, sama-sama fasis. Lucu juga, jika sekarang ada kadrun yang menuduh orang lain komunis. Wong dirinya sendiri bersifat seperti Komunis yang anti demokratis.

      Hapus