Jumat, 31 Juli 2020

Djoko Tjandra Berhasil Ditangkap???

Judul berita di media daring semalam:

DJOKO TJANDRA BERHASIL DITANGKAP

Saya langsung komentar pendek. Guyon sama redaktur media terkenal itu. Yang berhasil itu Djoko Tjandra atau polisi?

Maksud saya agar si redaktur atau editor mengubah sedikit judul itu. Tapi siang ini judulnya masih sama. Tak ada koreksi sama sekali.

Salah kaprah! Kesalahan tersebut sudah sangat umum di koran, majalah, online sehingga sebagian besar tak merasa janggal. Salah yang sudah kaprah. Sehingga dianggap benar. Yang benar malah dianggap salah.

Sudah jelas Djoko Tjandra berhasil melarikan diri. Pengusaha besar itu berhasil memanfaatkan celah hukum di negara ini. Berkolusi dengan aparat agar bisa lolos.

Setelah cukup lama jadi bahan pergunjingan nasional, Djoko Tjandra akhirnya ditangkap di Malaysia. Kemudian dibawa kembali ke Indonesia untuk menjalani proses hukum. Kali ini Djoko tidak berhasil kabur lagi.

Karena itu, judul berita seharusnya POLISI BERHASIL MENANGKAP DJOKO TJANDRA.

Tapi bukankah sudah jadi tugas polisi menangkap maling? Mulai maling kotak amal, pencuri HP, hingga pembobol bank? Mengapa pakai kata "berhasil"?

"Kita apresiasi kerja keras pihak kepolisian," kata redaktur koran.

Apalagi polisi selama ini jadi narasumber utama berita-berita kriminalitas. Apa salahnya kalau sekali-sekali kita apresiasi keberhasilannya?

Masalahnya, prinsip utama berita adalah person makes news. Ketokohan paling penting. Dalam kasus ini Djoko Tjandra. Maka Djoko Tjandra harus diletakkan di depan. Bukan polisi yang berhasil itu.

Maka, judul berita itu seharusnya DJOKO TJANDRA DITANGKAP. Coret kata "berhasil" yang bikin penat. Lebih bagus lagi ditambah keterangan tempatnya. Judulnya menjadi:

DJOKO TJANDRA DITANGKAP DI MALAYSIA.

Pelajaran tentang polisi berhasil vs pencuri berhasil ini sebetulnya sering diulang para editor bahasa. Juga para redaktur senior setelah ditatar oleh editor bahasa. Tapi tetap saja tercetak di surat kabar dan media elektronik.

Kapan Jalan Rungkut Menanggal - Pondok Candra Dibuka?

Sudah dua bulan jalan raya di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo ditutup. Tepatnya perbatasan Pondok Candra, Waru, dan Rungkut Menanggal, Surabaya. Jalan strategis itu diportal sejak 4 Juni 2020.

Alasan penutupan tentu saja Covid-19. Anehnya, jalan-jalan lain di perbatasan Surabaya dengan Sidoarjo dan Gresik dibuka. "Memangnya covid itu cuma datang dari kawasan Juanda, Pondok Candra, Waru dsb?" begitu protes warga di media sosial.

Toh, pemerintah daerah punya pertimbangan sendiri. Sebab Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik masuk zona merah. Kawasan paling rawan alias episentrum corona di Jawa Timur. Ada yang bilang 60-70 persen kasus corona di Jawa Timur berasal dari tiga daerah itu.

Apa hasilnya penutupan jalan di Rungkut Menanggal selama dua bulan ini? Kasus positif menurun? Zona hijau bertambah?

Rupanya belum ada evaluasi yang saya dengar. Pihak Sidoarjo sebetulnya ingin agar jalan perbatasan itu dibuka. "Tapi kewenangan bukan di Sidoarjo," ujar salah seorang pejabat.

Lurah Rungkut Menanggal Nurul Azizah pun mengaku sering diwaduli warga. Minta agar jalan strategis ke Bandara Juanda itu segera dibuka. Bu Lurah juga mengaku tidak punya kewenangan.

"Itu wewenang pemkot," katanya. "Kami belum dapat arahan."

Yang pasti, saya perhatikan sudah banyak tempat usaha yang tutup karena kehilangan pelanggan. Mulai dari bengkel, toko bangunan, pedagang tanaman hias, warkop, depot, hingga KFC sepi pembeli.

Depot Moroseneng yang berada di perbatasan Surabaya-Sidoarjo sudah lama tutup. Padahal depot itu dulu punya banyak pelanggan. Salah satunya saya.

"Moroseneng gak kuat. Kontrakannya mahal. Lah, pemasukan gak ada kayak begini," ujar pengusaha warkop tetangga Moroseneng.

Anggota DPRD Surabaya Arif Fathoni pun gerah. Dia prihatin dengan banyaknya tempat usaha yang tutup gara-gara pemortalan Jalan Rungkut Menanggal.

"Sudah tidak ada urgensinya lagi jalan itu diportal," kata Arief.

Senin, 27 Juli 2020

Bagi-Bagi Lianhua di Kalimas Surabaya

Tes cepat atau rapid test lumayan gencar dilakukan di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik sejak dua bulan lalu. Juga di kota-kota lain di Jawa Timur. Pasti ada yang reaktif. Lalu diuji swab. Sudah pasti ada yang positif Covid-19.

Makanya, tidak heran bahwa jumlah pasien corona di Jatim sangat banyak. Selisih sedikit sama Jakarta. Zona merah! Bahkan zona hitam saking terlalu merah. Daerah-daerah yang tesnya sedikit tentu positifnya sedikit. Mestinya semua orang dites agar wabah covid ini bisa segera diatasi di Nusantara.

Kemarin ada tes rapid di Kalimas Utara, Tanjung Perak, Surabaya. Ada 30-an orang yang reaktif. Lalu diminta isolasi mandiri. Sambil menunggu tes swab tes. Prosedur standar di era pandemi ini.

Yang menarik, polisi justru proaktif memberikan Linhua Qingwen kepada orang-orang yang reaktif itu. Sekaligus keluarga dan tetangganya. Kebetulan polisi-polisi punya stok Linhua, jamu herbal dari Tiongkok, cukup banyak.

Kapolres Tanjung Perak Bu Ganis yang memimpin langsung pembagian Lianhua itu. Tak lupa memberikan petunjuk cara minum dan dosis obat made in China itu. "Alhamdulillah, selama ini hasilnya bagus," katanya.

Sembari menunggu obat resmi dan vaksin yang tidak jelas kapan jadinya, Lianhua serta jamu-jamu tradisional atau herbal setidaknya bisa jadi alternatif.

"Sudah terlalu banyak korban covid di Indonesia. Padahal Lianhua sangat membantu orang dengan gejala ringan atau sedang," kata Mister So, pentolan alumni Taiwan di Surabaya.

Di Amerika Serikat pun kalau tidak salah Presiden Donald Trump pun menawarkan obat malaria klorokuin untuk mengobati covid. Asal jangan memasukkan cairan antiseptik le dalam tubuh manusia.

Minggu, 26 Juli 2020

Kenny Peavy, Bule USA Jadi Petani di Bali


Banyak orang Amerika atau Eropa yang dianggap nyeleneh. Alih-alih menikmati hidup di apartemen mewah, hotel bintang lima atau tujuh, mobil mewah, mereka malah menjalani hidup ala orang desa. Bahkan lebih ndeso ketimbang orang desa zaman sekarang.

Anak-anak desa sudah lama jarang ke sawah atau ladang. Apalagi disuruh kerja kebun seperti remaja di NTT tahun 80an dan 90an. Mereka lebih suka main games, HP, atau nongkrong sambil ngombe. Makanya banyak ladang yang mangkrak. Ditumbuhi alang-alang dan rumput liar.

Salah satu orang bule yang menarik adalah Kenny Peavy. Asli Georgia, USA. Sekarang tinggal di Bali. Sudah 10 tahun lebih di Pulau Dewata. Karena itu, bahasa Indonesianya fasih. Apalagi gurunya Wiwik, sang istri yang asli Jakarta.

Kenny sering diceritakan Alan Hoge, guru bahasa Inggris online yang sangat terkenal. Kenny teman akrab Alan saat kuliah di Georgia. Sama-sama suka bertualang di alam bebas.

Kenny bereksperimen dengan hidup di dalam truk. Alan selama dua tahun tinggal di dalam mobil yang dimodifikasi jadi kamar kos. Alan beberapa kali menelepon Kenny di Bali. Keduanya lalu berbagi cerita masa muda mereka yang bersahabat alam bebas di USA.

Akhirnya saya kontak Kenny Peavy. Meskipun tak lagi camping seperti di Georgia, Athens, gaya hidupnya relatif tidak berubah. Istrinya Wiwik dan anaknya, Samara, pun rupanya menikmati kehidupan ala orang-orang kampung di desa.

Kenny pernah nggowes sepeda bambu dari Thailand ke Bali. Untuk menumbuhkan kesadaran tentang keberlanjutan. Sustainability," katanya.

Hampir setiap hari saya melihat foto-foto Kenny yang berbau desa. Sawah, padi yang hijau, irigasi, dan alam pedesaan yang sederhana. Dan kelihatannya Kenny sangat menikmati hiduo sebagai orang desa di Bali.

Berpakaian sederhana, ala petani, panen sayur, dimasak oleh Wiwik jadi masakan rumahan. Bukan masakan restoran bintang lima. Koneksi dengan alam selalu ia pelihara.

Wiwik, sang istri, pintar masak. Kenny pun membantunya membuka warung dan promosi di media sosial. Menu andalannya mi hijau dan nasi goreng.

"Expand your menu! Learn how to cook traditional Indonesian recipes with Wiwik W Peavy at Wiwik's Kitchen!" tulis Kenny.

Sangat menarik.

Ketika makin banyak orang Indonesia yang mengkota, urbanisasi, menelantarkan sawah dan ladang di desa, Kenny justru sangat bahagia jadi orang desa. Jadi petani. Bisa makan dari hasil kebun sendiri.

Lianhua Bisa Sembuhkan Covid?


Pagebluk Covid-19 ini ternyata tak membuat bangsa kita bersatu padu. Malah tambah nyinyir di media sosial. Perang kembang kampret vs cebong masih panas. Meskipun Prabowo sudah lama jadi menteri pertahanan.

Angka-angka pasien corona selalu naik dan naik. Bahkan sudah jauh melampau Tiongkok. Negara asal virus corona yang bikin kacau tatanan dunia itu. Nah, orang Indonesia malah ribut bahas klepon yang katanya haram. Bukannya cari jalan untuk menemukan obat atau vaksin.

Syukurlah, di tengah pandemi virus kadrun itu, muncul seberkas sinar harapan. Rupanya orang-orang Tiongkok sudah kirim jutaan jamu tradisional bernama Lianhua Qingwen Jiaonang. 

Pekan lalu jamu cungkuo ini dibagikan polisi-polisi di Surabaya. Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal M Fadil Imran yang pimpin langsung pembagian Lianhua kepada anggotanya dan masyarakat. Khususnya yang positif corona.

Obat yang diproduksi Shijiazhuang Yiling Pharmaceutical itu dibagikan ke pasien positif Covid-19 yang punya gejala ringan hingga sedang. "Alhamdulillah, pasien-pasien itu sembuh," kata Kapolda.

Kemarin, saya lihat Kapolrestabes Surabaya Kombes Johnny Isir yang asli Papua juga membagi-bagikan Lianhua kepada masyarakat dan anggotanya. Buat menambah kekebalan tubuh.

Dunia memang sudah empat bulan menunggu vaksin resmi Covid-19. Jutaan dokter, pakar farmasi di seluruh dunia, para peneliti sedunia sedang berjuang bersama untuk mengeroyok corona. Tapi hasilnya belum kelihatan. 

Tiongkok yang jago TCM sejak jutaan tahun pun belum terlihat kehebatannya dalam membuat vaksin dan obat corona. Sejauh ini ya cuma Lianhua itu.

 "Lianhua itu bukan vaksin tapi jamu herbal. Bagus dikonsumsi sebelum ada vaksin," kata Andrean, alumnus Taiwan yang sangat getol mempromosikan Lianhua.

"Korban corona sudah terlalu banyak di Indonesia. Sudah berapa orang yang meninggal? Belum lagi jutaan orang yang di-PHK atau dirumahkan," katanya.

Andrean yang guru bahasa Mandarin itu juga menulis khasiat dan kehebatan Lianhua di salah satu media. Tak lupa dicantumkan data pasien sembuh berkat Lianhua. Katanya, obat ini sudah lama beredar di Surabaya.

"Di toko-toko obat cina pasti ada. Sudah lama sejak SARS. Ada legalisasi dari BPOM," kata Andrean.

Masalahnya, gugus tugas atau satgas Covid-19 di pusat sampai daerah dikendalikan oleh para dokter. Biasanya kepala dinas kesehatan provinsi hingga kabupaten dan kota. Dokter-dokter Indonesia yang beraliran Barat sejak dulu tidak percaya dengan jamu-jamu tradisional Nusantara, Tiongkok, India, dsb.

"Temanku di farmasi malah dibuli dan diancam pecat karena share informasi tentang Lianhua dari saya. Payah," kata Andrean.

Yang pasti, virus corona tidak bida diusir dengan makan camilan klepon atau kontol kambing.

Kamis, 23 Juli 2020

Sri Mulyani Ciptakan Tari Dara Putih saat Pandemi

Kreativitas tak boleh mati di tengah pandemi. Meski sanggar tarinya sementara tutup, Sri Mulyani justru sibuk menggarap karya tari kreasi baru. Salah satunya karya tari berjudul Dara Putih.

Tari itu diikutkan dalam lomba Ekspresi Tari Virtual 2020 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud RI. Tari Dara Putih pun lolos dalam seleksi 280 karya tari se-Indonesia.

Sri Mulyani mengikuti lomba kategori pengembangan tari kreasi baru tunggal. Sebanyak 70 karya lolos ke tahap kedua. Dari Jatim ada 11 karya yang lolos.

"Saya membuat gerak tari, busana, hingga bagaimana merias karakternya," ujar Sri Mulyani.

Seniman tari yang sudah melanglang ke berbagai negara untuk menggelar pertunjukan tari ini dikenal sering menciptakan karya tari baru dengan mengambil inspirasi alam sekitar, legenda, hingga kisah kepahlawanan.

Bagaimana dengan tari dara putih?

Menurut Sri, burung dara atau merpati dikenal punya kemampuan navigasi yang luar biasa. Terbang jauh ke mana pun pasti akan kembali ke tempatnya semula. Karena itu, tempo doeloe merpati dijadikan kurir pengantar surat.

"Burung dara juga sangat setia dengan pasangannya. Putih maknanya suci," paparnya.

Mantan karyawati sebuah bank di Surabaya itu juga mulai mencoba mengadakan kelas tari online. Maklum, sanggar tari di rumahnya di kawasan Gununganyar Tambak, Surabaya, vakum sejak pandemi corona merebak di tanah air.

Sudah mulai ada siswa yang belajar seni tari secara virtual. Namun, Sri mengaku kangen dengan murid-muridnya. "Selama pandemi ini kami tidak bisa bertemu secara langsung," katanya.

Rabu, 22 Juli 2020

Misa Satu Tahun Bapa Niko Hurek

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah setahun Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggalkan kami. Setahun yang penuh pergumulan.

Di musim pandemi Covid-19 ini tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengenang beliau. Misa di gereja belum boleh. Sembahyang arwah di Lembata, NTT, pun sangat dibatasi meskipun kabupaten asalku itu zona hijau.

"Kame sembahyang teti lango ro kayak ayak hala," kata Is Hurek, adik bungsu saya di kampung. (Kami sembahyang arwah tapi tidak bisa banyak orang.)

Masih lumayan di Lembata. Surabaya masih zona merah. Merah tua bahkan. Sempat jadi zona hitam. Karena itu, gereja-gereja masih belum boleh mengadakan misa yang dihadiri umat. Cukup misa streaming atau online mass saja.

Minggu lalu saya sudah pesan ujud misa ke Pater Dominikus Udjan SVD. Pastor Paroki Roh Kudus, Gununganyar, Surabaya, ini kebetulan sesama orang Lembata. Ayahnya, Bapa Yosef Nuba Ujan (alm), pun sahabat dekat ayahku. 

Karena itu, Pater Domi ini saya anggap keluarga sendiri. "Pater, go pesan misa arwah tun tou Bapa Niko," pesan saya lewat WA.

"Go giliran misa hari Selasa. Emu go tulis ti romo ahan neng misa," jawab Pater Domi.

(Saya giliran misa hari Selasa. Nanti saya tulis agar romo lain yang bacakan saat misa.)

Rabu 22 Juli 2020.

 Saya bangun pagi sekali. Sebelum jam empat. Bersiap untuk misa pagi online yang dimulai pukul 06.00. Takut ketinggalan atau lupa. Aneh kalau yang pesan misa malah tidak ikut misa.

Misa harian pagi tadi dipimpin Romo Aloysius Widya Yanuar Nugraha. Misa daring ini diikuti 215 jemaat dari rumah masing-masing. Lebih banyak ketimbang misa harian langsung di gereja sebelum Covid-19 yang rata-rata tidak sampai 100 orang.

Deo gratias! 

Romo Widya membacakan ujud misa. Salah satunya untuk ketenteraman arwah Bapa Nikolaus Nuho Hurek.

Matur nuwun, Romo!

Namanya juga misa harian, apalagi streaming di masa pandemi, hanya 30 menit selesai. Itu sudah termasuk Doa Angelus sebelum misa.

Yang berkesan, bacaan Injil Yohanes tentang Maria Magdalena sangat menyentuh dan memperkuat iman. Maria Magdalena terkejut melihat makam Yesus yang kosong. Siapa yang ambil jenazahnya?

Lalu, Yesus datang menyapa Maria Magdalena. Suasana sedih pun berubah menjadi sukacita. Sebab, Yesus sudah bangkit. Roh Allah terus bekerja di dunia. Termasuk saat pandemi ini.

Requiem aeternam!

Minggu, 19 Juli 2020

Tidak Ada Soto Madura di Madura

Ulasan Yu Shigan, mantan menteri dan suhu jurnalistik, pagi ini sangat menggelitik. Soal nasi ayam hainan. Kuliner Tionghoa yang sangat terkenal di Surabaya.

"Tentu setiap kali ke Hainan saya ingin makan nasi ayam Hainan. Yang sangat terkenal di Indonesia maupun di Singapura itu. Kecewa.

Ternyata seperti soto madura dan nasi padang. Tidak ada nasi ayam hainan di Hainan," tulis Mr Yu.

Saya ketawa sendiri gara-gara soto madura. Dulu saya sangat sering blusukan ke Pulau Madura. Kadang naik bus, motor, bahkan sepeda pancal. Sudah keliling Madura. Dari Bangkalan hingga Sumenep.

Bahkan, dulu sering nginap di wisma Kelenteng Kwan Im Kiong di Pantai Talangsiring, Pamekasan. Juga di beberapa hotel kelas tengah di Sumenep. Sampang pun sudah beberapa kali. Khususnya Camplong, pantai wisata andalan Kabupaten Sampang.

Biasanya saya cari soto madura atau sate madura. Maklum, soto madura sangat terkenal di Surabaya. Kuahnya enak dengan daging sapi yang empuk. Sate madura pun mudah didapat di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur.

Kecewa!

Seperti cerita Mr Yu soal ayam hainan tadi. Tidak ada soto madura di Pulau Madura. Sate madura pun tidak ada. Padahal, ini di tengah-tengah Kota Pamekasan.

"Gak ada soto. Yang ada cuma supermi," kata seorang ibu di kawasan Alun-Alun Pamekasan yang lebih terkenal dengan Arek Lancor.

Saya pun meluncur ke kawasan wisata di Talangsiring. Dekat Kwan Im Kiong itu. Sama saja. Yang ada cuma nasi pecel dan lodeh. Itu pun tidak seenak di Surabaya atau Sidoarjo.

Tidak usah jauh-jauh ke Pamekasan atau Sumenep. Di kaki Jembatan Suramadu sisi Madura pun tidak ada yang namanya sate madura.

Jumat, 10 Juli 2020

Mbah Djono Penjaga Hutan Jolotundo Berpulang

Mbah Djono (Sukardjono) berpulang pada 22 Juni 2020. Usianya sangat panjang, 126 tahun.

Semoga Mbah Djono tenang dan bahagia bersama Sang Pencipta Alam Semesta!

Nama Mbah Djono tak asing di kalangan petualang dan wisatawan di kawasan Jolotundo, Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto. Maklum, dulu hanya ada satu warung di kawasan hutan milik Perhutani itu. Mbah Djono sang empunya warung sederhana itu.

Warung Mbah Djono bukan warung biasa. Ia jadi jujukan petualang, pekemah, wisatawan, atau orang-orang yang ngelaku. Siapa pun bisa tinggal beberapa hari, berminggu-minggu, hingga bulanan.

Yang tidak punya uang bisa ngutang dulu. Bahkan tidak perlu bayar. "Rezeki itu dari Gusti Allah. Kita tetap bisa makan," kata nenek yang tidak bisa berbahasa Indonesia itu.

Dulu, ketika warungnya masih di samping Petilasan Narotama, banyak sekali pengunjung yang mampir ke Mbah Djono. Paling banyak dari Surabaya dan Sidoarjo. Ngadem. Menikmati suasana sejuk di hutan Jolotundo.

Ada juga yang datang untuk cari nomor togel. Mbah Djono sering ditanyai para pemburu togel itu. Beberapa kali tebakannya tepat. Kadang meleset sedikit. Lebih banyak yang ngawur. Tapi ya banyak yang percaya Mbah Djono.

Saya sendiri mengenal Mbah Djono saat bersama-sama rombongan seniman lukis dan budayawan Sidoarjo. Pelukis Bambang Harryadjie (almarhum) yang jadi ketua rombongan. Ada juga pelukis Tarmudji, Herman Beng (alm), budayawan Eyang Bete, hingga musisi grup rock terkenal di Surabaya.

Lama-lama warung Mbah Djono jadi markas para seniman dan budayawan. Diskusi, ngobrol ngalor ngidul sampai subuh. Suasana selalu ramai di atas pukul 21.00. "Banyak inspirasi di sini," kata Bambang Harryadjie.

Pelukis senior itu pernah bikin pameran greet art di kawasan Jolotundo. Karya-karya Pak Bambang menggunakan bahan-bahan dari hutan seperti kayu kering, daun-daun untuk pewarna, dsb. Banyak turis asing rekanan PPLH yang menikmati pameran itu.

Saya pun sempat bikin semacam taman bacaan di dekat warung Mbah Djono. Tapi lama-lama banyak buku dan majalah yang hilang. Akhirnya tutup.

"Biarin aja. Toh, buku-buku itu dibawa pulang," kata Pak Bambang yang sudah saya anggap keluarga sendiri.

Suasana berubah drastis ketika kawasan Jolotundo dimasuki jaringan listrik. Jalannya juga dibeton. Makin banyak warung bermunculan. Mbah Djono sendiri harus geser karena pengelola Petilasan Narotama berganti. Pak Niti kuncen lawas tersingkir.

Sejak itulah posisi Mbah Djono sulit ditebak. Kadang di warungnga Bu Saning, kadang di Bu Gembuk, kadang di kampung...

Komunitas budayawan pun kehilangan jejak. Tidak ada lagi pemilik warung yang asyik, polos, mau melayani nyaris 24 jam seperti Mbah Djono. Jangankan 24 jam, nongkrong agak lama sedikit pun si empunya warung terlihat kurang ikhlas.

Beda banget dengan Mbah Djono yang justru bahagia jika tamunya banyak. Sebab, banyak langganannya tidak minta kembalian. Misalnya, habis Rp 15 ribu dibayar Rp 50 ribu. Kembaliannya untuk Mbah Djono. Sekaligus subsidi silang untuk para musafir yang makan minum gratis itu.

Gara-gara kenal Mbah Djono, saya jadi sering ke kawasan Jolotundo. Menikmati hutan, petirtaan peninggalan Raja Airlangga, dan hawa yang sejuk. Saya jadi kenal anak-anak dan cucunya. Saya pun selalu dapat layanan ekstra berupa selimut tebal warna merah.

Setelah tidak aktif cukup lama, saya tiba-tiba ingin sekali naik ke Jolotundo. Sumpek dengan PSBB, corona dsb di Surabaya dan Sidoarjo. Saya ingin ketemu Mbah Djono yang meskipun sangat tua tapi sangat jarang sakit itu.

"Apa kabar Mbah Djono? Sudah lama nggak ketemu," tanya saya.

"Mbah Djono sudah nggak ada. Ini mau tujuh harinya," jawab Ningsih, cucu Mbah Djono.

Saya langsung terdiam. Berdoa dalam hati.

Selamat jalan, Mbah Djono!

Rabu, 08 Juli 2020

Penjahit Putri di Dekat Bandara Juanda

Saat bersepeda di kawasan tambak Desa Tambakoso, Sidoarjo, ada tulisan menarik di pinggir jalan. PENJAHIT PUTRI. Saya pun turun sejenak untuk memotret plang di dekat Bandara Juanda itu.

Penjahit putri. Maksudnya apa?

- Si penjahit berjenis kelamin putri (perempuan)?

- Penjahit khusus busana putri? Penjahitnya bisa saja laki-laki atau waria.

Saya jadi ingat tulisan sejenis di kawasan Aloha, Gedangan. Banyak sekali plang bertulisan PENJAHIT WANITA.

Penjahit wanita identik dengan penjahit putri di Tambakoso. Lain lagi dengan putri penjahit.

Setelah saya cek ke warkop di sebelahnya, seorang ibu mengatakan bahwa PENJAHIT PUTRI itu memang khusus melayani pesanan pakaian perempuan. Dia tidak akan mau menjahit pakaian laki-laki.

"Dari dulu hanya terima pakaian putri," kata ibu itu.

Lalu, penjahitnya memang putri? "Iya lah. Masak, laki-laki," katanya disusul tawa renyah khas orang tambak.

Istilah penjahit putri atau penjahit wanita memang bisa disalahpahami. Bisa diartikan wanita/putri yang dijahit. Bisa berurusan dengan polisi.

Bagaimana kalau dibalik menjadi wanita penjahit atau putri penjahit?

Wanita penjahit lebih pas. Wanita yang bekerja sebagai penjahit pakaian. Putri penjahit lain lagi artinya. Anak si penjahit yang berjenis kelamin perempuan.

Mungkin lebih pas kalau ditulis PENJAHIT BUSANA WANITA atau PENJAHIT BUSANA PUTRI.

Kurang lazim kalau ditulis WANITA PENJAHIT BUSANA PUTRI.